Oleh: Iffatus Sholehah
Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (2010) menceritakan sisi kesederhanaan Soekarno. Pada pagi hari, demikian kata Widjanarko, biasanya Soekarno selalu minum kopi. Di samping itu, presiden pertama Indonesia itu juga makan roti yang diolesi sedikit mentega dan gula. Sementara sore harinya, Soekarno selalu minum teh. Selebihnya hanya minum air putih.
Begitu sederhana memang kehidupan Bung Karno, mungkin juga para tokoh-tokoh bangsa di zamannya. Bayangkan, dalam kapasitasnya sebagai presiden di mana segala fasilitas tersedia, Bung Karno hanya makan sekedarnya: Kopi, roti, dan teh. Demikianlah makanan yang selalu disantap Bung Karno. Pelajaran yang tentu saja dapat kita petik dari kisah tersebut ialah kesederhanaan seorang pemimpin.
Refleksi semacam ini saya kira penting di tengah realitas elite politik kita saat ini yang hidup mewah dan menjauh dari rakyat. Kenyataan bahwa elite politik semakin menjauh dari rakyat merupakan potret buram tentang realitas politik dewasa ini. Rakyat hanya didekati seolah diayomi dan dipedulikan ketika Pemilu akan digelar. Setelah itu, ceritanya pasti akan berbeda seratus delapan puluh derajat. Elite-elite politik yang sok peduli itu tiba-tiba menghilang dan seolah tidak mau tahu dengan jeritan rakyat, dengan aspirasi-aspirasi yang mestinya diperjuangkan.
Dalam konteks inilah barangkali kita tidak perlu heran jika setiap hari melihat elite-elite politik tidak mau berbaur dengan rakyat. Barangkali kita tidak perlu mengernyitkan dahi melihat elite-elite politik yang ja’im berdekat-dekatan dengan rakyat miskin (kecuali jelang Pemilu).
Sangat miris memang melihat kenyataan demikian. Satu sisi mereka adalah perpanjangan tangan kita (karena memang mereka berjuang, konon, atas nama kita, rakyat). Tapi, di sisi lain, mereka justru menjadikan kita sebagai boneka-boneka yang tidak tahu apa-apa. Miris, bukan?
Kenyataan demikian semakin diperparah dengan banyaknya politik pencitraan. Saat ini yang kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh politik tak lain dan tak bukan adalah politik pencitraan. Kita sebagai rakyat seolah diibaratkan sebagai sekumpulan konsumen. Mereka menjajakan barang dagangan dan kita dipaksa membelinya. Barang dagangan yang tak lain adalah visi misi politik itu dikemas dengan sangat elegan agar kita percaya bahwa itu adalah produk yang bermutu dan pantas dibeli. Politisi-politisi yang kerap menjajakan barang dagangannya itu memiliki strategi yang sangat cerdas bagaimana barang-barang yang didagangkan itu bisa terjual habis.
Politik pencitraan seperti tak terkendali. Dari hari ke hari para politisi kita mencitrakan diri dan barang dagangannya sebagai sesuatu yang istimewa. Kita dipaksa berpikir bahwa apa yang mereka jual adalah suatu kebenaran. Inilah potret pemimpin kita hari ini.
Politik pencitraan masih saja dianggap sebagai strategi politik. Politik pencitraan meniscayakan pembodohan karena yang diatampilkan adalah “kulitnya” saja. Apa yang tampak di luar. Sesuatu yang hanya diomongkan. Itulah inti dari pencitraan. Dalam konteks politik, tentu saja pencitraan semacam itu dianggap sebagai jalan pintas agar rakyat bersimpati. Inilah potret pemimpin kita hari ini.
Iffatus Sholehah, Mahasiswi Magister Interdisciplinary Islamic Studies/ Konsentrasi Pekerjaan Sosial (Social Work), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Bambang Widjanarko dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno (2010) menceritakan sisi kesederhanaan Soekarno. Pada pagi hari, demikian kata Widjanarko, biasanya Soekarno selalu minum kopi. Di samping itu, presiden pertama Indonesia itu juga makan roti yang diolesi sedikit mentega dan gula. Sementara sore harinya, Soekarno selalu minum teh. Selebihnya hanya minum air putih.
Begitu sederhana memang kehidupan Bung Karno, mungkin juga para tokoh-tokoh bangsa di zamannya. Bayangkan, dalam kapasitasnya sebagai presiden di mana segala fasilitas tersedia, Bung Karno hanya makan sekedarnya: Kopi, roti, dan teh. Demikianlah makanan yang selalu disantap Bung Karno. Pelajaran yang tentu saja dapat kita petik dari kisah tersebut ialah kesederhanaan seorang pemimpin.
Sumber Gambar: dakwahkendari.com |
Dalam konteks inilah barangkali kita tidak perlu heran jika setiap hari melihat elite-elite politik tidak mau berbaur dengan rakyat. Barangkali kita tidak perlu mengernyitkan dahi melihat elite-elite politik yang ja’im berdekat-dekatan dengan rakyat miskin (kecuali jelang Pemilu).
Sangat miris memang melihat kenyataan demikian. Satu sisi mereka adalah perpanjangan tangan kita (karena memang mereka berjuang, konon, atas nama kita, rakyat). Tapi, di sisi lain, mereka justru menjadikan kita sebagai boneka-boneka yang tidak tahu apa-apa. Miris, bukan?
Kenyataan demikian semakin diperparah dengan banyaknya politik pencitraan. Saat ini yang kerap dilakukan oleh tokoh-tokoh politik tak lain dan tak bukan adalah politik pencitraan. Kita sebagai rakyat seolah diibaratkan sebagai sekumpulan konsumen. Mereka menjajakan barang dagangan dan kita dipaksa membelinya. Barang dagangan yang tak lain adalah visi misi politik itu dikemas dengan sangat elegan agar kita percaya bahwa itu adalah produk yang bermutu dan pantas dibeli. Politisi-politisi yang kerap menjajakan barang dagangannya itu memiliki strategi yang sangat cerdas bagaimana barang-barang yang didagangkan itu bisa terjual habis.
Politik pencitraan seperti tak terkendali. Dari hari ke hari para politisi kita mencitrakan diri dan barang dagangannya sebagai sesuatu yang istimewa. Kita dipaksa berpikir bahwa apa yang mereka jual adalah suatu kebenaran. Inilah potret pemimpin kita hari ini.
Politik pencitraan masih saja dianggap sebagai strategi politik. Politik pencitraan meniscayakan pembodohan karena yang diatampilkan adalah “kulitnya” saja. Apa yang tampak di luar. Sesuatu yang hanya diomongkan. Itulah inti dari pencitraan. Dalam konteks politik, tentu saja pencitraan semacam itu dianggap sebagai jalan pintas agar rakyat bersimpati. Inilah potret pemimpin kita hari ini.
Iffatus Sholehah, Mahasiswi Magister Interdisciplinary Islamic Studies/ Konsentrasi Pekerjaan Sosial (Social Work), UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
0 comments :
Post a Comment