Home » » Bargaining Position: Negosiasasi konflik antara Mashlahah dan Nash dalam ushul fiqh

Bargaining Position: Negosiasasi konflik antara Mashlahah dan Nash dalam ushul fiqh

Diposkan oleh damar pada Thursday, October 13, 2016 | 9:55 PM

Judul Buku    : Paradigma Ushul Fiqh; Negosiasi Konflik Mashlahah dan Nash
Penulis            : Dr. H. A. Malthuf Siroj, M.Ag
Editor             : Muhammad Al-Fayyadl
Penerbit         : Pustaka Ilmu, Yogyakarta
Cetakan I       : Maret 2013
Tebal              : 103 Halaman
Peresensi          : Fathor Razi*

Diskursus seputar hukum Islam selalu hangat dikaji oleh sejumlah akademisi intelektual muslim hingga abad 21. Selayaknya ajaran-ajaran hukum Islam yang bersumber pada nash al-Qur’an dan Hadits tidak lain sebagai pedoman umat Islam agar tetap dijadikan petunjuk di dalam hidup ini.Namun demikian, hukum Islam tidak menutup atau pun menafikan pintu lain (tidak hanya bersandar pada otensitas nash Tuhan dan Sabda Rasul), melainkan mengakui jalan lain yaitu produk hukum dari sekian hasil ijtihad para ulama.

Kompetensi para ulama yang memiliki intentitas dalam bidang hukum Islam (ushul fiqh) sebagai respon untuk menjawab sekian persoalan-persoalan yang ada, khususnya era kekinian.Untuk mensinergikan antara nash dan mashlahah memang tidak mudah untuk melerai kemungkinan dalam mencairkan (problema solving) atas problematika yang ada.Ini dikarenakan terjadinya fragmentasi pada orientasi pemikir pertama yang cendrung kepada nash (text oriented) serta aspek-aspek formal yang tidak keluar subtansi dari koridor-koridor yang menjadi ketentuan-Nya. Sedangkan pemikir kedua yang meneguhkan kemashlahatan (human need oriented) – sebagai bagian dari maqashid al-syariah (namun melalaikan keabsahan nash), dikarenakan kurang merespon problematika hukum yang kerap muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya di abad kontemporer tidak akan pernah redup dan terhenti.

Baca juga: Kompetensi Absolut Hakim dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah


Upaya ini dikarenakan untuk mencari relevansi atas jawaban-jawaban dengan perkembangan kekinian (up to date).Tidak salah jika timbulnya konfrontasi atas silang pendapat para ulama, yang mana masing-masing ulama meneguhkan argumentasi melalui debat yang terus bergulir, di satu sisi memandang bahwa hukum Tuhan itu pasti dijalankan pada kehidupan, dan barang siapa yang melanggar agar dihukum berdasarkan nash al-Qur’an tersebut. Di sisi lain, ada ulama yang memandang bahwa hukum Tuhan itu harus disesuaikan dengan konteks, demi terwujudkan kemaslahatan umum (mashlalah al ‘ammah).

Tarik menarik dari sekian pergumulan perbedaan pandangan para ulama inilah yang di dalam karya Dr. H. A. Malthuf Siroj, M.Ag. Yang mana penulisnya memberikan mutiara-mutiara pemahaman dengan menggunakan paradigma ushul fiqh melalui ruang negosiasi antara mashlahah (manfaat) dan nash (titah Tuhan). Penulis buku ini ingin memberikan paradigma segar terhadap teori-teori ushul fiqh dengan mensinergikan antara nash dan mashlahah secara berimbang serta merekonstruksi kerangka penetapan hukum Islam (istinbatḥ al-hukm al Islâm) yang berjalin kelindan dengan melahirkan fikih dinamis dengan tidak menghilangkan bayân ilahiyah-nya, serta mewujudkan progresifitas dan relevansinya dengan era kontemporer sebagai bukti bahwa kerasulan Nabi Muhammad SAW adalah rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil al ‘âlamîn).

Tawaran buku ini untuk mewujudkan fiqh dinamis yang telah lama kering serta membatu (statis dan stagnan). Penulis berusaha mengintegrasikan kehendak nash dan tuntutan mashlahah dengan mempertimbangkan maqâshid al syarî’ah yang bertumpu pada tiga kategori; dharûriyyah, hajiyyah, dan tahsîniyyah. Oleh karena itu, apabila seorang mujtahid melalui eksplorasinya yang mendalam menentukan pilihan misalnya kepada mashlahah (human need oriented) yang berkonflik, maka tidak berarti ia telah keluar konteks nash, sebab pada dasarnya dan sejatinya ia menentukan pilihan kepada mashlahah yang juga berdasarkan nash. Hal itu sejalan dengan Khalifah Umar Ibnu Khattab (hlm. 83).

Itulah mengapa salah satu contoh tindakan kontrovesial Khalifah Umar Bin Khattab yang tidak memberlakukan hukum potong tangan kepada pencuri, sesuai pernyataannya; tidak boleh memotong tangan pencuri pada masa krisis ekonomi – musim paceklik (lâ qatha’a fî yawmin sanatin). Padahal jelas secara qath’i al dalâlah di dalam al-Qur’an; Wassâriqu wassâriqatu faqtha’û aydiyahumâ jazâ’am bimâ kasabâ nakâlan minallâhi wallâhu ‘azîzun hakîmun. Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Mâidah [5] : 38). Di lain itu, Umar menghapus bagian zakat untuk orang yang baru masuk Islam, karena memberikan zakat bagi mereka dipandang tidak dapat mewujudkan tujuan hukum yang hendak dicapai. (hlm. 57). Dan banyak lagi tindakan umar lainnya yang lebih memandang demi terwujudnya kemashlahatan.

Boleh dikatakan, tindakan Umar melalui ijtihad kontroversinya senada dengan jargon kaidah fikh yang ditulis oleh pemikir sekaliber ‘Izzuddîn bin Abd al Salâm dalam kitab Qawâid al Ahkâm fi Mashâlih al Anâm Juz I (1980 : 11) yang berbunyi; jalbul mashâlihi wa dar’ur mafâsidi. Meraih kemaslahatan dan menolak kerusakan. Sejalan dari kaidah fikih di atas pada buku ini, pembaca akan diberikan mutiara pemahaman serta diarahkan bagaimana cara pengambilan sebuah keputusan hukum (istinbâth al ahkâm), pada belitan setiap persoalan hingga dewasa ini dengan dihadapkan fenomena krusial yang berbeda, di situlah upaya pencarian sebuah solusi atas problem tersebut dengan menjabarkan kembali inti sari yang menyangkut konflik antara mashlahah dan nash serta bagaimana memahami hubungan di antara keduanya.

Kiranya kerangka pemikiran hukum ‘Umar ini menjadi posisi tawar (bargain position) yang juga dijadikan acuan bagi upaya-upaya merekonstruksi pemikiran hukum Islam yang berorientasi tidak saja kepada nash, tetapi juga kepada mashalahah, sebab dengan begitu, hukum Islam akan memiliki makna subtantifnya dan menemukan dinamikanya yang dapat menjamin akseptabilitas dan relevansinya dengan perkembangan zaman sebagai wujud nyata dari Islam bagi alam raya ini. (hlm. 82).

Dari uraian di atas, di antara nash dan mashlahah ada letak pada relevansi praksis untuk menjawab pada tiap-tiap letak kasusnya (cause). Sebagaimana Allah SWT., menurunkan ayat al-Qur’an tidak serta merta diberikan begitu saja (take it). Ada sebab-musabab (kausalitas) yang secara transenden-dealiktis demi menjawab problematika yang awalnya pernah dialami oleh Rasulullah, hingga turunlah ayat qath’î tersebut. Maka dari itulah, ayat-ayat Allah SWT., adalah formula ilahi (divine law) sesuai keyakinan berkaitan dengan hubungan yang transendental, sedangkan mashlahah merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh nash itu sendiri, sehingga nash dapat berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai mashlahah yang menjadi tujuan penting persyariatan hukum tersebut (li syarîati hukmi allâhi) tujuannya untuk kemaslahatan umat (limashlahati al ummati).

Di samping pada tataran ijtihâdî dalam perspektif para mujahid, konflik (ta’aruḍl) antara mashlahah dan nash dimungkinkan terjadi. Buku ini selayaknya menawarkan konsep yang lebih subtantif dengan pendekatan kompromistik-non dikotomis dan ruang negosiasi tanpa terjebak ke dalam kerangkeng aspek legalitas nash. Akan tetapi relevan dengan tuntutan kemaslahatan pada saat itu sebagaimana tergambar dalam contoh-contoh yurisprudensinya. Menariknya lagi, dikarenakan pada uraian tiap sub-subnya terdapat silang pendapat dari pada ulama klasik (Imam al Syafi’ie, Hanbali, Maliki, dan Hanafi) dengan ulama kontemporer mengenai mashlahah dan nash.Yang mana antara ulama yang satu dengan lainnya memiliki perbedaan pendapat dan pemikira (ikhtilâf al fikr) demi menjawab problematika hukum Islam. Apalagi jika dihadapkan pada sudut pandang ulama era kontemporer ini, tidaklah kaget apabila kuantitas pemikir hukum Islam terkontaminasi dengan ragam problem se zamannya, dengan perangkat keilmuan di bidangnya dalam penerapan hukum Islam sesuai era kekinian (tajdîdu al mustamir). Hukum Islam harus diperhatikan dari beberapa aspek yang mengitari bersama sebab dan musababnya; dari keadaan, tempat, serta zamannya (al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihî wujûdan aw ‘adaman; min al-ahwâl, amkinati, azminati). Sehingga dikembangkanlah dengan pembauran ijtihadî yang argumentatif–progresif dengan tidak menyalahkan atau menafikan otentisitas nash ilahi.

Last but not least, kiranya banyak manfaat atas karya brilian ini dengan memperluas pengetahuan seta cakrawala keilmuan di bidang hukum Islam, khususnya pengembangan studi hukum Islam di Indonesia ini. Menjadi suatu keniscayaan akan dinamisasi hukum Islam jika dibenturkan dengan statemen ulama sekaliber Abu Zahrah, bahwa; inna an-nushusu tatanâhi, walakinnal hawâditsu lâtatanâhî. Titah Tuhan (nash) telah berakhir (final), sedangkan peristiwa itu tidak akan pernah berakhir.

Fathor Razi, Alumnus Magiter Studi Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment