Home » » Pemimpin Baru Dan Paradigma Pembangunan Partisipatif

Pemimpin Baru Dan Paradigma Pembangunan Partisipatif

Diposkan oleh damar pada Monday, March 21, 2016 | 12:54 PM

Oleh: Lukman Santoso Az*

Setelah melalui hiruk-pikuk pemilukada serentak, sebagai wujud demokrasi langsung. Rakyat di berbagai daerah di Indonesia telah menemukan pemimpin pilihannya yang siap mengemban amanah sekaligus menunaikan janji politiknya. Meskipun dibeberapa daerah masih menyisakan sengketa hukum yang belum tuntas. Namun, proses sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) hanya tinggal menghitung hari. Mayoritas sengketa pemilukada yang di layangkan ke MK telah diputus dan telah final secara yuridis, kecuali di 5 daerah yang harus melaksanakan Pilkada ulang. 

Dalam perkembangan negara hukum Indonesia, konsep demokrasi menjadi pilihan dalam menjalankan tatanan pemerintahan. Demokrasi dianggap sangat dekat dengan konsep kedaulatan rakyat yang menekankan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga sinergitas kedua konsep ini adalah bagaimana membentuk suatu pemerintahan yang didasarkan atas kehendak bersama dan untuk menjalankan kepentingan rakyat banyak (maslahatil ‘ammah). Salah satu perwujudan demokratisasi di Indonesia adalah dengan adanya pemilukada serentak yang diselenggarakan pada 9 Desember lalu, yang diharapkan banyak pihak akan melahirkan pemimpin yang dikehendaki rakyat (aspiratif) sekaligus pemimpin yang mengerti kehendak rakyat (partisipatif).

Dengan terpilihnya pemimpin baru tersebut, tentu harapan baru juga tersemat dipundak mereka. Rakyat di berbagai daerah tentu merindukan pemimpin yang berkomitmen dalam memajukan sekaligus mensejahterakan rakyat melalui pembangunan nyata. Pembangunan yang terprogram dengan baik serta merata tentu menjadi idaman masyarakat. Sebaliknya pembangunan yang terkesan mengejar target dan didasarkan pada deal-deal politik yang memperkaya segelintir elite dipastikan hanya mencapai hasil yang tidak signifikan dan pada akhirnya pembangunan tidak akan tepat sasaran.

Untuk itu, Indonesia saat ini butuh pemimpin yang mendasarkan visi pembangunan daerah yang bersendikan pada partisipasi rakyat. Artinya bahwa masyarakat perlu untuk dilibatkan secara langsung dalam perencanaan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Termasuk dalam hal pembuatan peraturan daerah (Perda) yang partisipatif, sebagai landasan proses pembangunan.

Sumber Gambar: solopos.com
Partisipasi merupakan hal yang paling vital dalam pemerintahan dan penentuan kebijakan di era demokrasi, sebab konsensus yang terjadi di dalamnya merupakan landasan yang penting bagi keputusan sosial dan tindakan partisipasi. Berdasar pandangan teori demokrasi partisipatif dapat diketengahkan bahwa hal paling esensial berikutnya dari demokrasi adalah adanya dukungan terhadap nilai-nilai manusiawi dari sekalian masyarakat. Inilah yang melandasi pemahaman bahwa demokrasi sebenarnya harus meletakkan kerakyatan atau kedaulatan rakyat di atas segalanya.

Oleh karena itu, pembangunan partisipatif mengandung beberapa aspek; Pertama, kognitif, yakni dalam rangka mengembangkan pemahaman atas pemikiran yang berbeda dalam memandang realitas sosial dan alamiah sekeliling. Kedua, politik, yakni dalam rangka mengakomodir dan menguatkan suara-suara dari pihak-pihak yang selama ini terpinggirkan atau bahkan apatis. Ketiga, instrumental, yakni dalam rangka menyusun alternatif baru. Bentuk-bentuk kunci partisipasi rumah tangga, ekonomi, sosio-kultur, dan politik. Seluruhnya ini saling berpengaruh satu dengan yang lain, sehingga butuh sinergitas yang komprehensif antar komponen.

Tentang hal ini, Jack Lively menyebut 3 (tiga) kriteria kadar kedemokratisan sebuah pemerintahan dalam hubungannya dengan partisipasi, yaitu: 1) sejauh mana semua kelompok utama terlibat dalam proses-proses pengambilan keputusan; 2) sejauh mana keputusan pemerintah berada di bawah kontrol masyarakat; dan 3) sejauh mana masyarakat biasa terlibat dalam pelayanan umum. Melalui partisipasi rakyat secara berkelanjutan tersebut, ajaran “kehendak umum” (la volonté générale) dari Rousseau dan ajaran Locke tentang “kehendak mayoritas sebagai bentuk persetujuan dari rakyat” akan terartikulasikan.

Adanya hambatan partisipasi rakyat dalam mewujudkan pembangunan yang demokratis selama ini dikarenakan di beberapa daerah masih belum berkembangnya inovasi metode dan media, baik untuk penyampaian informasi, proses pemberian masukan, maupun berdialog. Untuk saat ini yang banyak digunakan masih metode tradisional semisal, hearings, seminar dan pertemuan di ruang DPRD. Sementara itu, alternatif lain masih belum diterima, semisal FGD (Fucus Group Discussion), Expert Meeting, atau pemanfaatan media elektronik dan jejaring sosial yang sudah di terapkan di daerah-daerah yang berpredikat baik, semisal Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Bantaeng, Batang, dll.

Akhirnya, partisipasi masyarakat hanya bisa terwujud dengan baik jika didukung dengan visi pemimpin yang memberi ruang keterbukaan, kebebasan, dan kesetaraan dalam ranah empirik pembangunan. Sebab bagaimanapun masyarakat yang mengetahui persis apa yang menjadi kebutuhannya. Pereduksian terhadap dimensi-dimensi tersebut berarti mereduksi hak partisipasi masyarakat sekaligus mereduksi prinsip dasar demokrasi, yang pada gilirannya juga mereduksi kedaulatan rakyat. Dengan pemahaman bahwa demokrasi tidak sekadar menyangkut hal-hal yang sifatnya formalistis, maka demokrasi harus memberikan kemungkinan kepada masyarakat mengungkapkan pendapat dan kehendak mereka untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan daerah. Ruang  dan sarana sebagai tempat masyarakat dapat menyatakan pendapat, kepentingan, serta kebutuhan mereka secara diskursif dan bebas tekanan itulah merupakan inti dari ide pembangunan yang demokratis dan progresif. Agar visi pembangunan daerah kedepan benar-benar mensejahterakaan dan berdampak pada kemajuan.

* Pengajar Hukum STAIN Ponorogo; Peserta Program Doktor Ilmu Hukum UGM



Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment