Oleh : Edi AH Iyubenu
George Orwell yang lahir di India saya kira tak sekadar ala kadarnya saat membuat nama Benjamin, si keledai, pada salah satu tokoh rekaan dalam novel Animal Farm. Benjamin diberi karakter “perangainya paling buruk”: paling tua, jarang ngomong, dan sekalinya ngomong selalu sinis –misalnya, ia bilang bahwa Tuhan memberinya sebuah ekor untuk mengusir lalat, tetapi tak lama lagi ia tak akan berekor, dan tak ada seekor lalat pun mengganggu. Ia juga tidak pernah tertawa, dan bila ditanya kenapa tak tertawa, ia akan menjawab tidak ada yang pantas ditertawakan.
Dugaan ini makin kentara kuat bila ditambahkan lagi dengan penggunaan nama Napoleon, si babi, sebagai tandem Snowball –dua pemimpin binatang-binatang di Peternakan Binatang. Koalisi yang kokoh sejak awal meletusnya pemberontakan para binatang itu berujung pecahnya pertikaian yang mengesahkan kekerasan.
Baik, kira-kira, siapa gerangan nama Benjamin yang disitir Orwell?
Orang boleh saja menabalkan novel alegori politik ini sebagai kritik satire atas totalitarisme Uni Soviet. Tapi, kenapa Benjamin, bukan Tsar, yang tak terbendung di kepala saya bahwa itu adalah Benjamin Franklin, si bapak kemerdekaan Amerika?
Di titik ini, saya teringat untaian puitik Ahmad Al-Safi Al-Najafi, seorang penyair Irak, “Bila mawar mati, hanya warna, cahaya, dan keindahannya yang lenyap, sedangkan wanginya tetap bersama angin Timur yang mengelana.”
Kenangan itu, memang, seperti api, kenangan itu menyala di dalam berjuta-juta jiwa. Demikian pula ingatan kita pada Benjamin Franklin yang diabadikan oleh Amerika di pecahan mata uangnya yang merajalela diinvasikan ke saantero pelosok bumi. Orwell yang tak sezaman dengan Benjamin jelas tahu siapa Benjamin Franklin yang meninggal di tahun 1790. Pertanyaannya, mengapa Orwell tampak tak menyukai Benjamin?
Pertikaian Tak Kunjung Usai
Kepemimpinan duo babi cerdas, Snowball dan Napoleon, yang menahkodai pemberontakan dan kemudian menentukan aturan-aturan hidup para binatang melalui Tujuh Perintah mengingatkan saya para konteks hidup Orwell yang dikecamuki Perang Dunia II. Perang yang memicu terbentuknya nation-state itu lantas mengerucut pada dua kekuatan dunia: Amerika dan Uni Soviet. Bolehkah hal itu saya sejajarkan dengan Napoleon dan Snowball?
Lalu pertikaian pun pecah di antara duo penguasa dunia ini –foto Benjamin terus beredar luas melalui mata uang Amerika sebagai alat ekspansi ekonomi. Tidak mungkin memang ada dua raja di satu istana –tidak bisa sama sekali ada dua imam di dalam satu rumah. Salah satunya harus memakmumi yang lainnya. Jika ditampik, harus dienyahkan –bukankah banyak sekali istri yang diceraikan hanya karena ambisius turut menjadi imam rumah tangga?
Demikianlah ingatan terbaik yang tertanam pada jutaan jiwa manusia tentang Benjamin, termasuk Orwell. Bahwa menjadi tua, setua Benjamin dan Amerika-nya, terlalu dominan sehingga pongah yang ditandai dengan enggan berbicara dan sekalinya bicara selalu sinis, sama sekali bukanlah perilaku ideal yang disenangi. Amerika yang telah terlalu tua, jarang bicara jujur terbuka pada dunia, dan sekalinya bicara, sinislah ia, serupa benar dengan karakter Benjamin –yang diabadikan melalui mata uang Amerika.
Mari ingat salah satu aturan dari Tujuh Perintah di Animal Farm, yakni “Semua binatang setara”. Ini adalah ajaran berorientasi berahi global Amerika yang diekspor ke mana-mana dan dipuja-puja sebagai puncak peradaban manusia, yakni demokrasi. Adapun label-label lainnya, sebutlah HAM dan ekonomi global, tak lebih dari peluru-peluru yang murah hati diberondongkan kepada negara manapun yang dituding melanggar prinsip demokrasi. Tepatnya, ambisi global Amerika.
Wacana “setara” akhirnya terpanggungkan dalam wujud yang sangat problematis. Ia terlalu sumir untuk digenggamkan kepada satu kekuasaan yang terlampau menguasai macam Amerika. Tak terperi dampaknya.
Bukankah fatwa setara ala demokrasi Amerika-lah yang mengesahkan George W. Bush menghancurkan Irak? Kami akan menghadiahkan demokrasi kepada rakyat Irak dengan menumbangkan rezim otoriter dan kejam Saddam Husein yang anti-HAM, kata Bush.
Irak pasca dibombardir Amerika atas nama keluhungan ekspor demokrasi benar-benar bukan Irak versi Saddam Husein lagi. Hancur lebur! Begitu pun Libya, Mesir, dan Lebanon. Jangan lupakan pula Suriah. Semua chaos itu merupakan berkah fatwa setara yang dipropagandakan Amerika.
Asalinya, kita tahu, ini bukan ihwal Amerika sangat baik hati kepada umat manusia sebumi untuk menyemaikan demokrasi-demokrasi dan HAM-HAM. Ini mutlak ihwal sumber daya minyak dan kekuasaan politik kawasan. Sebagai Napoleon, si babi, Amerika bisa berkawan baik dengan siapa saja atau membunuhnya. Tergantung dua lema utama itu, penguasaan minyak dan politik kawasan. Osamah bin Laden dulunya adalah kawan Amerika, kemudian dihabisi. Abu Bakar Al-Baghdadi, khalifah ISIS, dulunya anak asuh Amerika yang dididik untuk bahu-membahu menumbangkan Saddam Husein, kini dibombardir. Begitupun pendahulu Iran yang karib Amerika sebelum dijungkalkan revolusi Iran yang mengubah angin politik Iran menjadi vis-a-vis Amerika. Arab Saudi, mungkin suatu hari bila dinasti Suud digantikan oleh rezim baru yang kritis pada Amerika.
Dalam pidatonya di hadapan binatang-binatang yang dipimpin Napoleon, Pilkington beranekdot, “Jika Anda harus menghadapi binatang kelas rendah, kami punya manusia tingkat rendah.”
Binatang-binatang di Animal Farm terbahak.
Pertanyaan di awal, mengapa Orwell menggunakan nama Benjamin yang berkarakter buruk, saya kira relevan sekali untuk disebut satire politik kepada mata uang Amerika yang lagi digenggam Orwell. Bayangkan, Anda menggenggam mata uang Amerika, ada foto Benjamin, lalu Anda terkenang jutaan manusia yang tak tahu apa-apa dicabut paksa hidupnya oleh bom-bom Amerika. Anda akan membenci Benjamin sebagai luapan serapah pada ulah barbar Amerika.
Semua binatang setara.
Tetapi beberapa binatang lebih setara daripada yang lainnya.
Itulah satu perintah tunggal, pengganti tujuh perintah awal, yang dibacakan Benjamin kepada Clover. Rupanya, Benjamin ingin berkarib dengan Clover yang gemar meringkik.
Jogja, 6 Pebruari 2016
George Orwell yang lahir di India saya kira tak sekadar ala kadarnya saat membuat nama Benjamin, si keledai, pada salah satu tokoh rekaan dalam novel Animal Farm. Benjamin diberi karakter “perangainya paling buruk”: paling tua, jarang ngomong, dan sekalinya ngomong selalu sinis –misalnya, ia bilang bahwa Tuhan memberinya sebuah ekor untuk mengusir lalat, tetapi tak lama lagi ia tak akan berekor, dan tak ada seekor lalat pun mengganggu. Ia juga tidak pernah tertawa, dan bila ditanya kenapa tak tertawa, ia akan menjawab tidak ada yang pantas ditertawakan.
Dugaan ini makin kentara kuat bila ditambahkan lagi dengan penggunaan nama Napoleon, si babi, sebagai tandem Snowball –dua pemimpin binatang-binatang di Peternakan Binatang. Koalisi yang kokoh sejak awal meletusnya pemberontakan para binatang itu berujung pecahnya pertikaian yang mengesahkan kekerasan.
Baik, kira-kira, siapa gerangan nama Benjamin yang disitir Orwell?
Orang boleh saja menabalkan novel alegori politik ini sebagai kritik satire atas totalitarisme Uni Soviet. Tapi, kenapa Benjamin, bukan Tsar, yang tak terbendung di kepala saya bahwa itu adalah Benjamin Franklin, si bapak kemerdekaan Amerika?
Sumber Gambar: liptan6.com |
Di titik ini, saya teringat untaian puitik Ahmad Al-Safi Al-Najafi, seorang penyair Irak, “Bila mawar mati, hanya warna, cahaya, dan keindahannya yang lenyap, sedangkan wanginya tetap bersama angin Timur yang mengelana.”
Kenangan itu, memang, seperti api, kenangan itu menyala di dalam berjuta-juta jiwa. Demikian pula ingatan kita pada Benjamin Franklin yang diabadikan oleh Amerika di pecahan mata uangnya yang merajalela diinvasikan ke saantero pelosok bumi. Orwell yang tak sezaman dengan Benjamin jelas tahu siapa Benjamin Franklin yang meninggal di tahun 1790. Pertanyaannya, mengapa Orwell tampak tak menyukai Benjamin?
Pertikaian Tak Kunjung Usai
Kepemimpinan duo babi cerdas, Snowball dan Napoleon, yang menahkodai pemberontakan dan kemudian menentukan aturan-aturan hidup para binatang melalui Tujuh Perintah mengingatkan saya para konteks hidup Orwell yang dikecamuki Perang Dunia II. Perang yang memicu terbentuknya nation-state itu lantas mengerucut pada dua kekuatan dunia: Amerika dan Uni Soviet. Bolehkah hal itu saya sejajarkan dengan Napoleon dan Snowball?
Lalu pertikaian pun pecah di antara duo penguasa dunia ini –foto Benjamin terus beredar luas melalui mata uang Amerika sebagai alat ekspansi ekonomi. Tidak mungkin memang ada dua raja di satu istana –tidak bisa sama sekali ada dua imam di dalam satu rumah. Salah satunya harus memakmumi yang lainnya. Jika ditampik, harus dienyahkan –bukankah banyak sekali istri yang diceraikan hanya karena ambisius turut menjadi imam rumah tangga?
Demikianlah ingatan terbaik yang tertanam pada jutaan jiwa manusia tentang Benjamin, termasuk Orwell. Bahwa menjadi tua, setua Benjamin dan Amerika-nya, terlalu dominan sehingga pongah yang ditandai dengan enggan berbicara dan sekalinya bicara selalu sinis, sama sekali bukanlah perilaku ideal yang disenangi. Amerika yang telah terlalu tua, jarang bicara jujur terbuka pada dunia, dan sekalinya bicara, sinislah ia, serupa benar dengan karakter Benjamin –yang diabadikan melalui mata uang Amerika.
Mari ingat salah satu aturan dari Tujuh Perintah di Animal Farm, yakni “Semua binatang setara”. Ini adalah ajaran berorientasi berahi global Amerika yang diekspor ke mana-mana dan dipuja-puja sebagai puncak peradaban manusia, yakni demokrasi. Adapun label-label lainnya, sebutlah HAM dan ekonomi global, tak lebih dari peluru-peluru yang murah hati diberondongkan kepada negara manapun yang dituding melanggar prinsip demokrasi. Tepatnya, ambisi global Amerika.
Wacana “setara” akhirnya terpanggungkan dalam wujud yang sangat problematis. Ia terlalu sumir untuk digenggamkan kepada satu kekuasaan yang terlampau menguasai macam Amerika. Tak terperi dampaknya.
Bukankah fatwa setara ala demokrasi Amerika-lah yang mengesahkan George W. Bush menghancurkan Irak? Kami akan menghadiahkan demokrasi kepada rakyat Irak dengan menumbangkan rezim otoriter dan kejam Saddam Husein yang anti-HAM, kata Bush.
Irak pasca dibombardir Amerika atas nama keluhungan ekspor demokrasi benar-benar bukan Irak versi Saddam Husein lagi. Hancur lebur! Begitu pun Libya, Mesir, dan Lebanon. Jangan lupakan pula Suriah. Semua chaos itu merupakan berkah fatwa setara yang dipropagandakan Amerika.
Asalinya, kita tahu, ini bukan ihwal Amerika sangat baik hati kepada umat manusia sebumi untuk menyemaikan demokrasi-demokrasi dan HAM-HAM. Ini mutlak ihwal sumber daya minyak dan kekuasaan politik kawasan. Sebagai Napoleon, si babi, Amerika bisa berkawan baik dengan siapa saja atau membunuhnya. Tergantung dua lema utama itu, penguasaan minyak dan politik kawasan. Osamah bin Laden dulunya adalah kawan Amerika, kemudian dihabisi. Abu Bakar Al-Baghdadi, khalifah ISIS, dulunya anak asuh Amerika yang dididik untuk bahu-membahu menumbangkan Saddam Husein, kini dibombardir. Begitupun pendahulu Iran yang karib Amerika sebelum dijungkalkan revolusi Iran yang mengubah angin politik Iran menjadi vis-a-vis Amerika. Arab Saudi, mungkin suatu hari bila dinasti Suud digantikan oleh rezim baru yang kritis pada Amerika.
Dalam pidatonya di hadapan binatang-binatang yang dipimpin Napoleon, Pilkington beranekdot, “Jika Anda harus menghadapi binatang kelas rendah, kami punya manusia tingkat rendah.”
Binatang-binatang di Animal Farm terbahak.
Pertanyaan di awal, mengapa Orwell menggunakan nama Benjamin yang berkarakter buruk, saya kira relevan sekali untuk disebut satire politik kepada mata uang Amerika yang lagi digenggam Orwell. Bayangkan, Anda menggenggam mata uang Amerika, ada foto Benjamin, lalu Anda terkenang jutaan manusia yang tak tahu apa-apa dicabut paksa hidupnya oleh bom-bom Amerika. Anda akan membenci Benjamin sebagai luapan serapah pada ulah barbar Amerika.
Semua binatang setara.
Tetapi beberapa binatang lebih setara daripada yang lainnya.
Itulah satu perintah tunggal, pengganti tujuh perintah awal, yang dibacakan Benjamin kepada Clover. Rupanya, Benjamin ingin berkarib dengan Clover yang gemar meringkik.
Jogja, 6 Pebruari 2016
0 comments :
Post a Comment