Oleh : Khairul Umam*
Selasa malam (24/11), suasana hangat semakin menjadi mengiringi diskusi ringan dengan diikuti canda tawa dari budayawan yang hadir di Rumah Adat Sumenep. Malam membawa hening dan dingin sama sekali tak membuat kami surut. Diskusi mengalir seperti air dengan didahului pembukaan oleh Hidayat Raharja, salah satu penyair seneor di Sumenep. Ini adalah diskusi kedua yang diadakan Forum Bias setelah melewati masa vakumnya.
Pada malam itu diskusi menghadirkan Sofyan RH Zaid, seorang penyair kelahiran Sumenep yang saat ini bermukim di Bekasi dan kebetulan sedang pulang kampung karena ayahnya meninggal dunia (Allah yarhamhu). Akhir-akhir ini namanya memang tidak asing di dunia kepenyairan lantaran antologi tunggalnya “Pagar Kenabian” yang menggemparkan dan fenomenal. Antologi pertamanya sering dikaitkan dengan sebuah genre baru dalam jagat kepenyairan meski pun ada juga yang berpendapat bahwa hal seperti itu hanyalah daur ulang dari sebuah model yang berkembang di pesantren. Berbagai polemik pun hadir baik di media cetak, diskusi dan media sosial lainnya. Namun, bagaimana pun antologi tersebut merupakan sebuah ikhtiar dalam mencoba sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal dalam sejarah sastra Indonesia.
Sebagai puisi pagar—begitulah penyairnya menyebut puisinya—ia hadir dalam sebuah ruang dan konteksnya sendiri. Di satu sisi sebagai pengejawantahan dari sastra pesantren yang selama ini terpinggirkan, namun di sisi yang berbeda ia adalah puisi yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan kriteria-kriteria yang dimilikinya. Di sinilah keunikan puisi pagar Sofyan hadir. Ia mewadahi dua tradisi yang sama sekali berdea dan dicoba didamaikan dalam satu wadah.
Ibtida’
Sebagai seorang santri, Sofyan sangat paham bagaimana cara menjaga ilmu dan mengembangkannya baik di lingkungan pesantren atau pun di luar. Sejak kecil mendapatkan pendidikan di Pesantren membuat karakter kepesantrenan tidak hanya menjadi sebuah teori yang jelimet, tapi menjadi pengalaman yang mendarah daging.
Dalam memandang kreasi dan inovasi ternyata dia tidak lepas dari konsep ibtida’ yang menjadi model utama dalam dunia Pesantren. Dia paham bagaimana menjadi seorang pengikut dari sebuah aliran (itba’) atau menjadi pembaharu (ibda’) yang mungkin mempunyai idealisme tinggi namun tidak disertai dengan dasar kuat sehingga mudah rontok dan terkesan dipaksakan. Maka, jalan ibtida’ menjadi satu-satunya cara baginya untuk memulai kreasi dan inovasi dalam dunia kepenyairan.
Ibtida’ adalah sebuah pembaharuan yang tidak serta-merta melupakan asal-muasal. Ia adalah usaha untuk mempercantik dengan beberapa lipstik baru tanpa menghilangkan unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (nature). Inilah cara tepat untuk membuat sebuah pesona unik namun menyejukkan.
Sebagai penemuan, puisi pagar mungkin tidak betul-betul baru seperti diakui oleh penulisnya. Ia merupakan daur ulang (to discovery) sesuatu yang sudah ada dengan beberapa perubahan komposisi, kemudian dilahirkan kembali dalam bentuknya yang tidak betul-betul baru namun juga tidak betul-betul klise. Puisi Pagar ini ibarat sebuah kota tua yang dibangun di tengah kota metropolitan dengan hingar-bingar musik, sorot lampu kota yang berpijar di sekitarnya, lalu lalang kendaraan dan manusia. Rasa aneh, rindu, asyik, segar dan sejuk bergumul ketika membacanya hingga menawarkan kesegaran tersendiri. Maka, membaca puisi pagar pembaca akan seperti berada di tengah-tengah Malioboro atau Braga. Ah...
Falsafah Pohon
Namun, sebagai sebuah karya yang mampu membuat dunia sastra bergetar Sofyan buknalah tipe seseorang yang model kesuksesannya seperti tangga, naik setahap demi setahap pada anak tangga yang harus dilaluinya dengan tenang dan sabar dan kemudian meninggalkan anak tangga yang paling bawah. Itu bukanlah karakter Pesantren yang telah membesarkan dan membentuknya. Baginya, disadari atau tidak, pohonlah sebagai falsafah hidup yang pas.
Sebagai sebuah pohon yang terus tumbuh dan melahirkan cabang dan ranting baru dengan pucuk yang terus baru hingga berbunga, mekar dan berseri-seri ia adalah bagian sebuah proses panjang yang satu dengan lainnya saling terlibat. Namun, paling penting di antara semua proses itu adalah akar tunggang yang terus setia mencari makan dan mengirimkannya hingga ke bunga yang sendang melambai ringan. Dalam dunia pesantren istilah yang paling familiar adalah barokah.
Maka, dia menyadari bahwa keberhasilannya bukan hanya karena menemukan model dalam mendaur ulang (to discovery) namun di balik itu ada faktor kesejarahan yang sudah lama tertanam dan kokoh mencengkeram tanah. Dari sinilah kemudian dia terus bangkit dan terus mekar. Seandainya sejarah itu dihilangkan dan dia mencoba terbang maka saya tidak yakin dia akan tetap di tempatnya atau terbang tambah tinggi. Mungkin saja akan hilang haluan dan pada akhirnya terjatuh di tengah hutan tanpa seorang pun menemukan. Namun, sebagai seorang penyair berlatar Pesantren dengan terus terang dia mengakui bahwa sampai sekarang pun akar itu akan tetap dijaga dan menyiramnya hingga semakin makar dan terus mekar. Lalu, dengan suara lirih tapi pasti dia berkata, “mungkin dengan cara inilah saya bisa mengabarkan bahwa pesantren juga mempunyai sastra.”
Terakhir, saya akan mengutip salah satu statusnya yang sangat mengguggah. “Kesetiaan adalah botol kecap; kecapnya boleh tumpah di mana saja asal botolnya kembali ke dapur yang sama.”Semoga.
* penulis sekretaris MWC NU Gapura dan Guru di MA Nasa1. Tulisannya telah dimuat di media local dan Nasional.
Selasa malam (24/11), suasana hangat semakin menjadi mengiringi diskusi ringan dengan diikuti canda tawa dari budayawan yang hadir di Rumah Adat Sumenep. Malam membawa hening dan dingin sama sekali tak membuat kami surut. Diskusi mengalir seperti air dengan didahului pembukaan oleh Hidayat Raharja, salah satu penyair seneor di Sumenep. Ini adalah diskusi kedua yang diadakan Forum Bias setelah melewati masa vakumnya.
Pada malam itu diskusi menghadirkan Sofyan RH Zaid, seorang penyair kelahiran Sumenep yang saat ini bermukim di Bekasi dan kebetulan sedang pulang kampung karena ayahnya meninggal dunia (Allah yarhamhu). Akhir-akhir ini namanya memang tidak asing di dunia kepenyairan lantaran antologi tunggalnya “Pagar Kenabian” yang menggemparkan dan fenomenal. Antologi pertamanya sering dikaitkan dengan sebuah genre baru dalam jagat kepenyairan meski pun ada juga yang berpendapat bahwa hal seperti itu hanyalah daur ulang dari sebuah model yang berkembang di pesantren. Berbagai polemik pun hadir baik di media cetak, diskusi dan media sosial lainnya. Namun, bagaimana pun antologi tersebut merupakan sebuah ikhtiar dalam mencoba sesuatu yang sebelumnya tidak dikenal dalam sejarah sastra Indonesia.
Sebagai puisi pagar—begitulah penyairnya menyebut puisinya—ia hadir dalam sebuah ruang dan konteksnya sendiri. Di satu sisi sebagai pengejawantahan dari sastra pesantren yang selama ini terpinggirkan, namun di sisi yang berbeda ia adalah puisi yang ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan kriteria-kriteria yang dimilikinya. Di sinilah keunikan puisi pagar Sofyan hadir. Ia mewadahi dua tradisi yang sama sekali berdea dan dicoba didamaikan dalam satu wadah.
Ibtida’
Sumber Gambar: kompasiana.com |
Sebagai seorang santri, Sofyan sangat paham bagaimana cara menjaga ilmu dan mengembangkannya baik di lingkungan pesantren atau pun di luar. Sejak kecil mendapatkan pendidikan di Pesantren membuat karakter kepesantrenan tidak hanya menjadi sebuah teori yang jelimet, tapi menjadi pengalaman yang mendarah daging.
Dalam memandang kreasi dan inovasi ternyata dia tidak lepas dari konsep ibtida’ yang menjadi model utama dalam dunia Pesantren. Dia paham bagaimana menjadi seorang pengikut dari sebuah aliran (itba’) atau menjadi pembaharu (ibda’) yang mungkin mempunyai idealisme tinggi namun tidak disertai dengan dasar kuat sehingga mudah rontok dan terkesan dipaksakan. Maka, jalan ibtida’ menjadi satu-satunya cara baginya untuk memulai kreasi dan inovasi dalam dunia kepenyairan.
Ibtida’ adalah sebuah pembaharuan yang tidak serta-merta melupakan asal-muasal. Ia adalah usaha untuk mempercantik dengan beberapa lipstik baru tanpa menghilangkan unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (nature). Inilah cara tepat untuk membuat sebuah pesona unik namun menyejukkan.
Sebagai penemuan, puisi pagar mungkin tidak betul-betul baru seperti diakui oleh penulisnya. Ia merupakan daur ulang (to discovery) sesuatu yang sudah ada dengan beberapa perubahan komposisi, kemudian dilahirkan kembali dalam bentuknya yang tidak betul-betul baru namun juga tidak betul-betul klise. Puisi Pagar ini ibarat sebuah kota tua yang dibangun di tengah kota metropolitan dengan hingar-bingar musik, sorot lampu kota yang berpijar di sekitarnya, lalu lalang kendaraan dan manusia. Rasa aneh, rindu, asyik, segar dan sejuk bergumul ketika membacanya hingga menawarkan kesegaran tersendiri. Maka, membaca puisi pagar pembaca akan seperti berada di tengah-tengah Malioboro atau Braga. Ah...
Falsafah Pohon
Namun, sebagai sebuah karya yang mampu membuat dunia sastra bergetar Sofyan buknalah tipe seseorang yang model kesuksesannya seperti tangga, naik setahap demi setahap pada anak tangga yang harus dilaluinya dengan tenang dan sabar dan kemudian meninggalkan anak tangga yang paling bawah. Itu bukanlah karakter Pesantren yang telah membesarkan dan membentuknya. Baginya, disadari atau tidak, pohonlah sebagai falsafah hidup yang pas.
Sebagai sebuah pohon yang terus tumbuh dan melahirkan cabang dan ranting baru dengan pucuk yang terus baru hingga berbunga, mekar dan berseri-seri ia adalah bagian sebuah proses panjang yang satu dengan lainnya saling terlibat. Namun, paling penting di antara semua proses itu adalah akar tunggang yang terus setia mencari makan dan mengirimkannya hingga ke bunga yang sendang melambai ringan. Dalam dunia pesantren istilah yang paling familiar adalah barokah.
Maka, dia menyadari bahwa keberhasilannya bukan hanya karena menemukan model dalam mendaur ulang (to discovery) namun di balik itu ada faktor kesejarahan yang sudah lama tertanam dan kokoh mencengkeram tanah. Dari sinilah kemudian dia terus bangkit dan terus mekar. Seandainya sejarah itu dihilangkan dan dia mencoba terbang maka saya tidak yakin dia akan tetap di tempatnya atau terbang tambah tinggi. Mungkin saja akan hilang haluan dan pada akhirnya terjatuh di tengah hutan tanpa seorang pun menemukan. Namun, sebagai seorang penyair berlatar Pesantren dengan terus terang dia mengakui bahwa sampai sekarang pun akar itu akan tetap dijaga dan menyiramnya hingga semakin makar dan terus mekar. Lalu, dengan suara lirih tapi pasti dia berkata, “mungkin dengan cara inilah saya bisa mengabarkan bahwa pesantren juga mempunyai sastra.”
Terakhir, saya akan mengutip salah satu statusnya yang sangat mengguggah. “Kesetiaan adalah botol kecap; kecapnya boleh tumpah di mana saja asal botolnya kembali ke dapur yang sama.”Semoga.
* penulis sekretaris MWC NU Gapura dan Guru di MA Nasa1. Tulisannya telah dimuat di media local dan Nasional.
0 comments :
Post a Comment