Oleh : Khairi Esa Anwar
Karena yang terdengar dari mereka hanya jeritan panjang tak berkesudahan: sebab di mana-mana traktor kebengisan selalu mengancam. (Oase Kedukaan: Kuswaidi Syafi’ie, Pohon Sidrah, hal: 59-60)
Suara-suara seringkali membuat rasa tidak nyaman dalam beristirahat, apalagi ketika diri dihinggapi rasa lindu di sekujur tubuh. Jangankan yang keras, suara gerak kaki pun terasa mengganggu dan merasa tidak enak untuk sekedar “pura-pura” tidak mendengar. Sebabnya, sunyi terasa lebih nyaman dan lebih tepat ketika keadaan sengkarut mencoba menembakkan moncongnya ke telinga.
Pekabar yang lingkap di akhir-akhir ini adalah pengaturan adzan yang merupakan usul dari Abdul Mukti salah satu orang yang dianggap penting di kalangan Muhammadiyah. Namanya mencuat menjadi tarian-tarian di lidah beberapa orang yang sedang kurang merasa nyaman oleh gagasannya, yang tidak lain menganggap adzan perlu diatur sesuai alasan pribadinya. Kenapa demikian?
Ia merasa kurang nyaman atas suara adzan di kampungnya ketika saat-saat istirahat dan rasa suntuk yang tidak boleh siapapun mengganggunya termasuk suara adzan. Padahal, adzan suara kehormatan bagi kalangan orang Islam yang merasa perlu untuk melakukan suatu kewajiban yaitu shalat. Memang ia tidak mengatakan adzan hal yang haram, secara tidak langsung gagasannya mendekati pada “ke-haram-an”, karena adzan telah mengganggu istirahat orang yang merasa letih. Sungguh hal ini di luar kewajaran yang pernah di dengar.
Adanya masjid, musholla tidak lain hanyalah untuk mengingatkan kita untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui nabinya. Sebagai perintah yang wajib adakalanya waktu-waktu yang telah jadi ketentuan itu diingatkan agar manusia merasa dipanggil untuk melaksanakannya. Jika panggilan itu sudah dirasa bosan didengar, kenapa tidak mencari tempat yang sepi semisal di gua, hutan, kalau perlu tinggallah di planet mars semisal. Barangkali tinggal di tempat yang sunyi lebih baik daripada harus merasa terganggu oleh panggilan kewajiban itu.
Akan menjadi sejarah, bila suara-suara itu akan terdengar samar di lembah bebukitan yang hanya punya masjid satu dan surau-surau lain harus diam tanpa ada kesyahduan suara adzan. Sebab di luar gagasan Abdul Mukti, di pulau yang jauh dari masjid besar, suara adzan hanyalah gema yang senyap. Kenapa tidak dipikirkan terlebih dahulu?
Untuk itu, buanglah rasa tidak hormat atas sesama karena masih banyak hal yang harus diselesaikan tidak hanya persoalan itu. Untunglah ada suara adzan di antara kemajuan tehnologi yang bisa jadi suara adzan hanya akan bordering di aplikasi handphone. Bagaimana nasib orang-orang yang tidak punya?***
Khairi Esa Anwar, penyair dan esais.
Karena yang terdengar dari mereka hanya jeritan panjang tak berkesudahan: sebab di mana-mana traktor kebengisan selalu mengancam. (Oase Kedukaan: Kuswaidi Syafi’ie, Pohon Sidrah, hal: 59-60)
Suara-suara seringkali membuat rasa tidak nyaman dalam beristirahat, apalagi ketika diri dihinggapi rasa lindu di sekujur tubuh. Jangankan yang keras, suara gerak kaki pun terasa mengganggu dan merasa tidak enak untuk sekedar “pura-pura” tidak mendengar. Sebabnya, sunyi terasa lebih nyaman dan lebih tepat ketika keadaan sengkarut mencoba menembakkan moncongnya ke telinga.
Pekabar yang lingkap di akhir-akhir ini adalah pengaturan adzan yang merupakan usul dari Abdul Mukti salah satu orang yang dianggap penting di kalangan Muhammadiyah. Namanya mencuat menjadi tarian-tarian di lidah beberapa orang yang sedang kurang merasa nyaman oleh gagasannya, yang tidak lain menganggap adzan perlu diatur sesuai alasan pribadinya. Kenapa demikian?
Sumber Gambar: bandungtempodulu.blogspot.com |
Adanya masjid, musholla tidak lain hanyalah untuk mengingatkan kita untuk melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui nabinya. Sebagai perintah yang wajib adakalanya waktu-waktu yang telah jadi ketentuan itu diingatkan agar manusia merasa dipanggil untuk melaksanakannya. Jika panggilan itu sudah dirasa bosan didengar, kenapa tidak mencari tempat yang sepi semisal di gua, hutan, kalau perlu tinggallah di planet mars semisal. Barangkali tinggal di tempat yang sunyi lebih baik daripada harus merasa terganggu oleh panggilan kewajiban itu.
Akan menjadi sejarah, bila suara-suara itu akan terdengar samar di lembah bebukitan yang hanya punya masjid satu dan surau-surau lain harus diam tanpa ada kesyahduan suara adzan. Sebab di luar gagasan Abdul Mukti, di pulau yang jauh dari masjid besar, suara adzan hanyalah gema yang senyap. Kenapa tidak dipikirkan terlebih dahulu?
Untuk itu, buanglah rasa tidak hormat atas sesama karena masih banyak hal yang harus diselesaikan tidak hanya persoalan itu. Untunglah ada suara adzan di antara kemajuan tehnologi yang bisa jadi suara adzan hanya akan bordering di aplikasi handphone. Bagaimana nasib orang-orang yang tidak punya?***
Khairi Esa Anwar, penyair dan esais.
0 comments :
Post a Comment