Home » » Ompongnya Gigi Taring Perdamaian PBB

Ompongnya Gigi Taring Perdamaian PBB

Diposkan oleh damar pada Friday, January 29, 2016 | 5:07 PM

Oleh : Ahmad Muchlish Amrin

Perdamaian dunia sering menjadi issue penting dalam perbincangan masyarakat politik dunia, mengingat merebaknya rekruitmen besar-besaran yang dilakukan oleh jaringan ISIS di sejumlah negara di dunia, baik Asia, Afrika, Amerika, dan Eropa.

Negara-negara di dunia mengalami dilema besar terkait perdamaian dunia. Perang melawan Islamic State (IS) sejak lama diserukan oleh Amerika, sehingga negara-negara yang dicurigai sebagai sarang pertumbuhannya segera dihabisi. Dampaknya adalah lubernya masyarakat sipil yang menjadi korban senjata tak bertuan, dan banjirnya para pengungsi ke sejumlah negara di Eropa.

Pertanyaannya kemudian, dapatkah perdamaian dunia diselesaikan dengan senjata atau perang? Semua elemen bangsa di dunia semestinya sadar bahwa sejarah dunia adalah sejarah peperangan. Sejarahwan terkemuka berkebangsaan Inggris, Arnold Toynbee (1975: 88) mencatat dalam bukunya Mankind and Mother Earth, A Narative History the World bahwa semenjak zaman Ekumene sekitar 3000 tahun sebelum Masehi, telah terjadi perang antar peradaban di dunia. Perang tersebut telah meruntuhkan gedung-gedung, melayangkan nyawa, serta meruntuhkan peradaban ekonomi yang dibangun dalam durasi waktu yang sangat lama.
Sumber Gambar: intelejen.co.id

Perang tidak hanya membunuh manusia dalam arti menghilangkan nyawa, akan tetapi perang juga dapat menciptakan trauma massal yang berkepanjangan. Penting kiranya kita membuka catatan-catatan yang disusun oleh pemikir dan peneliti dunia yang berguna setidaknya sebagai pelajaran dalam mengambil langkah-langkah strategis menyelamatkan manusia dari gempita bombardir, barisan tank-tank, dan rayapan ruh-ruh manusia tak bersalah. Perang, di zaman lalu tak lain dan tak bukan disebabkan oleh motivasi menguasai peradaban lain; motivasi menggali sumur kekayaan di bumi bangsa lain, yang oleh ilmuan modern disebut sebagai gold, gospel, dan glory.

Realitas tersebut dapat ditandai dengan gejala kontrak politik kaum elite dunia untuk menunjukkan kekuatannya masing-masing dalam dominasi persenjataan, ekonomi, pendidikan, dan sistem komunikasi. Perbincangan perdamaian akan menjadi sia-sia bila negara-negara kuat di dunia tidak menyingkirkan ego regional, menuju keselamatan masyarakat global.

***

Menatap perdamaian dunia, setidaknya terdapat dua modal penting yang dapat dipertimbangkan oleh semua elit politik dunia bila benar-benar bermimpi ihwal sebuah kehidupan yang damai. Pertama, modal struktural. Seluruh elemen masyarakat dunia sadar dan tahu bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan lembaga tertinggi bangsa di dunia.

Akan tetapi keberadaan lembaga tertinggi itu kurang berpengaruh dalam melindungi masyarakat sipil di dunia; keberadaan PBB seperti kekek tua yang bergigi ompong yang tidak berdaya menekan negara-negara kuat seperti Amerika Serikat, Rusia, dan anggota NATO untuk melindungi hak hidup masyarakat sipil dalam proses terbentuknya perdamaian dunia.

Hal-hal yang sering dikritik oleh banyak negara terkait status anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak VETO. Masyarakat dunia menilai hak tersebut dikendalikan oleh kepentingan negara-negara yang berada dalam lingkarannya. Penting kiranya menguatkan ranah struktur, dalam konteks ini PBB agar lebih adil, serius, dan ikut andil dalam menciptakan keamanan, kenyamanan, dan terbebasnya masyarakat sipil dari kejahatan perang.

Pergulatan politik antar bangsa yang sedang bersaing memang tengah memanas, akan tetapi PBB sebagai lembaga tertinggi negara harus berdiri di atas kekuatan bangsa-bangsa. Hingga saat ini, masih terjadi diskriminasi serta jurang pemisah yang sangat dalam antara negara maju dan berkembang.
Sumber Gambar: hidayatullah.com

Kedua, modal kultural. Masyarakat dunia secara kultural merupakan masyarakat yang kental dengan filsafat etika yang berkaitan langsung antara manusia satu dengan manusia yang lain. Semua ajaran agama maupun tradisi bangsa-bangsa di dunia menolak atas peng-habis-an nyawa orang lain, atas nama dan kepentingan apa pun.

Modal kultural tersebut setidaknya dapat menjadi prinsip dasar setiap individu, baik yang terlibat secara langsung dalam mengelola struktur maupun individu yang terkumpul dalam kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu bangsa di dunia. Kesadaran akan pentingnya menghargai nyawa manusia akan memantik nilai-nilai kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera.

***

Profesor Ilmu Politik dari Universitras Wisconsin, Hendry J. Schmandt (1896-1969) pernah menulis buku penting yang berjudul A History of Political History bahwa sains memiliki peran dalam perkembangan politik dunia. Akan tetapi pemerintahan masyarakat politik harus dibangun sedemikian rupa sehingga yang berkuasa tidak dapat melakukan penindasan terhadap suatu bangsa.

Perdamaian seharusnya menjadi tujuan utama masyarakat politik dunia, khususnya yang bertepuk kelindan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Banga. Bahwa negara menjadi lokus komunal dalam mewujudkan cita-cita bersama adalah sebuah keniscayaan yang layak diimpikan.

Capaian sains bukan untuk mengorbankan manusia, tetapi sains dikembangkan secara berkelanjutan dengan tujuan menjaga keberlangsungan hidup manusia. Semua manusia memiliki hak yang sama dalam memberikan dan menerima perdamaian. Perdamaian adalah prinsip yang seharusnya menjadi landasan perkembangan sains dalam bidang persenjataan.

Jika senjata-senjata adalah tubuh dalam sebuah negara, maka prinsip perdamaian menjadi jiwa yang melingkupinya. Senjata kemudian tidak diciptakan untuk meluluh lantakkan manusia lain, akan tetapi senjata berguna untuk menyelamatkan manusia di seluruh dunia. Tidak seorang pun manusia yang berhak menghabisi manusia lain. Tidak satu bangsa pun yang berhak menghancurkan bangsa lain. Perdamaian adalah segala-galanya.***


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment