Home » » Surat Seorang Ibu Rumah Tangga Untuk KPK

Surat Seorang Ibu Rumah Tangga Untuk KPK

Diposkan oleh damar pada Tuesday, May 24, 2016 | 7:08 PM

   
Salam sejahtera, semoga Tuhan senantiasa menyertai dan melindungi mereka yang ulung menyelamatkan manusia-manusia papa, melindungi anak-anak yang belum mengerti petaka dan bencana.

***

Mungkin, bapak pejabat KPK tengah mengernyitkan dahi saat membaca surat saya ini. Memang, saya bukan orang yang terkenal. Saya bukan pejabat, bukan artis, bukan pula tokoh masyarakat. Saya hanya seorang ibu, yang tinggal di sebuah desa kecil yang damai dan ramai anak-anak kecil. Namun, saya merasa begitu percaya diri ketika keinginan menuliskan surat untuk KPK ini menggelegak dalam batin saya. Kepercayaan diri itu muncul lantaran saya merasa saya adalah bagian dari rakyat, bagian dari anak bangsa. Jadi, perkenankanlah bapak membaca surat ‘nyelonong’ saya ini dengan tuntas, dan tentu saja, dengan hati yang lapang.

Ibarat musim, dada saya ini tengah dilanda kemarau yang panjang. Daun-daun kesabaran meranggas, tanah-tanah ketenangan pecah retas. Apa yang saya lihat, dengar, dan rasa saban hari di media atau di lingkungan-lingkungan birokrasi, seperti terus mengeringkan optimisme saya pada bangsa yang sejak kecil selalu saya banggakan, bahkan tetapkan menjadi pijakan hidup dan mati saya.

(Baca juga: Pemimpin Baru dan Paradigma Pembangunan Partisipatif )

Korupsi itu, maksud saya, pak. Dimana-mana menjadi topik utama dan headline news. Dimana-mana terjadi, bahkan kini sudah dipraktekkan dengan leluasa. Entahlah, bagaimana bisa korupsi menjadi begitu lihai merasuki jiwa-jiwa para pemimpin bangsa saya yang lahir dari darah dan asa yang luhur. Ia melumpuhkan harga diri bangsa di mata rakyatnya sendiri. Semua itu, sungguh menjadi petaka yang saya sendiri tak tahu bagaimana muasalnya, apalagi usainya.

Dan tentu saja, yang sangat membuat perih hati saya, ia menari-menari dengan bebas dalam pikiran anak-anak bangsa yang suci, yang memiliki asa luhur tinggi, yang sudah susah payah dididik untuk menjadi pribadi jujur oleh ayah ibu mereka.

Dulu, semasa saya masih duduk di sekolah dasar, bu guru pernah menanyakan apa cita-cita saya dan teman-teman kelas saya lainnya. Saya menjawab saya ingin menjadi seorang hakim yang adil dan membela kebenaran. Teman saya yang lain ada yang menjawab ingin menjadi presiden, menjadi polisi, menjadi tentara, menjadi guru, dan banyak lainnya lagi. Membayangkan kami benar-benar bisa menjadi sosok yang kami idam-idamkan itu, kami sudah girang bukan kepalang. Bukankah cita-cita yang berhasil dicapai adalah anugerah?

Saya berupaya mengejar cita-cita saya itu, dan saya baru tahu jika hambatan besar menghadang, yakni prosedur yang tidak fair. Terjadi intrik licik penuh kebohongan dalam pelaksanaan penerimaan CPNS yang kini sudah menjadi rahasia publik. Mereka yang memiliki ikatan kerabat dengan pejabat atau mereka yang bisa membeli kursi kelulusan, itulah yang akan diterima.

(Baca juga : Politik Tanpa Moral)

Intrik-intrik licik itu memang sangat terasa. Bagaimana tidak? Syarat lamaran yang begitu banyak, dipublikasikan kurang lebih tiga hari dari tanggal akhir penerimaan. Padahal, syarat-syarat itu didapatkan dari berbagai instansi, yang kadang tidak bisa selesai sehari atau dua hari saja. Bukan hanya itu, kursi yang disediakan terlalu sedikit. Dan yang sedikit itu, nyatanya sudah menjadi jatah orang-orang tertentu. Berarti, proses penerimaan itu sebenarnya adalah omong kosong—bodohnya, saya sudah menjalani tes-tes itu berkali-kali.

Biar saja, jika orang menganggap saya beralibi lantaran kecewa tidak diterima. Saya masih bisa terima kok, jika kenyataannya saya ini bodoh atau belum beruntung. Saya begitu bersemangat kala itu lantaran saya begitu ingin mengejar cita-cita saya, tidak selain itu—mengejar jabatan, strata sosial, gaji tetap, atau tunjangan. Masalahnya, hanya melalui jalan tes CPNS itu saja, saya bisa meraih cita-cita yang saya idam-idamkan!
Sumber Gambar: tribunnews.com

Bagi saya, cita-cita itu seperti musim panen yang dirindukan petani. Saya menanamnya, memupuknya, merawatnya, dan berharap benar-benar bisa menuai hasil jerih payah saya. Begitpun pada anak-anak saya. Saya selalu katakan, jika manusia yang hidup tanpa cita-cita seperti boneka malang yang tak berarti apa-apa.

Alangkah malangnya jika anggapan berharga semacam itu meski kandas di tangan orang-orang yang lapar keuntungan. Ya, ya. Yang membuat saya ditumbuk kecewa adalah, teman saya yang saya tahu adalah anak seorang ketua hakim, mengabari saya, jika ia diterima menjadi hakim—padahal ia baru pertama kali ikut tes. Kerabat jauh saya juga mengabari saya, jika ia diterima menjadi seorang polisi setelah membayar puluhan juta. Tetangga saya juga diterima sebagai jaksa setelah membayar uang puluhan juta. Bahkan untuk menjadi seorang guru—sebuah profesi agung dan semulia itu, banyak yang menyuap oknum pemerintah agar bisa diangkat menjadi PNS (Padahal, ribuan guru honorer yang begitu tulus, nasibnya malah masih belum jelas).
Saya jadi sedih sekali. Benar-benar sedih. Profesi-profesi bernilai ‘cita-cita idaman anak bangsa’ semacam itu sudah diperjualbelikan dan digerus maknanya.

Ah, saya sudah terlalu sering mendengar kabar-kabar semacam itu, pak. Semua orang juga tahu. Hal semacam ini juga sudah berlangsung bertahun-tahun. Namun entah kenapa, kongkalikong semacam itu ‘masih duduk manis’ di makamnya. Padahal, hampir semua instansi pemerintahan yang menjadi cita-cita ideal anak-anak bangsa, seperti kepolisian, jaksa, mentri, presiden, sampai anggota dewan, semua membutuhkan kemampuan ‘faktor x’, yang hanya dimiliki oleh orang-orang berkekuatan materi khusus.

Lalu, bagaimana jika kebiasaan seperti ini masih terus membudaya sampai ke generasi anak-anak kita? Bagimana jika suap masih terus menjadi kunci utama tercapainya sebuah cita-cita? Lantas, untuk orang kecil seperti saya, yang sudah dikecewakan oleh keadaan itu, yang sungguh-sungguh ingin anak-anak saya bisa mencapai cita-cita tinggi, harus turut serta larut dalam aturan ‘gelap’ tersebut?

Sebenarnya, bukan soal uang atau garis keturunan yang menguntungkan itu yang menjadi kegelisahan terbesar saya. Tapi ketidakjujuran itu. Cara-cara pintas yang sangat menyakiti pengusung cita-cita luhur yang lugu dan suci itu. Proses kejujuran yang susah payah dibangun sejak dini, yang akhirnya berujung pada pilihan yang pahit; mau tercapai tapi ikut prosedur itu, atau kubur hidup-hidup cita-cita itu. 

Praktek korup tidak hanya berkutat di ranah ‘pintu gerbang’ profesi idaman anak bangsa itu, pak. Di dalamnya pun sudah mengular dan membelit semua pelakunya. Banyak orang yang ingin menjalankan tugas dengan jujur, namun terbentur sekawanan oknum yang kompak melakukan penyimpangan, utamanya dalam berkorupsi (Ah, saya juga tahu keadaan seperti ini dialami banyak pejabat kita yang masih idealis. Mereka terjebak pada kondisi yang bertentangan dengan nurani mereka sendiri).

Sudah banyak bukan contohnya, pejabat yang memiliki akar kejujuran yang kuat akan memilih mundur atau melawan. Dan ingat saja, perlawanan mereka tentu beresiko sangat besar. Ia yang melawan, membongkar, atau mengacak-acak, bersiap-siap ke penjara—dengan skenario palsu nan kejam—atau mati.
Seperti bapak Antasri Azhar yang terhormat, yang sampai sekarang masih begitu berharga di mata saya—Tuhan, semoga Engkau menguatkan lahir batinnya selalu. Perih benar ketika bapak antasari dijegal oknum-oknum yang berkonspirasi membuat skenario kebohongan yang sangat bagi saya, mungkin juga bagi banyak orang, sangat tidak masuk akal; cinta segitiga yang berakhir pada pembunuhan.

Itu sinetron konyol yang menjijikkan. Namun, entahlah, kekonyolan itu seperti raksasa berkekuatan besar, yang berjalan leluasa menentukan keinginannya sendiri. Tanpa ada yang bisa menghalangi, sekalipun jutaan rakyat berteriak itu kebohongan besar dan kejam.

Atau seorang Baharudin Lopa, jaksa yang mati tahun 2001 akibat diracun karena keberaniannya menangkap banyak koruptor kelas kakap. Ia tidak gentar menghadapi siapapun. Padahal, dalam masa kepemimpinannya yang singkat (1,5 bulan), ia sudah menangkap banyak koruptor.

Atau seorang Dahlan Iskan yang banyak dicecar DPR lantaran mengatakan ada oknum-oknum DPR yang memerah jatah pada BUMN. Seolah-olah, apa yang sudah diperbuat Dahlan adalah kejahatan yang patut dilawan. Padahal Dahlan sekedar mengungkapkan praktek ‘jahat’ oknum korup. Tapi, lihatlah, betapa lihai mereka membolak balik keadaan; yang benar dianggap salah, yang salah dianggap benar.

Saya sungguh pusing, pak. Saya seperti orang yang rabun, yang tidak bisa membedakan mana yang putih dan mana yang hitam. Saya menjadi begitu khawatir pada masa depan anak-anak saya. Pemimpin yang mestinya digugu dan tiru keteladanannya, nyatanya berbalik. Mereka sibuk mencari keuntungan pribadi, menghalalkan cara-cara busuk, dan menusuk yang benar.

Cara pandang mereka berubah menjadi cara pandang uang. Jangankan bicara kasus hambalang, century, BLBI, simulator SIM, dan kasus korupsi-korupsi besar lainnya yang tak bisa saya jangkau proses pengusutannya. Kasus-kasus korupsi di ranah terkecil pun sudah rata menyebar; mengurus KTP, saya harus menunggu berbulan-bulan dan membayar sejumlah uang yang menurut saya terlalu berlebihan—hingga ratusan ribu, saya juga berkali-kali langganan penilangan polisi di tanggal tua, dengan sanksi uang yang bisa ditawar seperti pedagang ikan saja. 

Korupsi benar-benar sudah menyebar ke segala penjuru, pak!

Bapak pejabat KPK yang terhormat, betapa tangan ini terulur pada kalian. Anggap saja saya ini anak kecil yang merengek minta bantuan pada anda sekalian.  Atau, anda semua boleh menganggap saya pengemis. Bagi saya, tak ada yang lebih penting dari kesembuhan kearifan budaya bangsa ini, apalagi hanya sekedar anggapan. Di tangan anda sekalian-lah, belati itu ada. Bukankah kelahiran KPK adalah untuk memerangi maling-maling berdasi yang sudah sangat melukai hati rakyat?

Jangan takut pada siapapun, pak. Ulunglah berburu kedholiman. Ulunglah berburu ketidakadilan. Ulunglah berburu kebohongan. Ulunglah berburu pengkhianat amanat rakyat.

Bangsa ini adalah bangsa yang sejatinya gagah dan bersahaja. Bangsa ini memiliki sejarah dan budaya yang mengagumkan. Di negri inilah saya, keluarga saya, anak-anak saya, akan menjalani proses hidup mereka. Cukuplah saya, atau generasi saya, atau generasi atas saya yang pernah dikecewakan keadaan bangsa yang korup. Jangan sampai anak-anak cucu kita turut merasakan keadaan mengerikan ini. Mereka adalah pembawa api masa depan bangsa ini. Mereka memiliki mimpi dan cita-cita yang luhur. Biarkan semua itu bersemi dan dipenuhi dengan cara-cara yang baik. Biarkan mereka menuntaskan tugas mereka sebagai anak bangsa yang berkualitas dan jujur.

Saya masih percaya, yang baik berbuah baik, yang buruk berbuah buruk. Dan kelahiran KPK di negri ini bermula dari itikad dan himpunan harapan yang baik. Percayalah, jika proses perjalannnya pun akan baik, walau banyak cobaan. Tuhan membaca itikad dan ikhitiar bapak-bapak sekalian. Seperti pula Tuhan membaca doa-doa hambanya yang teraniyiya dan menderita.

(Bapak pejabat KPK, semoga Tuhan senantiasa melindungimu. KPK, semoga Tuhan senantiasa menguatkanmu).
Terimakasih sudah berkenan membaca surat saya ini. Semoga bapak sekalian sehat selalu.

Azizah Hefni, Ibu rumah tangga tinggal di Bantul Yogyakarta.
 



Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment