Home » » Ijtihad Kesusastraan

Ijtihad Kesusastraan

Diposkan oleh damar pada Friday, July 31, 2015 | 1:37 AM

(Catatan Penyunting Untuk Buku SAJAK PUNCAK, LS-FSB)
 
Oleh : Sofyan RH. Zaid*

Sebenarnya saya tidak menyeleksi sebagaimana kerja kurator, namun hanya memilih -mana sajak yang paling ‘membekas’ dari sekian banyak- sebagaimana kerja penyunting. Jadi, buku kecil ini barangkali jauh dari sajak-sajak yang berkualitas, sebab hanya berdasarkan pilihan saya semata yang subjektif sebagai Penyiar Lumbung Sajak - Forum Sastra Bekasi. Tentu ada sajak lain dari masing-masing penyair  yang lebih bagus dari yang saya pilih. Di samping memang ‘lidah estetis’ itu berbeda pada setiap orang ketika mencicipi sebuah sajak. Jadi, anggap saja ini sebagai sebuah ijtihad kesusastraan; kalau benar dapat 2 pahala, kalau pun salah masih dapat 1 pahala.

Dalam memilih sajak-sajak yang ‘membekas’ bagi saya, paling tidak saya mengacu pada 8 ciri sebagai dasar ijtihad, yakni ciri-ciri sajak yang baik:

1. Kristal. Ciri puisi yang baik adalah mengkristal. Mampu melampaui ruang dan waktu dalam penerimaan zaman dan pembaca. Itulah kenapa lawan utama karya sastra adalah waktu. Saat puisi lahir, kritikus boleh memujinya setinggi langit atau mencacinya serendah mungkin, tapi waktu tetaplah yang mengetuk palu: sementara atau abadi. Dalam memutuskan, waktu hanya melihat kepada satu hal saja; kualitas. Hal ini senada dengan pandangan Iqbal; bahwa waktu adalah pembaca utama karyamu.

Sumber Gambar: wowkeren.com
2. Bulat.  Ciri puisi yang baik adalah memiliki kebulatan. Sebuah puisi –tubuh dan batinnya- haruslah utuh, seimbang, selaras dan memiliki right emphasis atau penekanan yang tepat. Jadi, setiap unsur dalam puisi, baik kata, diksi dan majas harus mengarah kepada satu kekuatan saja; tema yang diusung. Hal ini juga diamini oleh Aristoteles dalam Poetica (340 SM) ketika bicara soal ‘efek plot’, yakni order (urutan), amplitude (kompleks), unity (kesatuan), dan coherence (hubungan), meski dalam Luxemburg (1978); puisi adalah teks-teks monolog yang isinya bukan semata-mata sebuah plot. 

3. Kaffah. Ciri puisi yang baik adalah sanggup mengungkap pikiran dan perasaan penyairnya secara menyeluruh. Bila yang hendak dituliskan penyair adalah patah hati, maka, pembaca merasa sedih ketika membaca, begitu juga sebaliknya. Meski dalam hal ini, Rumi salah satu orang yang tidak sepenuhnya percaya; bahwa rindu yang dirasakan kepada kekasihnya, tidak akan sanggup dituliskan seluruhnya, sebab kata-kata tidak mampu mewakilinya. 

4. Hakekat. Ciri puisi yang baik adalah sanggup mengungkap hakekat hidup secara mendalam dan berbeda dengan kenyataan yang tampak dari permukaan. Misalnya, tidak setiap tangis adalah duka, tidak setiap senyum adalah bahagia. Itulah menariknya seorang penyair, dituntut mampu melihat, mendengar dan merasakan kenyataan hidup yang tidak bisa ditangkap oleh orang-orang biasa. Dan penyair bagi Khalil Jibran adalah selalu punya pandangan berbeda ketika melihat kepada satu hal. Sanggup melihat yang tidak dilihat, mendengar yang tidak didengar, merasakan yang tidak dirasa.

5. Hikmah. Ciri puisi yang baik adalah penuh hikmah alias tidak menggurui pembaca. Dalam puisi memang terkandung ajaran nilai, agama, filsafat dan lainnya, tetapi puisi bukan khotib, bukan buku agama, bukan buku filsafat yang hanya memiliki satu pengetahuan atau makna. Kandungan puisi selalu memiliki banyak kemungkinan pengetahuan serta makna, seperti hikmah yang mampu menggerakkan pembaca mengambil pelajaran dari sebuah puisi tanpa merasa digurui. Itulah kenapa puisi yang baik senantiasa butuh kepada tafsir, kata Subagio, untuk lahir banyak nilai dan kemungkinan-kemungkinan.

6. Universal. Ciri puisi yang baik adalah memiliki sisi dan nilai universal, meski diangkat dari kelokalan. Ada banyak puisi yang ditulis dari kelokalan budaya, agama dan tradisi, namun kadang gagal mengusung nilai-nilai universal, yang bisa diterima oleh lintas pembaca di dunia. Kita kadang terjebak pada kelokalan dalam puisi, meski niatnya adalah mengangkat kearifannya (local wisdom), puisi yang dihasilkan hanya bisa dibaca oleh orang-orang yang tinggal di tempat tersebut. Hal ini berkaitan dengan prinsip Chairil Anwar, bahwa bahasa puisi adalah individulisme universal, atau suara lokal (yang) universal. Misalnya ketika menulis tentang agama islam, bisakah puisi tersebut juga diambil hikmahnya oleh agama lain?

Sumber Gambar: palinganeh.com
7. Natural. Ciri puisi yang baik adalah alami. Ke-alami-an di sini adalah tidak melodramatis, tidak terkesan diatur sedemikian rupa, tetapi seolah-olah alami dan apa adanya ketika dibaca, meski dalam penulisannya membutuhkan segala unsur, teori dan tehnik yang tinggi. Barangkali inilah yang dimaksud Hafiz, bila sebuah syair ditulis dengan pikiran semata, maka tidak pernah sampai kepada hati, dan pembaca akan merasa ditipu oleh akalnya. Sebab pikiranlah biasanya yang suka mengatur, harus begini, harus begitu, tanpa tahu bagaimana cara menyembunyikan atau menyamarkan pengaturan dalam puisi tersebut secara baik. Misalnya puisi-puisi yang lebih berat kepada rima dalam penulisannya.

8. Otentik. Ciri puisi yang baik adalah memiliki  pembaharuan, individual dan orisinil. Tidak bisa diingkari bahwa kita –kata Sutardji Calzoum Bachri- menulis di atas tulisan orang lain, atau dalam istilah strukturalis adalah intertekstualitas (keterpengaruhan yang panjang). Kita tidak bisa melepaskan diri dari sejarah sastra dan para pendahulu kita, tetapi sebagai penyair kita dituntut untuk terus mencari dan menemukan hal-hal baru. Kalau pun belum bisa dalam prosesnya, setidaknya kita mampu merubah keterpengaruhan itu menjadi bahasa kita  sendiri dan orisinil. Jangan sekali-kali menjiplak, sebab itu sebuah kejahatan intelektual dan sama dengan bunuh diri pagi-pagi.

8. Ciri puisi yang baik tersebut saya adaptasi dari Dr. Wahyudi Siswanto dalam bukunya Pengantar Teori Sastra, meski ciri ini kemudian tidak bisa dijadikan ukuran yang final. Segalanya masih terbuka untuk diperdebatkan. Apakah sajak yang baik harus memiliki 8 ciri tersebut sekaligus? Tentu tidak. Tidak ada sajak yang sempurna, namun paling tidak memiliki salah satunya. Nah, sajak-sajak dalam buku ini menurut saya telah memenuhi sebagian ciri di atas dengan baik, sehingga ‘membekas’ dan saya pun memilihnya.

Semoga berkenan dengan hasil ijtihad kesusastraan ini.  Sajak Puncak yang menjadi judul  buku ini, sebenarnya hanyalah semacam doa: semoga sajak, semoga puncak.

Bekasi, 08 Mei 2015


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment