Cerpen : Daruz Armedian
“Dulu, enam puluh tahun yang lalu, di sepanjang Carrow Road ini ada air mata rembulan yang berceceran,” kakek berusia sembilan puluh tahun lebih itu memulai ceritanya. “pada waktu itu umur saya sekitar tiga puluh tahunan. Rembulan menangis. Katanya menangis untuk seorang gadis.”
Orang-orang yang mulanya sibuk main catur, main handphone, main-main segalanya yang tentu sambil ngopi. Perlahan mulai mendekati kakek yang duduk di tempat biasanya ia ngopi. Sambil membawa cangkir masing-masing, mereka duduk mengelilingi kakek.
“Carrow Road dulu tak seramai sekarang. Tidak ada sama sekali warung kopi. Trotoarnya yang cenderung sepi jika malam tiba.”
Semua yang ada di situ geleng-geleng kepala tak mengerti. Ceritanya dipenggal-penggal. Tapi mereka sungguh antusias ingin mendengarkan cerita kakek sepenuhnya. Padahal biasanya cerita kakek tidak ada yang mendengarkan kecuali cucu sendiri yang kebetulan ikut ngopi.
Kakek yang tidak perokok itu memang setiap hari bercerita jikalau ngopi di warung itu. Tapi tak ada yang menghiraukan. Sebab, ceritanya banyak yang basi—lebih tepatnya dianggap basi. Mulai dari tentang kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Sriwijaya, sampai kerajaan Majapahit. Mulai dari Ande-ande Lumut sampai Joko Tingkir. Semua itu dianggap ocehan kosong belaka.
Kali ini berbeda. Entah ada faktor apa yang menyebabkan cerita kakek berbeda dari biasanya. Tidak ada yang tahu. Bahkan penulis cerpen ini sendiri pun tidak tahu. Barangkali karena bosan dengan ceritanya sendiri yang monoton atau sudah sadar kalau tidak ada yang mendengarkan. Itu barangkali.
Kali ini juga berbeda. Entah ada faktor apa yang menyebabkan orang-orang mengelilingi kakek itu. Mungkin saja karena cerita kakek berbeda. Lebih unik dan tidak membosankan seperti biasanya.
“Orang-orang percaya kalau pada saat itu rembulan benar-benar menangis. Air matanya mengucur dari ujung sana, pertigaan Carrow Road.” ia menunjuk ujung timur. “sampai di perempatan ini.” kebetulan warung kopi itu di tepi perempatan. Tepatnya pojokan.
“Tolong jelaskan yang segamblang-gamblangnya, kenapa rembulan menangis, dan kenapa kata kakek tadi menangisnya untuk seorang gadis. Lalu dari mana kakek tahu?” celetuk seorang pemuda yang ingin tahunya sudah sampai ke ubun-ubun. Kakek menghela napa panjang tanda serius. Sebelum ia angkat bicara kembali, ada seseorang membawa kursi. Kakek disuruh duduk di situ mengingat yang akan mendengar ceritanya semakin banyak.
“Perihal rembulan menangis itu ditandai dengan air yang membasahi sepanjang Carrow Road rasanya asin. Sehingga persis sekali seperti air mata. Dan tidak hanya itu, rembulan juga terisak. Sesenggukan. Sehingga semakin menegaskan bahwa rembulan benar-benar menangis.” Kakek berhenti sejenak. Meminum kopinya. Orang-orang yang mengelilinginya semakin banyak dan membludak. Sehingga kakek harus diarak luar warung. Dipersiapkan kursi yang lebih tinggi agar kelihatan orang banyak.
“Lalu,” kakek meneruskan ceritanya, “yang namanya kejadian aneh, tentu saja ada orang yang tidak percaya. Dan berspekulasi kalau air laut itu juga asin. Bisa saja rembulan menyerap air laut kemudian menurunkannya di Carrow Road. Pembelaan ilmiah itu telah terbantah oleh awan yang konon menyerap air dari laut, tapi hujan rasanya tawar. Ada juga yang ngeyel bilang bisa saja prosesnya lain. Rembulan menceburkan langsung ke lautan dan menyerap seperti spons. Lalu melompat ke langit dan meneteskannya. Jadi hanya butuh satu hari atau satu malam siklusnya. Tidak seperti awan.”
Cerita kakek semakin banyak yang mendengarkan. Tidak hanya penghuni sepanjang Carrow Road yang berdatangan. Berdesak-desakkan. Berdengung sendiri-sendiri seperti lebah. Akhirnya, sesuai kesepakatan, kakek dibuatkan panggung yang tinggi. Dipersiapkan pula pengeras suara. Orang-orang yang baru datang berteriak menyuruh kakek mengulangi ceritanya dari awal.
Karena kakek di dalam cerita ini sebagai tokoh yang suka bercerita, maka ia tidak keberatan mengulanginya dari awal. Bahkan sambil tersenyum-senyum bangga minta tambah kopi. Sampai pada cerita lanjutan, orang-orang tercengang. Ada yang bergumam. Mengucap tasbih, maha besar tuhan, dan lain-lain kata takjub sesuai agama masing-masing.
“Kemudian NASA membuat pesawat ulang-alik untuk melakukan ekspedisi ke bulan setelah mendengar ide konyol banyak orang agar ada yang pergi ke rembulan untuk memastikan benar tidaknya tangisan itu. Mereka menyebutnya Ekspedisi Airmata.” Kakek diam sejenak memandangi kerumunan orang di sepanjang Carrow Road. Ia tidak mengira akan seperti ini. Baru pertamakali ceritanya didengar banyak orang.
“Para astronot yang ikut dalam ekspedisi menyebutkan kalau mereka melihat ada genangan air di permukaan rembulan. Seperti danau-danau kecil. Nah, pada saat melihat ke arah bumi, mereka terkejut. Mereka melihat dengan jelas seorang wanita berambut panjang tengah duduk kesepian.”
Dan pada saat itulah, dengungan orang-orang semakin keras. Semakin nyaring. Kemerosok seperti banjir. Saling bicara kepada yang ada di sampingnya masing-masing. Tidak mungkin semua pembicaraan itu ditulis di sini. Tapi secara garis besar, hampir semuanya bilang seperti ini:
“Sewaktu kecil, aku mendengar berita itu dari media massa,” kata seorang bapak kepada anaknya.
“Kenapa bapak tidak bercerita kepadaku?”
“Karena aku tidak pandai bercerita.”
Begitulah.
Sebelum kakek melanjutkannya, banyak usulan bagaimana kalau cerita kakek ini diliput media, ditayangkan di televisi. Karena hampir semua setuju, maka tidak lama hal itu dilaksanakan. Bahkan tidak hanya ditayangkan di televisi nasional. Tapi televisi internasional juga. Sehingga seluruh ummat di dunia melihat tayangan seorang kakek yang sedang bercerita tentang rembulan yang menangis ini.
Carrow Road sudah penuh sedari tadi. Mulai ujung timur sampai ujung barat. Walaupun telah ditayangkan di televisi, masih banyak yang ingin melihat langsung kakek bercerita meski dari kejauhan. Di tengah-tengah penuhnya orang itulah tiba-tiba seorang nenek naik panggung dan mengambil alih mikrofon.
“Begini, saya tahu kakek pasti lelah karena terus disuruh mengulang-ulang cerita. Kali ini saya yang meneruskan.” Ucap nenek itu dengan suara bergetar. Kakek diam. Orang-orang juga diam. Tak faham. Tak mengerti.
“Mengenai rembulan menangis ini awal mulanya dari sekelumit kisah. Tentang sepasang kekasih laki-laki dan perempuan yang saling menyayangi. Pada saat si perempuan minta diambilkan rembulan karena sewaktu kecil pernah mendengarkan lagu jadul ‘ambilkan bulan bu’, yang laki-laki mengabulkan karena rasa sayangnya yang begitu dalam. Apalagi ia sudah mempelajari tatacara terbang. Apa boleh buat. Berangkatlah ia menuju rembulan. Sampai di sana, ia sungguh-sungguh baru mengerti kalau rembulan itu sangat besar. Tidak sekecil uang logam dan tak mungkinlah orang semacam ia membawa rembulan. Ia menyesal. Ia tak punya kekuatan lagi untuk kembali ke bumi karena kelelahan. Lantas menangis. Selain karena tidak bisa pulang, ia juga menagis kasihan pada kekasihnya. Sementara si perempuan menunggunya di bumi. Dari atas bangku tua tempat mereka berdua mengucap janji setia. Ia juga menangis karena terlalu lama menunggu.”
“Mustahil.” Gumam banyak orang. Geleng-geleng kepala tak percaya. Akan tetapi masih terus ingin tahu jalan ceritanya secara keseluruhan.
“Karena terlalu lama menangis di sana, air mata si lelaki itu menjadi genangan. Menjadi danau yang menenggelamkan dirinya sendiri. Pada saat detik-detik terakhir, ia minta pada tuhannya agar air matanya diturunkan ke bumi. Tepatnya di Carrow Road. Tempat mereka berdua sering jalan-jalan malam. Termasuk juga tempat perempuan itu menunggu. Berharap agar kekasihnya paham kalau ia tak bisa kembali. Sedangkan hatinya masih sangat menyayangi.”
Orang-orang mulai curiga cerita ini mengada-ada. Sementara kakek yang duduk di samping nenek itu tidak. Ia bahkan menikmati cerita tersebut.
“Banyak orang yang pernah ke bulan tapi tidak mencari tahu asal-usul danau di sana dan memilih memotret wajah perempuan yang sedang menunggu itu. Lalu disebarkan ke seluruh penjuru bumi dengan pengumuman siapa saja yang melihat perempuan itu harap melaporkan. Demi kebaikan semua orang. Tapi sampai kapan pun tidak akan ada yang menemui perempuan itu. Sebab ia sangat pendiam dan jarang berinteraksi dengan orang lain.”
“Kenapa sekarang rembulan berhenti menangis?” teriak salah satu orang.
Nenek diam sebentar sambil pelan-pelan mendongakkan kepalanya ke rembulan yang kebetulan terlihat.
“Karena yang ditangisi sudah tua dan tidak cantik lagi.”
Semuanya terdiam. Merenung. Lalu ikut memandang rembulan.
“Siapakah sebenarnya perempuan tersebut?” celetuk salah satu orang lagi.
Sebenarnya nenek itu ingin menjawab kalau ia sendiri si perempuan tersebut. Tapi ragu. Soalnya, zaman seperti sekarang ini sudah banyak orang yang tidak percaya cerita aneh-aneh. Percuma. Ia lebih memilih diam lama-lama sambil meletakkan mikrofon yang tadi di genggamannya.
Semuanya semakin penasaran. Sampai cerita ini berakhir, mereka tetap penasaran. Semakin penasaran dan penasaran.
Semakin aneh dan tidak dapat dimengerti.**
Bantul, November 2014
Catatan:
**Selengkapnya, baca cerpen Sungging Raga berjudul Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis yang dimuat di Koran Merapi pada tanggal 23 Juni 2013 https://surgakata.wordpress.com/2013/06/23/untuk-seseorang-yang-kepadanya-rembulan-menangis/
Daruz Armedian, penggemar Sungging Raga. Bergiat di Institut Sastra Sunnatunnur.
“Dulu, enam puluh tahun yang lalu, di sepanjang Carrow Road ini ada air mata rembulan yang berceceran,” kakek berusia sembilan puluh tahun lebih itu memulai ceritanya. “pada waktu itu umur saya sekitar tiga puluh tahunan. Rembulan menangis. Katanya menangis untuk seorang gadis.”
Orang-orang yang mulanya sibuk main catur, main handphone, main-main segalanya yang tentu sambil ngopi. Perlahan mulai mendekati kakek yang duduk di tempat biasanya ia ngopi. Sambil membawa cangkir masing-masing, mereka duduk mengelilingi kakek.
Sumber Gambar: kiyanti2008.wordpress.com |
Semua yang ada di situ geleng-geleng kepala tak mengerti. Ceritanya dipenggal-penggal. Tapi mereka sungguh antusias ingin mendengarkan cerita kakek sepenuhnya. Padahal biasanya cerita kakek tidak ada yang mendengarkan kecuali cucu sendiri yang kebetulan ikut ngopi.
Kakek yang tidak perokok itu memang setiap hari bercerita jikalau ngopi di warung itu. Tapi tak ada yang menghiraukan. Sebab, ceritanya banyak yang basi—lebih tepatnya dianggap basi. Mulai dari tentang kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Sriwijaya, sampai kerajaan Majapahit. Mulai dari Ande-ande Lumut sampai Joko Tingkir. Semua itu dianggap ocehan kosong belaka.
Kali ini berbeda. Entah ada faktor apa yang menyebabkan cerita kakek berbeda dari biasanya. Tidak ada yang tahu. Bahkan penulis cerpen ini sendiri pun tidak tahu. Barangkali karena bosan dengan ceritanya sendiri yang monoton atau sudah sadar kalau tidak ada yang mendengarkan. Itu barangkali.
Kali ini juga berbeda. Entah ada faktor apa yang menyebabkan orang-orang mengelilingi kakek itu. Mungkin saja karena cerita kakek berbeda. Lebih unik dan tidak membosankan seperti biasanya.
“Orang-orang percaya kalau pada saat itu rembulan benar-benar menangis. Air matanya mengucur dari ujung sana, pertigaan Carrow Road.” ia menunjuk ujung timur. “sampai di perempatan ini.” kebetulan warung kopi itu di tepi perempatan. Tepatnya pojokan.
“Tolong jelaskan yang segamblang-gamblangnya, kenapa rembulan menangis, dan kenapa kata kakek tadi menangisnya untuk seorang gadis. Lalu dari mana kakek tahu?” celetuk seorang pemuda yang ingin tahunya sudah sampai ke ubun-ubun. Kakek menghela napa panjang tanda serius. Sebelum ia angkat bicara kembali, ada seseorang membawa kursi. Kakek disuruh duduk di situ mengingat yang akan mendengar ceritanya semakin banyak.
“Perihal rembulan menangis itu ditandai dengan air yang membasahi sepanjang Carrow Road rasanya asin. Sehingga persis sekali seperti air mata. Dan tidak hanya itu, rembulan juga terisak. Sesenggukan. Sehingga semakin menegaskan bahwa rembulan benar-benar menangis.” Kakek berhenti sejenak. Meminum kopinya. Orang-orang yang mengelilinginya semakin banyak dan membludak. Sehingga kakek harus diarak luar warung. Dipersiapkan kursi yang lebih tinggi agar kelihatan orang banyak.
“Lalu,” kakek meneruskan ceritanya, “yang namanya kejadian aneh, tentu saja ada orang yang tidak percaya. Dan berspekulasi kalau air laut itu juga asin. Bisa saja rembulan menyerap air laut kemudian menurunkannya di Carrow Road. Pembelaan ilmiah itu telah terbantah oleh awan yang konon menyerap air dari laut, tapi hujan rasanya tawar. Ada juga yang ngeyel bilang bisa saja prosesnya lain. Rembulan menceburkan langsung ke lautan dan menyerap seperti spons. Lalu melompat ke langit dan meneteskannya. Jadi hanya butuh satu hari atau satu malam siklusnya. Tidak seperti awan.”
Cerita kakek semakin banyak yang mendengarkan. Tidak hanya penghuni sepanjang Carrow Road yang berdatangan. Berdesak-desakkan. Berdengung sendiri-sendiri seperti lebah. Akhirnya, sesuai kesepakatan, kakek dibuatkan panggung yang tinggi. Dipersiapkan pula pengeras suara. Orang-orang yang baru datang berteriak menyuruh kakek mengulangi ceritanya dari awal.
Karena kakek di dalam cerita ini sebagai tokoh yang suka bercerita, maka ia tidak keberatan mengulanginya dari awal. Bahkan sambil tersenyum-senyum bangga minta tambah kopi. Sampai pada cerita lanjutan, orang-orang tercengang. Ada yang bergumam. Mengucap tasbih, maha besar tuhan, dan lain-lain kata takjub sesuai agama masing-masing.
“Kemudian NASA membuat pesawat ulang-alik untuk melakukan ekspedisi ke bulan setelah mendengar ide konyol banyak orang agar ada yang pergi ke rembulan untuk memastikan benar tidaknya tangisan itu. Mereka menyebutnya Ekspedisi Airmata.” Kakek diam sejenak memandangi kerumunan orang di sepanjang Carrow Road. Ia tidak mengira akan seperti ini. Baru pertamakali ceritanya didengar banyak orang.
“Para astronot yang ikut dalam ekspedisi menyebutkan kalau mereka melihat ada genangan air di permukaan rembulan. Seperti danau-danau kecil. Nah, pada saat melihat ke arah bumi, mereka terkejut. Mereka melihat dengan jelas seorang wanita berambut panjang tengah duduk kesepian.”
Dan pada saat itulah, dengungan orang-orang semakin keras. Semakin nyaring. Kemerosok seperti banjir. Saling bicara kepada yang ada di sampingnya masing-masing. Tidak mungkin semua pembicaraan itu ditulis di sini. Tapi secara garis besar, hampir semuanya bilang seperti ini:
“Sewaktu kecil, aku mendengar berita itu dari media massa,” kata seorang bapak kepada anaknya.
“Kenapa bapak tidak bercerita kepadaku?”
“Karena aku tidak pandai bercerita.”
Begitulah.
Sumber Gambar: rifqi37.blogspot.com |
Carrow Road sudah penuh sedari tadi. Mulai ujung timur sampai ujung barat. Walaupun telah ditayangkan di televisi, masih banyak yang ingin melihat langsung kakek bercerita meski dari kejauhan. Di tengah-tengah penuhnya orang itulah tiba-tiba seorang nenek naik panggung dan mengambil alih mikrofon.
“Begini, saya tahu kakek pasti lelah karena terus disuruh mengulang-ulang cerita. Kali ini saya yang meneruskan.” Ucap nenek itu dengan suara bergetar. Kakek diam. Orang-orang juga diam. Tak faham. Tak mengerti.
“Mengenai rembulan menangis ini awal mulanya dari sekelumit kisah. Tentang sepasang kekasih laki-laki dan perempuan yang saling menyayangi. Pada saat si perempuan minta diambilkan rembulan karena sewaktu kecil pernah mendengarkan lagu jadul ‘ambilkan bulan bu’, yang laki-laki mengabulkan karena rasa sayangnya yang begitu dalam. Apalagi ia sudah mempelajari tatacara terbang. Apa boleh buat. Berangkatlah ia menuju rembulan. Sampai di sana, ia sungguh-sungguh baru mengerti kalau rembulan itu sangat besar. Tidak sekecil uang logam dan tak mungkinlah orang semacam ia membawa rembulan. Ia menyesal. Ia tak punya kekuatan lagi untuk kembali ke bumi karena kelelahan. Lantas menangis. Selain karena tidak bisa pulang, ia juga menagis kasihan pada kekasihnya. Sementara si perempuan menunggunya di bumi. Dari atas bangku tua tempat mereka berdua mengucap janji setia. Ia juga menangis karena terlalu lama menunggu.”
“Mustahil.” Gumam banyak orang. Geleng-geleng kepala tak percaya. Akan tetapi masih terus ingin tahu jalan ceritanya secara keseluruhan.
“Karena terlalu lama menangis di sana, air mata si lelaki itu menjadi genangan. Menjadi danau yang menenggelamkan dirinya sendiri. Pada saat detik-detik terakhir, ia minta pada tuhannya agar air matanya diturunkan ke bumi. Tepatnya di Carrow Road. Tempat mereka berdua sering jalan-jalan malam. Termasuk juga tempat perempuan itu menunggu. Berharap agar kekasihnya paham kalau ia tak bisa kembali. Sedangkan hatinya masih sangat menyayangi.”
Orang-orang mulai curiga cerita ini mengada-ada. Sementara kakek yang duduk di samping nenek itu tidak. Ia bahkan menikmati cerita tersebut.
“Banyak orang yang pernah ke bulan tapi tidak mencari tahu asal-usul danau di sana dan memilih memotret wajah perempuan yang sedang menunggu itu. Lalu disebarkan ke seluruh penjuru bumi dengan pengumuman siapa saja yang melihat perempuan itu harap melaporkan. Demi kebaikan semua orang. Tapi sampai kapan pun tidak akan ada yang menemui perempuan itu. Sebab ia sangat pendiam dan jarang berinteraksi dengan orang lain.”
“Kenapa sekarang rembulan berhenti menangis?” teriak salah satu orang.
Nenek diam sebentar sambil pelan-pelan mendongakkan kepalanya ke rembulan yang kebetulan terlihat.
“Karena yang ditangisi sudah tua dan tidak cantik lagi.”
Semuanya terdiam. Merenung. Lalu ikut memandang rembulan.
“Siapakah sebenarnya perempuan tersebut?” celetuk salah satu orang lagi.
Sebenarnya nenek itu ingin menjawab kalau ia sendiri si perempuan tersebut. Tapi ragu. Soalnya, zaman seperti sekarang ini sudah banyak orang yang tidak percaya cerita aneh-aneh. Percuma. Ia lebih memilih diam lama-lama sambil meletakkan mikrofon yang tadi di genggamannya.
Semuanya semakin penasaran. Sampai cerita ini berakhir, mereka tetap penasaran. Semakin penasaran dan penasaran.
Semakin aneh dan tidak dapat dimengerti.**
Bantul, November 2014
Catatan:
**Selengkapnya, baca cerpen Sungging Raga berjudul Untuk Seseorang yang Kepadanya Rembulan Menangis yang dimuat di Koran Merapi pada tanggal 23 Juni 2013 https://surgakata.wordpress.com/2013/06/23/untuk-seseorang-yang-kepadanya-rembulan-menangis/
Daruz Armedian, penggemar Sungging Raga. Bergiat di Institut Sastra Sunnatunnur.
Hikz hikz :'(
ReplyDeletesedih juga..
ReplyDelete