Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Di kampung jauh sana, di mana tempat saya dilahirkan, seorang kakak saya punya kebiasaan rutin setiap hari. Ia memiliki 20 ekor ayam kampung yang harus ia pakani setiap pagi. Tentu kebiasaan rutin itu wajib ia kerjakan, disamping sebagai hiburan, sekaligus menjadi satu-satunya penghasilan yang dimilikinya.
Pada mulanya, setiap ia akan memberikan pakan ayam, ia berteriak-teriak “Kiiiiiirrrr! Kiiirrrrrkiiiiirrrr ya’ ya’ ya’!” kemudian 20 ekor ayam itu segera lari mendekati kakak saya. Lalu kakak saya menaruh pakan ayam itu di tempatnya yang telah tersedia.
Setelah tiga bulan lamanya ia memelihara ayam, ia berpikir alangkah baiknya jika ia tidak harus berteriak-teriak setiap pagi. Lalu hari berikutnya, ia berteriak seperti biasanya sambil menabuh sebuah kentongan yang telah ia buat. Kentongan itu ditaruh di dekat tempat di mana ayam-ayam itu diberi makan.
Di hari-hari selanjutnya, ia tidak perlu lagi berteriak-teriak untuk memanggil 20 ekor ayam yang akan diberi makan. Ia hanya perlu menabuh kentongan sekeras-kerasnya, lalu ayam-ayam miliknya blingsatan berlarian mendekatinya. Dan pastinya, ayam-ayam yang bukan miliknya tidak akan mendekat meski kentongan itu ditabuhnya hingga pecah.
Kakak saya mengamati, ternyata ayam-ayam pun mengerti makna sebuah bunyi kentongan, bahwa apabila di suatu pagi yang segar, ada bunyi kentongan dari arah yang telah ditentukan, makanan berarti telah disiapkan. Itu artinya kentongan adalah sebuah benda dan bunyi yang dapat dimaknai oleh ayam-ayam milik kakak saya.
Dan itu pula dapat diartikan, bahwa kentongan bagi kakak saya dan ayam-ayamnya adalah sebuah media. Pengertian ini minimal sesuai dengan pengertian “media” yang dilansir Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta tahun 2008 yaitu perantara; penghubung; yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb).
Seberapa penting “media” kentongan bagi kakak saya dan 20 ekor ayam miliknya? Tentu sangatlah penting; pertama, media kentongan dapat memberi pengertian kepada kakak saya jika ayam-ayam miliknya dididik, disodori sebuah kebiasaan baru, dihadirkan sebuah reproduksi makna, ayam-ayam kakak saya akan mengalami sebuah perubahan.
Kedua, ayam-ayam itu akan memiliki kecerdasan bunyi, kepentingan, dan kepekaan membangun makna. Ayam-ayam itu dapat mengerti jika ada bunyi kentongan dari tempat makan, berarti ia akan mendapatkan makanan. Ia akan lari sekencang-kencangnya meskipun berada di tempat yang agak jauh. Dan tentu, ia dapat membedakan antara kentongan yang ditabuh oleh kakak saya dan kentongan yang lain.
Ketiga, kedua belah pihak antara kakak saya dan 20 ekor ayamnya sangat paham ihwal keberadaan kentongan dalam hidupnya. Kakak saya memerlukan kentongan demi kepentingan (interest) mengumpulkan ayam-ayamnya yang sedang menyebar di tempat-tempat permainannya untuk diberi makan, biar gemuk, dan dapat bertelur lebih banyak. Sedangkan ayam-ayam itu juga mafhum adanya kentongan menjadi penanda sebuah panggilan informatif hidup-mati yang (mungkin) telah ditunggu-tunggu.
Pada intinya, kedua belah pihak antara kakak saya dan 20 ekor ayamnya sama-sama membutuhkan “media” kentongan untuk keberlangsungan hidup mereka yang lebih maju dan terjalinnya sebuah hubungan “simbiosis mutualism”.
Namun di sebuah pagi yang sial itu. Sebuah suara kentongan berbunyi dari sumber biasanya. Ayam-ayam kakak saya lari tunggang langgang. Dan ternyata benar, ayam-ayam itu diberi makan. Tetapi bedanya, kali ini disediakan perangkap untuk mereka. Sebab empat jam lagi akan disembelih.
Di saat-saat ayam itu pada ditangkap dan ditaruh di dalam sebuah sangkar yang telah disediakan. Ayam-ayam kakak saya itu berpikir “ternyata, kentongan tidak hanya sebuah informasi membahagiakan untuk mendapatkan makanan, tetapi kentongan juga menjadi berita sebuah datangnya kematian.”
***
Beranjak lebih jauh pada media yang digunakan manusia dengan manusia yang sering kita kenal dengan “media massa” (mass media). Setiap orang, khususnya orang-orang terdidik baik mereka yang tinggal di desa maupun kota merasa sangat butuh mengakses media massa, baik koran, majalah, televisi, dan media sosial lainnya seperti blog, facebook, twitter, google+, dan seterusnya.
Teknologi telah mempermudah akses media massa melalui gadget, tablet, dan smartphone. Kita pun bisa mengaksesnya di manapun berada, mulai dari WC, tempat tidur, hingga di kendaraan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana media massa yang diyakini sebagai entitas paling penting mampu menjalankan perannya dalam memuluskan perubahan yang lebih baik di tengah peradaban umat manusia?
Komersialisasi media massa adalah kanker mematikan yang mencerabut media massa dari ruhnya sebagai penyampai informasi dan komunikasi publik. Konsepsi pemikir Perancis, Jean Baudrillard menegakkan kepalanya di sini. Media yang pada mulanya menjadi “subjek” informasi yang disampaikan kepada publik, mengalami pergeseran nilai signifikan, interest komersial menempatkan media massa sebagai “predikat” yang menjalankan dinamisme komersial.
Publik hanya menjadi ayam yang dipanggil melalui sebuah kentongan media, dicekoki makanan agar jinak, padahal yang sesungguhnya ayam itu sebentar lagi akan ditangkap dan segera akan disembelih. Media kentongan yang pada mulanya dicitrakan sebagai tempat yang nyaman untuk mengasup makanan (informasi), berubah peran menjadi tempat yang tepat untuk menjagal (Haryatmoko, 2007: 9)
Logika pasar membiak dalam sirkulasi media massa. Logika produksi-konsumsi yang diukur oleh statistik untung-rugi. Akhirnya, simulasi media membuat citraan-citraan yang menggiring publik dalam “simulacra hiperrealitas”. Publik menjadi sulit membedakan antara mimpi dan nyata. Mereka bergelayut dalam “kesadaran ganda” yang tidak jelas.
Subjek-subjek memainkan perannya mempengaruhi media massa, senapan-senapan diarahkan sedemikian rupa pada titik tembak dengan orientasi mekanisme mesin kepentingan. Subjek-subjek media massa itu bisa saja terdiri dari dua entitas.
Pertama, subjek eksternal. Media massa yang berada di balik kepentingan eksternal tentu alur, pola, dan dedikasinya berupaya untuk mempengaruhi publik agar dapat digiring pada logika-logika yang ingin dibangun oleh kepentingan penentunya. Corporate misalnya yang bersuara melalui corong media massa, membangun pencitraan, kontruksi makna, pemahaman (understanding) sedemikian rupa sehingga publik dapat meng”iya”kan pesan-pesan yang tersirat maupun tersurat di media massa.
Kapitalisasi media massa yang dijamah oleh tangan eksternal tersebut dapat membuat media massa yang bersangkutan “lacur” adanya. Meskipun di sisi lain media massa menjaga apa yang diraungkan Herbert Spencer (1820-1903) “survival of the fittest”, artinya yang dapat bertahan, dialah yang menang. Harusnya media massa memiliki batasan-batasan “ideologis” yang tidak dapat diganggu gugat oleh apapun dan siapapun.
Itulah sebabnya, di negara demokrasi, media menjadi corong kepentingan publik. Ia memilih jalan sederhana dalam pengertian, “Media” menjadi penghubung suara “massa” atau rakyat. Media massa di negara demokrasi harusnya berdiri tegak di mana massa atau rakyat menyuarakan aspirasinya.
Kedua, subjek internal. Tentu sebuah media massa tidak serta merta ada dan berdiri. Media massa dapat dipastikan ada satu orang atau sekumpulan orang yang bersepakat mendirikannya. Inisiator media massa dan jajaran struktural yang melingkupinya adalah subjek internal media massa.
Secara sosiologis, di dalamnya melakukan interaksi, diskusi, membangun kesepahaman, dan inisiatif bersama yang pada puncaknya disusun sebuah acuan dasar, visi misi bersama, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD&ART) media massa.
Inisiator dan orang-orang yang mendapuk struktur organisasi sebuah media dapat dipastikan memegang prinsip-prinsip, rambu-rambu, serta bangunan “ideologi” yang ditetapkan menjadi GPS perjalanan media massa tersebut ke depan. Dan jika suatu waktu, akan dilakukan perubahan-perubahan signifikan, tentu subjek-subjek yang duduk di kursi struktural bertanggung jawab atas perubahan yang ditetapkannya.
Di sinilah dapat dimengerti, muatan content sebuah media massa pasti sealur dan senada dengan aktor-aktor yang ada di dalamnya. Jika aktor-aktor yang duduk di kursi struktural cenderung kuning, pastinya laju media itu tidak akan jauh-jauh dari warna kuning. Jika aktor-aktor itu lebih cenderung merah, content media dan kecenderungannya tidak akan jauh-jauh dari warna merah, dan seterusnya.
Penting kiranya mengembalikan media massa kepada fungsinya yang utuh, tak lain dan tak bukan sebagai corong publik yang tidak terpolarisasi. Tidak merah, biru, hijau, kuning, merah, dan warna-warna lainnya. Sehingga media massa benar-benar mampu menjauh dari polarisasi interest politik praktis dan ekonomi yang telah meletakkan media massa di tempat yang kurang independen---untuk tidak mengatakan di tempat yang kurang terhormat.
***
Media adalah salah satu entitas yang dapat memproduksi makna. Di dalamnya bergelimbung logika-logika internal-eksternal dan multi kepentingan yang di break down melalui sebuah informasi media. Pertanyaannya kemudian, apakah publik atau masyarakat pembaca hanya sekedar dapat menjadi objek, dalam bahasa yang lebih sarkas, sebagai “korban” dari media massa? Atau di sisi lain, publik dapat menjadi “subjek” media massa?
Jika internal media massa terbuka atas berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, kemudian menyingkirkan pihak-pihak yang lain. Maka makna yang akan diproduksi oleh media tersebut akan parsial. Sebab keterbukaan media massa atas kalangan tertentu, pastinya tidak di atas kertas kosong, melainkan ada deal-deal sosial politik yang didapuk sebagai fit-back industri media massa.
Kaum arif intelektual seolah-olah berpangku tangan di sini dengan dalih sebagai wacana tandingan. Sehingga dalam konteks produksi informasi media massa juga pada akhirnya memiliki rezim, yang biasa disebut sebagai “rezim media”. Tentu ketika rezim media bertahta di bawah kepentingan-kepentingan eksternal, pihak-pihak tertentu, dan publik tak dapat dielakkan akan menjadi “korban” rezim media massa.
Mudah sekali untuk melacaknya, publik dapat melihat aktor-aktor yang berada dalam struktur media massa tersebut. Jika kecenderungan aktor-aktor media massa A lebih berwarna kuning, tentu informasi yang diproduksi tidak meleset sedikit pun dari warna kuning. Dengan harapan masyarakat dapat memproduksi makna kuning dari informasi-informasi yang didapatkannya.
Efektivitas media massa sebagai lahan untuk membangun citra bagi kepentingan internal-eksternal di sini secara substansial tidak layak lagi disebut sebagai corong publik, melainkan media massa tersebut telah membatasi dirinya menjadi corong warna kuning, corong warna merah, corong warna abu-abu, dan seterusnya.
Lalu, sebagai respon publik atas gejala-gejala ini, citizen journalism muncul bersama-sama sebagai jalan tengah. Setiap orang memiliki kesempatan menyampaikan informasi sendiri melalui blog, facebook, kultweet, dan lain sebagainya. Bahkan bisa jadi citizen jurnalism berlawanan atau head to head dengan media mainstream; misal media massa mainstream menyampaikan informasi yang timpang, penuh pencitraan, pengalihan issue, kemudian citizen journalism mengungkap fakta nyata yang sesungguhnya.
Media massa menjadi satu-satunya entitas yang berpengaruh dalam mengawal peradaban bangsa apabila faktor-faktor di dalamnya tidak dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan parsial. Dan akhirnya, di tengah-tengah kebisingan media massa yang semakin tak menentu arahnya, penyair kebanggaan Prancis, Arthur Rimbaud (1854-1891) mengumandangkan puisinya:
Biarkan ia datang, biarkan ia datang
musim yang bisa kita cintai.
Maka kehijauan mengisi
musim gugur yang sekarat,
melebat, berbunga,
dengan dupa dan rerumputan
dan kebisingan lalat-lalat kotor
yang kejam.
Biarkan ia datang, biarkan ia datang
musim yang bisa kita cintai;
aku cintai gurun, mawar yang terbakar, toko-toko tua
yang lelah, minuman hangat. Kuseret diriku melewati
lembah-lembah yang bau, dan dengan mata terpejam
kutawarkan diriku kepada matahari, sang dewa api.***
* Tulisan ini disampaikan dalam diskusi Humaniush Institut Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan tema “Media Sebagai Entitas Paling Berpengaruh” pada tanggal 21 September 2015.
Di kampung jauh sana, di mana tempat saya dilahirkan, seorang kakak saya punya kebiasaan rutin setiap hari. Ia memiliki 20 ekor ayam kampung yang harus ia pakani setiap pagi. Tentu kebiasaan rutin itu wajib ia kerjakan, disamping sebagai hiburan, sekaligus menjadi satu-satunya penghasilan yang dimilikinya.
Pada mulanya, setiap ia akan memberikan pakan ayam, ia berteriak-teriak “Kiiiiiirrrr! Kiiirrrrrkiiiiirrrr ya’ ya’ ya’!” kemudian 20 ekor ayam itu segera lari mendekati kakak saya. Lalu kakak saya menaruh pakan ayam itu di tempatnya yang telah tersedia.
Setelah tiga bulan lamanya ia memelihara ayam, ia berpikir alangkah baiknya jika ia tidak harus berteriak-teriak setiap pagi. Lalu hari berikutnya, ia berteriak seperti biasanya sambil menabuh sebuah kentongan yang telah ia buat. Kentongan itu ditaruh di dekat tempat di mana ayam-ayam itu diberi makan.
Di hari-hari selanjutnya, ia tidak perlu lagi berteriak-teriak untuk memanggil 20 ekor ayam yang akan diberi makan. Ia hanya perlu menabuh kentongan sekeras-kerasnya, lalu ayam-ayam miliknya blingsatan berlarian mendekatinya. Dan pastinya, ayam-ayam yang bukan miliknya tidak akan mendekat meski kentongan itu ditabuhnya hingga pecah.
Kakak saya mengamati, ternyata ayam-ayam pun mengerti makna sebuah bunyi kentongan, bahwa apabila di suatu pagi yang segar, ada bunyi kentongan dari arah yang telah ditentukan, makanan berarti telah disiapkan. Itu artinya kentongan adalah sebuah benda dan bunyi yang dapat dimaknai oleh ayam-ayam milik kakak saya.
Dan itu pula dapat diartikan, bahwa kentongan bagi kakak saya dan ayam-ayamnya adalah sebuah media. Pengertian ini minimal sesuai dengan pengertian “media” yang dilansir Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta tahun 2008 yaitu perantara; penghubung; yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb).
Seberapa penting “media” kentongan bagi kakak saya dan 20 ekor ayam miliknya? Tentu sangatlah penting; pertama, media kentongan dapat memberi pengertian kepada kakak saya jika ayam-ayam miliknya dididik, disodori sebuah kebiasaan baru, dihadirkan sebuah reproduksi makna, ayam-ayam kakak saya akan mengalami sebuah perubahan.
Kedua, ayam-ayam itu akan memiliki kecerdasan bunyi, kepentingan, dan kepekaan membangun makna. Ayam-ayam itu dapat mengerti jika ada bunyi kentongan dari tempat makan, berarti ia akan mendapatkan makanan. Ia akan lari sekencang-kencangnya meskipun berada di tempat yang agak jauh. Dan tentu, ia dapat membedakan antara kentongan yang ditabuh oleh kakak saya dan kentongan yang lain.
Ketiga, kedua belah pihak antara kakak saya dan 20 ekor ayamnya sangat paham ihwal keberadaan kentongan dalam hidupnya. Kakak saya memerlukan kentongan demi kepentingan (interest) mengumpulkan ayam-ayamnya yang sedang menyebar di tempat-tempat permainannya untuk diberi makan, biar gemuk, dan dapat bertelur lebih banyak. Sedangkan ayam-ayam itu juga mafhum adanya kentongan menjadi penanda sebuah panggilan informatif hidup-mati yang (mungkin) telah ditunggu-tunggu.
Pada intinya, kedua belah pihak antara kakak saya dan 20 ekor ayamnya sama-sama membutuhkan “media” kentongan untuk keberlangsungan hidup mereka yang lebih maju dan terjalinnya sebuah hubungan “simbiosis mutualism”.
Namun di sebuah pagi yang sial itu. Sebuah suara kentongan berbunyi dari sumber biasanya. Ayam-ayam kakak saya lari tunggang langgang. Dan ternyata benar, ayam-ayam itu diberi makan. Tetapi bedanya, kali ini disediakan perangkap untuk mereka. Sebab empat jam lagi akan disembelih.
Di saat-saat ayam itu pada ditangkap dan ditaruh di dalam sebuah sangkar yang telah disediakan. Ayam-ayam kakak saya itu berpikir “ternyata, kentongan tidak hanya sebuah informasi membahagiakan untuk mendapatkan makanan, tetapi kentongan juga menjadi berita sebuah datangnya kematian.”
***
Beranjak lebih jauh pada media yang digunakan manusia dengan manusia yang sering kita kenal dengan “media massa” (mass media). Setiap orang, khususnya orang-orang terdidik baik mereka yang tinggal di desa maupun kota merasa sangat butuh mengakses media massa, baik koran, majalah, televisi, dan media sosial lainnya seperti blog, facebook, twitter, google+, dan seterusnya.
Teknologi telah mempermudah akses media massa melalui gadget, tablet, dan smartphone. Kita pun bisa mengaksesnya di manapun berada, mulai dari WC, tempat tidur, hingga di kendaraan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana media massa yang diyakini sebagai entitas paling penting mampu menjalankan perannya dalam memuluskan perubahan yang lebih baik di tengah peradaban umat manusia?
Komersialisasi media massa adalah kanker mematikan yang mencerabut media massa dari ruhnya sebagai penyampai informasi dan komunikasi publik. Konsepsi pemikir Perancis, Jean Baudrillard menegakkan kepalanya di sini. Media yang pada mulanya menjadi “subjek” informasi yang disampaikan kepada publik, mengalami pergeseran nilai signifikan, interest komersial menempatkan media massa sebagai “predikat” yang menjalankan dinamisme komersial.
Publik hanya menjadi ayam yang dipanggil melalui sebuah kentongan media, dicekoki makanan agar jinak, padahal yang sesungguhnya ayam itu sebentar lagi akan ditangkap dan segera akan disembelih. Media kentongan yang pada mulanya dicitrakan sebagai tempat yang nyaman untuk mengasup makanan (informasi), berubah peran menjadi tempat yang tepat untuk menjagal (Haryatmoko, 2007: 9)
Logika pasar membiak dalam sirkulasi media massa. Logika produksi-konsumsi yang diukur oleh statistik untung-rugi. Akhirnya, simulasi media membuat citraan-citraan yang menggiring publik dalam “simulacra hiperrealitas”. Publik menjadi sulit membedakan antara mimpi dan nyata. Mereka bergelayut dalam “kesadaran ganda” yang tidak jelas.
Subjek-subjek memainkan perannya mempengaruhi media massa, senapan-senapan diarahkan sedemikian rupa pada titik tembak dengan orientasi mekanisme mesin kepentingan. Subjek-subjek media massa itu bisa saja terdiri dari dua entitas.
Pertama, subjek eksternal. Media massa yang berada di balik kepentingan eksternal tentu alur, pola, dan dedikasinya berupaya untuk mempengaruhi publik agar dapat digiring pada logika-logika yang ingin dibangun oleh kepentingan penentunya. Corporate misalnya yang bersuara melalui corong media massa, membangun pencitraan, kontruksi makna, pemahaman (understanding) sedemikian rupa sehingga publik dapat meng”iya”kan pesan-pesan yang tersirat maupun tersurat di media massa.
Kapitalisasi media massa yang dijamah oleh tangan eksternal tersebut dapat membuat media massa yang bersangkutan “lacur” adanya. Meskipun di sisi lain media massa menjaga apa yang diraungkan Herbert Spencer (1820-1903) “survival of the fittest”, artinya yang dapat bertahan, dialah yang menang. Harusnya media massa memiliki batasan-batasan “ideologis” yang tidak dapat diganggu gugat oleh apapun dan siapapun.
Sumber Gambar: bct222.renita.blogspot.com |
Itulah sebabnya, di negara demokrasi, media menjadi corong kepentingan publik. Ia memilih jalan sederhana dalam pengertian, “Media” menjadi penghubung suara “massa” atau rakyat. Media massa di negara demokrasi harusnya berdiri tegak di mana massa atau rakyat menyuarakan aspirasinya.
Kedua, subjek internal. Tentu sebuah media massa tidak serta merta ada dan berdiri. Media massa dapat dipastikan ada satu orang atau sekumpulan orang yang bersepakat mendirikannya. Inisiator media massa dan jajaran struktural yang melingkupinya adalah subjek internal media massa.
Secara sosiologis, di dalamnya melakukan interaksi, diskusi, membangun kesepahaman, dan inisiatif bersama yang pada puncaknya disusun sebuah acuan dasar, visi misi bersama, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD&ART) media massa.
Inisiator dan orang-orang yang mendapuk struktur organisasi sebuah media dapat dipastikan memegang prinsip-prinsip, rambu-rambu, serta bangunan “ideologi” yang ditetapkan menjadi GPS perjalanan media massa tersebut ke depan. Dan jika suatu waktu, akan dilakukan perubahan-perubahan signifikan, tentu subjek-subjek yang duduk di kursi struktural bertanggung jawab atas perubahan yang ditetapkannya.
Di sinilah dapat dimengerti, muatan content sebuah media massa pasti sealur dan senada dengan aktor-aktor yang ada di dalamnya. Jika aktor-aktor yang duduk di kursi struktural cenderung kuning, pastinya laju media itu tidak akan jauh-jauh dari warna kuning. Jika aktor-aktor itu lebih cenderung merah, content media dan kecenderungannya tidak akan jauh-jauh dari warna merah, dan seterusnya.
Penting kiranya mengembalikan media massa kepada fungsinya yang utuh, tak lain dan tak bukan sebagai corong publik yang tidak terpolarisasi. Tidak merah, biru, hijau, kuning, merah, dan warna-warna lainnya. Sehingga media massa benar-benar mampu menjauh dari polarisasi interest politik praktis dan ekonomi yang telah meletakkan media massa di tempat yang kurang independen---untuk tidak mengatakan di tempat yang kurang terhormat.
***
Media adalah salah satu entitas yang dapat memproduksi makna. Di dalamnya bergelimbung logika-logika internal-eksternal dan multi kepentingan yang di break down melalui sebuah informasi media. Pertanyaannya kemudian, apakah publik atau masyarakat pembaca hanya sekedar dapat menjadi objek, dalam bahasa yang lebih sarkas, sebagai “korban” dari media massa? Atau di sisi lain, publik dapat menjadi “subjek” media massa?
Jika internal media massa terbuka atas berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, kemudian menyingkirkan pihak-pihak yang lain. Maka makna yang akan diproduksi oleh media tersebut akan parsial. Sebab keterbukaan media massa atas kalangan tertentu, pastinya tidak di atas kertas kosong, melainkan ada deal-deal sosial politik yang didapuk sebagai fit-back industri media massa.
Kaum arif intelektual seolah-olah berpangku tangan di sini dengan dalih sebagai wacana tandingan. Sehingga dalam konteks produksi informasi media massa juga pada akhirnya memiliki rezim, yang biasa disebut sebagai “rezim media”. Tentu ketika rezim media bertahta di bawah kepentingan-kepentingan eksternal, pihak-pihak tertentu, dan publik tak dapat dielakkan akan menjadi “korban” rezim media massa.
Mudah sekali untuk melacaknya, publik dapat melihat aktor-aktor yang berada dalam struktur media massa tersebut. Jika kecenderungan aktor-aktor media massa A lebih berwarna kuning, tentu informasi yang diproduksi tidak meleset sedikit pun dari warna kuning. Dengan harapan masyarakat dapat memproduksi makna kuning dari informasi-informasi yang didapatkannya.
Efektivitas media massa sebagai lahan untuk membangun citra bagi kepentingan internal-eksternal di sini secara substansial tidak layak lagi disebut sebagai corong publik, melainkan media massa tersebut telah membatasi dirinya menjadi corong warna kuning, corong warna merah, corong warna abu-abu, dan seterusnya.
Lalu, sebagai respon publik atas gejala-gejala ini, citizen journalism muncul bersama-sama sebagai jalan tengah. Setiap orang memiliki kesempatan menyampaikan informasi sendiri melalui blog, facebook, kultweet, dan lain sebagainya. Bahkan bisa jadi citizen jurnalism berlawanan atau head to head dengan media mainstream; misal media massa mainstream menyampaikan informasi yang timpang, penuh pencitraan, pengalihan issue, kemudian citizen journalism mengungkap fakta nyata yang sesungguhnya.
Media massa menjadi satu-satunya entitas yang berpengaruh dalam mengawal peradaban bangsa apabila faktor-faktor di dalamnya tidak dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan parsial. Dan akhirnya, di tengah-tengah kebisingan media massa yang semakin tak menentu arahnya, penyair kebanggaan Prancis, Arthur Rimbaud (1854-1891) mengumandangkan puisinya:
Biarkan ia datang, biarkan ia datang
musim yang bisa kita cintai.
Maka kehijauan mengisi
musim gugur yang sekarat,
melebat, berbunga,
dengan dupa dan rerumputan
dan kebisingan lalat-lalat kotor
yang kejam.
Biarkan ia datang, biarkan ia datang
musim yang bisa kita cintai;
aku cintai gurun, mawar yang terbakar, toko-toko tua
yang lelah, minuman hangat. Kuseret diriku melewati
lembah-lembah yang bau, dan dengan mata terpejam
kutawarkan diriku kepada matahari, sang dewa api.***
* Tulisan ini disampaikan dalam diskusi Humaniush Institut Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan tema “Media Sebagai Entitas Paling Berpengaruh” pada tanggal 21 September 2015.
0 comments :
Post a Comment