Home » » Surat Pelaut untuk Susi Pudjiastuti

Surat Pelaut untuk Susi Pudjiastuti

Diposkan oleh damar pada Sunday, February 25, 2018 | 9:30 AM

Oleh : Mahwi Air Tawar

Dalam surat ini, saya tak ingin bercerita perihal Santiago, lelaki tua, yang bertahun-tahun menghabiskan waktunya di tengah laut memancing ikan-- meski tak seeokor pun ikan didapat--, tapi lelaki yang sepanjang usianya "dikoyak-koyak sepi" itu tak pernah berputus asa. (Baca juga: Ujung Laut Bangsa Karapan)

Ah, tidak, ibu, sekali lagi, dalam surat ini saya tak bermaksud menceritakan tentang Santiago, yang tak lain dan tak bukan hanya cerita rekaan novelis terkemuka, Ernest Miller Hemingway. Ada banyak nasib lebih tragis yang dialami pelaut-pelaut kita tinimbang Santiago, tokoh dalam novel "The Old Man and the Sea". Meski harus saya akui dengan suasana hati sesilir angin pesisir, Ernest Millet Hemingway dalam novel itu berhasil memotret dan menarasikan kehidupan/ psikologi si Santiago.
laut
Sumber Gambar: sukasaya.com

Di sini, di lautan maha luas bahasa ini, alangkah sia-sianya saya bila harus mendedah kisah penuh degub Jhon Blacthorne, seorang nahkoda kapal bajak laut dari Inggris, ingin menguasai bentangan lautan Asia dan mengusir kapal-kapal dan nahkoda-nahkoda keparat Portugal dan Spanyol, yang lebih dulu datang. Tidak, ibu Susi, saya tak cukup nyinyir menceritakan Jhon Blacthorne dalam novel dua jilid berjudul Shõgun itu. Karena bagi saya, tak ada yang lebih tabah dan sekaligus mengagumkan dari pelaut-pelaut kita yang, mengutip "saloka" (peribahasa) Madura, yang kemudian dipopulerkan dalam puisi penyair, D. Zawawi Imron; berbantal imbak berselimut angin!

Bagaimana pun, masalah-masalah di bentangan lautan kita jauh lebih "magis, imajinatif dan sekaligus rumit" tinimbang imajinasi dalam karya sastra, hususnya karya-karya sastrawan terkini yang hanya memotret masalah kelautan yang ditulis oleh penulis kita, yang rasa-rasanya hanya selesai pada lanskap, langit biru, gelombang, buncahan buih, dan kisah-kisah romantik, meminjam bahasa Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil. (Baca juga: Pelukan Laut)


Sementara, asin nasib pelaut, luluh lantaknya perahu-perahu nelayan-nelayan kita --baik yang dikarenakan hantaman gelombang maupun, perahu-perahu yang remuk berkecai lantaran ditabrak oleh kapal-kapal "barang" yang bebas berlenggang di atas lautan sebagaimana kerap terjadi. Bahkan baru-baru ini (12/6/2015), kapal bermuatan batu-bara menabrak perahu layar di perairan Kahuripan, Pulau Gili Genting, kabupaten Sumenep, Madura.

Dalam peristiwa mengenaskan itu, ibu Susi, perahu milik nelayan yang sepanjang hidupnya dihabiskan di laut luluh lantak, tenggelam! 12 awak perahu yang selamat tinggal 8 orang, dan 4 orang lainnya meninggal dunia setelah berhari-hari mengapung di lautan.

Jangan tanya ke mana kapal yang menabrak itu menuju dan, apakah sampai sekarang kami menemukannya (?) tidak, ibu. Tolong jangan tanya juga apakah pemerintah daerah dalam hal ini dinas kelautan Kabupaten Sumenep, menindak lanjuti atau melakukan pencarian dan menindak baik terhadap kapal maupun terhadap korban.
susi pudjiastuti
Sumber Gambar: tempo.co

Sebagaimana ibu ketahui, nelayan--nelayan kecil tak cukup waktu untuk datang dengan membungkuk-bungkuk menemui dan melaporkan kepada yang mulia pemerintah: bukankah seharusnya mereka bertindak, memberi perlindungan terhadap keberlangsungan hidup masyarakat nelayan? Tentu tak bisa dipungkiri juga bahwa mereka telah bertindak, setidak-tidaknya pemerintah menulis prees realease, perihal musibah yang dialami masyarakat nelayan, dan dalam "prees realease" itu tanpa malu-malu mereka juga mencantumkan kalimat "paling mulia" yakni telah menerjunkan petugas khusus untuk melakukan evakuasi korban, ya, meski pada kenyataannya mereka hanya hilir mudik di tepi laut dan sesekali berdoa, semoga korban selamat. (Baca juga: Toa pun Berpuasa)

Susah dinalar memang, bagaimana mungkin sesuatu bisa terwujud hanya dengan doa, dan ini tentu saja harus saya akui bahwa tindakan ini lebih imajinatif daripada karya sastra itu sendiri. Tapi tak mengapa. Hanya saja, melalui surat pendek ini, ibu Susi, tolong sampaikan dan kalau perlu adakan pelatihan khusus bagi pemerintah daerah, dinas kelautan, khusus bgaimana cara berenang dan menangani peristiwa yang terjadi di lautan. Sampaikan juga bahwa, masalah tidak bisa diselesaikan dengan "prees realease", hanya dengan doa.Bukankah doa tanpa tindakan nyata akan berujung "sia-sia"?

Demikian surat ini saya buat dengan asin air mata, dengan anyir peluh dan gumpalan gelombang hidup yang terus berdegub.

Tepi Sungai Cisadane, 22 Juni 2015


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment