Oleh : Arya Damar Kembang
Memilih Teman Yang Baik & Mengenal Batas-Batas Bergaul
Siapa yang senang berkumpul dengan pedagang minyak, maka ia akan kebagian harumnya--demikian adagium yang selalu dimunculkan oleh orang tua kita setiap memberi nasehat kepada anaknya. Pedagang minyak wangi sama halnya dengan teman kita yang memiliki perangai baik yang dapat membawa kita pada kemajuan, baik secara pikiran maupun moral. Mencari partner sebagai tempat untuk mencurahkan kegelisahan, tempat untuk numpang berkeluh kesah, haruslah mencari yang betul-betul dapat memberi motivasi dan mengantarkan kita pada ruang kreativitas yang lebih produktif.
Orang lain dapat dengan mudah menilai kita dengan melihat, dengan siapa kita berteman? Pergesekan seseorang dengan teman yang lain sama dengan gesekan antara buah beras yang satu dengan beras yang lainnya. Bahkan Rasulullah dengan sangat jelas menjelaskan resiko yang akan ditimbulkan oleh hubungan dengan teman dekat. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau membeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap”. (Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026).
Terdapat dua model teman yang dapat kita petik dari sabda Rasulullah. Pertama, teman yang mempunyai karakter pedagang minyak wangi. Ia dapat memberikan aroma wangi pada temannya yang lain, dapat memberi sentuhan demi sentuhan pengetahuan yang dapat bermanfaat, siapapun yang mendekatinya akan dipengaruhi oleh perangainya yang bermanfaat. Jika ia orang yang rajin ke mesjid, maka temannya akan selalu diajak ke mesjid. Jika ia adalah orang yang ramah dan rajin bershadaqah, maka temannya akan memiliki simpati kepada orang lain sebagaimana yang dimiliki oleh orang itu.
Seorang lelaki bernama Musyfiq, ia adalah seorang remaja yang cerdas, setiap kali mengikuti perlombaan pidato di kabupaten, ia selalu mendapatkan juara I, mengikuti lomba olimpiade fisika tingkat nasional, ia mendapatkan juara I. Setiap hari, Musyfiq selalu bergaul dengan Amir, seorang sarjana dari Universitas terkemuka di Malang. Amir sangat setia menemani Musyfiq dalam belajar. Amir selalu meminta Musyfiq untuk selalu tekun. Selain itu, Amir memberi penyadaran pada Musyfiq, jika di masa remaja ia tidak tekun bekajar, suatu saat ia akan menyesal.
Atas dasar pergesekan itu, Musyfiq betul-betul menjadi seorang remaja yang rajin dan tekun, disamping mempunyai kecerdasan yang lebih, punya otak ecer, ia juga difasilitasi yang lengkap oleh orang tuanya. Dibelikan komputer sebagai bahan latihan, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan Amir. Semenjak kelas I SMP, Musyfiq sudah menjadi kutu buku.
Melihat kegemilangan prestasi yang dicapai oleh Musyfiq, datanglah Yusqi, teman sekelas Musfik, ia ingin bergabung dengan Musyfiq, ia ingin belajar bersama, karena Yusqi merasa memiliki kesukaan yang sama. Kalau Musyfiq suka mata pelajaran fisika, Yusqi juga suka. Kalau Musyfiq suka membaca buku-buku detektif anak, Yusqi juga suka. Keduanya belajar bersama, setiap sore, keduanya datang ke rumah Amir, kadang juga Amir datang ke rumah Musyfiq.
5 tahun kemudian, setelah mereka terpisah dan melanjutkan pendidikan di perguruan tingga yang berbeda, juga mengalami perkembangan yang berbeda. Musyfiq mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jepang, karena potensi fisikanya diketahui oleh negara, sedangkan Yusqi berhenti kuliah karena terlibat kasus sabu-sabu dengan teman-temannya di sebuh hotel di kota Jakarta.
Itulah bahaya teman yang dapat mengakibatkan seseorang terperosok dalam jurang sesal. Musyfiq tetap melejitkan potensinya karena di kampus, ia tidak salah memilih teman bergaul. Sedangkan Yusqi telah menjebloskan dirinya pada teman-teman yang senang berpesta sabu-sabu sehingga pendidikannya terputus. Teman yang baik akan mengajak mereka pada ruang kegemilangan. Teman yang baik akan menebarkan aroma keindahan dalam kenangan semua orang.
Kedua, teman jahat yang dimetaforkan sebagai peniup api tukang besi. Ia akan menyeret pada jurang yang nista. Orang baik jika berteman yang jahat pada akhirnya akan menjadi jahat, karena baik dan tidaknya seseorang juga ditentukan oleh lingkungan yang membentuknya. Mereka mengutamakan kenikatan duniawi dari pada ukhrawi, mengutakan kesenangan yang bersifat sementara dari pada yang abadi. Bila kalian (para remaja) mencoba-coba untuk mendekati api atau bahkan meniup api ketika si pandai besi sedang membuat senjata, maka baju kalian akan terbakar oleh api merah yang meluap keluar, tubuh kalian menjadi bau kurang sedap di dekat mereka.
Kebanyakan manusia keliru dalam memilih lingkungan bergaul. Padahal, keliru dalam hal ini bisa berakibat fatal. Karena, seseorang akan cenderung mengikuti temannya, dan nantinya dia akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya. Sebagian orang membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang yang dianggap selevel dengan mereka, atau memilih orang-orang tertentu yang cocok untuk mereka. Tetapi, seringnya pertimbangan mereka dalam menentukan siapa yang cocok untuk mereka pergauli adalah keliru. Biasanya, pertimbangan mereka itu berdasarkan kepentingan dan kesenangan dunia. Jalinan hubungan mereka terdiri atas orientasi dunia, yang notabene melalaikan dari zikir kepada Allah. Adapun bagi orang muslim, ada tolok ukur lain dalam memilih tempat bergaul dan memilih teman sejati.
Nasehat penting pernah disampaikan Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata:
Hati-hatilah dari teman yang “jahat”, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung, mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati. Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari. Dan bisa mendekatkan diri pada Rabb-mu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu. (Baca juga: Muda, Muslim, dan Mandiri [1])
Maka perhatikanlah dengan detail teman-temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam, ada teman yang bisa memberikan manfaat, ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan) dan ada yang bisa memberikan keutamaan. Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Bakr Abdullah Abu Zaid, Hilyah Tholabul ‘ilmi, hlm. 47-48).
Karakter manusia selalu berupaya menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, apalagi remaja yang masih berada dalam kondisi labil, mereka akan gampang dipengaruhi oleh iklim yang berkembang, kecuali remaja yang sudah sejak dini mencoba menata diri. Bila kejahatan menjadi budaya di kalangan mereka, tak ada kaminan bagi mereka untuk tidak tergiur dengan berbagai tawaran-tawaran maupun iming-iming yang diberikan oleh “sang tukang besi”.
Penting kiranya untuk selalu bersikap waspada dari kalangan teman yang jahat, teman yang dapat berakibat fatal pada perjalanan kita ke depan. Berapa banyak remaja yang hidup dalam kegelapan, hanya karena pengaruh teman-temannya. Berapa banyak remaja yang hidup dilingkungan agama yang kuat, mereka menjadi rusak karena salah dalam pergaulan. Dalam varian kedua ini, remaja kita seolah dihadapkan pada sebuah dunia yang amat jahat, dunia yang dapat menyeret mereka pada kubangan gelap dan dalam.
Bila kadung terjatuh dalam jurang, image yang dibangun masyarakat akan selamanya jelek. Mereka hengkang memberikan apresiasi, bahkan di setiap kesempatan, pertemuan, remaja yang nakal itu selalu akan diwaspadai oleh masyarakat, karena sudah dianggap sebagai “sampah” yang akan menimbulkan pencemaran. Dalam konteks larangan berteman dengan orang yang jahat, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat An Nisaa' ayat 38:
Artinya: “.............Barangsiapa yang menjadikan syetan sebagai temannya, Maka syetan itu adalah teman yang seburuk-buruknya”.
Berteman syetan bukan kemudian dimaknai sebagai syetan sebagai makhluk halus sebagaimana yang kita bayangkan, perangai-perangai kesetanan juga banyak terjadi dalam diri manusia yakni manusia yang berjalan di lorong syetan, manusia yang jauh dari rel-rel yang telah digariskan oleh Allah Swt. Bahkan Allah memberikan ketegasan, teman yang demikian adalah teman yang buruk. Karakter yang dibentuk oleh lingkungan kita yang kompleks, lingkungan halus, lingkungan keras dan lingkungan yang dapat mengakibatkan pribadi menjadi tidak baik.
Setiap orang memiliki keputusan untuk keluar dari jalan yang dilakukan oleh masyarakat umum, pilihan itu kadang bukan karena temuan dirinya sendiri, melainkan hanya pengaruh yang diakibatkan oleh orang lain. Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman:
“Ketahuilah bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita. Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalarn hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya".
"Dan hendaklah kita memenuhi lima kriteria dalam memilih teman. Pertama, Cerdas (berakal). Kedua, Berakhlak baik. Tiga, Tidak fasiq. Empat, Bukan ahli bid’ah. Lima, Tidak rakus dunia. Kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kebaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu. Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak. Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya. Kalau ahli bid’ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid’ahannya itu”. (Ibnu Qudamah, Mukhtasor Minhajul Qasidin, hal. 99).
Dengan demikian, hendaklah kita menghindar dari teman-teman yang dapat membawa kita pada kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat. Apabila kita di dekati oleh teman yang memiliki perangaiu sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah, hendaklah kita menghindar pelan-pelan dengan tanpa menyakiti perasaannya. Sebab bila perasaan mereka tersakiti, justeru kita akan menjadi boomerang yang nantinya akan dijadikan sebagai musuh mereka. Pada lima macam orang yang telah disebutkan Ibnu Qudamah kita selalu belajar dari perangai-perangainya untuk memperbaiki diri, sebab potensi yang ada dalam diri juga berangkat dari pengaruh atau cerminan dari orang lain.
Terkadang hanya karena mengejar kesenangan di dunia, manusia mengorbankan kesenangan yang hakiki, yaitu ketika mereka salah dalam memilih teman duduk dan lingkungan pergaulan. Kebanyakan manusia lebih memilih teman yang bisa diajak bersenang-senang, hura-hura, dan menyia-nyiakan usia mereka ketimbang bergaul dengan orang yang baik, banyak berzikir, dan orang-orang yang takut kepada Allah. Karena, memang orang yang banyak zikir (orang-orang saleh) di mata masyarakat umum kurang disenangi, atau bahkan dianggap asing. Pandangan ini timbul karena masyarakat sudah mengalami krisis multidimensi, dan terutama adalah dekadensi moral yang sangat parah. Sehingga, orang yang seharusnya dijadikan teman duduk dan dipergauli justru dijauhi.
Padahal syarat untuk menjaga keimanan dan mempertahankan akidah adalah dengan selalu bergaul bersama orang-orang yang saleh dan memilih lingkungan pergaulan yang baik. Hal itu seperti yang dikisahkan oleh Rasulullah SAW tentang orang yang ingin bertobat padahal sudah membunuh 99 kali dan belum pernah melakukan kebaikan. Ketika bertanya kepada seorang rahib tentang peluang tobatnya, sang rahib mengatakan tidak ada lagi peluang untuk tobat, maka kemudian dibunuhlah rahib itu dan genaplah 100 nyawa yang yang melayang melalui tangannya.
Lalu, dia mendatangi seorang alim, kemudian orang alim itu memberikan kabar gembira bahwa Allah akan menerima tobat hamba yang bersungguh-sungguh. Hingga ahkirnya, orang alim itu menyuruh laki-laki tersebut untuk meninggalkan kampung halaman dan lingkungan pergaulannya yang dahulu, lalu berhijrah menuju perkampungan orang-orang saleh. Tetapi, Allah berkehendak lain. Di tengah-tengah perjalanan malaikat maut mencabut nyawanya. Akhirnya malaikat rahmat dan malaikat azab saling berebut tentang urusan laki-laki tersebut. Kemudian, malaikat rahmat diperkenankan membawanya. Karena, setelah diukur, ternyata jasad laki-laki itu lebih dekat jaraknya dengan perkampungan orang-orang yang saleh dibanding dengan lingkungannya yang dulu.
Kisah di atas hendaknya menjadi pelajaran bagi kita bahwa lingkungan yang baik dan bergaul dengan orang-orang saleh adalah sangat mutlak kita butuhkan untuk menjaga eksistensi keimanan. Oleh karena itu, dalam memilih teman dan lingkungan, kita harus selektif, yaitu memilih orang-orang saleh yang banyak berzikir, meskipun di mata manusia mereka bukanlah orang yang terpandang. Tetapi, di sisi Allah mereka mempunyai kedudukan yang tinggi. Mereka itulah yang hendaknya kita jadikan teman sejati. Agar efek samping yang kita dapatkan adalah kebaikan. Jangan sampai kita memilih teman dan lingkungan yang tidak baik, karena lambat laun dikhawatirkan kita akan tertular atau paling tidak ikut terkena getahnya. Ada pepatah Arab yang mengatakan “Akhlak yang buruk itu akan menular”.
Idealnya kita berteman dengan orang-orang yang kualitasnya jauh lebih baik, sehingga kita tidak merasa paling pintar dan paling saleh. Justeru kita akan merasa paling kurang. Saat berteman dengan orang-orang yang berkualitas, biasanya kita akan terangsang dan termotivasi untuk belajar dan mengejar ketertinggalan. Karena itu ada yang mengatakan, kalau kita ingin menjadi ulama maka bergaulah dengan ulama: ingin menjadi pedagang, maka bergaullah dengan para pedagang: ingin menjadi seniman, maka bergaullah dengan seniman.
***
Nampaknya amatlah penting membatasi pergaulan dengan orang yang sekiranya akan membawa kita pada ruang yang lebih terpuruk. Mempelajari biografi orang-orang gagal yang diakibatkan oleh terlalu intimnya dengan teman yang serlalu mengajak pada hal-hal negatif. Salah satu contoh adalah kisah Susi, seorang perempuan yang dibesarkan dalam keluarga agamis, setiap malam Susi diwajibkan berjamaah dan mengikuti pengajian di pesantren.
Karena di sekolah, Susi selalu bergaul dengan orang-orang yang nakal, maka pada akhirnya, Susi terjebak untuk ikut bersama mereka. Bahkan di suatu malam, Susi tidak pulang ke rumahnya, pamitnya dia sedang mengerjakan tugas di rumah temannya, kenyataannya, ia sedang melakukan hubungan seksual dengan seorang lelaki, yakni Asnawi, pacar susi. Di sekolah, Asnawi memang terkenal dengan lelaki play boy dan hidung belang. (Baca juga: Muda, Muslim, dan Mandiri [2])
Kisah itu dapat kita jadikan acuan agar kita lebih waspada dalam bergaul, meskipun hidup dalam keluarga agamis, jika teman-teman kita tak mendukung, ternyata tak menjadi jaminan seseorang memiliki sikap baik ke depan. Pergaulan bebas yang terjadi pada remaja kita belakangan ini bukan hanya dikarenakan mereka memiliki perangai yang nakal sejak kecil, tapi kebanyakan dibentuk di lingkungan teman-teman bergaul.
Setiap orang yang dapat bergaul dengan baik, dapat memperoleh buah pergaulan yang baik. Orang yang memiliki karakter baik tentunya tidak akan kerasan bergaul (terlalu intim) dengan orang yang tidak baik. Setuap orang mengalami proses panjang, di mana dinamika kehidupan dapat membentuk cara gerak dan cara pergaulannya masing-masing. Secara subyektif manusia pun diharapkan mampu memiliki kualitas pribadi yang membuat semua orang mengenali bahwa diri kita adalah sosok yang baik.
Membatasi pergaulan dengan orang-orang yang nakal akan lebih selamat, kecuali bagi remaja kita yang memiliki benteng pertahanan yang kuat sehingga apabila terdapat terpaan kencang dari teman-teman yang nakal itu, kita bisa menolak dengan tegas. Kita sadar bahwa tak setiap perbuatan orang kita klaim jelek semua, pasti ada sisi-sisi positif yang dapat diambil hikmahnya. Jadikan orang lain sebagai cermin untuk memandang diri kita agar semakin dekat dengan Tuhan.
Memilih atau membatasi pertemanan bukan karena tendensi kekayaan atau keturunan orang-orang terhormat, karena yang demikian berarti batasan-batasan yang kita ambil tidaklah obyektif. Memilih teman yang dimotivasi oleh cara pandang duniawi hanya akan membuat kita makin celaka. Ibnu Abbas pernah mengungkapkan, janganlah engkau mengabaikan mereka karena orang lain. Yakni engkau mencari ganti mereka dengan orang-orang terhormat dan yang banyak kekayaannya. Tendensi yang demikian sama halnya kita seperti dajjal yang bermata satu, hanya tergiur pada kekayaan duniawi yang justeru akan lebih menipu diri kita.
Terdapat enam cara membatasi pergaulan dengan teman yang nakal :
1. Menghindar dengan cara yang halus sehingga tak menimbulkan perasaan terhadap teman yang kita batasi pergaulannya itu.
2. Bila kita kadung kenal dan diajak pada hal-hal yang negatif, tolaklah dengan cara yang halus pula, buatlah alasan-alasan untuk menghindari. Bila teman kita itu memaksa, maka hendaklah bersikap tegas dalam menolak.
3. Aturlah pertemuan kalian dengan mereka, hindari pertemuan rutin yang menimbulkan gesekan-gesekan mengkhawatirkan kalian terpengaruh ajakan mereka.
4. Lihatlah perangai-perangainya, kadang teman kita suka bertopeng, di depan kita bersikap baik, tapi menyimpan kebusukan yang nyinyir di hatinya.
5. Agar kalian termasuk teman yang disungkani oleh mereka, perlakukanlah mereka sebagaimana teman-teman yang baik di hadapan orang banyak. Hindari sikap cuek pada siapapun, tampakkan keramahan pada semua teman.
6. Jika kalian mempunyai kesempatan, ajaklah mereka pada jalan yang lebih baik.
Bila kita dapat melaksanakan enam varian penting tersebut, teman-teman yang pada mulanya selalu mengajak kita pada hal-hal negatif, mereka tentunya akan berpikir dan selalu mengevaluasi dirinya. Bagaimana kita mampu menampakkan keberhasilan kita dari bidang kreatifitas, misalnya kemampuan menempuh pengetahuan, menang dalam lomba-lomba yang diadalan di sekolah, buktikan bahwa diri kita lebih baik dari mereka.
Apalagi kita dapat mempengaruhi teman, yang pada mulanya mereka tidak baik, dengan sikap baik kita, mereka bisa mengikuti jalan yang kita tempuh. Namun bagaimanapun kita tidak boleh memaksakan kehendak bagi mereka untuk menghindari konflik-konflik yang tidak diinginkan. Sesungguhnya teman yang positif adalah mereka yang selalu wa tawa shau bi al-haqqi wa tawa shau bi al-shabri yakni mengajak pada kebaikan dan kesabaran.
Kebanyakan manusia keliru dalam memilih lingkungan bergaul. Padahal, keliru dalam hal ini bisa berakibat fatal. Karena, seseorang akan cenderung mengikuti temannya dan nantinya dia akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya. Sebagian orang membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang yang dianggap selevel dengan mereka, atau memilih orang-orang tertentu yang cocok untuk mereka. Tetapi, seringnya pertimbangan mereka dalam menentukan siapa yang cocok untuk mereka pergauli adalah keliru. Biasanya, pertimbangan mereka itu berdasarkan kepentingan dan kesenangan dunia. Jalinan hubungan mereka terdiri atas orientasi dunia, yang notabene melalaikan dari zikir kepada Allah. Adapun bagi orang muslim, ada tolok ukur lain dalam memilih tempat bergaul dan memilih teman sejati.
Masalah yang timbul dalam lingkup pertemanan adalah sinkronisasi. Disadari atau tidak, seorang remaja akan lebih direspon dan diakui eksistensinya ketika ia sinkron dengan teman atau kelompoknya dalam berbagai aspek. Saat mayoritas pelajar dalam satu kelas terbiasa datang terlambat, maka eksistensi pelajar yang senang tepat waktu dalam lingkungan tersebut terasa tidak bersahabat.
Dalam keadaan seperti ini, kecenderungan remaja lebih memilih untuk meninggalkan kebiasaannya dan mengikuti kelompoknya. Atau jika lingkungannya terbiasa dengan hal positif. Yang menjadi masalah di sini bukanlah perubahan dari kebiasaan negatif menuju positif, tapi tidak tentunya kepribadian. Yang imbasnya akan timbul ketergantungan pada lingkungan yang dan dikhawatirkan adalah ketika remaja tersebut kembali pada lngkungan negatif. Dan inti permasalahannya adalah eksistensi remaja tersebut dikendalikan oleh lingkungan, yang idealnya dialah yang mengendalikan, minimalnya untuk dirinya sendiri, dan lebihnya untuk lingkungan. (Baca juga; Muda, Muslim, dan Mandiri [3])
Dengan semua realita seperti ini, (dalam lingkkup teman), seringkali timbul anggapan bahwa solusi terbaik adalah menjauhi semua teman yang cenderung negatif, dan mencari teman dengan segala sifat positif. Akan tetapi timbul masalah baru, bukankah dengan cara seperti ini telah benar-benar lahir anggapan bahwa pada orang-orang yang dianggap baik telah benar-benar terdapat sifat baik yang absolut, dan dalam orang-oang yang dianggap negatif benar-benar terdapat sifat buruk yang absolut? Jika dihadapkan dengan konsep yang ideal, bukankah setiap otrang mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing? Dengan demikian, maka peran remaja yang terpenting di sini bagaimana menempatkan eksistensinya sebagai teman yang benar-benar teman, dalam artian dapat menemani temannya dalam waktu yang dibutuhkan. Ketika ada beberapa pelajar yang sering terlambat, maka pada dasarnya pelajar tersebut membutuhkan teman yang dapat mengatasi keterlambatannya.
Memang kita sangat senang dengan banyak teman. Manusia tidak bisa hidup sendiri, sehingga disebut sebagai makhluk sosial. Tetapi itu bukan berarti, seseorang boleh semaunya bergaul dengan sembarang orang menurut selera nafsunya. Sebab, teman adalah personifikasi diri. Manusia selalu memilih teman yang mirip dengannya dalam hobi, kecenderungan, pandangan, pemikiran. Karena itu, Islam memberi batasan-batasan yang jelas dalam soal pertemanan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.: Jangan berteman, kecuali dengan orang mukmin, dan jangan memakan makanan kecuali makanan teman yang bertakwa. (HR. Ahmad dihasankan oleh al-Albani).
Teman yang mukmin selalu mengajak kita pada kegiatan-kegiatan yang memabawa pada realitas ukhrawi, teman mukmin tak akan pernah menipu kita untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Sejatinya orang mukmin selalu menginginkan dirinya dan teman-temannya berada di luar garis syetan yang selalu membelenggu. Makanan orang yang bertakwa selalu berusaha sederhana dan jauh dari perkara-perkara haram, jauh dari tipu muslihat yang secara fisik menampakkan kenyamanan, tapi esensinya mengandung racun terhadap hati nurani.***
Sumber Gambar: soktau.com |
Memilih Teman Yang Baik & Mengenal Batas-Batas Bergaul
Siapa yang senang berkumpul dengan pedagang minyak, maka ia akan kebagian harumnya--demikian adagium yang selalu dimunculkan oleh orang tua kita setiap memberi nasehat kepada anaknya. Pedagang minyak wangi sama halnya dengan teman kita yang memiliki perangai baik yang dapat membawa kita pada kemajuan, baik secara pikiran maupun moral. Mencari partner sebagai tempat untuk mencurahkan kegelisahan, tempat untuk numpang berkeluh kesah, haruslah mencari yang betul-betul dapat memberi motivasi dan mengantarkan kita pada ruang kreativitas yang lebih produktif.
Orang lain dapat dengan mudah menilai kita dengan melihat, dengan siapa kita berteman? Pergesekan seseorang dengan teman yang lain sama dengan gesekan antara buah beras yang satu dengan beras yang lainnya. Bahkan Rasulullah dengan sangat jelas menjelaskan resiko yang akan ditimbulkan oleh hubungan dengan teman dekat. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau membeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap”. (Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026).
Terdapat dua model teman yang dapat kita petik dari sabda Rasulullah. Pertama, teman yang mempunyai karakter pedagang minyak wangi. Ia dapat memberikan aroma wangi pada temannya yang lain, dapat memberi sentuhan demi sentuhan pengetahuan yang dapat bermanfaat, siapapun yang mendekatinya akan dipengaruhi oleh perangainya yang bermanfaat. Jika ia orang yang rajin ke mesjid, maka temannya akan selalu diajak ke mesjid. Jika ia adalah orang yang ramah dan rajin bershadaqah, maka temannya akan memiliki simpati kepada orang lain sebagaimana yang dimiliki oleh orang itu.
Seorang lelaki bernama Musyfiq, ia adalah seorang remaja yang cerdas, setiap kali mengikuti perlombaan pidato di kabupaten, ia selalu mendapatkan juara I, mengikuti lomba olimpiade fisika tingkat nasional, ia mendapatkan juara I. Setiap hari, Musyfiq selalu bergaul dengan Amir, seorang sarjana dari Universitas terkemuka di Malang. Amir sangat setia menemani Musyfiq dalam belajar. Amir selalu meminta Musyfiq untuk selalu tekun. Selain itu, Amir memberi penyadaran pada Musyfiq, jika di masa remaja ia tidak tekun bekajar, suatu saat ia akan menyesal.
Atas dasar pergesekan itu, Musyfiq betul-betul menjadi seorang remaja yang rajin dan tekun, disamping mempunyai kecerdasan yang lebih, punya otak ecer, ia juga difasilitasi yang lengkap oleh orang tuanya. Dibelikan komputer sebagai bahan latihan, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan Amir. Semenjak kelas I SMP, Musyfiq sudah menjadi kutu buku.
Melihat kegemilangan prestasi yang dicapai oleh Musyfiq, datanglah Yusqi, teman sekelas Musfik, ia ingin bergabung dengan Musyfiq, ia ingin belajar bersama, karena Yusqi merasa memiliki kesukaan yang sama. Kalau Musyfiq suka mata pelajaran fisika, Yusqi juga suka. Kalau Musyfiq suka membaca buku-buku detektif anak, Yusqi juga suka. Keduanya belajar bersama, setiap sore, keduanya datang ke rumah Amir, kadang juga Amir datang ke rumah Musyfiq.
5 tahun kemudian, setelah mereka terpisah dan melanjutkan pendidikan di perguruan tingga yang berbeda, juga mengalami perkembangan yang berbeda. Musyfiq mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Jepang, karena potensi fisikanya diketahui oleh negara, sedangkan Yusqi berhenti kuliah karena terlibat kasus sabu-sabu dengan teman-temannya di sebuh hotel di kota Jakarta.
Itulah bahaya teman yang dapat mengakibatkan seseorang terperosok dalam jurang sesal. Musyfiq tetap melejitkan potensinya karena di kampus, ia tidak salah memilih teman bergaul. Sedangkan Yusqi telah menjebloskan dirinya pada teman-teman yang senang berpesta sabu-sabu sehingga pendidikannya terputus. Teman yang baik akan mengajak mereka pada ruang kegemilangan. Teman yang baik akan menebarkan aroma keindahan dalam kenangan semua orang.
Kedua, teman jahat yang dimetaforkan sebagai peniup api tukang besi. Ia akan menyeret pada jurang yang nista. Orang baik jika berteman yang jahat pada akhirnya akan menjadi jahat, karena baik dan tidaknya seseorang juga ditentukan oleh lingkungan yang membentuknya. Mereka mengutamakan kenikatan duniawi dari pada ukhrawi, mengutakan kesenangan yang bersifat sementara dari pada yang abadi. Bila kalian (para remaja) mencoba-coba untuk mendekati api atau bahkan meniup api ketika si pandai besi sedang membuat senjata, maka baju kalian akan terbakar oleh api merah yang meluap keluar, tubuh kalian menjadi bau kurang sedap di dekat mereka.
Sumber Gambar: kakakdikes |
Kebanyakan manusia keliru dalam memilih lingkungan bergaul. Padahal, keliru dalam hal ini bisa berakibat fatal. Karena, seseorang akan cenderung mengikuti temannya, dan nantinya dia akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya. Sebagian orang membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang yang dianggap selevel dengan mereka, atau memilih orang-orang tertentu yang cocok untuk mereka. Tetapi, seringnya pertimbangan mereka dalam menentukan siapa yang cocok untuk mereka pergauli adalah keliru. Biasanya, pertimbangan mereka itu berdasarkan kepentingan dan kesenangan dunia. Jalinan hubungan mereka terdiri atas orientasi dunia, yang notabene melalaikan dari zikir kepada Allah. Adapun bagi orang muslim, ada tolok ukur lain dalam memilih tempat bergaul dan memilih teman sejati.
Nasehat penting pernah disampaikan Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata:
Hati-hatilah dari teman yang “jahat”, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung, mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati. Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari. Dan bisa mendekatkan diri pada Rabb-mu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu. (Baca juga: Muda, Muslim, dan Mandiri [1])
Maka perhatikanlah dengan detail teman-temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam, ada teman yang bisa memberikan manfaat, ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan) dan ada yang bisa memberikan keutamaan. Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Bakr Abdullah Abu Zaid, Hilyah Tholabul ‘ilmi, hlm. 47-48).
Karakter manusia selalu berupaya menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, apalagi remaja yang masih berada dalam kondisi labil, mereka akan gampang dipengaruhi oleh iklim yang berkembang, kecuali remaja yang sudah sejak dini mencoba menata diri. Bila kejahatan menjadi budaya di kalangan mereka, tak ada kaminan bagi mereka untuk tidak tergiur dengan berbagai tawaran-tawaran maupun iming-iming yang diberikan oleh “sang tukang besi”.
Penting kiranya untuk selalu bersikap waspada dari kalangan teman yang jahat, teman yang dapat berakibat fatal pada perjalanan kita ke depan. Berapa banyak remaja yang hidup dalam kegelapan, hanya karena pengaruh teman-temannya. Berapa banyak remaja yang hidup dilingkungan agama yang kuat, mereka menjadi rusak karena salah dalam pergaulan. Dalam varian kedua ini, remaja kita seolah dihadapkan pada sebuah dunia yang amat jahat, dunia yang dapat menyeret mereka pada kubangan gelap dan dalam.
Bila kadung terjatuh dalam jurang, image yang dibangun masyarakat akan selamanya jelek. Mereka hengkang memberikan apresiasi, bahkan di setiap kesempatan, pertemuan, remaja yang nakal itu selalu akan diwaspadai oleh masyarakat, karena sudah dianggap sebagai “sampah” yang akan menimbulkan pencemaran. Dalam konteks larangan berteman dengan orang yang jahat, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat An Nisaa' ayat 38:
Artinya: “.............Barangsiapa yang menjadikan syetan sebagai temannya, Maka syetan itu adalah teman yang seburuk-buruknya”.
Berteman syetan bukan kemudian dimaknai sebagai syetan sebagai makhluk halus sebagaimana yang kita bayangkan, perangai-perangai kesetanan juga banyak terjadi dalam diri manusia yakni manusia yang berjalan di lorong syetan, manusia yang jauh dari rel-rel yang telah digariskan oleh Allah Swt. Bahkan Allah memberikan ketegasan, teman yang demikian adalah teman yang buruk. Karakter yang dibentuk oleh lingkungan kita yang kompleks, lingkungan halus, lingkungan keras dan lingkungan yang dapat mengakibatkan pribadi menjadi tidak baik.
Setiap orang memiliki keputusan untuk keluar dari jalan yang dilakukan oleh masyarakat umum, pilihan itu kadang bukan karena temuan dirinya sendiri, melainkan hanya pengaruh yang diakibatkan oleh orang lain. Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman:
“Ketahuilah bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita. Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalarn hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya".
Sumber Gambar: mediataqwa |
"Dan hendaklah kita memenuhi lima kriteria dalam memilih teman. Pertama, Cerdas (berakal). Kedua, Berakhlak baik. Tiga, Tidak fasiq. Empat, Bukan ahli bid’ah. Lima, Tidak rakus dunia. Kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kebaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu. Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak. Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya. Kalau ahli bid’ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid’ahannya itu”. (Ibnu Qudamah, Mukhtasor Minhajul Qasidin, hal. 99).
Dengan demikian, hendaklah kita menghindar dari teman-teman yang dapat membawa kita pada kesengsaraan, baik di dunia maupun di akhirat. Apabila kita di dekati oleh teman yang memiliki perangaiu sebagaimana yang disebutkan Ibnu Qudamah, hendaklah kita menghindar pelan-pelan dengan tanpa menyakiti perasaannya. Sebab bila perasaan mereka tersakiti, justeru kita akan menjadi boomerang yang nantinya akan dijadikan sebagai musuh mereka. Pada lima macam orang yang telah disebutkan Ibnu Qudamah kita selalu belajar dari perangai-perangainya untuk memperbaiki diri, sebab potensi yang ada dalam diri juga berangkat dari pengaruh atau cerminan dari orang lain.
Terkadang hanya karena mengejar kesenangan di dunia, manusia mengorbankan kesenangan yang hakiki, yaitu ketika mereka salah dalam memilih teman duduk dan lingkungan pergaulan. Kebanyakan manusia lebih memilih teman yang bisa diajak bersenang-senang, hura-hura, dan menyia-nyiakan usia mereka ketimbang bergaul dengan orang yang baik, banyak berzikir, dan orang-orang yang takut kepada Allah. Karena, memang orang yang banyak zikir (orang-orang saleh) di mata masyarakat umum kurang disenangi, atau bahkan dianggap asing. Pandangan ini timbul karena masyarakat sudah mengalami krisis multidimensi, dan terutama adalah dekadensi moral yang sangat parah. Sehingga, orang yang seharusnya dijadikan teman duduk dan dipergauli justru dijauhi.
Padahal syarat untuk menjaga keimanan dan mempertahankan akidah adalah dengan selalu bergaul bersama orang-orang yang saleh dan memilih lingkungan pergaulan yang baik. Hal itu seperti yang dikisahkan oleh Rasulullah SAW tentang orang yang ingin bertobat padahal sudah membunuh 99 kali dan belum pernah melakukan kebaikan. Ketika bertanya kepada seorang rahib tentang peluang tobatnya, sang rahib mengatakan tidak ada lagi peluang untuk tobat, maka kemudian dibunuhlah rahib itu dan genaplah 100 nyawa yang yang melayang melalui tangannya.
Lalu, dia mendatangi seorang alim, kemudian orang alim itu memberikan kabar gembira bahwa Allah akan menerima tobat hamba yang bersungguh-sungguh. Hingga ahkirnya, orang alim itu menyuruh laki-laki tersebut untuk meninggalkan kampung halaman dan lingkungan pergaulannya yang dahulu, lalu berhijrah menuju perkampungan orang-orang saleh. Tetapi, Allah berkehendak lain. Di tengah-tengah perjalanan malaikat maut mencabut nyawanya. Akhirnya malaikat rahmat dan malaikat azab saling berebut tentang urusan laki-laki tersebut. Kemudian, malaikat rahmat diperkenankan membawanya. Karena, setelah diukur, ternyata jasad laki-laki itu lebih dekat jaraknya dengan perkampungan orang-orang yang saleh dibanding dengan lingkungannya yang dulu.
Kisah di atas hendaknya menjadi pelajaran bagi kita bahwa lingkungan yang baik dan bergaul dengan orang-orang saleh adalah sangat mutlak kita butuhkan untuk menjaga eksistensi keimanan. Oleh karena itu, dalam memilih teman dan lingkungan, kita harus selektif, yaitu memilih orang-orang saleh yang banyak berzikir, meskipun di mata manusia mereka bukanlah orang yang terpandang. Tetapi, di sisi Allah mereka mempunyai kedudukan yang tinggi. Mereka itulah yang hendaknya kita jadikan teman sejati. Agar efek samping yang kita dapatkan adalah kebaikan. Jangan sampai kita memilih teman dan lingkungan yang tidak baik, karena lambat laun dikhawatirkan kita akan tertular atau paling tidak ikut terkena getahnya. Ada pepatah Arab yang mengatakan “Akhlak yang buruk itu akan menular”.
Idealnya kita berteman dengan orang-orang yang kualitasnya jauh lebih baik, sehingga kita tidak merasa paling pintar dan paling saleh. Justeru kita akan merasa paling kurang. Saat berteman dengan orang-orang yang berkualitas, biasanya kita akan terangsang dan termotivasi untuk belajar dan mengejar ketertinggalan. Karena itu ada yang mengatakan, kalau kita ingin menjadi ulama maka bergaulah dengan ulama: ingin menjadi pedagang, maka bergaullah dengan para pedagang: ingin menjadi seniman, maka bergaullah dengan seniman.
***
Nampaknya amatlah penting membatasi pergaulan dengan orang yang sekiranya akan membawa kita pada ruang yang lebih terpuruk. Mempelajari biografi orang-orang gagal yang diakibatkan oleh terlalu intimnya dengan teman yang serlalu mengajak pada hal-hal negatif. Salah satu contoh adalah kisah Susi, seorang perempuan yang dibesarkan dalam keluarga agamis, setiap malam Susi diwajibkan berjamaah dan mengikuti pengajian di pesantren.
Karena di sekolah, Susi selalu bergaul dengan orang-orang yang nakal, maka pada akhirnya, Susi terjebak untuk ikut bersama mereka. Bahkan di suatu malam, Susi tidak pulang ke rumahnya, pamitnya dia sedang mengerjakan tugas di rumah temannya, kenyataannya, ia sedang melakukan hubungan seksual dengan seorang lelaki, yakni Asnawi, pacar susi. Di sekolah, Asnawi memang terkenal dengan lelaki play boy dan hidung belang. (Baca juga: Muda, Muslim, dan Mandiri [2])
Kisah itu dapat kita jadikan acuan agar kita lebih waspada dalam bergaul, meskipun hidup dalam keluarga agamis, jika teman-teman kita tak mendukung, ternyata tak menjadi jaminan seseorang memiliki sikap baik ke depan. Pergaulan bebas yang terjadi pada remaja kita belakangan ini bukan hanya dikarenakan mereka memiliki perangai yang nakal sejak kecil, tapi kebanyakan dibentuk di lingkungan teman-teman bergaul.
Setiap orang yang dapat bergaul dengan baik, dapat memperoleh buah pergaulan yang baik. Orang yang memiliki karakter baik tentunya tidak akan kerasan bergaul (terlalu intim) dengan orang yang tidak baik. Setuap orang mengalami proses panjang, di mana dinamika kehidupan dapat membentuk cara gerak dan cara pergaulannya masing-masing. Secara subyektif manusia pun diharapkan mampu memiliki kualitas pribadi yang membuat semua orang mengenali bahwa diri kita adalah sosok yang baik.
Sumber Gambar: ultimatesammy |
Membatasi pergaulan dengan orang-orang yang nakal akan lebih selamat, kecuali bagi remaja kita yang memiliki benteng pertahanan yang kuat sehingga apabila terdapat terpaan kencang dari teman-teman yang nakal itu, kita bisa menolak dengan tegas. Kita sadar bahwa tak setiap perbuatan orang kita klaim jelek semua, pasti ada sisi-sisi positif yang dapat diambil hikmahnya. Jadikan orang lain sebagai cermin untuk memandang diri kita agar semakin dekat dengan Tuhan.
Memilih atau membatasi pertemanan bukan karena tendensi kekayaan atau keturunan orang-orang terhormat, karena yang demikian berarti batasan-batasan yang kita ambil tidaklah obyektif. Memilih teman yang dimotivasi oleh cara pandang duniawi hanya akan membuat kita makin celaka. Ibnu Abbas pernah mengungkapkan, janganlah engkau mengabaikan mereka karena orang lain. Yakni engkau mencari ganti mereka dengan orang-orang terhormat dan yang banyak kekayaannya. Tendensi yang demikian sama halnya kita seperti dajjal yang bermata satu, hanya tergiur pada kekayaan duniawi yang justeru akan lebih menipu diri kita.
Terdapat enam cara membatasi pergaulan dengan teman yang nakal :
1. Menghindar dengan cara yang halus sehingga tak menimbulkan perasaan terhadap teman yang kita batasi pergaulannya itu.
2. Bila kita kadung kenal dan diajak pada hal-hal yang negatif, tolaklah dengan cara yang halus pula, buatlah alasan-alasan untuk menghindari. Bila teman kita itu memaksa, maka hendaklah bersikap tegas dalam menolak.
3. Aturlah pertemuan kalian dengan mereka, hindari pertemuan rutin yang menimbulkan gesekan-gesekan mengkhawatirkan kalian terpengaruh ajakan mereka.
4. Lihatlah perangai-perangainya, kadang teman kita suka bertopeng, di depan kita bersikap baik, tapi menyimpan kebusukan yang nyinyir di hatinya.
5. Agar kalian termasuk teman yang disungkani oleh mereka, perlakukanlah mereka sebagaimana teman-teman yang baik di hadapan orang banyak. Hindari sikap cuek pada siapapun, tampakkan keramahan pada semua teman.
6. Jika kalian mempunyai kesempatan, ajaklah mereka pada jalan yang lebih baik.
Bila kita dapat melaksanakan enam varian penting tersebut, teman-teman yang pada mulanya selalu mengajak kita pada hal-hal negatif, mereka tentunya akan berpikir dan selalu mengevaluasi dirinya. Bagaimana kita mampu menampakkan keberhasilan kita dari bidang kreatifitas, misalnya kemampuan menempuh pengetahuan, menang dalam lomba-lomba yang diadalan di sekolah, buktikan bahwa diri kita lebih baik dari mereka.
Apalagi kita dapat mempengaruhi teman, yang pada mulanya mereka tidak baik, dengan sikap baik kita, mereka bisa mengikuti jalan yang kita tempuh. Namun bagaimanapun kita tidak boleh memaksakan kehendak bagi mereka untuk menghindari konflik-konflik yang tidak diinginkan. Sesungguhnya teman yang positif adalah mereka yang selalu wa tawa shau bi al-haqqi wa tawa shau bi al-shabri yakni mengajak pada kebaikan dan kesabaran.
Kebanyakan manusia keliru dalam memilih lingkungan bergaul. Padahal, keliru dalam hal ini bisa berakibat fatal. Karena, seseorang akan cenderung mengikuti temannya dan nantinya dia akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya. Sebagian orang membatasi pergaulannya hanya dengan orang-orang yang dianggap selevel dengan mereka, atau memilih orang-orang tertentu yang cocok untuk mereka. Tetapi, seringnya pertimbangan mereka dalam menentukan siapa yang cocok untuk mereka pergauli adalah keliru. Biasanya, pertimbangan mereka itu berdasarkan kepentingan dan kesenangan dunia. Jalinan hubungan mereka terdiri atas orientasi dunia, yang notabene melalaikan dari zikir kepada Allah. Adapun bagi orang muslim, ada tolok ukur lain dalam memilih tempat bergaul dan memilih teman sejati.
Masalah yang timbul dalam lingkup pertemanan adalah sinkronisasi. Disadari atau tidak, seorang remaja akan lebih direspon dan diakui eksistensinya ketika ia sinkron dengan teman atau kelompoknya dalam berbagai aspek. Saat mayoritas pelajar dalam satu kelas terbiasa datang terlambat, maka eksistensi pelajar yang senang tepat waktu dalam lingkungan tersebut terasa tidak bersahabat.
Dalam keadaan seperti ini, kecenderungan remaja lebih memilih untuk meninggalkan kebiasaannya dan mengikuti kelompoknya. Atau jika lingkungannya terbiasa dengan hal positif. Yang menjadi masalah di sini bukanlah perubahan dari kebiasaan negatif menuju positif, tapi tidak tentunya kepribadian. Yang imbasnya akan timbul ketergantungan pada lingkungan yang dan dikhawatirkan adalah ketika remaja tersebut kembali pada lngkungan negatif. Dan inti permasalahannya adalah eksistensi remaja tersebut dikendalikan oleh lingkungan, yang idealnya dialah yang mengendalikan, minimalnya untuk dirinya sendiri, dan lebihnya untuk lingkungan. (Baca juga; Muda, Muslim, dan Mandiri [3])
Dengan semua realita seperti ini, (dalam lingkkup teman), seringkali timbul anggapan bahwa solusi terbaik adalah menjauhi semua teman yang cenderung negatif, dan mencari teman dengan segala sifat positif. Akan tetapi timbul masalah baru, bukankah dengan cara seperti ini telah benar-benar lahir anggapan bahwa pada orang-orang yang dianggap baik telah benar-benar terdapat sifat baik yang absolut, dan dalam orang-oang yang dianggap negatif benar-benar terdapat sifat buruk yang absolut? Jika dihadapkan dengan konsep yang ideal, bukankah setiap otrang mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing? Dengan demikian, maka peran remaja yang terpenting di sini bagaimana menempatkan eksistensinya sebagai teman yang benar-benar teman, dalam artian dapat menemani temannya dalam waktu yang dibutuhkan. Ketika ada beberapa pelajar yang sering terlambat, maka pada dasarnya pelajar tersebut membutuhkan teman yang dapat mengatasi keterlambatannya.
Sumber Gambar: salmandd |
Memang kita sangat senang dengan banyak teman. Manusia tidak bisa hidup sendiri, sehingga disebut sebagai makhluk sosial. Tetapi itu bukan berarti, seseorang boleh semaunya bergaul dengan sembarang orang menurut selera nafsunya. Sebab, teman adalah personifikasi diri. Manusia selalu memilih teman yang mirip dengannya dalam hobi, kecenderungan, pandangan, pemikiran. Karena itu, Islam memberi batasan-batasan yang jelas dalam soal pertemanan. Bahkan yang lebih ekstrim lagi, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.: Jangan berteman, kecuali dengan orang mukmin, dan jangan memakan makanan kecuali makanan teman yang bertakwa. (HR. Ahmad dihasankan oleh al-Albani).
Teman yang mukmin selalu mengajak kita pada kegiatan-kegiatan yang memabawa pada realitas ukhrawi, teman mukmin tak akan pernah menipu kita untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Sejatinya orang mukmin selalu menginginkan dirinya dan teman-temannya berada di luar garis syetan yang selalu membelenggu. Makanan orang yang bertakwa selalu berusaha sederhana dan jauh dari perkara-perkara haram, jauh dari tipu muslihat yang secara fisik menampakkan kenyamanan, tapi esensinya mengandung racun terhadap hati nurani.***
0 comments :
Post a Comment