Oleh : Sofyan RH. Zaid
“Menulis puisi adalah membuat perhitungan dengan kata secara habis-habisan.”
Chairil Anwar
Aristoteles melalui Poetics-nya memperkenalkan pertama kali perihal diksi sebagai sarana menulis indah dan berbobot atau “diksi puitis” dalam istilahnya. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan bahwa seseorang yang mampu menulis dengan indah -khususnya puisi- bila memiliki kekayaan yang melimpah. Pemikiran ini kemudian dikembangkan fungsinya lebih luas, bahwa diksi tidak hanya diperlukan bagi penyair untuk menulis puisi, tapi juga bagi para sastrawan yang menulis prosa atau drama, juga ilmuwan dalam menjelaskan ilmu pengetahuannya. Dengan kata lain, diksi juga penting bagi seorang guru untuk mengajar muridnya melalui perantara bahasa dengan pilihan kata yang indah dan berbobot.
Diksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Fungsi dari diksi antara lain: Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah paham terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis; Untuk mencapai target komunikasi yang efektif; Melambangkan gagasan yang diekspresikan secara verbal; Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
Sementara Keraf mengemukakan bahwa diksi merupakan plilihan kata. Kata–kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata–kata yang tepat atau menggunakan ungkapan–ungkapan, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Sekaligus sebagai sebuah kemampuan membedakan secara tepat nuansa–nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki. Memilih kata secara tepat dan sesuai hanya dimungkinkan jika menguasai sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu sendiri.
Dalam penulisan puisi, diksi menjadi sangat penting untuk membantu puisi menjadi semakin indah dan berbobot, juga untuk menghindari pengulangan kata yang basi (klise) serta sebagai pertaruhan bagi penyair untuk terus mencari dan menemukan kata-kata baru yang segar untuk setiap puisi yang ditulisnya. Sebab puisi tanpa diksi, hanya akan sama dengan surat cinta yang menggelikan.
Itulah pentingnya diksi bagi puisi. Dengan mengetahui banyak kosakata, penulis puisi akan mempunyai pilihan yang lebih beragam dan memberikan warna dan jiwa tersendiri bagi puisinya. Analisis diksi secara khusus menemukan bagaimana satu kalimat menghasilkan intonasi dan karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan gerakan fisik menggambarkan karakter aktif, sementara penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan perasaan menggambarkan karakter yang emosional.
Buku Hijrah ke Rantau karya Syarif ini sangat menonjol dalam penggunaan diksinya. Misalnya potongan bait pada puisi Cintaku Jauh di Rantau:
ada malam-malam aku tak henti menyebut namamu
seperti menonton layar perahu dalam gelas kaca
atau kapal kertas mencoba mengarungi mimpi
menggapai cintanya yang jauh di rantau
Atau pada Percakapan Malam:
sepasang mata sembabmu menerawang mimpi
yang masih menggantung di ubun-ubun
dan lirikan kunang-kunang membawa sebuah cerita
tapi malam tak pernah bisa bersua dengan siang
Juga pada Senja di Ujung Cerita:
kau masih menangis,
ketika siang telah di telan senja di ujung daun
padalah lampu di perempatan kota bersajak tentang cerita
tapi hanya dapat melantunkan melody kesedihan
Dan puisi Doa yang Tak Pernah Selesai:
bintang menangis,
masih terlalu lembab sungai yang mengalir dari raut-raut yang sudah mulai menua
sedang ranting-ranting senja sudah mulai berjatuhan di dasar sungai
airnya terlalu deras untuk membeli sebuah mimpi
Apalagi pada puisi Hijrah ke Rantau:
pada tanah perantauan aku meminang rantau
dengan satu puisi di matamu
pada laut di deru mata beningmu
yang telah di tingkahi hujan
karena hujan adalah anak perempuan yang suka menangis
Dan masih banyak lagi pada puisi lainnya dalam buku ini. Diksi tentu berkaitan dengan apa yang disebut Wellek dan Warren, bahwa keberhasilan sastrawan dalam berkarya karena mengalami gangguan emosi dan karya sastranya merupakan konpensasi. Sastrawan menuliskan kegelisahannya, mengaggap kekurangan dan kesengsaraannya sebagai tema karyanya. Dan Syarif berhasil memilih kata yang indah dan berbobot untuk mewakili apa yang terjadi dalam perasaannya. Atau paling tidak secara puitis, dia telah mewakilkan dirinya pada kata -melalui puisi- untuk menyatakan cinta pada kekasihnya, yang dia sebut Atul di rantau.
Bekasi, 16 Oktober 2015
“Menulis puisi adalah membuat perhitungan dengan kata secara habis-habisan.”
Chairil Anwar
Aristoteles melalui Poetics-nya memperkenalkan pertama kali perihal diksi sebagai sarana menulis indah dan berbobot atau “diksi puitis” dalam istilahnya. Lebih jauh Aristoteles menjelaskan bahwa seseorang yang mampu menulis dengan indah -khususnya puisi- bila memiliki kekayaan yang melimpah. Pemikiran ini kemudian dikembangkan fungsinya lebih luas, bahwa diksi tidak hanya diperlukan bagi penyair untuk menulis puisi, tapi juga bagi para sastrawan yang menulis prosa atau drama, juga ilmuwan dalam menjelaskan ilmu pengetahuannya. Dengan kata lain, diksi juga penting bagi seorang guru untuk mengajar muridnya melalui perantara bahasa dengan pilihan kata yang indah dan berbobot.
Diksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Fungsi dari diksi antara lain: Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah paham terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis; Untuk mencapai target komunikasi yang efektif; Melambangkan gagasan yang diekspresikan secara verbal; Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
Sumber Gambar: tribunnews.com |
Dalam penulisan puisi, diksi menjadi sangat penting untuk membantu puisi menjadi semakin indah dan berbobot, juga untuk menghindari pengulangan kata yang basi (klise) serta sebagai pertaruhan bagi penyair untuk terus mencari dan menemukan kata-kata baru yang segar untuk setiap puisi yang ditulisnya. Sebab puisi tanpa diksi, hanya akan sama dengan surat cinta yang menggelikan.
Itulah pentingnya diksi bagi puisi. Dengan mengetahui banyak kosakata, penulis puisi akan mempunyai pilihan yang lebih beragam dan memberikan warna dan jiwa tersendiri bagi puisinya. Analisis diksi secara khusus menemukan bagaimana satu kalimat menghasilkan intonasi dan karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan gerakan fisik menggambarkan karakter aktif, sementara penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan perasaan menggambarkan karakter yang emosional.
Buku Hijrah ke Rantau karya Syarif ini sangat menonjol dalam penggunaan diksinya. Misalnya potongan bait pada puisi Cintaku Jauh di Rantau:
ada malam-malam aku tak henti menyebut namamu
seperti menonton layar perahu dalam gelas kaca
atau kapal kertas mencoba mengarungi mimpi
menggapai cintanya yang jauh di rantau
Atau pada Percakapan Malam:
sepasang mata sembabmu menerawang mimpi
yang masih menggantung di ubun-ubun
dan lirikan kunang-kunang membawa sebuah cerita
tapi malam tak pernah bisa bersua dengan siang
Juga pada Senja di Ujung Cerita:
kau masih menangis,
ketika siang telah di telan senja di ujung daun
padalah lampu di perempatan kota bersajak tentang cerita
tapi hanya dapat melantunkan melody kesedihan
Dan puisi Doa yang Tak Pernah Selesai:
bintang menangis,
masih terlalu lembab sungai yang mengalir dari raut-raut yang sudah mulai menua
sedang ranting-ranting senja sudah mulai berjatuhan di dasar sungai
airnya terlalu deras untuk membeli sebuah mimpi
Apalagi pada puisi Hijrah ke Rantau:
pada tanah perantauan aku meminang rantau
dengan satu puisi di matamu
pada laut di deru mata beningmu
yang telah di tingkahi hujan
karena hujan adalah anak perempuan yang suka menangis
Dan masih banyak lagi pada puisi lainnya dalam buku ini. Diksi tentu berkaitan dengan apa yang disebut Wellek dan Warren, bahwa keberhasilan sastrawan dalam berkarya karena mengalami gangguan emosi dan karya sastranya merupakan konpensasi. Sastrawan menuliskan kegelisahannya, mengaggap kekurangan dan kesengsaraannya sebagai tema karyanya. Dan Syarif berhasil memilih kata yang indah dan berbobot untuk mewakili apa yang terjadi dalam perasaannya. Atau paling tidak secara puitis, dia telah mewakilkan dirinya pada kata -melalui puisi- untuk menyatakan cinta pada kekasihnya, yang dia sebut Atul di rantau.
Bekasi, 16 Oktober 2015
0 comments :
Post a Comment