Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
50 Tahun lalu. Di sebuah dusun yang rindang, dusun yang dipijaki pohon-pohon kelapa yang lebat, pohon siwalan yang berbuah siul pemanjat aren, tupai-tupai yang berkejaran, kampung yang udaranya selalu segar, jauh dari polusi, halaman rumah yang memiliki ayam kalkun, anak-anak dusun yang mengaji, belajar, dan ingin selalu mengerti. Bertambah hari, anak-anak dusun terus berduyun, menuju sebuah langgar sederhana, namun di dalamnya berdiam seorang guru luar biasa. Begitulah pada mulanya. Begitulah awal dari segalanya.
***
Setengah abad, bukanlah perjalanan yang pendek untuk sebuah lembaga pendidikan. Ibarat sebuah perahu, perjalanan Madrasah Nasy'atul Muta'allimin sampai saat ini telah mengalami berbagai terpaan angin, ombak, badai, petir, dan telah mengunjungi pulau-pulau terdekat maupun terjauh. Artinya, pengalaman selama lima puluh tahun seharusnya dapat mengokohkan prinsip-prinsip dasar yang mengakar bagi lembaga kaliber Nasy'atul Muta'allimin II.
Generasi Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II ini pun telah banyak menyebar di berbagai kota di negeri ini, dengan mengemban tugas yang beragam, bahkan, ada beberapa generasi yang masih menimba ilmu di negeri Jackie Chan, negeri Fir'un, dan negeri obe' Sam. Menyebut ini, bukanlah romantisme atau kebanggan yang berlebihan, melainkan sebagai pemantik semangat bagi lahirnya generasi-generasi baru yang bermanfaat, berakhlaqul karimah, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan.
KH. Jailani (Alm.) adalah pendiri utama Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II, yang dibantu oleh beberapa orang lainnya seperti KH. Quddus, KH. Afif Ma'ruf, K. Sapran, K. Matwan, KH. Ihsan, KH. Abdul Hannan, dan beberapa orang lainnya. Tujuan berdirinya lembaga ini tak lain dan tak bukan hanya untuk mendidik akhlak dan mentalitas anak-anak negeri yang bersua di lingkungan Sumenep. Mentalitas sebagai pejuang ditanamkan begitu rupa oleh KH. Jailani: bukan uang, bukan jabatan, bukan sertifikasi, dan hal-hal remeh temeh lainnya.
Alkisah, suatu hari KH. Jailani bermaksud untuk merekrut salah seorang guru. Beliau mendatangi rumah seorang muridnya, kemudian meminta agar istri murid tersebut dipanggil dan duduk bersama di sebuah kursi di beranda rumah sang murid. Beliau berdawuh
"Engkok minta tolong ka ba'na kaangguy ngajar e Madrasah (Saya berharap kamu bisa jadi guru di Madrasah, tolong ya!" Dawuhnya pada calon guru yang didatanginya.
Kemudian KH. Jailani menatap wajah istri calon guru Madrasah tersebut dan berkata "Pa sabbar ba'na ye. Pasabbhar ba'na lakena ngajar e Madrasah lekka' tada' bejerenna ye, ba'na epojie mun sengkok. Ba'na mandhar lancara rajekena (Saya berharap kamu tetap bersabar meski nanti suamimu ngajar di Madrasah tidak mendapatkan gaji atau honor. Saya akan mendoakan kalian, semoga rezeki kalian lancar."
Sang lelaki calon guru muda ini mengangguk dan sang istri juga mengangguk seolah-olah memasrahkan diri bahwa perjuangan dalam pendidikan memang membutuhkan pengorbanan dan keikhlasan.
Kisah tersebut begitu menggetarkan, betapa Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II tidak dibangun di atas sebuah pendanaan besar, uang yang menumpuk, apalagi aset yang melimpah. Tidak. Lembaga besar yang kini memiliki PAUD, TK, MI, MTs, MA, dan Dinayah Takmiliyah ini dibangun di atas keinginan yang besar, jiwa besar, semangat besar, mentalitas yang agung, serta pengabdian yang tinggi.
Para pendahulu Madrasah Nasy'atul Muta'allimin tidak berbicara honor dan gaji jika tidak benar-benar diberi. Sebab bagi para pendahulu Madrasah, bertanya apalagi menagih honor adalah bagian dari rasa malu. Prinsip yang mereka pegang; apa yang bisa mereka berikan pada Madrasah, bukan apa yang bisa mereka dapatkan dari Madrasah.
Ideologisasi
Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II seharusnya telah memiliki identitas keilmuan yang kokoh, mengingat perjalanan dan pengalamannya yang telah berusia 50 tahun. Penting kiranya lembaga pendidikan ini tetap mempertahankan nilai-nilai epistimologis Madrasah. Jika disebutkan tentang nama "Madrasah", tak akan terlepas dari tali sambung pendidikan Islam, yang dasar orientasinya adalah meneladani perilaku Nabi Muhammad Saw. serta merealisasikan konsep-konsep pendidikan Nabi.
Salah satu kerangka dasar metodologis konsep Madrasah yang pernah diteladani Nabi dan bagian-bagiannya pernah direalisasikan oleh KH. Jailani adalah konsepsi metodologis yang bersumber dari sabda Nabi ini:
Al-naasu halka illa al-'alimun, wa al-'alimuuna halka illa al-'amilun, wa al-'amiluna halka illa al-mukhlisun (Manusia akan binasa kecuali orang yang berpendidikan. Orang-orang terdidik itu akan binasa bila tidak mengamalkan ilmunya. Pengamal ilmu pun akan binasa bila mengaktualisasikan ilmu tersebut penuh kepentingan)
Sabda Nabi di atas dapat dijadikan sebagai kerangka metodologis untuk menganalisa, melihat, dan mengkonsep kerangka keilmuan Madrasah, dengan tetap beradaptasi pada geliat modernisasi namun tidak gengsi mempertahankan nilai-nilai akhlaqul karimah sebagai ciri dan inti dari ajaran Nabi---yang dalam konsep Barat kini disebut dengan pendidikan karakter.
Pertama, Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang harus mampu merangsang masyarakat untuk berproses menjadi orang-orang terdidik, berilmu, berwawasan tinggi, dan berakhlaqul karimah. Madrasah harus mampu membantu siswa-siswi yang ada di dalamnya untuk berproses mencecap manisnya ilmu pengetahuan, sehingga dengan kesadaran tersebut, mereka mau merealisasikan petunjuk Syaikh Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim; "dzakaa'un, khirshun, ishtibaarun, bulghatun, irsyadu ustadzin, dan thulu zamaanin"
Pertanyaan yang penting kita ajukan, apakah Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II di usia yang ke-50 sudah mampu memberikan rangsangan sebagaimana yang telah diilustrasikan di atas? Jika sudah mampu, penting kiranya merencanakan follow up agar sistem pendidikan Madrasah kita memiliki model sendiri, keilmuan yang ter-design menjadi keilmuan Nasy'atul Muta'allimin. Ihwal seperti ini penting dipikirkan bersama, dikonsep bersama, dikelola bersama, khususnya oleh para konseptor, elite Madrasah, elemen Madrasah, dan masyarakat. Sehingga batasan-batasan serta gerbong-gerbong keilmuan Madrasah semakin jelas, akan dicetak seperti apa dan berwarna apa anak didik kita?
Itulah sebabnya, tidak perlu lagi ada pandangan, mun pera' a teori sapa se tak tao, aniko se alakoa (semua orang bisa membuat teori, tapi siapa yang dapat merealisasikan). Pandangan-pandangan tersebut merupakan cerminan apatisme yang dapat mengganggu keberlangsungan managemen pendidikan Madrasah, baik secara psiko-struktural, psiko-kultural, dan interaksi sosial. Setiap lembaga pendidikan yang maju dapat dipastikan memiliki konsep yang jelas, kerangka teoritik yang jelas sebagai sandaran, dan tim pelaksana yang memiliki semangat besar. Dan semua pelaksanaan pendidikan, berpegang pada satu bendera, satu visi, satu warna, dengan nahkoda Yayasan Nasy'atul Muta'allimin (Yayasan al-Jailani).
Kedua, sesuai tuntunan Nabi, al-'alimuna halka illa al-'amilun, Madrasah mampu merangsang ilmuan-ilmuan berpendidikan tinggi lulusannya (berpendidikan tinggi dalam konteks ini bermakna konotatif; tadak kaitanna ban ijazah), untuk mengamalkan ilmunya dalam konteks kehidupan sosial ('amilun). Madrasah mampu "mendistribusikan" para alimun sesuai dengan spesifikasinya masing-masing, baik di ruang politik, sosial, ekonomi, pendidikan, sains, agama, budaya, dan seni Islam. Yang perlu digarisbawahi, istilah "mendistribusikan" tidak bermakna "menjadi penyalur kerja", akan tetapi Madrasah menjadi pemantik embrio, jantung semangat yang terus berdegub di dada para siswa dan lulusannya.
Pertanyaannya, apakah Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II sampai pertengahan abad ini telah mampu "mendistribusikan" para amilun-nya ke relung-relung kehidupan masyarakat? Jika sudah mampu, maka follow up yang penting dipikirkan adalah institusionalisasi para amilun tersebut dalam kerangka sistem yang lebih rapi, memiliki visi yang cerdas, dapat menyerap persoalan-persoalan masyarakat, dan mampu menebar solusinya sekaligus---meminjam bahasa Antonio Gramsci, menjadi "intelektual organik".
Ada contoh teknis yang paling konkrit. Kita punya alumni atau lulusan yang handal dan cerdas di bidang ilmu kimia, yaitu Ahmad Kholish Ghalib. Laporan penelitian akhir di Kampus S1 terkait dengan Cara Membuat Plastik Berbahan Ketela Pohon (sabrang). Namun mengapa Kholish tidak melanjutkan penelitiannya tersebut, sampai benar-benar bisa membuat plastik sebagai komoditas, yang tentu saja hal tersebut akan bermanfaat bagi Kholish sendiri dan juga Madrasah? Mengapa Khalis masih belum terangsang untuk meng"institusionalkan" hasil penelitiannya menjadi lebih sistematis, sehingga dapat lebih bermanfaat untuk masyarakat?-----------> saya tahu, khalish akan berbisik pada saya bila membaca tulisan ini, "institusionalisasi" iye phei, bhendhana ban se alakoa uyyy!
Ketiga, Madrasah mampu menumbuhkan rasa ingin belajar dan rasa ingin tahu masyarakat, yang kemudian dilanjutkan dengan rasa ingin berbuat dan bermanfaat . Tugas Madrasah berikutnya adalah mampu mempola generasinya dan seluruh perangkatnya agar dalam proses amaliyah (menjadi amilun) pendidikan dan ilmu pengetahuan tidak ditunggangi oleh kepentingan (interest) hedonistik, kapitalisasi pendidikan, dan tenaga Madrasah yang cenderung menganggap bahwa Madrasah adalah tempat bekerja bukan tempat mengabdi---dalam bahasa Nabi Muhammad Saw. disebut "al-amiluna halka illa al-mukhlisun"
Tentu kita tidak perlu berdebat tentang, apa itu ikhlas? Ukuran paling sederhana amilun yang mukhlishun dalam sebuah institusi pendidikan: (1). Tidak memanfaatkan Madrasah untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok, apalagi kepentingan partai politik. (2). Bertindak hanya untuk kemajuan Madrasah dan Murid. (3). Tidak memikirkan kesejahteraan pribadi, tetapi peduli terhadap kesejahteraan orang lain. (4). Demi kepentingan Madrasah, tidak memperuncing perbedaan dan konflik, akan tetapi menjunjung persamaan yang bermartabat.
Pertanyaannya kemudian, apakah di lingkungan Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II sampai hari ini sudah merealisasikan amilun yang mukhlishun? Jika sudah, kita perlu menebarkan manfaat sebanyak-banyaknya sebisa mungkin. Sebab tiga hal tersebut adalah pencapaian puncak dari sebuah pendidikan Madrasah. Akhirnya, seorang penyair dari Singkawang, Hanna Fransisca pernah bergaung melalui puisinya: Pulanglah sayang, ke Singkawang/ ketemu sanak kerabat/ di kuburan./ Rumah kita/ rumah ingatan. Diterbangkan angin/ di atas nisan. Leluhur menunggu/ dupa dan tungku. Anak dan cicit/ jumlah seribu./ Burung elang membangun sarang. Di celah/ bukit ia berdendang. Menjulang langit/ ia memandang/ leluhur singkawang memanggil pulang.***
NB. Tulisan ini sebatas refleksi biasa seorang alumni yang mencintai almamaternya, tidak bermaksud untuk menggurui, apalagi mengkritik.
50 Tahun lalu. Di sebuah dusun yang rindang, dusun yang dipijaki pohon-pohon kelapa yang lebat, pohon siwalan yang berbuah siul pemanjat aren, tupai-tupai yang berkejaran, kampung yang udaranya selalu segar, jauh dari polusi, halaman rumah yang memiliki ayam kalkun, anak-anak dusun yang mengaji, belajar, dan ingin selalu mengerti. Bertambah hari, anak-anak dusun terus berduyun, menuju sebuah langgar sederhana, namun di dalamnya berdiam seorang guru luar biasa. Begitulah pada mulanya. Begitulah awal dari segalanya.
***
Setengah abad, bukanlah perjalanan yang pendek untuk sebuah lembaga pendidikan. Ibarat sebuah perahu, perjalanan Madrasah Nasy'atul Muta'allimin sampai saat ini telah mengalami berbagai terpaan angin, ombak, badai, petir, dan telah mengunjungi pulau-pulau terdekat maupun terjauh. Artinya, pengalaman selama lima puluh tahun seharusnya dapat mengokohkan prinsip-prinsip dasar yang mengakar bagi lembaga kaliber Nasy'atul Muta'allimin II.
Generasi Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II ini pun telah banyak menyebar di berbagai kota di negeri ini, dengan mengemban tugas yang beragam, bahkan, ada beberapa generasi yang masih menimba ilmu di negeri Jackie Chan, negeri Fir'un, dan negeri obe' Sam. Menyebut ini, bukanlah romantisme atau kebanggan yang berlebihan, melainkan sebagai pemantik semangat bagi lahirnya generasi-generasi baru yang bermanfaat, berakhlaqul karimah, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan.
Sumber Gambar: Ruswan/Dok. Kabarbangsa.com |
Alkisah, suatu hari KH. Jailani bermaksud untuk merekrut salah seorang guru. Beliau mendatangi rumah seorang muridnya, kemudian meminta agar istri murid tersebut dipanggil dan duduk bersama di sebuah kursi di beranda rumah sang murid. Beliau berdawuh
"Engkok minta tolong ka ba'na kaangguy ngajar e Madrasah (Saya berharap kamu bisa jadi guru di Madrasah, tolong ya!" Dawuhnya pada calon guru yang didatanginya.
Kemudian KH. Jailani menatap wajah istri calon guru Madrasah tersebut dan berkata "Pa sabbar ba'na ye. Pasabbhar ba'na lakena ngajar e Madrasah lekka' tada' bejerenna ye, ba'na epojie mun sengkok. Ba'na mandhar lancara rajekena (Saya berharap kamu tetap bersabar meski nanti suamimu ngajar di Madrasah tidak mendapatkan gaji atau honor. Saya akan mendoakan kalian, semoga rezeki kalian lancar."
Sang lelaki calon guru muda ini mengangguk dan sang istri juga mengangguk seolah-olah memasrahkan diri bahwa perjuangan dalam pendidikan memang membutuhkan pengorbanan dan keikhlasan.
Kisah tersebut begitu menggetarkan, betapa Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II tidak dibangun di atas sebuah pendanaan besar, uang yang menumpuk, apalagi aset yang melimpah. Tidak. Lembaga besar yang kini memiliki PAUD, TK, MI, MTs, MA, dan Dinayah Takmiliyah ini dibangun di atas keinginan yang besar, jiwa besar, semangat besar, mentalitas yang agung, serta pengabdian yang tinggi.
Para pendahulu Madrasah Nasy'atul Muta'allimin tidak berbicara honor dan gaji jika tidak benar-benar diberi. Sebab bagi para pendahulu Madrasah, bertanya apalagi menagih honor adalah bagian dari rasa malu. Prinsip yang mereka pegang; apa yang bisa mereka berikan pada Madrasah, bukan apa yang bisa mereka dapatkan dari Madrasah.
Ideologisasi
Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II seharusnya telah memiliki identitas keilmuan yang kokoh, mengingat perjalanan dan pengalamannya yang telah berusia 50 tahun. Penting kiranya lembaga pendidikan ini tetap mempertahankan nilai-nilai epistimologis Madrasah. Jika disebutkan tentang nama "Madrasah", tak akan terlepas dari tali sambung pendidikan Islam, yang dasar orientasinya adalah meneladani perilaku Nabi Muhammad Saw. serta merealisasikan konsep-konsep pendidikan Nabi.
Sumber Gambar: Ruswan/Dok.Kabarbangsa.com |
Al-naasu halka illa al-'alimun, wa al-'alimuuna halka illa al-'amilun, wa al-'amiluna halka illa al-mukhlisun (Manusia akan binasa kecuali orang yang berpendidikan. Orang-orang terdidik itu akan binasa bila tidak mengamalkan ilmunya. Pengamal ilmu pun akan binasa bila mengaktualisasikan ilmu tersebut penuh kepentingan)
Sabda Nabi di atas dapat dijadikan sebagai kerangka metodologis untuk menganalisa, melihat, dan mengkonsep kerangka keilmuan Madrasah, dengan tetap beradaptasi pada geliat modernisasi namun tidak gengsi mempertahankan nilai-nilai akhlaqul karimah sebagai ciri dan inti dari ajaran Nabi---yang dalam konsep Barat kini disebut dengan pendidikan karakter.
Pertama, Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang harus mampu merangsang masyarakat untuk berproses menjadi orang-orang terdidik, berilmu, berwawasan tinggi, dan berakhlaqul karimah. Madrasah harus mampu membantu siswa-siswi yang ada di dalamnya untuk berproses mencecap manisnya ilmu pengetahuan, sehingga dengan kesadaran tersebut, mereka mau merealisasikan petunjuk Syaikh Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim; "dzakaa'un, khirshun, ishtibaarun, bulghatun, irsyadu ustadzin, dan thulu zamaanin"
Pertanyaan yang penting kita ajukan, apakah Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II di usia yang ke-50 sudah mampu memberikan rangsangan sebagaimana yang telah diilustrasikan di atas? Jika sudah mampu, penting kiranya merencanakan follow up agar sistem pendidikan Madrasah kita memiliki model sendiri, keilmuan yang ter-design menjadi keilmuan Nasy'atul Muta'allimin. Ihwal seperti ini penting dipikirkan bersama, dikonsep bersama, dikelola bersama, khususnya oleh para konseptor, elite Madrasah, elemen Madrasah, dan masyarakat. Sehingga batasan-batasan serta gerbong-gerbong keilmuan Madrasah semakin jelas, akan dicetak seperti apa dan berwarna apa anak didik kita?
Sumber Gambar: Ruswan/Dok.kabarbangsa.com |
Kedua, sesuai tuntunan Nabi, al-'alimuna halka illa al-'amilun, Madrasah mampu merangsang ilmuan-ilmuan berpendidikan tinggi lulusannya (berpendidikan tinggi dalam konteks ini bermakna konotatif; tadak kaitanna ban ijazah), untuk mengamalkan ilmunya dalam konteks kehidupan sosial ('amilun). Madrasah mampu "mendistribusikan" para alimun sesuai dengan spesifikasinya masing-masing, baik di ruang politik, sosial, ekonomi, pendidikan, sains, agama, budaya, dan seni Islam. Yang perlu digarisbawahi, istilah "mendistribusikan" tidak bermakna "menjadi penyalur kerja", akan tetapi Madrasah menjadi pemantik embrio, jantung semangat yang terus berdegub di dada para siswa dan lulusannya.
Pertanyaannya, apakah Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II sampai pertengahan abad ini telah mampu "mendistribusikan" para amilun-nya ke relung-relung kehidupan masyarakat? Jika sudah mampu, maka follow up yang penting dipikirkan adalah institusionalisasi para amilun tersebut dalam kerangka sistem yang lebih rapi, memiliki visi yang cerdas, dapat menyerap persoalan-persoalan masyarakat, dan mampu menebar solusinya sekaligus---meminjam bahasa Antonio Gramsci, menjadi "intelektual organik".
Ada contoh teknis yang paling konkrit. Kita punya alumni atau lulusan yang handal dan cerdas di bidang ilmu kimia, yaitu Ahmad Kholish Ghalib. Laporan penelitian akhir di Kampus S1 terkait dengan Cara Membuat Plastik Berbahan Ketela Pohon (sabrang). Namun mengapa Kholish tidak melanjutkan penelitiannya tersebut, sampai benar-benar bisa membuat plastik sebagai komoditas, yang tentu saja hal tersebut akan bermanfaat bagi Kholish sendiri dan juga Madrasah? Mengapa Khalis masih belum terangsang untuk meng"institusionalkan" hasil penelitiannya menjadi lebih sistematis, sehingga dapat lebih bermanfaat untuk masyarakat?-----------> saya tahu, khalish akan berbisik pada saya bila membaca tulisan ini, "institusionalisasi" iye phei, bhendhana ban se alakoa uyyy!
Ketiga, Madrasah mampu menumbuhkan rasa ingin belajar dan rasa ingin tahu masyarakat, yang kemudian dilanjutkan dengan rasa ingin berbuat dan bermanfaat . Tugas Madrasah berikutnya adalah mampu mempola generasinya dan seluruh perangkatnya agar dalam proses amaliyah (menjadi amilun) pendidikan dan ilmu pengetahuan tidak ditunggangi oleh kepentingan (interest) hedonistik, kapitalisasi pendidikan, dan tenaga Madrasah yang cenderung menganggap bahwa Madrasah adalah tempat bekerja bukan tempat mengabdi---dalam bahasa Nabi Muhammad Saw. disebut "al-amiluna halka illa al-mukhlisun"
Tentu kita tidak perlu berdebat tentang, apa itu ikhlas? Ukuran paling sederhana amilun yang mukhlishun dalam sebuah institusi pendidikan: (1). Tidak memanfaatkan Madrasah untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok, apalagi kepentingan partai politik. (2). Bertindak hanya untuk kemajuan Madrasah dan Murid. (3). Tidak memikirkan kesejahteraan pribadi, tetapi peduli terhadap kesejahteraan orang lain. (4). Demi kepentingan Madrasah, tidak memperuncing perbedaan dan konflik, akan tetapi menjunjung persamaan yang bermartabat.
Pertanyaannya kemudian, apakah di lingkungan Madrasah Nasy'atul Muta'allimin II sampai hari ini sudah merealisasikan amilun yang mukhlishun? Jika sudah, kita perlu menebarkan manfaat sebanyak-banyaknya sebisa mungkin. Sebab tiga hal tersebut adalah pencapaian puncak dari sebuah pendidikan Madrasah. Akhirnya, seorang penyair dari Singkawang, Hanna Fransisca pernah bergaung melalui puisinya: Pulanglah sayang, ke Singkawang/ ketemu sanak kerabat/ di kuburan./ Rumah kita/ rumah ingatan. Diterbangkan angin/ di atas nisan. Leluhur menunggu/ dupa dan tungku. Anak dan cicit/ jumlah seribu./ Burung elang membangun sarang. Di celah/ bukit ia berdendang. Menjulang langit/ ia memandang/ leluhur singkawang memanggil pulang.***
NB. Tulisan ini sebatas refleksi biasa seorang alumni yang mencintai almamaternya, tidak bermaksud untuk menggurui, apalagi mengkritik.
0 comments :
Post a Comment