(Epilog buku 50.000 Ma’(w)ar: Antomena Sajak #10Huruf karya Shiny Ane El-Poesya)
Oleh : Sofyan RH. Zaid*
"Pembaca adalah raja di depan sebuah karya, tak satu pun yang dapat memaksanya.
Begitupun sebaliknya, pengarang adalah raja saat ia menuliskan karyanya,
tak seorang pun yang dapat menindas ide dari imajinasinya."
Radhar Panca Dahana
Dalam perdebatan klasik –bahkan mungkin klise-, Plato dalam The Republic menyebut tukang kayu yang membuat kursi, lebih bermanfaat dibanding penyair yang menulis puisi tentang kursi. Sebab baginya sastra hanya tiruan alam (mimesis) dan penyair adalah plagiat alam semesta. Sementara Aristoteles dalam The Poetics menyangkal pandangan itu dengan mengatakan; alam yang diciptakan Tuhan hanyalah titik tolak –bagi penyair- untuk menciptakan karyanya sebagai ‘alam baru’ yang memiliki struktur realitas sendiri. Jadi, penyair bukan ‘peniru’, melainkan ‘pencipta’.
Kemudian Horatius –sekaligus melengkapi pandangan Aristoteles- melalui De Arte Poetica menyebutkan; struktur realitas karya sastra –paling tidak- dapat memberikan subtansi moral, keindahan yang bermanfaat dan menyenangkan. Di samping itu, Longius dalam On The Sublime juga memberikan tiga struktur utama bagi penciptaan karya sastra, yakni: falsafah dan persoalan penting yang diangkat, gaya bahasa serta emosi yang terpelihara, dan tahan terhadap zaman. Hal ini menunjukkan bahwa penyair selalu dipaksa menjadi ‘manusia pencipta’ dan mempunyai kepekaan sosial yang tinggi serta wawasan kemanusian yang mendalam. Wajar apabila penyair kemudian memiliki perasaan dan pemikiran yang lebih ‘jauh’ dibanding orang-orang pada umumnya.
Namun pandangan di atas, dianggap terlalu pragmatis; terlalu berharap banyak pada penyair dan karyanya sebagai bentuk ekspresi bebas manusia, kata Sartre. Karya sastra harusnya tetap dibaca sebagai karya sastra, bukan teks ceramah, buku panduan, ajaran moral atau filsafat, meski karya sastra tidak menutup kemungkinan memiliki unsur tersebut -sebagai nilai-. Hal ini juga sejalan dengan keyakinan Engels, bahwa karya sastra harus dihargai telebih dulu sebagai karya seni, atau puisi sebagai karya sastra, kemudian baru dihargai sebagai cerminan eksistensi masyarakat, pemikiran dan sebagainya. Begitu juga dengan buku 50.000 Ma’(w)ar: Antomena Sajak #10Huruf karya Shiny Ane El-Poesya ini.
Melalui pengantar bukunya, Shiny secara terbuka mengatakan:
“Sajak #10huruf, apabila kita hendak “letakkan” dalam mangkuk sejarah kepenyairan kita yang seperti saat ini, adalah merupakan satu dukungan kreatif, serta upaya “menyanggupi” fenomena “kembalinya puisi struktur” yang—menurut penulis—sedang berusaha melakukan “gerakan” keluar dari situasi tak “terkontrolnya” puisi gaya-bebas dan cenderung bergeser ke arah membanal itu; Bahkan hingga mengenai arah proses produksi karya sastra itu sendiri: Fenomena “asal-unggah” khas masyarakat virtual, kecenderungan merebaknya penerbitan-penerbitan atas nama pribadi, dan juga “matinya” lembaga kritik, sepi dan “mandul”nya kritik yang kreatif di tengah-tengah terjadinya proses desakralisasi penulisan sejarah (kebaruan) kesusastraan Indonesia Modern, memperparah suasana “bising” ini.”
Terlepas dari apapun tentang buku ini, kita harus sepakat dengan Walter dalam The Renaissance: Studies in Art and Poetry, bahwa puisi sebagai karya sastra datang kepada kita dan menganjurkan; menerima suatu kualitas tertinggi yang diberikan pada waktu-waktu yang telah dilalui, setelah itu biarlah ia menunjukkan dirinya kepada kita pada masa-masa yang akan datang. Akan tetapi paling tidak nilai sebuah karya -bagi Joyce dalam A Portrait of The Artist as a Young Man- secara tehnis, kualitas keindahannya dapat dirasakan dengan baik apabila memiliki tiga karakter penciptaan, yaitu:
Pertama; Integritas; kesatuan yang padu dari setiap unsur yang ada di dalamnya. Masing-masing harus berfungsi membangun wujudnya yang tunggal. Bukan sekadar unsur yang berkumpul tanpa hubungan. Kedua: Harmoni; keserasian yang proporsional, bertalian secara tepat dan kuat demi satu bentuk ideal, meskipun bagian-bagiannya terdiri dari unsur yang ‘sedang berkonflik’ sebab adanya sifat yang bertentangan, namun harus tetap bisa diseimbangkan dan diselaraskan sehingga menjadi bentuk yang stabil. Ketiga: Individuasi; keunikan tersendiri yang berarti hasil karya seni tidak bisa ditukar dengan hasil karya seni yang lainnya, meski tidak dapat dihindari hasil karya seni selalu mempunya anasir persamaan yang bersifat universal, namun tidak menghilangkan karakteristik individualnya.
Buku ini layak dibaca dan diperbincangkan sebagai sebuah buku puisi -yang kata Dorothea- menawarkan nilai, atau lontaran gagasan dan ide, di mana pencipta bukan penafsir tunggal dan pembaca bebas melakukan penafsiran sendiri. Juga sebuah buku yang berteriak lantang bahwa penyair adalah makhluk gelisah. Itu sebabnya dia tidak pernah merasa nyaman berada di zona aman. Dia terus mencari hal-hal baru yang mungkin –dan tidak mungkin- dalam proses kreatifnya, sampai pada akhirnya dia berhasil menemukan ‘puncak di kedalaman’.
Sekali lagi, penyair adalah pencipta, tapi bukan Tuhan. Sebab sekeras apapun penyair mencipta, tidak akan pernah bisa sama, apalagi melampauiNya. Sebagai ‘manusia pencipta’, penyair dan karyanya kadang tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh masyarakat. Menyebabkan ia ‘dikucilkan’ dan dianggap sebagai orang gila. Namun jangan khawatir, jika karya yang diciptakannya punya kualitas ‘life time’, pada akhirnya masyarakat akan mengakui kalau penyair adalah orang yang paling waras dan diterima sebagai pembaharu. Sekalipun pengakuan itu muncul setelah penyairnya tiada, kata Teeuw.
Bogor, 07 September 2015
Oleh : Sofyan RH. Zaid*
"Pembaca adalah raja di depan sebuah karya, tak satu pun yang dapat memaksanya.
Begitupun sebaliknya, pengarang adalah raja saat ia menuliskan karyanya,
tak seorang pun yang dapat menindas ide dari imajinasinya."
Radhar Panca Dahana
Dalam perdebatan klasik –bahkan mungkin klise-, Plato dalam The Republic menyebut tukang kayu yang membuat kursi, lebih bermanfaat dibanding penyair yang menulis puisi tentang kursi. Sebab baginya sastra hanya tiruan alam (mimesis) dan penyair adalah plagiat alam semesta. Sementara Aristoteles dalam The Poetics menyangkal pandangan itu dengan mengatakan; alam yang diciptakan Tuhan hanyalah titik tolak –bagi penyair- untuk menciptakan karyanya sebagai ‘alam baru’ yang memiliki struktur realitas sendiri. Jadi, penyair bukan ‘peniru’, melainkan ‘pencipta’.
Sumber Gambar: eznakhalili.com |
Namun pandangan di atas, dianggap terlalu pragmatis; terlalu berharap banyak pada penyair dan karyanya sebagai bentuk ekspresi bebas manusia, kata Sartre. Karya sastra harusnya tetap dibaca sebagai karya sastra, bukan teks ceramah, buku panduan, ajaran moral atau filsafat, meski karya sastra tidak menutup kemungkinan memiliki unsur tersebut -sebagai nilai-. Hal ini juga sejalan dengan keyakinan Engels, bahwa karya sastra harus dihargai telebih dulu sebagai karya seni, atau puisi sebagai karya sastra, kemudian baru dihargai sebagai cerminan eksistensi masyarakat, pemikiran dan sebagainya. Begitu juga dengan buku 50.000 Ma’(w)ar: Antomena Sajak #10Huruf karya Shiny Ane El-Poesya ini.
Melalui pengantar bukunya, Shiny secara terbuka mengatakan:
“Sajak #10huruf, apabila kita hendak “letakkan” dalam mangkuk sejarah kepenyairan kita yang seperti saat ini, adalah merupakan satu dukungan kreatif, serta upaya “menyanggupi” fenomena “kembalinya puisi struktur” yang—menurut penulis—sedang berusaha melakukan “gerakan” keluar dari situasi tak “terkontrolnya” puisi gaya-bebas dan cenderung bergeser ke arah membanal itu; Bahkan hingga mengenai arah proses produksi karya sastra itu sendiri: Fenomena “asal-unggah” khas masyarakat virtual, kecenderungan merebaknya penerbitan-penerbitan atas nama pribadi, dan juga “matinya” lembaga kritik, sepi dan “mandul”nya kritik yang kreatif di tengah-tengah terjadinya proses desakralisasi penulisan sejarah (kebaruan) kesusastraan Indonesia Modern, memperparah suasana “bising” ini.”
Terlepas dari apapun tentang buku ini, kita harus sepakat dengan Walter dalam The Renaissance: Studies in Art and Poetry, bahwa puisi sebagai karya sastra datang kepada kita dan menganjurkan; menerima suatu kualitas tertinggi yang diberikan pada waktu-waktu yang telah dilalui, setelah itu biarlah ia menunjukkan dirinya kepada kita pada masa-masa yang akan datang. Akan tetapi paling tidak nilai sebuah karya -bagi Joyce dalam A Portrait of The Artist as a Young Man- secara tehnis, kualitas keindahannya dapat dirasakan dengan baik apabila memiliki tiga karakter penciptaan, yaitu:
Pertama; Integritas; kesatuan yang padu dari setiap unsur yang ada di dalamnya. Masing-masing harus berfungsi membangun wujudnya yang tunggal. Bukan sekadar unsur yang berkumpul tanpa hubungan. Kedua: Harmoni; keserasian yang proporsional, bertalian secara tepat dan kuat demi satu bentuk ideal, meskipun bagian-bagiannya terdiri dari unsur yang ‘sedang berkonflik’ sebab adanya sifat yang bertentangan, namun harus tetap bisa diseimbangkan dan diselaraskan sehingga menjadi bentuk yang stabil. Ketiga: Individuasi; keunikan tersendiri yang berarti hasil karya seni tidak bisa ditukar dengan hasil karya seni yang lainnya, meski tidak dapat dihindari hasil karya seni selalu mempunya anasir persamaan yang bersifat universal, namun tidak menghilangkan karakteristik individualnya.
Buku ini layak dibaca dan diperbincangkan sebagai sebuah buku puisi -yang kata Dorothea- menawarkan nilai, atau lontaran gagasan dan ide, di mana pencipta bukan penafsir tunggal dan pembaca bebas melakukan penafsiran sendiri. Juga sebuah buku yang berteriak lantang bahwa penyair adalah makhluk gelisah. Itu sebabnya dia tidak pernah merasa nyaman berada di zona aman. Dia terus mencari hal-hal baru yang mungkin –dan tidak mungkin- dalam proses kreatifnya, sampai pada akhirnya dia berhasil menemukan ‘puncak di kedalaman’.
Sekali lagi, penyair adalah pencipta, tapi bukan Tuhan. Sebab sekeras apapun penyair mencipta, tidak akan pernah bisa sama, apalagi melampauiNya. Sebagai ‘manusia pencipta’, penyair dan karyanya kadang tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh masyarakat. Menyebabkan ia ‘dikucilkan’ dan dianggap sebagai orang gila. Namun jangan khawatir, jika karya yang diciptakannya punya kualitas ‘life time’, pada akhirnya masyarakat akan mengakui kalau penyair adalah orang yang paling waras dan diterima sebagai pembaharu. Sekalipun pengakuan itu muncul setelah penyairnya tiada, kata Teeuw.
Bogor, 07 September 2015
0 comments :
Post a Comment