Oleh : Mahwi Air Tawar
Sudah satu bulanan ini saya intens bertemu dengan sastrawan terkemukan Indonesia, Abdul Hadi WM. Kadang pertemuan kami berlangsung di ruangan beliau, Universitas Paramadina, kadang di kantin kampus. Bersua sastrawan bersahaja, Abdul Hadi WM, tentunya sangat menyenangkan. Banyak hal kami bicarakan baik tentang sastra, budaya, sejarah, politik, dan tentang Kampung Kreatif Madura, yang rencananya akan beliau bangun di desa Pasongsongan, Sumenep, Madura, tempat beliau berasal.
Di ruangan Pak Hadi, begitu saya memanggil, amat penuh dengan kliping-kliping yang memuat tulisan-tulisan Pak Hadi. Pada suatu siang, ketika saya bermaksud menyusun kliping dari karya-karya beliau yang pernah di muat media, beliau bertanya perihal perkembangan penyair muda Madura, saya pun menjawab sejauh yang saya tahu. Kemudian beliau menunjukkan kiriman email puisi-puisi yang ditulis oleh 41 penyair muda Madura, kiriman dari Nana Ernawati, komunitas Reboen, Jakarta. “Saya diminta menulis kata pengantar,” kata Pak Abdul Hadi.
Mendengar nama komunitas Reboeng dan Nana Ernawati saya teringat pada sebuah event sastra di Yogyakarta, 3 tahun silam, di mana Nana Ernawati Fondation menjadi sponsor utama dalam event lomba cipta puisi. Demikian saya terus mengingat Nana Ernawati, yang beberapa bulan silam meluncurkan lima buku puisi dari lima penyair Indonesia, Iman Budi Santosa, Mardi Luhung, Joko Pinurbo, Dhenok Kristanti, dan Nana Ernawati sendiri.
Ketika hari beranjak sore saya keluar dari ruangan Pak Hadi, dan langsung pulang. Di dalam bus Kopaja yang apek, panas dan suara mesin yang kerap terdengar seperti batuk orang tua saya mencoba mengumpulkan serpihan ingatan perihal nama Nana Ernawati, nama yang disebutkan Pak Abdul Hadi, dan bersama Reboeng, komunitas yang didirikannya ia memprakarsai terbitnya buku antologi penyair Madura.
Ya, saya menggumam sembari mengulum senyum. Kini, saya ingat perjumpaan saya dengan Nana Ernawati terjadi pada tahun 1999 lewat lembaran buku antologi puisi Tonggak, suntingan penyair Linus Suryadi Ag. Ketika itu saya masih kelas dua MTS (SMP). Buku itu saya beli di kampung buku Surabaya, jalan Semarang. Saya lupa judul puisi Nana Ernawati apa saja. Tapi sekarang saya ingat Nana Ernawati adalah penyair Indonesia, yang pernah berproses di Yogyakarta, dan belakangan intens melakukan gerakan-kerakan literasi dan kebudayaan dengan komunitas Reboeng.
Setiba di rumah, saya buka pesan singkat dari pak Abdul Hadi: tolong mintain copy-an manuskrip puisi penyair Madura. Demikian permintaan Pak Hadi lewat pesan singkat. Tentu saya melakukannya dengan gembira, dengan senang hati, setidaknya, saya tak perlu bersusah-payah —mengingat saya seorang pemalas— mengetik ulang puisi-puisi penyair Madura yang pernah saya kliping dari berbagai media. Alasan lain, karena kehadiran dan kesediaan Nana Ernawati, yang sangat saya yakini dengan senang hati memprakarsai terbitnya buku antologi puisi, sebuah “proyek” yang sudah pasti “proyek rugi” secara penjulan.
Semula, manuskrip yang dikirim kepada Pak Abdul Hadi WM, tidak ada judulnya, maka dengan iseng dan seizin penyair Nana Ernawati, manuskrip itu saya beri judul Berbantal Ombak Berselimut Sajak, judul di atas saya elaborasi dari pribahasa Madura, abântal ombâ' asapo' angin (berbantal Ombak Berselimut Angin).
Satu minggu berselang, Raedu Basha, penyair muda yang puisinya terhimpun dalam antologi penyair Muda Madura, memberi kabar, judul antologi puisi yang akan segera diluncurkan itu adalah Ketam Ladam Rumah Ingatan, saya agak susah menarasikan judul tersebut meski sebenarnya saya akrab dengan Ketam Ladam, dan masa kecil saya nyaris selalu bersama Ketam Ladam di pinggir pantai di desa Badur, Sumenep, Madura.
Meskipun saya yang menyerahkan manuskrip —yang saya beri judul Berbantal Ombak Berselimut Sajak—, selanjutnya oleh panitia diberi judul Ketam Ladam Rumah Ingatan kepada Pak Abdul Hadi WM, tapi saya tak berani membuka apalagi membacanya, mengingat perintah yang diberikan kepada saya adalah “menyerahkannya” bukan “membaca.”
Namun begitu, besar harapan, saya dan, mungkin juga teman-teman dari komunitas Reboeng, yang dengan sepenuh hati mendukung dan membiayai penerbitan bisa menemukan narasi Ketam dalam puisi-puisi yang terhimpun dalam buku Ketam Ladam Rumah Ingatan, betapa ingin saya dapat menemukan wajah Madura dalam puisi penyair-penyair muda ini. Madura yang perlahan-lahan raib dari “rumah ingatan", tanah-tanah di sepanjang pesisir yang sudah dijadikan tambak, tegalan tempat dulu kami bermain yang kini sudah dikapling oleh pengusaha, bulir-bulir garam “yang tak lagi asin”. Riak ombak di kepulauan yang seakan memperdengarkan riak pilu lantaran sumber alamanya sudah dikuasai pengusaha dan pemodal sementara masyarakat sekitar hanya mampu mendekap dada sambil sesekali mengharap keajaiban turun dari langit biru.
Bekasi-Tangerang, Januari 2016.
Sudah satu bulanan ini saya intens bertemu dengan sastrawan terkemukan Indonesia, Abdul Hadi WM. Kadang pertemuan kami berlangsung di ruangan beliau, Universitas Paramadina, kadang di kantin kampus. Bersua sastrawan bersahaja, Abdul Hadi WM, tentunya sangat menyenangkan. Banyak hal kami bicarakan baik tentang sastra, budaya, sejarah, politik, dan tentang Kampung Kreatif Madura, yang rencananya akan beliau bangun di desa Pasongsongan, Sumenep, Madura, tempat beliau berasal.
Di ruangan Pak Hadi, begitu saya memanggil, amat penuh dengan kliping-kliping yang memuat tulisan-tulisan Pak Hadi. Pada suatu siang, ketika saya bermaksud menyusun kliping dari karya-karya beliau yang pernah di muat media, beliau bertanya perihal perkembangan penyair muda Madura, saya pun menjawab sejauh yang saya tahu. Kemudian beliau menunjukkan kiriman email puisi-puisi yang ditulis oleh 41 penyair muda Madura, kiriman dari Nana Ernawati, komunitas Reboen, Jakarta. “Saya diminta menulis kata pengantar,” kata Pak Abdul Hadi.
Sumber Gambar: lukisan s sujono www.liataja.com |
Mendengar nama komunitas Reboeng dan Nana Ernawati saya teringat pada sebuah event sastra di Yogyakarta, 3 tahun silam, di mana Nana Ernawati Fondation menjadi sponsor utama dalam event lomba cipta puisi. Demikian saya terus mengingat Nana Ernawati, yang beberapa bulan silam meluncurkan lima buku puisi dari lima penyair Indonesia, Iman Budi Santosa, Mardi Luhung, Joko Pinurbo, Dhenok Kristanti, dan Nana Ernawati sendiri.
Ketika hari beranjak sore saya keluar dari ruangan Pak Hadi, dan langsung pulang. Di dalam bus Kopaja yang apek, panas dan suara mesin yang kerap terdengar seperti batuk orang tua saya mencoba mengumpulkan serpihan ingatan perihal nama Nana Ernawati, nama yang disebutkan Pak Abdul Hadi, dan bersama Reboeng, komunitas yang didirikannya ia memprakarsai terbitnya buku antologi penyair Madura.
Ya, saya menggumam sembari mengulum senyum. Kini, saya ingat perjumpaan saya dengan Nana Ernawati terjadi pada tahun 1999 lewat lembaran buku antologi puisi Tonggak, suntingan penyair Linus Suryadi Ag. Ketika itu saya masih kelas dua MTS (SMP). Buku itu saya beli di kampung buku Surabaya, jalan Semarang. Saya lupa judul puisi Nana Ernawati apa saja. Tapi sekarang saya ingat Nana Ernawati adalah penyair Indonesia, yang pernah berproses di Yogyakarta, dan belakangan intens melakukan gerakan-kerakan literasi dan kebudayaan dengan komunitas Reboeng.
Setiba di rumah, saya buka pesan singkat dari pak Abdul Hadi: tolong mintain copy-an manuskrip puisi penyair Madura. Demikian permintaan Pak Hadi lewat pesan singkat. Tentu saya melakukannya dengan gembira, dengan senang hati, setidaknya, saya tak perlu bersusah-payah —mengingat saya seorang pemalas— mengetik ulang puisi-puisi penyair Madura yang pernah saya kliping dari berbagai media. Alasan lain, karena kehadiran dan kesediaan Nana Ernawati, yang sangat saya yakini dengan senang hati memprakarsai terbitnya buku antologi puisi, sebuah “proyek” yang sudah pasti “proyek rugi” secara penjulan.
Semula, manuskrip yang dikirim kepada Pak Abdul Hadi WM, tidak ada judulnya, maka dengan iseng dan seizin penyair Nana Ernawati, manuskrip itu saya beri judul Berbantal Ombak Berselimut Sajak, judul di atas saya elaborasi dari pribahasa Madura, abântal ombâ' asapo' angin (berbantal Ombak Berselimut Angin).
Satu minggu berselang, Raedu Basha, penyair muda yang puisinya terhimpun dalam antologi penyair Muda Madura, memberi kabar, judul antologi puisi yang akan segera diluncurkan itu adalah Ketam Ladam Rumah Ingatan, saya agak susah menarasikan judul tersebut meski sebenarnya saya akrab dengan Ketam Ladam, dan masa kecil saya nyaris selalu bersama Ketam Ladam di pinggir pantai di desa Badur, Sumenep, Madura.
Meskipun saya yang menyerahkan manuskrip —yang saya beri judul Berbantal Ombak Berselimut Sajak—, selanjutnya oleh panitia diberi judul Ketam Ladam Rumah Ingatan kepada Pak Abdul Hadi WM, tapi saya tak berani membuka apalagi membacanya, mengingat perintah yang diberikan kepada saya adalah “menyerahkannya” bukan “membaca.”
Namun begitu, besar harapan, saya dan, mungkin juga teman-teman dari komunitas Reboeng, yang dengan sepenuh hati mendukung dan membiayai penerbitan bisa menemukan narasi Ketam dalam puisi-puisi yang terhimpun dalam buku Ketam Ladam Rumah Ingatan, betapa ingin saya dapat menemukan wajah Madura dalam puisi penyair-penyair muda ini. Madura yang perlahan-lahan raib dari “rumah ingatan", tanah-tanah di sepanjang pesisir yang sudah dijadikan tambak, tegalan tempat dulu kami bermain yang kini sudah dikapling oleh pengusaha, bulir-bulir garam “yang tak lagi asin”. Riak ombak di kepulauan yang seakan memperdengarkan riak pilu lantaran sumber alamanya sudah dikuasai pengusaha dan pemodal sementara masyarakat sekitar hanya mampu mendekap dada sambil sesekali mengharap keajaiban turun dari langit biru.
Bekasi-Tangerang, Januari 2016.
0 comments :
Post a Comment