Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Datanglah kabar menyedihkan padaku. Kabar itu membuatku begitu terpukul dan menjadi anak yang paling sedih dan durhaka kepada orang tua. Saat itu, ibuku sakit, memang sakit ringan sih. Tapi itu membuat hatiku terpukul luar biasa.
Sore itu saudara sepupuku telpon, ia berkabar tentang ibuku. Katanya, di leher ibuku bagian belakang, tepatnya di bawah telinganya, terdapat tiga benjolan keras. Ibu ingin periksa ke dokter. Aku tahu, tak seorang pun ada di rumah. Hanya ayah dan ibuku. Saudara-saudaraku berada di luar kota semua; merantau.
Begitu mendapat kabar dari sepupuku, tentu sore itu aku meneleponnya. Aku bertanya banyak hal tentang kondisinya. Ibuku hanya bilang “Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik saja.”
Aku tanya balik padanya, apakah ibu ingin periksa ke dokter? Ibu menjawab “Iya.”
“Siapa yang bisa mengantar ibu.”
“Ada tetangga yang siap. Pak Mahfudz”
Ya, tetangga disamping rumah yang memang biasa dipanggil ibu. Tapi aku benar-benar mengulik serius padanya, aku memastikan sore itu, aku khawatir penyakit ibu bukan penyakit biasa. Tapi lagi-lagi ibuku mengatakan padaku agar aku tenang. Hanya terasa pusing dan capek, katanya.
Setelah itu kami menyudahi telpon karena adzan di masjid sudah berkumandang. Tapi begitu telpon itu ditutup, pikiranku kacau balau. Benar-benar kacau balau.
Bayangkan, di saat-saat ibuku akan periksa ke rumah sakit, aku tidak bisa mendampinginya. Di saat-saat ibu sebenarnya membutuhkanku, aku tidak ada di sampingnya. Apa sebenarnya yang kucari di daerah jauh ini? pertanyaan-pertanyaan itu terus menghablur dalam pikiranku.
Saat itu aku benar-benar merasa tidak berarti sama sekali pada ibu. Air mataku tak dapat ditepis lagi. Lagi dan lagi. Begitu deras. Bagiku ibuku segalanya. Ia adalah “Tuhan” keduaku di dunia ini.
***
Kawan, mari merenung sejenak, lepaskan semua lelah kerja, singkirikan semua mimpi-mimpi yang berjibun di kepala. Mari kita kembali ke rumah, ke tempat kita dilahirkan oleh seorang perempuan terbaik dan tercinta yaitu ibu.
Bagi kita yang masih punya Ibu. Tapi terpisah jarak yang sangat jauh. Kadang rasa sedih menampar-nampar karena tak dapat bersua bila kangen, rindu, resah, dan gelisah. Jubelan masalah yang mengoyak-oyak kita setiap hari, perencanaan-perencanaan bisnis, berburu omzet, dan segela kegandrungan dunia ingin diraup sehingga kita lupa untuk sekedar say hello dengan ibu.
Di masa kecil, kita sering saja merasa kesal, karena ibu meminta kita untuk rajin belajar, sekolah, mengerjakan PR, dan seterusnya. Menginjak usia remaja hingga dewasa kita berpisah, menempuh pendidikan di kota lain, menemukan jodoh di sana, hingga kita bekerja dan membangun karier di tempat yang jauh dari orang tua.
Baiklah. Semua kepuasan dunia telah kita rengkuh semua. Kepuasan karier telah kita dapatkan selejit-lejitnya. Tapi hidup kita tetap terasa hampa, karena merasa sangat jauh dari ibu. Jika kita rindu dan kangen padanya, hanya bisa dilakukan via handphone. Karena tentu waktu kita sangat sempit. Itu kadang yang sering kita jadikan alasan.
Apakah kita pernah tahu, di saat usia kita makin tua, ibu kita juga makin sepuh dan renta? Apakah kita tahu, hari ini ibu kita sedang sehat atau merasa sakit, merasa kurang enak badan, merasa harus pergi ke dokter? Tapi ibu kita menutupinya karena tidak ingin merepotkan anaknya yang ada di rantau jauh? Atau agar pikiran anaknya tidak terganggu oleh dirinya? Ah, ternyata ibu kita, mau periksa ke dokter saja diantar orang lain. Ke mana anakmu, Ibu? Ke mana anakmu yang sudah engkau sekolahkan, yang kariernya melejit menjadi ini dan itu, yang uangnya menumpuk, kok tidak hadir di saat-saat begini?
Betapa sedih dan durhakanya diri ini telah mengabaikan ibu.
Atas nama kesibukan, kita tidak bisa meluangkan waktu sejenak untuk pulang, bahkan kadang berbulan-bulan dan bertahun-tahun tidak bisa pulang karena alasan pekerjaan. Tahukah kita bahwa setiap waktu, ibu menunggu? Tahukah kita bahwa dari bibirnya yang tetap teriris senyum, selalu melafadzkan do’a untuk kita.
Tapi di sela-sela kita sibuk, masihkah kita ini berpikir tentang ibu? Atau sekedar berdoa untuk kesehatan mereka?
Kita ingat-ingat sejenak, rambutnya yang pada mulanya hitam, pelan-pelan memutih satu persatu. Kulitnya yang kencang, pelan-pelan menjadi keriput. Raut wajahnya yang terlihat cantik dan bercahaya pelan-pelan redup oleh usia yang semakin menua.
Sedangkan kita berada di tempat yang jauh. Begitu pulang, tiba-tiba kita menyaksikan kenyataan-kenyataan itu semua.
Dan yang paling menyedihkan, kawan! Apabila di tengah malam, tiba-tiba ada dering telpon, sebuah suara yang mengabarkan bahwa ibu kita opname karena mendadak sakit ini dan itu. Dan paling menyedihkan lagi, dalam perjalanan pulang, telpon kembali berdering. Dan sumber suara itu mengabarkan kepada kita bahwa ibu kita telah dipanggil oleh-Nya.
Duh, apa yang sebenarnya kita cari hingga kita tidak bisa berada di sampingnya di saat-saat terakhir? Apa yang kita cari hingga kita tak sempat sekejap pun untuk sekedar minta maaf? Kebahagiaan macam apa yang sebenarnya kita cari di sini?
***
Baru di saat-saat ibu sudah tiada. Semua kita akan merasa betapa sedih dan sepinya jika ditinggal ibu. Kenangan-kenangan bersama ibu muncul perlahan, seperti sebuah tayangan ulang sebuah film dalam pikiran kita.
Kita ingat lagi, di saat-saat mudik, kita bisa memeluk ibu, kadang baju kita dipasangkan, makan bersama, disuapi, diambilin minum karena saking kangennya, dipesankan banyak makanan kesukaan kita. Bahkan kadang ibu tidur di mana kita tidur. Tapi begitu ibu sudah tiada, kita tentu tidak bisa melakukannya lagi. Kita mencari-cari ke tempat di mana ia biasanya bersua. Dan ia tidak ada. Benar-benar sudah tidak ada lagi. Penyesalan ini menyakitkan, bukan?
Kita ingat juga ketika akan kembali ke rantau. Ibu menyiapkan oleh-oleh berkardus-kardus, disiapkan makan sebelum benar-benar berangkat. Bahkan ibu ikut menaikkan barang-barang itu ke dalam mobil. Ibu menciumi cucunya, mencium kita sebagai anaknya. Kita bersalaman. Dan di saat-saat mobil itu pelan-pelan berjalan, tangan ibu melambai, tangan kita juga melambai padanya.
Namun kita lihat matanya berkaca-kaca. Sesekali mengusap dengan tissue. Dari jarak yang sangat dekat, kita lihat senyumnya, meskipun dari matanya jatuhlah sebutir dua butir air mata. Dan dari lambaian tangannya, dari hati dan jiwanya yang paling dalam, ia sesungguhnya ingin berteriak “Anakku, jangan pergi! Jangan pergi!”
Kita ingat banyak sekali kenangan bersama ibu. Banyak sekali. Banyak sekali. Bahkan seandainya bisa, kita ingin mengulanginya lagi. Tapi tentu kini sudah terlambat, kawan! Sebab ia lebih dicintai-Nya.
***
Itulah sebabnya, jika kita hidup di rantau dan kita masih punya orang tua, #YukPulang jenguklah ibu kita. Mumpung mereka masih ada dan masih sehat. Letakkanlah ibu kita di atas kepala. Hormatilah dan cukupilah segala kebutuhannya. Atau setidaknya, telponlah mereka sesering mungkin agar mereka senang dan hati kita terus merasa tenang.***
Datanglah kabar menyedihkan padaku. Kabar itu membuatku begitu terpukul dan menjadi anak yang paling sedih dan durhaka kepada orang tua. Saat itu, ibuku sakit, memang sakit ringan sih. Tapi itu membuat hatiku terpukul luar biasa.
Sore itu saudara sepupuku telpon, ia berkabar tentang ibuku. Katanya, di leher ibuku bagian belakang, tepatnya di bawah telinganya, terdapat tiga benjolan keras. Ibu ingin periksa ke dokter. Aku tahu, tak seorang pun ada di rumah. Hanya ayah dan ibuku. Saudara-saudaraku berada di luar kota semua; merantau.
Begitu mendapat kabar dari sepupuku, tentu sore itu aku meneleponnya. Aku bertanya banyak hal tentang kondisinya. Ibuku hanya bilang “Nggak apa-apa kok. Aku baik-baik saja.”
Aku tanya balik padanya, apakah ibu ingin periksa ke dokter? Ibu menjawab “Iya.”
“Siapa yang bisa mengantar ibu.”
“Ada tetangga yang siap. Pak Mahfudz”
Sumber Gambar: dok. AMA |
Ya, tetangga disamping rumah yang memang biasa dipanggil ibu. Tapi aku benar-benar mengulik serius padanya, aku memastikan sore itu, aku khawatir penyakit ibu bukan penyakit biasa. Tapi lagi-lagi ibuku mengatakan padaku agar aku tenang. Hanya terasa pusing dan capek, katanya.
Setelah itu kami menyudahi telpon karena adzan di masjid sudah berkumandang. Tapi begitu telpon itu ditutup, pikiranku kacau balau. Benar-benar kacau balau.
Bayangkan, di saat-saat ibuku akan periksa ke rumah sakit, aku tidak bisa mendampinginya. Di saat-saat ibu sebenarnya membutuhkanku, aku tidak ada di sampingnya. Apa sebenarnya yang kucari di daerah jauh ini? pertanyaan-pertanyaan itu terus menghablur dalam pikiranku.
Saat itu aku benar-benar merasa tidak berarti sama sekali pada ibu. Air mataku tak dapat ditepis lagi. Lagi dan lagi. Begitu deras. Bagiku ibuku segalanya. Ia adalah “Tuhan” keduaku di dunia ini.
***
Kawan, mari merenung sejenak, lepaskan semua lelah kerja, singkirikan semua mimpi-mimpi yang berjibun di kepala. Mari kita kembali ke rumah, ke tempat kita dilahirkan oleh seorang perempuan terbaik dan tercinta yaitu ibu.
Bagi kita yang masih punya Ibu. Tapi terpisah jarak yang sangat jauh. Kadang rasa sedih menampar-nampar karena tak dapat bersua bila kangen, rindu, resah, dan gelisah. Jubelan masalah yang mengoyak-oyak kita setiap hari, perencanaan-perencanaan bisnis, berburu omzet, dan segela kegandrungan dunia ingin diraup sehingga kita lupa untuk sekedar say hello dengan ibu.
Di masa kecil, kita sering saja merasa kesal, karena ibu meminta kita untuk rajin belajar, sekolah, mengerjakan PR, dan seterusnya. Menginjak usia remaja hingga dewasa kita berpisah, menempuh pendidikan di kota lain, menemukan jodoh di sana, hingga kita bekerja dan membangun karier di tempat yang jauh dari orang tua.
Baiklah. Semua kepuasan dunia telah kita rengkuh semua. Kepuasan karier telah kita dapatkan selejit-lejitnya. Tapi hidup kita tetap terasa hampa, karena merasa sangat jauh dari ibu. Jika kita rindu dan kangen padanya, hanya bisa dilakukan via handphone. Karena tentu waktu kita sangat sempit. Itu kadang yang sering kita jadikan alasan.
Apakah kita pernah tahu, di saat usia kita makin tua, ibu kita juga makin sepuh dan renta? Apakah kita tahu, hari ini ibu kita sedang sehat atau merasa sakit, merasa kurang enak badan, merasa harus pergi ke dokter? Tapi ibu kita menutupinya karena tidak ingin merepotkan anaknya yang ada di rantau jauh? Atau agar pikiran anaknya tidak terganggu oleh dirinya? Ah, ternyata ibu kita, mau periksa ke dokter saja diantar orang lain. Ke mana anakmu, Ibu? Ke mana anakmu yang sudah engkau sekolahkan, yang kariernya melejit menjadi ini dan itu, yang uangnya menumpuk, kok tidak hadir di saat-saat begini?
Sumber Gambar: Dok. AMA |
Betapa sedih dan durhakanya diri ini telah mengabaikan ibu.
Atas nama kesibukan, kita tidak bisa meluangkan waktu sejenak untuk pulang, bahkan kadang berbulan-bulan dan bertahun-tahun tidak bisa pulang karena alasan pekerjaan. Tahukah kita bahwa setiap waktu, ibu menunggu? Tahukah kita bahwa dari bibirnya yang tetap teriris senyum, selalu melafadzkan do’a untuk kita.
Tapi di sela-sela kita sibuk, masihkah kita ini berpikir tentang ibu? Atau sekedar berdoa untuk kesehatan mereka?
Kita ingat-ingat sejenak, rambutnya yang pada mulanya hitam, pelan-pelan memutih satu persatu. Kulitnya yang kencang, pelan-pelan menjadi keriput. Raut wajahnya yang terlihat cantik dan bercahaya pelan-pelan redup oleh usia yang semakin menua.
Sedangkan kita berada di tempat yang jauh. Begitu pulang, tiba-tiba kita menyaksikan kenyataan-kenyataan itu semua.
Dan yang paling menyedihkan, kawan! Apabila di tengah malam, tiba-tiba ada dering telpon, sebuah suara yang mengabarkan bahwa ibu kita opname karena mendadak sakit ini dan itu. Dan paling menyedihkan lagi, dalam perjalanan pulang, telpon kembali berdering. Dan sumber suara itu mengabarkan kepada kita bahwa ibu kita telah dipanggil oleh-Nya.
Duh, apa yang sebenarnya kita cari hingga kita tidak bisa berada di sampingnya di saat-saat terakhir? Apa yang kita cari hingga kita tak sempat sekejap pun untuk sekedar minta maaf? Kebahagiaan macam apa yang sebenarnya kita cari di sini?
***
Baru di saat-saat ibu sudah tiada. Semua kita akan merasa betapa sedih dan sepinya jika ditinggal ibu. Kenangan-kenangan bersama ibu muncul perlahan, seperti sebuah tayangan ulang sebuah film dalam pikiran kita.
Kita ingat lagi, di saat-saat mudik, kita bisa memeluk ibu, kadang baju kita dipasangkan, makan bersama, disuapi, diambilin minum karena saking kangennya, dipesankan banyak makanan kesukaan kita. Bahkan kadang ibu tidur di mana kita tidur. Tapi begitu ibu sudah tiada, kita tentu tidak bisa melakukannya lagi. Kita mencari-cari ke tempat di mana ia biasanya bersua. Dan ia tidak ada. Benar-benar sudah tidak ada lagi. Penyesalan ini menyakitkan, bukan?
Kita ingat juga ketika akan kembali ke rantau. Ibu menyiapkan oleh-oleh berkardus-kardus, disiapkan makan sebelum benar-benar berangkat. Bahkan ibu ikut menaikkan barang-barang itu ke dalam mobil. Ibu menciumi cucunya, mencium kita sebagai anaknya. Kita bersalaman. Dan di saat-saat mobil itu pelan-pelan berjalan, tangan ibu melambai, tangan kita juga melambai padanya.
Namun kita lihat matanya berkaca-kaca. Sesekali mengusap dengan tissue. Dari jarak yang sangat dekat, kita lihat senyumnya, meskipun dari matanya jatuhlah sebutir dua butir air mata. Dan dari lambaian tangannya, dari hati dan jiwanya yang paling dalam, ia sesungguhnya ingin berteriak “Anakku, jangan pergi! Jangan pergi!”
Kita ingat banyak sekali kenangan bersama ibu. Banyak sekali. Banyak sekali. Bahkan seandainya bisa, kita ingin mengulanginya lagi. Tapi tentu kini sudah terlambat, kawan! Sebab ia lebih dicintai-Nya.
***
Itulah sebabnya, jika kita hidup di rantau dan kita masih punya orang tua, #YukPulang jenguklah ibu kita. Mumpung mereka masih ada dan masih sehat. Letakkanlah ibu kita di atas kepala. Hormatilah dan cukupilah segala kebutuhannya. Atau setidaknya, telponlah mereka sesering mungkin agar mereka senang dan hati kita terus merasa tenang.***
0 comments :
Post a Comment