Home » » LGBT, Berkelahi Untuk Amerika

LGBT, Berkelahi Untuk Amerika

Diposkan oleh damar pada Sunday, February 25, 2018 | 9:00 AM

Oleh : Edi AH Iyubenu

Sebab kaum melek pandai di negeri ini masih cenderung gagap mengubur jejak-jejak keterjajahan kita di masa lalu, wajarlah segala apa yang datang dari Barat selalu saja dirasa beramoma segar untuk dihirup. Termasuk urusan legalisasi pernikahan antarsejenis di Amerika yang sebenarnya sama sekali bukan hal baru dibanding negara-negara lain kayak Belanda, Belgia, dan seterusnya yang puluhan banyak jumlahnya. (Baca juga: Merindukan Allah Seperti Kerinduan Nietzsche, Freud, dan Marx)

Andai langgam kentut Obama dipublikasikan, kita pasti senantiasa bersedia hati untuk menghirupnya. Lha Barat kok, lha poros peradaban kok, nggak peduli itu dalam kadar yang penting atau tidak bagi kita, pokoknya isu-isu Barat selalu memikat hati.
Sumber Gambar: sindonews.net

Persis! Anda cerdas bila di sini mengingat nama Hassan Hanafi yang telah puluhan tahun silam merisaukan watak keterjajahan kita ini melalui gerakan Oksidentalisme untuk melawan Orientalisme; watak inlander yang minder, yang merasa harus selalu mencemplung-cemplungkan diri pada poros peradaban Barat agar ditahbiskan civilized. Pret! (Baca juga: Dedek Gemes Umrah Adalah Pilihan Terbaik Disandingkan Ke pelaminan)

Kini kita ramai-ramai menghirup angin LGBT. Lesbi, Gay, Biseks, dan Transeksual. Namanya barang ramai-ramai, tentu ada yang merayakannya dengan cara mendukungnya atau menolaknya atau netral saja; sampai pada derajat kita merasa itu benar-benar penting untuk kita bahas lagi eker-ekeran. Dari yang berkadar saintifik hingga dogmatik; dari yang bergaya adu kutipan hingga adu ngotot; dari yang bernarasi ala Charles Darwin hingga Yusuf al-Qardlawi; dari yang santai hingga kafir-mengkafirkan.

What the hell we are!

Problem mendasar semua bahasan dan eker-ekeran itu adalah, saya lihat,  setakar dengan bahasan dan eker-ekeran seputar masalah agama saja. Tentang siapa yang benar; bukan apa yang benar. Walhasil, bahasan dan eker-ekeran itu tak pernah ke mana juga. (Baca juga: Tips Sakti Membesarkan dan Memanjangkan Titi)

Itu masalah epistemologis kita di hadapan angin-angin Barat.

Dari kubu santifik, lahir debat apakah LGBT itu nature atau nurture. Semua sisi punya referensi. Baik yang otoritatif atau pun sudah terbantahkan. Dari yang klasik penuh keraguan macam teori Charles Darwin hingga yang kontemporer macam Mernissi. (Baca juga: Ada Apa (Lagi) Dengan Islam Nusantara)

Dari pihak teologis, pendekatan naqli tentang haramnya meniru (apalagi mengubah) wujud diri sehingga “menyimpang” dari fitrah adikodratinya, bahwa batas antara wanita dan lelaki itu sudah sangat tegas, melesat bagai petasan. Tak lupa, dikutip pula permukaan sejarah Nabi Luth kala berdakwah kepada kaum Sodom yang diazab oleh Allah.

Dari sisi HAM, pendukung LGBT meminta hak hidupnya diberikan, dengan argumen thin ethic; hak yang tak bisa diperdebatkan lagi, sebab adalah fundamental manusia macam kebebasan untuk beragama dan berdomisili. Di sisi lain, pihak penentang mencibir kaum LGBT itu mengada-ada, berstandar ganda soal HAM, hanya mau menang sendiri. HAM yang dituntut sama sekali bukanlah HAM yang selaras dengan konstruksi hidup. Begitu dalihnya. (Baca juga: Dedek-Dedek Gemes Turki)

Semua perspektif itu akan sangat panjang untuk diuraikan. Pendek kata, saya simpulkan, debat LGBT akan sangat sulit menemukan titik temunya dari sudut pandang apa pun.

Saya tak berminat untuk meriuhkan hiruk-pikuk itu, sebab ya itu tadi: takkan mungkin ada titik temunya. Sampai kiamat! Sesuatu yang telah kita tahu takkan ada titik temunya, akan lebih afdal bila tidak dipaksakan untuk bertemu; biarkanlah berjalan sendiri-sendiri saja di atas kaki argumen dan keyakinannya.

Tentu saja, saya bukanlah bagian dari pelaku LGBT. Secara teologis, saya mempercayai keyakinan saya bahwa LGBT tidak perlu dijadikan pilihan orientasi seksual. Sangat banyak dogma teologi saya yang menolaknya.
lgbt
Sumber Gambar: www.tempo.co

Namun, saya pun tak pernah berhasrat untuk memaksa orang lain, baik pelaku LGBT atau pun simpatisannya, hingga yang pura-pura simpatisan padahal hanya duduk di singgasananya, untuk sependapat dengan saya yang menggunakan pendekatan teologis. Saya mafhum bahwa hidup ini memiliki jutaan perspektif, seperti pendekatan saintifik, utamanya psikologis, dan HAM yang memberi ruang bagi keberadaan kaum LGBT.

Lalu bagaimana saya bersikap di antara dua kubu yang tak bakal pernah seranjang ini?

Saya percaya dua hal yang selalu mengangkangi langgam hidup kita di dunia ini:

Pertama, regulasi legal-formal nation-state yang melingkupi hidup kita. Regulasi Belanda dan Amerika jelas tak sama dengan regulasi nation-state kita. Semua negara memiliki kedaulatan konstitusinya masing-masing. Mau Anda setuju mati-matian atau membenci modar-modaran pada LBGT, bila di negeri sendiri hal demikian tak diakomodir, bukankah semua perkelahian remuk-remukan itu hanya kesia-siaan?

Ini sama persis kita meributkan seekor burung akan dibumbui apa untuk buka puasa nanti agar enak disantap, padahal burung itu masih terbang nun jauh di langit sana, sehingga kita tak pernah akan menikmatinya sekalipun kita saling bantai. Bukankah ini loser belaka?

Jadi, akan lebih efektif bila Anda yang mendukung LGBT berjuang dulu secara konstistusional untuk melegalkan pernikahan sejenis itu. Serupa Anda baiknya mengubah konstitusi peniadaan hukuman mati dulu saja timbang teriak-teriak itu melanggar HAM. Agar gugatan Anda relevan dan aktual.

Jelas lebih kronologis untuk menangkap burung dulu, memilikinya, baru membahasnya mau dimasak dengan bumbu apa nanti sore.

Kedua, pernahkah Anda bisa steril dari lingkaran sosial yang mengitari kehidupan Anda? Pasti tidak, kecuali Anda merelakan diri untuk menjadi martir sosial. Seburuk apa pun sebuah social network dari kacamata saintifik, misal, bila Anda hidup di dalamnya, Anda harus selalu memperlihatkan diri sebagai bagiannya, kan?

Boleh saja Anda menuding social network negeri ini tertinggal, kuno, penuh mitos, dibanding Amerika, tetapi apa yang bisa Anda lakukan untuk menghindarkan diri dari jangkauannya?

Sampai sekarang, posisi LGBT di antara social network kita tidak diakui. Masih dinilai sebagai anomali, penyimpangan, yang harus “dibenarkan”. Anda tentu saja berhak untuk memekik sampai urat leher menegang; tapi, sekali lagi, apa gunanya?

Begitu pun Anda yang benci mati sama LGBT, dengan landasan teologis misal, jangan coba-coba Anda memukuli kaum LGBT, sebab sikap Anda itu jelas melanggar social network kita, sehingga pasti Anda akan menuai masalah. Maka, soalnya sama saja, apa gunanya? (Baca juga: Resiko Semata Menuhankan Fiqih)

Tentu, sebagai sebuah diskursus, saya mengerti bahwa perdebatan panjang tentang LGBT akan memberikan atmosfir perspektif yang beragam kepada kita semua. Agar kita tidak berkacamata kuda. Seminim-minimnya, sebutlah, kita menjadi tahu kini bahwa secara saintifik, teologis, dan HAM, misal, ada pertentangan pendapat yang amat dalam. “Seminim-minimnya” inilah sisi kemanfaatan debat panjang itu bagi kita. Ya, tentu, tetap saja, hanya sebagai sebuah wacana.

Selebihnya, di lingkup legal dan sosial, ia tak membumi. Maka baiknya kita semua selalu ingat, bahwa kita tidak hidup di Amerika dan Belanda. Soal suatu kelak konstruksi legal dan sosial kita berubah tentang LGBT, sebutlah sejajar dengan Amerika kini, ya biarkan itu kita bahas nanti saja. Setelah burungnya benar-benar kita tangkap dan miliki saja.

Oke. Usai kini mengerti bahwa kemanfaatan debat LGBT itu hanya “seminim-minimnya” tadi, saya kira lebih baik bila kini kita berkawan saja sambil ngopi dan nyantai. Bukankah ngopi jauh lebih memikat dibanding berkelahi demi Amerika, to?

Bukankah memikirkan siapa yang akan disanding di pelaminan jauh lebih relevan dan aktual dengan kehidupan kita sendiri to, Mblo?


Jogja, 1 Juli 2015


Edi AH Iyubenu,  CEO Divapress dan Rektor #KampusFiksi Yogyakarta. Kandidat Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta




Artikel Terkait:

1 comments :