Home » » Reboeng, Dari Komunitas ke Puisi, Dari Puisi ke Komunitas

Reboeng, Dari Komunitas ke Puisi, Dari Puisi ke Komunitas

Diposkan oleh damar pada Monday, February 22, 2016 | 7:17 PM

Oleh : Mahwi Air Tawar

Karya sastra, puisi khususnya, terus ditulis, diproduksi, dan dipublikasikan baik melalui media cetak, koran, majalah, jurnal, dan media online. Penyair — dari yang sudah babak-belur-malang-melintang di dunia "perpuisian", menguasai semua jurus hingga penyair yang baru saja memasuki dunia "perpuisian"— tiada henti-hentinya menyuguhkan puisi kepada publik, khususnya lewat media online, website blog, dan facebook. Tak peduli apakah puisi yang ditulisnya baru "setengah matang", atau baru sebatas benih (ide), namun si penyair seakan tidak sabar dan ingin segera berbagi kebahagiaan bahwa pada hari ini, "anak kandungku/puisi” suda lahir dengan selamat sentosa, makmur, abadi dan jaya!”, Inilah Puisku! Anak kandungku!

Memang, dengan terbukanya media, media online tak ada yang bisa menghalangi benih-benih puisi ditetaskan, tak seorang pun mempunya kuasa untuk mencegah “si ibu kandung” yang ingin segera berkabar kepada khalayak umum.

Fenomena ini amat menggembirakan di satu sisi, namun di sisi lain mencemaskan. Menggembirakan karena puisi terus diproduksi, terus berkembang sehingga benih-benih kepenyairan tak kan habis terkikis…. di koyak-koyak sepi. Mencemaskan, karena “anak kandung” (puisi) yang seharusnya masih diberi gizi, dan “sang ibu kandung” benar-benar yakin kalau “anak kandungnya” sudah cukup mengerti dan paham bahwa “anak kandungnya” sudah cukup "usia" untuk dilepas sehingga ia tak perlu khawatir bila anaknya berjalan sendiri jauh dari rumah.
Sumber Gambar: dok.mahwi air tawar

Tentu saja segala kecemasan dan ketergesa-gesaan sang penyair yang ingin segera mengabarkan anak kadungnya kepada khalayak publik tidak salah, dan juga tidak sepenuhnya benar, toh puisi bukan soal benar atau salah yang mesti medapat label halal-haram dari MUI. Ia merupakan rekaman batin sang penyair terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Di sinilah (yang) bukan penyair boleh ambil bagian.

Lahirmya banyak puisi dengan berbagai macam jenis dan gaya perlu kita sambut dengan dengan hati gembira, syukur-syukur sang "kritikus" berkenan turun dan mau meluangkan waktu untuk mengkurasi kerbagaian-keberbagaian jenis puisi  mau memberi saran kritik, dan apresiasi yang objektif tanpa diminta sang penyair. Masalahnya, di hari-hari yang penuh puisi peran sang kritikus semakin jauh tersembunyi, tak terlihat keberadaannya, sehingga kelahiran puisi nyaris seperti anak kandung yang tanpa ayah.

Selain media, kehadiran komunitas cukup memiliki peran penting atas kemunculan dan merawat benih-benih kepeyairan meski pada tahap penciptaan sang penyair lah yang harus berupaya mencari dan mencipta. Tetapi paling tidak, di dalam komunitas ia bisa sharing ide, diskusi dan sesekali mencari jaringan keluar.

Tak sedikit puisi-puisi yang oleh komunitas diwadahi, didiskusikan, dan diterbitkan meski dengan uang saku sendiri atau sumbangan sesama anggotanya. Tentu apa yang dilakukan oleh beberapa komunitas bukanlah sesuatu yang heroik untuk dibangga-banggakan atau sebaliknya; bukanlah sesuatu yang perlu dikasihani. Bagaimana pun, yang komunitas lakukan atas dasar cinta, cinta terhadap anak kandung, dalam hal ini puisi.

Sekedar menyebut benerapa nama dan kegiatan di komunitas yang rutin menerbitkan dan mengadakan event di antaranya adalah FSB (Forum Sastra Bekasi), Jawa Barat. Forum FBS rutin mengadakan kegiatan diskusi bulanan. Masih dari Jawa Barat, ada komunitas SST (Sanggar Sastra Tasik), SST selain rutun mengadakan diskusi juga punya event tahunan yang lumayan besar, yakni Lomba Baca Puisi. Bertolak dari Jawa Barat, di Jawa Tengah, ada komunitas sastra Kaliwungu, dan Hysteria, Semarang, yang rutin menerbitkan buletin sastra Hysteria. Di Solo juga ada komunitas Pawon, Balai Soejatmoko, Solo. Di Yogyakarta, apalagi. Ada komunitas Pertunjukan Sastra, Yogyakarta. Ah, Di Kota Yogyakarta ini rasa-rasanya di setiap gangnya ada komunitas sastra, ada forum-forum diskusi yang terus digelar. Demikian halnya di Madura, ada Lentera, Sumenep, dan sejumlah komunitas seni yang tersebar di berbagai pesantren. Surabaya, ada Tikar Merah, Rebu Sore, dan lain-lan. Di Malang ada Sastra Pelangi, dan lain sebaganya. Di Kalimantan ada ARUH Sastra. Demikian juga di daerah lain seperti Bali, Padang, Sumatra, dan daerah lain.

Bertolak dari sejumlah kota-kota di mana komunitas sastra terus-terusan melahirkan penyair muda berbakat, kegiatan-kegiatan diskusi terus digelar, event tahunan terus diselenggarakan, berbeda halnya dengan komunitas Reboeng, Jakarta. Jangan tanya kegiatan mingguan, bulanan atau bahkan tahunan, karena anda akan kecewa. Komunitas ini layaknya ibu kandung yang setiap saat senantiasa merindukan anak-anak kandungnya yang sudah lama merantau. Sebagai ibu kandung, sudah pasti ia tidak hanya merindukan anak-anaknya akan tetapi ia juga ingin memberikan sesuatu yang dapat membahagiakan anak-anaknya.
Dibuat lah agenda yang cukup selektif dan menarik, misalnya, penerbitan buku penulisan ulang cerita rakyat Nusantara, yang melibatkan banyak penulis dari berbagai daerah di Indonesia. Buku tersebut diterbitkan tahun 2015 dengan Judul Dongeng Negeri Kita, kemudian disusul dengan lima buku puisi, lima penyair Indonesia, Iman Budi Santosa, Mardi Luhung, Joko Pinorbo, Dhenok Kristanti, dan Nana Ernawati. Yang menarik dari program Reboeng adalah merangkul berbagai komunitas dan sekaligus karya-karya (puisi) generasi terkini dari setiap daerah, misalnya, dalam waktu dekat komunitas ini akan menerbitkan buku Ketam Ladam Rumah Ingatan kumpulan puisi penyair muda Madura.

Apa yang dilakukan komunitas Reboeng tentu bukanlah sesuatu yang baru, banyak juga komunitas-komunitas di berbagai daerah melakhkan hal serupa meski sayangnya, program-program/gerakan-gerakan literasi jarang diekspos. Hanya saja, satu hal yang menarik dan patut kiranya diapresiasi dari agenda Reboeng, dan tak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh komunitas-komunitas lain dari berbagai daerah adalah kesadaran mendokumentasi dan membukukan atas karya puisi-puisi penyair muda, khususnya, di tengah-tengah membanjirnya puisi dan kapan pun kita bisa menikmatinya dengan sekali klik lewat media sosial website, twiter, dan facebook.

Di sini lah kiranya --dalam buku -- perjumpaan pembaca dan puisi akan semakin intim, akan semakin berasa, dan keduanya seakan bermuka-muka dalam imajinasi antara penyair dan pembacanya, antara si penyair dan komunitas yang turut serta membantu melahirkan puisi yang sejak mula dikandungnya. Diakui atau tidak, untuk menerbitkan puisi dalam sebuah buku tak semudah kekita menerbitkannya dalam media online, yang kapan pun kita mau dan berkehendak bisa melakukannya tanpa harus terbebani masukan, kritik dan bahkan tahap editing dari orang lain atau dari teman-teman se komunitas.

Tangerang-Depok-Bandung-Surabaya, Februari, 2016


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment