Cerpen : Aris Kurniawan*
Fenita kembali dari pengasingannya. Naik taksi, dia meluncur ke sebuah mal di pinggiran kota pada awal pekan yang hangat. Fenita dengan anggun melangkah memasuki areal foodmart. Tubuh rampingnya bergerak luwes di antara pengunjung lain. Dingin udara AC menerpa tengkuk dan separuh punggungnya yang terbuka. Fenita memilih buah apel, markisa, jeruk, dan anggur. Sebutir apel digeragotnya tanpa peduli kepada orang-orang yang memandangnya dengan semacam keheranan: perempuan kok makan sambil jalan!
Fenita tidak peduli. Dia merasa, orang-orang tak akan mengenalinya lagi. Ekspresi wajahnya yang natural tanpa riasan tampak begitu tenang. Dia ingin menikmati betul kebebasan yang baru diperolehnya kembali.
Dia berjalan di koridor tempat jejeran rak minuman kaleng. Sesekali, Fenita menatap pengunjung lain di sekitarnya untuk meyakinkan bahwa mereka tidak memperhatikan dirinya. Dia menarik napas lega. Jimat pemberian Ibu Marisa, guru spiritualnya selama di pengasingan, ternyata benar-benar ampuh. Orang-orang hanya sekilas menatapnya, kemudian kembali sibuk dengan keranjang belanjaannya.
Tadi, dia sempat khawatir saat berpapasan dengan kawanan remaja berseragam putih abu-abu. Fenita takut mereka berteriak histeris begitu melihat dirinya di antara rak-rak minuman kaleng, lantas menyerbu dan mengerumuninya meminta tanda tangan dan foto bersama. Fenita merasa puas. Oh, cinta, desisnya. Ternyata, aku tak terlalu memerlukanmu. Lihatlah, aku baik-baik saja tanpamu. Bahkan, jauh lebih baik.
Inilah hari pertama kembalinya Fenita ke hadapan publik setelah menghilang sekitar enam tahun. Hari ini, dia berencana menemui beberapa teman dekatnya. Sehabis membayar belanjaannya di kasir, Fenita segera melesat lagi. Kali ini, taksi melaju ke arah pusat kota.
Lalu-lintas di ruas jalan tol mengalir lancar. Dia merebahkan kepalanya, tapi tak hendak memejamkan mata. Fenita meminta sopir mengambil jalur lambat. Dia ingin melihat secara lebih detail setiap ruas jalan yang dilaluinya. Oh, sudah banyak berubah ternyata. Makin banyak papan iklan. Taksi keluar dari jalan tol dan meluncur di Jalan Ampera. Jalan seperti lorong kenangan yang berlinangan, pikir Fenita. Berapa kali aku melewati jalan ini? Tiba-tiba, pertanyaan itu menyelinap di benaknya. Ah, tentulah tidak terhitung. Tapi, terakhir kali, enam tahun lalu itu, Fenita melewati jalan ini dengan perasaan hancur lebur. Heni, kawan setianya sekaligus asisten pribadinya yang sekarang mau ditemuinya, saat itu menenangkan dia yang menangis sesenggukan sampai tubuhnya terguncang-guncang di dalam taksi. Fenita jadi ingat lagi kejadian malam itu.
***
Fenita janji bertemu dengan Erik di sebuah kafe. Sebenarnya, Fenita sudah menolak lantaran tak mau lagi didustai untuk kali ke sekian oleh Erik. Namun, rayuan Erik membuat Fenita luluh.
“Aku menyesal, Sayang, aku menyesal. Percayalah, tak akan mengulangi kebodohanku. Aku sangat mencintaimu. Hanya kamu,” ujar Erik lewat telepon. Fenita diterjang kebimbangan. Kata-kata Erik membuatnya melayang-layang. Luka hati Fenita yang begitu dalam oleh pengkhianatan Erik seakan menguap begitu saja. Padahal, dulu, Erik tidak hanya mengkhianati cintanya dan pergi dengan perempuan lain, tapi juga menipu dia dengan membawa kabur tabungannya. Tidak cukup itu saja, Erik mencemarkan citranya dengan menyebar foto-foto mesra dia ke media massa. Fenita tak mengerti kenapa ada lelaki sejahat itu, lelaki yang begitu dia cintai karena selama ini dikenal baik dan begitu dia percayai lantaran dianggap lebih mengerti perasaanya dibanding dengan teman-teman prianya yang lain.
Sebelum memutuskan berangkat, Heni sudah mewanti-wanti, tak perlu lagi meladeni Erik. Perempuan yang sudah belasan tahun bekerja dengannya dan dianggap keluarganya itu juga mengingatkan, pada saat yang sama, Fenita sudah menyepakati janji bertemu dengan Prana, bintang muda yang kariernya sedang menanjak di jagat hiburan.
“Prana bisa ditunda,” ujarnya enteng bikin Heni gusar bukan kepalang. Waktu itu, Prana yang berusia lima tahun di bawahnya sedang bersemangat mendekati Fenita.
“Tapi, tidak bisa mendadak begini, dong, Fen.” Heni terus coba mengingatkan Fenita dengan sabar.
“Ah, dia cuma anak ingusan,” tukas Fenita. Kata-kata penyesalan sekaligus rayuan Erik terus mengiang seperti bujukan setan.
“Kalau Erik sungguh-sungguh menyesali perbuatannya dan mau meminta maaf, mestinya dia dong yang mendatangi kamu. Bukan sebaliknya,” cetus Heni. “Masih untung dulu kamu tidak melaporkannya ke polisi.” Heni terus mencoba menyadarkan Fenita.
Tapi, akal sehat Fenita seperti tercerabut begitu saja demi mendengar rayuan Erik. Luka hatinya seakan lenyap tertiup rayuan berbisa Erik. Pengkhianatan Erik kali itu sebetulnya bukan yang pertama. Fenita berkali-kali memaafkannya karena masih dianggap bisa ditoleransi. Di atas semua itu, Fenita memang sangat mencintainya. Kadang, Fenita heran sendiri, apa sih kelebihan Erik, sehingga begitu sayang kepada lelaki itu? Padahal, kalau dipikir-pikir, Erik tidak tampan, bahkan bisa dibilang, tidak sepadan dengan kecantikan Fenita. Jauh bila dibandingkan dengan Prana. Erik juga bukan bos yang punya perusahaan di mana-mana. Dia hanya sutradara kacangan untuk film-film kecil yang tak pernah laku. Ini mungkin yang namanya cinta: ajaib, tak masuk akal.
“Dia tidak akan berubah, Fen. Kenapa begitu mudah kamu melupakan perbuatannya?” Heni putus asa menasihati Fenita.
“Hen, ini urusan pribadiku,” kata Fenita dengan nada tinggi. Tidak pernah, dia berkata dengan nada tinggi seperti itu sebelumnya. Sekalipun begitu, dia tetap meminta Heni menemaninya. Heni tidak bisa menolak. Dengan masygul, dia menemani Fenita ke kafe tempat Erik mengajak bertemu. Di dalam taksi, mereka lebih banyak diam. Heni hanya sesekali menanggapi ucapan Fenita. Heni berpesan supaya Fenita harus waspada.
“Erik sebenarnya baik, kok, Hen.”
“Mengkhianati dan menipu kamu berkali-kali kamu bilang baik?”
“Aku yakin, waktu itu, dia hanya khilaf. Manusia nggak ada yang sempurna, ‘kan?”
“Berkali-kali kamu bilang khilaf? Fen, Fen, anak kecil saja nggak mau jatuh dua kali ke lubang yang sama.”
Perkiraan Heni benar, bahkan lebih buruk. Di kafe itu sedang berlangsung press conference film garapan terbaru Erik. Tapi, itu bukan masalahnya. Yang jadi soal, Erik tampaknya sengaja mau menghancurkan perasaan Fenita sekaligus mempermalukannya di hadapan khalayak.
Dilihatnya laki-laki itu mesra sekali menggandeng seorang artis baru yang menjadi bintang utama filmnya. Semula, Fenita masih berbaik sangka: mungkin hanya keakraban biasa antara seorang artis dan sutradara. Tetapi, seusai press conference, mereka tetap saja mesra. Bahkan, artis baru itu dengan manja menggelayut di sisi Erik, melingkarkan lengannya di leher Erik saat mereka duduk di kafe dirubung wartawan infotainment, seperti sengaja mengumumkan ke publik bahwa mereka pasangan kekasih paling romantis.
Begitu melihat kedatangan Fenita, Erik memang mengejarnya. Tapi perasaan Fenita telanjur terluka. Sempat didengarnya Erik berkata, “Fen, tunggu, Fen. Kami nggak ada hubungan apa-apa,” seraya hendak menarik lengannya. Tapi Fenita segera menepis tangan Erik. Fenita lari keluar dengan perasaan tercabik-cabik. Kenapa Erik begitu tega berbuat serupa itu? Selama menjalin hubungan dengan Erik, Fenita tidak sedikit menolong laki-laki itu. Mulai dari sekadar membantunya membayar sewa apartemen sampai membiayai proyek dia membuat apa yang disebut Erik sebagai film seni.
Sebelum naik taksi, Fenita masih sempat melihat artis baru itu merangkul Erik dengan kemesraan yang membuat dunia Fenita seperti hancur berkeping-keping. Puluhan kamera wartawan menyorot wajah Fenita yang penuh air mata. Esoknya, hampir semua media hiburan, baik cetak maupun elektronik, menayangkan adegan itu. Sebuah tabloid gosip mengangkat kejadian itu sebagai topik utama dengan judul “Fenita Dikhianti Lagi oleh Sang Kekasih” dengan huruf-huruf besar yang mencolok mata. Foto kemesraan Erik dengan artis baru itu disandingkan dengan foto Fenita yang sedang menangis di sampul depan.
Terang saja, seluruh Indonesia tahu kisah cinta Fenita yang tragis. Dan, ini membuat dia kehilangan muka. Kepercayaan dirinya ambruk bagai istana pasir dijilat ombak di pantai. Fenita tak berani keluar dan berhadapan dengan orang-orang. Bahkan, waktu itu sempat terpikir untuk bunuh diri. Dia merasa semua orang menertawakannya, sorak sorai. Terutama, musuh-musuhnya atau orang-orang yang selama ini menganggap Fenita sebagai batu sandungan bagi karier mereka di jagat hiburan. Maklum saja, popularitas Fenita tetap stabil selama bertahun-tahun. Artis-artis muda yang terus bermunculan seakan tak mampu menggoyahkan namanya yang mengilap. Bukan hanya itu, selama ini, Fenita mencitrakan diri sebagai artis cerdas dan dekat dengan perempuan aktivis yang getol meneriakkan kesetaraan gender.
Sampai di rumah, Fenita terus menangis, menyesal tidak menuruti kata-kata Heni.
“Sudah, Fen… jangan menyalahkan diri terus-menerus,” bujuk Heni. “Sebentar lagi juga orang-orang lupa.”
Tapi, luka hati Fenita kali ini rupanya terlalu perih. Dia merasa tak mungkin lagi mampu bertemu orang-orang. Berbulan-bulan, Fenita benar-benar hanya mendekam di apartemennya di pinggiran kota. Membatalkan begitu saja semua kontrak yang sudah ditanda-tanganinya. Membuang ponsel, tak menyentuh laptop, dan memutuskan jaringan internet yang selama ini menghubungkan dia dengan teman-teman dan seluruh relasinya. Hanya Heni yang setia menemaninya.
“Kamu nggak bisa seperti ini terus-menerus, dong, Fen. Kamu harus tunjukkan bahwa kamu bukan perempuan cengeng.” Heni mencoba membangkitkan kembali kepercayaan diri Fenita, namun gagal. Fenita betul-betul tak mau bertemu dengan orang-orang selama berbulan-bulan sebelum akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari jagat hiburan.
“Gila kamu, Fen!” Heni sempat shock waktu Fenita secara serius mengutarakan niatnya itu.
“Erik justru akan senang. Tujuan dia menghancurkanmu berhasil. Please, Fen, pikirkan sekali lagi. Jangan tergesa.” Tapi, keputusan Fenita sudah bulat. Dia melakukan perjalanan sejauh-jauhnya, menyusuri obyek-obyek wisata yang tidak begitu populer di sepanjang Pantai Selatan sebelum akhirnya mengasingkan diri di sebuah perkumpulan spiritual pimpinan Ibu Marisa, jauh di daerah terpencil.
***
Taksi terus meluncur lambat. Jalan mulai macet. Suara kerincing-kerincing bocah pengamen membuyarkan lamunan Fenita. Dia tersenyum sinis mengingat kejadian enam tahun lalu itu. Dunia memang lucu, desisnya, kenapa aku dulu bisa begitu diperdaya cinta?
Fenita menurunkan kaca jendela dan melambaikan selembar puluhan ribu kepada bocah pengamen dekil. Ditengoknya jam digital dalam taksi: pukul delapan lebih sedikit. Tujuan Fenita adalah sebuah klab langganan dia dan teman-temannya dulu. Dia berharap menemukan salah seorang temanya di sana. Tapi, masih terlalu sore. Pastilah teman-temannya belum datang ke klab-klab langganan mereka. Fenita sudah kangen sekali dengan mereka.. Tapi, sengaja tidak menghubungi mereka lebih dulu. Dia ingin membuat kejutan. Bagaimana kabar Heni? Terakhir, yang dia baca melalui internet, Heni kini menjadi manajer seorang artis kenamaan.
Menunggu pukul sebelas malam, Fenita memutuskan mampir ke spa lebih dulu sambil berharap, siapa tahu ada salah seorang teman dekatnya di sana. Dengan penuh percaya diri, Fenita melangkah masuk. Namun, baru beberapa langkah, mendadak Fenita berbalik dan lari menjauh, lalu memanggil taksi.
Dalam taksi, tak habis-habis, Fenita meraba dadanya, mengatur degup jantungnya yang kacau. Di pojok lobi spa, tadi dilihatnya Heni duduk dalam rangkulan mesra Erik!
Gondangdia, 10 Maret 2014
*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen dan puisinya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005); dan Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007).
Fenita kembali dari pengasingannya. Naik taksi, dia meluncur ke sebuah mal di pinggiran kota pada awal pekan yang hangat. Fenita dengan anggun melangkah memasuki areal foodmart. Tubuh rampingnya bergerak luwes di antara pengunjung lain. Dingin udara AC menerpa tengkuk dan separuh punggungnya yang terbuka. Fenita memilih buah apel, markisa, jeruk, dan anggur. Sebutir apel digeragotnya tanpa peduli kepada orang-orang yang memandangnya dengan semacam keheranan: perempuan kok makan sambil jalan!
Fenita tidak peduli. Dia merasa, orang-orang tak akan mengenalinya lagi. Ekspresi wajahnya yang natural tanpa riasan tampak begitu tenang. Dia ingin menikmati betul kebebasan yang baru diperolehnya kembali.
Dia berjalan di koridor tempat jejeran rak minuman kaleng. Sesekali, Fenita menatap pengunjung lain di sekitarnya untuk meyakinkan bahwa mereka tidak memperhatikan dirinya. Dia menarik napas lega. Jimat pemberian Ibu Marisa, guru spiritualnya selama di pengasingan, ternyata benar-benar ampuh. Orang-orang hanya sekilas menatapnya, kemudian kembali sibuk dengan keranjang belanjaannya.
Tadi, dia sempat khawatir saat berpapasan dengan kawanan remaja berseragam putih abu-abu. Fenita takut mereka berteriak histeris begitu melihat dirinya di antara rak-rak minuman kaleng, lantas menyerbu dan mengerumuninya meminta tanda tangan dan foto bersama. Fenita merasa puas. Oh, cinta, desisnya. Ternyata, aku tak terlalu memerlukanmu. Lihatlah, aku baik-baik saja tanpamu. Bahkan, jauh lebih baik.
Inilah hari pertama kembalinya Fenita ke hadapan publik setelah menghilang sekitar enam tahun. Hari ini, dia berencana menemui beberapa teman dekatnya. Sehabis membayar belanjaannya di kasir, Fenita segera melesat lagi. Kali ini, taksi melaju ke arah pusat kota.
Lalu-lintas di ruas jalan tol mengalir lancar. Dia merebahkan kepalanya, tapi tak hendak memejamkan mata. Fenita meminta sopir mengambil jalur lambat. Dia ingin melihat secara lebih detail setiap ruas jalan yang dilaluinya. Oh, sudah banyak berubah ternyata. Makin banyak papan iklan. Taksi keluar dari jalan tol dan meluncur di Jalan Ampera. Jalan seperti lorong kenangan yang berlinangan, pikir Fenita. Berapa kali aku melewati jalan ini? Tiba-tiba, pertanyaan itu menyelinap di benaknya. Ah, tentulah tidak terhitung. Tapi, terakhir kali, enam tahun lalu itu, Fenita melewati jalan ini dengan perasaan hancur lebur. Heni, kawan setianya sekaligus asisten pribadinya yang sekarang mau ditemuinya, saat itu menenangkan dia yang menangis sesenggukan sampai tubuhnya terguncang-guncang di dalam taksi. Fenita jadi ingat lagi kejadian malam itu.
***
Fenita janji bertemu dengan Erik di sebuah kafe. Sebenarnya, Fenita sudah menolak lantaran tak mau lagi didustai untuk kali ke sekian oleh Erik. Namun, rayuan Erik membuat Fenita luluh.
“Aku menyesal, Sayang, aku menyesal. Percayalah, tak akan mengulangi kebodohanku. Aku sangat mencintaimu. Hanya kamu,” ujar Erik lewat telepon. Fenita diterjang kebimbangan. Kata-kata Erik membuatnya melayang-layang. Luka hati Fenita yang begitu dalam oleh pengkhianatan Erik seakan menguap begitu saja. Padahal, dulu, Erik tidak hanya mengkhianati cintanya dan pergi dengan perempuan lain, tapi juga menipu dia dengan membawa kabur tabungannya. Tidak cukup itu saja, Erik mencemarkan citranya dengan menyebar foto-foto mesra dia ke media massa. Fenita tak mengerti kenapa ada lelaki sejahat itu, lelaki yang begitu dia cintai karena selama ini dikenal baik dan begitu dia percayai lantaran dianggap lebih mengerti perasaanya dibanding dengan teman-teman prianya yang lain.
Sebelum memutuskan berangkat, Heni sudah mewanti-wanti, tak perlu lagi meladeni Erik. Perempuan yang sudah belasan tahun bekerja dengannya dan dianggap keluarganya itu juga mengingatkan, pada saat yang sama, Fenita sudah menyepakati janji bertemu dengan Prana, bintang muda yang kariernya sedang menanjak di jagat hiburan.
“Prana bisa ditunda,” ujarnya enteng bikin Heni gusar bukan kepalang. Waktu itu, Prana yang berusia lima tahun di bawahnya sedang bersemangat mendekati Fenita.
“Tapi, tidak bisa mendadak begini, dong, Fen.” Heni terus coba mengingatkan Fenita dengan sabar.
“Ah, dia cuma anak ingusan,” tukas Fenita. Kata-kata penyesalan sekaligus rayuan Erik terus mengiang seperti bujukan setan.
“Kalau Erik sungguh-sungguh menyesali perbuatannya dan mau meminta maaf, mestinya dia dong yang mendatangi kamu. Bukan sebaliknya,” cetus Heni. “Masih untung dulu kamu tidak melaporkannya ke polisi.” Heni terus mencoba menyadarkan Fenita.
Tapi, akal sehat Fenita seperti tercerabut begitu saja demi mendengar rayuan Erik. Luka hatinya seakan lenyap tertiup rayuan berbisa Erik. Pengkhianatan Erik kali itu sebetulnya bukan yang pertama. Fenita berkali-kali memaafkannya karena masih dianggap bisa ditoleransi. Di atas semua itu, Fenita memang sangat mencintainya. Kadang, Fenita heran sendiri, apa sih kelebihan Erik, sehingga begitu sayang kepada lelaki itu? Padahal, kalau dipikir-pikir, Erik tidak tampan, bahkan bisa dibilang, tidak sepadan dengan kecantikan Fenita. Jauh bila dibandingkan dengan Prana. Erik juga bukan bos yang punya perusahaan di mana-mana. Dia hanya sutradara kacangan untuk film-film kecil yang tak pernah laku. Ini mungkin yang namanya cinta: ajaib, tak masuk akal.
“Dia tidak akan berubah, Fen. Kenapa begitu mudah kamu melupakan perbuatannya?” Heni putus asa menasihati Fenita.
Sumber Gambar: mediatumbIlr.com |
“Hen, ini urusan pribadiku,” kata Fenita dengan nada tinggi. Tidak pernah, dia berkata dengan nada tinggi seperti itu sebelumnya. Sekalipun begitu, dia tetap meminta Heni menemaninya. Heni tidak bisa menolak. Dengan masygul, dia menemani Fenita ke kafe tempat Erik mengajak bertemu. Di dalam taksi, mereka lebih banyak diam. Heni hanya sesekali menanggapi ucapan Fenita. Heni berpesan supaya Fenita harus waspada.
“Erik sebenarnya baik, kok, Hen.”
“Mengkhianati dan menipu kamu berkali-kali kamu bilang baik?”
“Aku yakin, waktu itu, dia hanya khilaf. Manusia nggak ada yang sempurna, ‘kan?”
“Berkali-kali kamu bilang khilaf? Fen, Fen, anak kecil saja nggak mau jatuh dua kali ke lubang yang sama.”
Perkiraan Heni benar, bahkan lebih buruk. Di kafe itu sedang berlangsung press conference film garapan terbaru Erik. Tapi, itu bukan masalahnya. Yang jadi soal, Erik tampaknya sengaja mau menghancurkan perasaan Fenita sekaligus mempermalukannya di hadapan khalayak.
Dilihatnya laki-laki itu mesra sekali menggandeng seorang artis baru yang menjadi bintang utama filmnya. Semula, Fenita masih berbaik sangka: mungkin hanya keakraban biasa antara seorang artis dan sutradara. Tetapi, seusai press conference, mereka tetap saja mesra. Bahkan, artis baru itu dengan manja menggelayut di sisi Erik, melingkarkan lengannya di leher Erik saat mereka duduk di kafe dirubung wartawan infotainment, seperti sengaja mengumumkan ke publik bahwa mereka pasangan kekasih paling romantis.
Begitu melihat kedatangan Fenita, Erik memang mengejarnya. Tapi perasaan Fenita telanjur terluka. Sempat didengarnya Erik berkata, “Fen, tunggu, Fen. Kami nggak ada hubungan apa-apa,” seraya hendak menarik lengannya. Tapi Fenita segera menepis tangan Erik. Fenita lari keluar dengan perasaan tercabik-cabik. Kenapa Erik begitu tega berbuat serupa itu? Selama menjalin hubungan dengan Erik, Fenita tidak sedikit menolong laki-laki itu. Mulai dari sekadar membantunya membayar sewa apartemen sampai membiayai proyek dia membuat apa yang disebut Erik sebagai film seni.
Sebelum naik taksi, Fenita masih sempat melihat artis baru itu merangkul Erik dengan kemesraan yang membuat dunia Fenita seperti hancur berkeping-keping. Puluhan kamera wartawan menyorot wajah Fenita yang penuh air mata. Esoknya, hampir semua media hiburan, baik cetak maupun elektronik, menayangkan adegan itu. Sebuah tabloid gosip mengangkat kejadian itu sebagai topik utama dengan judul “Fenita Dikhianti Lagi oleh Sang Kekasih” dengan huruf-huruf besar yang mencolok mata. Foto kemesraan Erik dengan artis baru itu disandingkan dengan foto Fenita yang sedang menangis di sampul depan.
Terang saja, seluruh Indonesia tahu kisah cinta Fenita yang tragis. Dan, ini membuat dia kehilangan muka. Kepercayaan dirinya ambruk bagai istana pasir dijilat ombak di pantai. Fenita tak berani keluar dan berhadapan dengan orang-orang. Bahkan, waktu itu sempat terpikir untuk bunuh diri. Dia merasa semua orang menertawakannya, sorak sorai. Terutama, musuh-musuhnya atau orang-orang yang selama ini menganggap Fenita sebagai batu sandungan bagi karier mereka di jagat hiburan. Maklum saja, popularitas Fenita tetap stabil selama bertahun-tahun. Artis-artis muda yang terus bermunculan seakan tak mampu menggoyahkan namanya yang mengilap. Bukan hanya itu, selama ini, Fenita mencitrakan diri sebagai artis cerdas dan dekat dengan perempuan aktivis yang getol meneriakkan kesetaraan gender.
Sampai di rumah, Fenita terus menangis, menyesal tidak menuruti kata-kata Heni.
“Sudah, Fen… jangan menyalahkan diri terus-menerus,” bujuk Heni. “Sebentar lagi juga orang-orang lupa.”
Tapi, luka hati Fenita kali ini rupanya terlalu perih. Dia merasa tak mungkin lagi mampu bertemu orang-orang. Berbulan-bulan, Fenita benar-benar hanya mendekam di apartemennya di pinggiran kota. Membatalkan begitu saja semua kontrak yang sudah ditanda-tanganinya. Membuang ponsel, tak menyentuh laptop, dan memutuskan jaringan internet yang selama ini menghubungkan dia dengan teman-teman dan seluruh relasinya. Hanya Heni yang setia menemaninya.
“Kamu nggak bisa seperti ini terus-menerus, dong, Fen. Kamu harus tunjukkan bahwa kamu bukan perempuan cengeng.” Heni mencoba membangkitkan kembali kepercayaan diri Fenita, namun gagal. Fenita betul-betul tak mau bertemu dengan orang-orang selama berbulan-bulan sebelum akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari jagat hiburan.
“Gila kamu, Fen!” Heni sempat shock waktu Fenita secara serius mengutarakan niatnya itu.
“Erik justru akan senang. Tujuan dia menghancurkanmu berhasil. Please, Fen, pikirkan sekali lagi. Jangan tergesa.” Tapi, keputusan Fenita sudah bulat. Dia melakukan perjalanan sejauh-jauhnya, menyusuri obyek-obyek wisata yang tidak begitu populer di sepanjang Pantai Selatan sebelum akhirnya mengasingkan diri di sebuah perkumpulan spiritual pimpinan Ibu Marisa, jauh di daerah terpencil.
***
Taksi terus meluncur lambat. Jalan mulai macet. Suara kerincing-kerincing bocah pengamen membuyarkan lamunan Fenita. Dia tersenyum sinis mengingat kejadian enam tahun lalu itu. Dunia memang lucu, desisnya, kenapa aku dulu bisa begitu diperdaya cinta?
Fenita menurunkan kaca jendela dan melambaikan selembar puluhan ribu kepada bocah pengamen dekil. Ditengoknya jam digital dalam taksi: pukul delapan lebih sedikit. Tujuan Fenita adalah sebuah klab langganan dia dan teman-temannya dulu. Dia berharap menemukan salah seorang temanya di sana. Tapi, masih terlalu sore. Pastilah teman-temannya belum datang ke klab-klab langganan mereka. Fenita sudah kangen sekali dengan mereka.. Tapi, sengaja tidak menghubungi mereka lebih dulu. Dia ingin membuat kejutan. Bagaimana kabar Heni? Terakhir, yang dia baca melalui internet, Heni kini menjadi manajer seorang artis kenamaan.
Menunggu pukul sebelas malam, Fenita memutuskan mampir ke spa lebih dulu sambil berharap, siapa tahu ada salah seorang teman dekatnya di sana. Dengan penuh percaya diri, Fenita melangkah masuk. Namun, baru beberapa langkah, mendadak Fenita berbalik dan lari menjauh, lalu memanggil taksi.
Dalam taksi, tak habis-habis, Fenita meraba dadanya, mengatur degup jantungnya yang kacau. Di pojok lobi spa, tadi dilihatnya Heni duduk dalam rangkulan mesra Erik!
Gondangdia, 10 Maret 2014
*Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen dan puisinya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005); dan Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Djiwa, 2007).
0 comments :
Post a Comment