KABARBANGSA.COM---Ajaran-ajaran dogmatis memang banyak membelenggu ruang gerak umat beragama untuk lebih kritis dan terbuka untuk sebuah perubahan. Dalam Islam, banyak sekali pengembangan-pengembangan ilmu pengetahuan kritis yang disandarkan pada kitab suci, tetapi tidak sedikit pula yang menentang penggalian ilmu pengetahuan kritis tersebut. (Baca juga: Gus Sahal: Jangan-Jangan Donald Trump Mengira Fadli Zon Dari Israel, Fadli Zion)
Kalangan-kalangan dogmatis yang cenderung parsial dalam pola pikirnya justeru menjudje sebagai bagian dari ketidak seimbangan---untuk tidak mengatakan kekacauan. Dalam agama Kristen muncul Protestanisme yang digerbongi oleh Martin Luther. Tak dapat dipungkiri, Luther bisa berkembang sedemikian rupa karena sokongan politik Ottoman, dibawah kepemimpinan Kaisar Sulaiman.
Dalam Islam, kiri Islam model Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, dan sahabat-sahabatnya menggali al-Qur'an dan al-Hadits melalui petualangan logika dan silogisme filsafat yang mumpuni. Bahkan kritik paling mendasar terhadap Islam dan umat Islam dikemukakan, bahwa ia melihat Islam tanpa kehadiran Muslim di Barat dan melihat Muslim tanpa kehadiran Islam di timur tengah. (Baca juga: Gus Sahal: Gara-Gara Banyak Baca Buku Felix Siauw 'Udah Putusin Aja', Akhirnya PAN Cerai Dari KMP)
Dapat diartikan bahwa agama yang dianut secara dogmatis, tanpa petualangan berpikir kritis hanya akan menciptakan "penghakiman" yang tidak sehat atas nama agama. Lebih tepatnya dalam bahasa yang sedikit sarkas, mengenyam dogma agama tanpa berpikir kritis sama akan tercipta "kriminalitas" atas nama agama.
Itulah kira-kira yang dimaksud oleh Gus Sahal melalui akun twitternya yang menyatakan : Dogmatisme = Tak mampu berpikir kritis. "Atheis dogmatis seperti@tanpaAGAMA itu sama piciknya dgn Theis dogmatis. Dogmatisme = tak mampu berpikir kritis."
Sebagai jalan tengah, bisa jadi kita memakai metode, di satu sisi kita tidak meninggalkan dogma agama sebagai pegangan dalam kehidupan. Tetapi tidak berhenti belajar dan berpikir untuk menciptakan perubahan-perubahan yang signifikan dalam kehidupan beragama. Agama sejatinya bukanlah belenggu, tetapi agama sebagai metode berpikir dan metode bertindak. (Baca juga: Ustadz-Ustadz di TV Banyak yang Ilmu dan Akhlaknya Rendah)
Jika seseorang kokoh memegang dogma agama, tentu tidak akan memaki-maki orang lain, apalagi mengkafirkan orang lain. Sebab tidak ada ajaran agama manapun yang membolehkan memaki-maki pihak lain. Jika seseorang beragama pastinya tidak alergi terhadap segala metode berpikir, berfilsafat, dan sejenisnya itu.
Orang yang berakal sehat dan memiliki hati nurani yang jernih tentu akan terbuka bagi siapapun dan apapun. Meskipun keterbukaan itu berada dalam batasan-batasan yang telah diatur oleh semua kitab suci. Ingatlah bahwa kebenaran agama tanpa keindahan akan terasa kaku dan keindahan tanpa kebenaran agama akan tergelincir.***(fit)
Kalangan-kalangan dogmatis yang cenderung parsial dalam pola pikirnya justeru menjudje sebagai bagian dari ketidak seimbangan---untuk tidak mengatakan kekacauan. Dalam agama Kristen muncul Protestanisme yang digerbongi oleh Martin Luther. Tak dapat dipungkiri, Luther bisa berkembang sedemikian rupa karena sokongan politik Ottoman, dibawah kepemimpinan Kaisar Sulaiman.
Sumber Gambar: dok.sahal_as |
Dapat diartikan bahwa agama yang dianut secara dogmatis, tanpa petualangan berpikir kritis hanya akan menciptakan "penghakiman" yang tidak sehat atas nama agama. Lebih tepatnya dalam bahasa yang sedikit sarkas, mengenyam dogma agama tanpa berpikir kritis sama akan tercipta "kriminalitas" atas nama agama.
Itulah kira-kira yang dimaksud oleh Gus Sahal melalui akun twitternya yang menyatakan : Dogmatisme = Tak mampu berpikir kritis. "Atheis dogmatis seperti
Sebagai jalan tengah, bisa jadi kita memakai metode, di satu sisi kita tidak meninggalkan dogma agama sebagai pegangan dalam kehidupan. Tetapi tidak berhenti belajar dan berpikir untuk menciptakan perubahan-perubahan yang signifikan dalam kehidupan beragama. Agama sejatinya bukanlah belenggu, tetapi agama sebagai metode berpikir dan metode bertindak. (Baca juga: Ustadz-Ustadz di TV Banyak yang Ilmu dan Akhlaknya Rendah)
Jika seseorang kokoh memegang dogma agama, tentu tidak akan memaki-maki orang lain, apalagi mengkafirkan orang lain. Sebab tidak ada ajaran agama manapun yang membolehkan memaki-maki pihak lain. Jika seseorang beragama pastinya tidak alergi terhadap segala metode berpikir, berfilsafat, dan sejenisnya itu.
Orang yang berakal sehat dan memiliki hati nurani yang jernih tentu akan terbuka bagi siapapun dan apapun. Meskipun keterbukaan itu berada dalam batasan-batasan yang telah diatur oleh semua kitab suci. Ingatlah bahwa kebenaran agama tanpa keindahan akan terasa kaku dan keindahan tanpa kebenaran agama akan tergelincir.***(fit)
0 comments :
Post a Comment