Home » » Cak Nur, Islam, dan Sekularisasi

Cak Nur, Islam, dan Sekularisasi

Diposkan oleh damar pada Tuesday, April 12, 2016 | 7:52 PM

Oleh: Yanuar Arifin*

Bangsa Indonesia seharusnya merayakan hari kelahiran Nurcholish Madjid, salah seorang putra terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Cak Nur—demikian ia akrab disapa, adalah seorang cendekiawan muslim terkemuka yang lahir tepat pada tanggal 17 Maret 1939 M di Desa Mojoanyar, Jombang, sebuah kabupaten di Jawa Timur yang juga menjadi tempat lahirnya beberapa tokoh bangsa, seperti KH. Hasyim Asyari, Wahid Hasyim, Wahab Hasbullah, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan lain sebagainya.

Di hari kelahirannya ini, saya tentu tidak ingin membincang lebih jauh sosok Cak Nur, melainkan hanya ingin kembali mendiskusikan gagasan atau ide yang dicetuskan oleh beliau, sehingga namanya begitu populer di kalangan akademisi Islam di tanah air. Ide atau gagasan yang dicetuskan oleh Cak Nur tak lain adalah ide sekularisasi, sebuah ide yang sempat membuat ‘gaduh’ kalangan akademisi di tanah air, terutama bagi mereka yang menekuni studi keislaman. Ide sekularisasi Cak Nur ini, tidak hanya membuat gaduh, namun juga memancing polemik di kalangan umat Islam.

Sumber Gambar: okaaditya.wordpress.com
Tepatnya pada awal Januari tahun 1970 yang lalu, Cak Nur yang waktu itu masih berstatus sebagai sarjana lulusan S-1 Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mulai mencetuskan ide-ide sekularisasinya yang kontroversial. Di mata pengagumnya, terutama di kalangan kaum muda, Cak Nur begitu diapresiasi dan dipuji sebagai salah seorang intelektual yang cerdas dan brilian. Apalagi, usianya kala itu masih terbilang cukup muda, yakni sekitar 31 tahun. Namun, ide yang dicetuskannya ini di lain pihak juga mengundang banyak kritik yang amat keras.

Tudingan kafir, zindiq, dan munafik adalah tudingan kasar yang seringkali dilontorkan oleh kaum Muslim garis keras pada waktu itu dalam menanggapi ide sekularisasi Cak Nur. Namun, tudingan kasar semacam ini tentu tidaklah pantas untuk kita ucapkan kepada beliau, mengingat kiprah dan pemikiran Cak Nur yang demikian luar biasa dalam panggung sejarah di tanah air. Sangat tidak etis kita melontarkan kata-kata kasar pada sosok hebat seperti Cak Nur, yang mana ia sangat berkontribusi dalam menumbuhkan kesadaran umat Islam untuk berani berpikir kritis dan logis.

Kiranya lebih tepat bila kita melakukan koreksi atau pelurusan terhadap pemikiran Cak Nur—kalau ternyata kita memang mendapati kesalahan dalam pemikirannya. Cak Nur dengan ide pemikiran sekularisasinya, haruslah diluruskan bila memang salah, sehingga umat Islam yang hidup pada saat sekarang memperoleh hikmah berharga dari polemik yang pernah terjadi. Umat Islam harus mulai berpikir dewasa, tidak hanya sekedar berpikir hitam-putih, melainkan lebih mendahulukan pemikiran yang berbasis pada argumentasi yang ilmiah.

Kerancuan Berpikir Cak Nur
Upaya untuk meluruskan kesalahan Cak Nur dalam berpikir atau membongkar kerancuan pemikirannya, sebenarnya sudah seringkali diserukan oleh para intelektual Muslim di tanah air di masa lalu, di antaranya adalah Prof. Hamka, Prof. Rasjidi, Mohammad Natsir, dan Saifuddin Anshari. Bahkan, pada waktu itu, Prof. Rasjidi, guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia tampil sebagai tokoh intelektual yang paling keras dalam menyerukan kritiknya terhadap pemikiran Cak Nur. Namun, sayangnya kritik tersebut belum sepenuhnya berhasil untuk menyadarkan Cak Nur agar merevisi pemikirannya.

Kritik serupa nampaknya harus kembali kita lontarkan, sekalipun Cak Nur sudah wafat pada tahun 2005 lalu. Kritik ini tentu tidak kita maksudkan untuk mencederai pribadi Cak Nur, melainkan untuk membenarkan pemikirannya yang ‘salah’. Menurut Prof. Dr. Faisal Ismail (2010) ada beberapa kesalahan besar yang dilakukan Cak Nur dalam meracik ide sekularisasinya. Pertama, Cak Nur telah membuat kesalahan terminologis karena dia secara ekslusif menggunakan istilah sekularisasi hanya bagi animis yang konvert ke kepercayaan tauhid. Sementara Cak Nur tidak memiliki atau tidak mempunyai istilah bagi orang Islam atau non-Islam yang konvert ke kepercayaan animis.

Kedua, Cak Nur telah berbuat arbitrary, karena dia memakai istilah sekularisasi untuk suatu peristiwa yang sebenarnya disebut konversi (perpindahan animis ke kepercayaan tauhid). Ini berarti bahwa Cak Nur telah memaksakan istilah dan pengertian yang terkandung dalam istilah itu kepada sesuatu yang tidak ada relevansinya satu sama lain. Konsekuensinya adalah terjadi kerancuan-kerancuan dan miskonsepsi dalam pemikiran Cak Nur sebagai akibat penerapan istilah yang tidak pada tempatnya.

Ketiga, Cak Nur telah membuat kesalahan karena menurutnya terjadi sekularisasi pada animis yang masuk Islam. Secara mendasar, kesalahan besar dan fatal ini berpangkal pada ketidakpahaman Cak Nur, bahwa sebenarnya sekularisasi itu hanya terjadi atau dilakukan oleh seseorang (atau sekelompok orang) yang masih terikat kepada kepercayaan atau agama yang sedang dia anut. Animis yang melanggar kesucian benda pujaannya, dia telah melakukan sekularisasi. Dia adalah animis yang sekuler.

Keempat, Cak Nur telah membuat kesalahan karena menurutnya terjadi sekularisasi pada animis yang beralih ke kepercayaan tauhid (masuk Islam). Hal ini berarti, menurut jalan pemikiran Cak Nur, tauhid itulah yang membuat mualaf itu mengalami proses sekularisasi secara besar-besaran dan menjadikan dia bersifat sekuler. Padahal, sekiranya kita bertanya langsung kepada orang animis yang konvert ke Islam, dan kita tanyakan apakah mereka mengalami proses sekularisasi secara besar-besaran? Maka jawabannya pastilah tidak. Jawaban yang keluar dari mulut mereka adalah islamisasi atau tauhidisasi.

Sebenarnya masih ada dua kesalahan lagi yang dilakukan Cak Nur, bila saya merujuk pada pemikiran Prof. Faisal Ismail. Namun, karena saya melihat bahwa substansi kesalahannya sebenarnya sama, oleh sebab itu, dua kesalahan lain sengaja tidak saya masukkan. Dari sini, sudah cukup menjadi dalil bagi kita untuk membongkar kerancuan berpikir Cak Nur. Sebagai seorang pemikir besar, tentu saja, kerancuan berpikir semacam itu seharusnya tidak perlu terjadi. Namun setidaknya, Cak Nur telah berhasil membuat kita (umat Islam) untuk berani melakukan ijtihad pemikiran. Akhirnya, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada Cak Nur. Semoga Allah Swt. senantiasa melimpahkan rahmat dan maghfirah-Nya kepada Cak Nur. Amiin.

*) Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana MSI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.



Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment