Laporan A. Sudirman, Peneliti di Survey Meter
Papua adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Jika dilihat di peta, letak posisinya di samping kiri, yang berarti berada di ujung timur Indonesia. Bentuk pulaunya menyerupai burung, iya burung, mungkin karena itulah Tuhan menciptakan burung yang teramat indah bulunya, Cendrawasih hanya ada di Papua, itu baru mungkin. Sebab hanya Tuhan sendiri yang tahu kenapa di Madura tak ditemukan burung Cendrawasih.
Padahal kedua wilayah ini memiliki nasib yang hampir sama, penduduk pribumi tak bisa menikmati kekayaan alamnya. Tak hanya burungnya yang indah, alamnya juga luar biasa dan adat-adatnya pun termasuk unik. Secara fisik orang Papua mudah dikenali karena memiliki ciri khas tersendiri, seperti nyanyian mereka “Hitam kulit, keriting rambut, itulah Papua”.
Tidak semua orang Indonesia bisa dengan mudah berkunjung ke Papua, saya perjelas, siapa pun bisa berkunjung tapi tidak mudah, tersebab jaraknya yang teramat jauh, bahkan jauuuuuh banget, ribuan kilo meter, ini bukan tentang lirik nyanyian Iwan Fals “Ribuan kilo jalan yang engkau tempuh” atau sebuah kata bijak “untuk mencapai jarak seribu kilo meter harus dimulai dengan satu langkah”, tapi ini tentang Papua yang jaraknya memang ribuan Kilo meter dari Pulau Jawa. Entah butuh berapa minggu jika menggunakan kapal laut, sebab dengan menggunakan pesawat dari Bandara Adi Sucipto Jogjakarta ke Bandara Sentani bisa menghabiskan waktu 8 hingga 9 jam. Nah, kata siapa 8 hingga 9 jam? Iya, itu pengalaman pribadi pada bulan Agustus 2012 lalu. Berangkat sekitar jam 06.30 WIB dari Jogja dan tiba di tempat tujuan sekitar jam 15.00 waktu setempat (WIT). Padahal bedanya waktu WIB dan WIT itu dua jam.
Pada mulanya sempat ada rasa khawatir atau takut hendak berkunjung ke Bumi Cendrawasih, karena sebelumnya saya mendapatkan cerita yang selalu negatif, orangnya kasar-kasar, kehidupannya serba sulit, harga serba mahal, fasilitas serba terbatas dan rawan akan penyakit malaria. Meskipun pada akhirnya cerita itu lebih banyak benarnya daripada yang tidak. Berbekal rasa ingin tahu yang tinggi saya pun dengan memberanikan diri siap diberangkatkan kesana. Ternyata, Subhanallah luar biasa, banyak sekali pengalaman yang didapatkan, mulai dari keindahan alamnya yang amat fantastis hingga kearifan lokalnya. Keindahan pertama yang dapat saya saksikan adalah Danau Sentani. Ketika pesawat hendak landing di bandara Sentani saya melihat bukit-bukit berbaris rapi diselimuti awan-awan, layaknya kambing-kambing yang sudah jinak pada tuannya, diantara bukit-bukit itu ada air yang teramat jernih dan tenang, di pinggir danaunya juga terdapat banyak bangunan, nampak seperti rumah apung, baik berupa rumah tempat bermukim maupun bangunan sekedar untuk memelihara ikan.
Selama di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura sering dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Salah satunya adalah kepala kampung Ifale, yang kantor kampungnya terletak di tengah-tengah Danau Sentani. Di kediaman beliau kami dinyatakan sah berkunjung ke Papua. Sebagaimana isu yang beredar, yakni siapa saja yang datang ke Papua, namun belum mencicipi makanan khasnya (PAPEDA) menurut hukum kesepakatan belum dinyatakan sah. Tak sekedar makan, melainkan dari mulai proses pembuatannya kami diajak ikut serta, merebus air, mengaduk sagu dengan air panas hingga rata dan matang secara sempurna, setelah itu disajikan dengan kuah kuning ikan cakalan dan melahabnya dengan sendok khusus yang di desain untuk papeda, ternyata rasanya maknyus. Ahai, orang bilang PAPEDA singkatan Papua Penuh Damai.
Hingga suatu ketika saatnya kami berkunjung ke Kampung Endokisi, kampung ini cukup jauh dari kota kabuparen Jayapura, harus menempuh perjalanan darat sekitar setengah hari untuk sampai dikota distrik, sementara angkutan tersedia hanya setiap hari pasaran, dan karena alasan ini pula banyak para pendidik yang bertempat tinggal di kota, masuk sekolah hanya setiap hari pasaran. Dari pusat distrik ke Endokisi juga harus menyebrangi laut menggunakan jonson kalau di Jawa perahu dengan jarak tempuh sekitar dua jam.
Setibanya di kampung Endokisi yang merupakan kampung terbaik dan terseberih se Kab. Jayapura, ternyata penduduk setempat sedang berduka dan adat yang berlaku disana para kaum lelaki maupun wanita dilarang melakukan aktifitas apapun kecuali yang berurusan dengan pemakaman, hingga sore tiba baru mendapat sambutan dari sekretaris kampung, kala kami juga di jamu dengan makanan pokok mereka, ketea rambat yang sudah direbus kemudian ditumbuk, bentuknya dibuat bulat menyerupai pentol, makannya pun dengan kuah kuning dan ikan laut, benar-benar lezat.
***
November 2013 adalah Kesempatan kedua menginjakkan kaki di Papua, tepatnya di Provinsi Papua barat Kabupaten Bintuni. Berbekal pengalaman sebelumnya maka sudah tak kikuk lagi berjumpa dengan mereka, sebab karakteristik orang-orangnya dan juga geografisnya tidak jauh berbeda dengan di Jayapura, orang-orangnya ramah alamnya juga indah. Setiap berjumpa, mereka terlebih dahulu mengucapkan salam, “Pagi Kakak, Siang Kakak, atau Sore Kakak” dan sesekali juga kami mendahuluinya, “Pagi Adek, bagi yang lebih muda, Siang Kakak, atau Sore Papa, Malam Mama”. Sudah hampir bisa dipastikan, bahwa setiap kali mereka mengucapkan salam selalu diiringi dengan senyuman. Seolah lupa kalau mereka harus jalan kaki pergi ke sekolah dengan jarak yang lumayan jauh. Bahkan saking baiknya mereka sempat beberapa kali memeberikan kepiting secara cuma-cuma untuk sekedar di rebus atau dibakar.
Bagi orang yang sudah biasa datang ke Papua adalah hal biasa jika dibeberapa warung atau toko banyak ditemmukan orang berjualan pinang, sirih, dan kapur. Harganya pun bukan lagi perkilo gram tapi pertumpuk.
Pinang menjadi cemelan sehari-hari,seoah menjadi cemelan yang teramat nikmat di kalangan mereka padahal saya pernah mencoba rasanya pedas, pahit dan membuat pusing kepala, mungkin karena belum terbiasa.
Karena itulah di setiap pusat perkantoran atau puskesmas biasa didapati larangan yang tak akan di dapatkan di pulau Jawa, “Dilarang Meludah Sembarangan”. Iya, tentu harap maklum, cemelan orang Papua adalah nginang maka sudah pasti ludahnya merah. Selama di Bintuni sempat mengelilingi beberapa Kampung, salah satunya adalah RKI (Rumah Kayu Indonesia), disebut RKI karena semua rumah yang ada dikampung ini terbuat dari kayu.
Sempat pula menjumpai Pesta Adat Emaida (Pesta Adat Mencari Jodoh). Pesta ini diadakan di Distrik Babo. Mula-mula kepala suku membuat bangunan dari kayu dan bambu, jauh sebelum itu telah di sebarkan kabar bahwa pesta adat Emaida akan dilaksanakan. Maka ketika waktu pesta tiba, para pemuda dari berbagai kampung banyak yang berdatangan. Prosesnya pun tidak begitu rumit, mereka cukup datang dengan tangan kosong, iya tangan kosonglah, jelas dilrang membawa senjata tajam, kemudian masuk rumah kayu yang telah disediakan, menari dengan tarian khas mereka sembari berputar dan hentakan kakinya membentuk alunan musik. Hal ini dilakukan demi menarik perhatian lawan jenis. Pesertanya pun tidak hanya laki-laki bujang, laki-laki punya istri yang mau berpoligami juga dipersilahkan.
Jika ada peserta yang saling tertarik biasanya didekati untuk menari bersama, seiring atau jabat tangan hingga dini hari, setelah itu mereka dikawinkan secara adat, yakni disiram air oleh kepala suku, dan setelah itu mereka dinyatakan sah menjadi suami istri. Bagi siapa saja yang tertarik dengan dedek-dedek gemes Papua, terutama yang masih jomblo bisa mencoba mengikuti pesta adat Emaida ini.
***
Mei 2014 adalah kesempatan ketiga menginjakkan kaki Di tanah kaya minyak dan emas itu, tepatnya di Kabupten Timika. Pada kesempatan ketiga ini suasananya agak berbeda dengan sebelumnya. Kami mengistilahkan suasana saat itu dengan ATM (Aman Tapi Mencekam). Kala itu keadaan benar-benar genting, perang saudara sedang gencar-gencarnya, perang antara suku sedang panas-panasnya, sepanjang keliling kota ini, akan dengan mudah menemukan beberapa orang dengan membawa panah lengkap dengan anak panahnya dan siap menggempur lawan-lawannya, ukurannya sangat besar hingga lebih tinggi dari orangnya.
Di Timika saya juga berkeliling kebanyak daerah, pada sebagiannya saya menemukan keunikan, yakni gaya salaman mereka lain dari pada biasanya. Iya, benar-benar lain dari pengalaman sebelumnya. Tentu setiap tempat memiliki kearifan lokalnya sendiri-sendiri. Tidak sekedar bersalaman tangan biasa, namun mereka mendahuluinya dengan salaman jari, yakni saling menjepitkan jari telunjuk dan dan jari tengah mereka hingga terdengar bunyi (cethek) baru kemudian salaman tangan. Melihat fenomena ini lantas saya menanyakan pada senior, Mas Angky. Berdasarkan pengalamannya di Lembah Baliem beliau menjelaskan bahwa cara bersalaman dengan menjepitkan jari telunjuk dan jari tengah dengan lawan bicara adalah demi menjalin hubungan yang lebih erat, mereka menyebutnya “salam Papua”. Bahkan terkadang juga berpelukan, tapi berbelukan hanya dilakukan antara kaum yang sejenis. Tak kutemukan, salaman mereka seperti halnya orang-orang barat, ciuman pipi atau kecupan bibir, jika saja ada yang berani mencobanya terlebih dengan lawan jenis. Saya yakin perang akan berkobar.
Mas Angky juga sempat menjelaskan tentang aturan perang dikalangan mereka, sebab aturan perang bisa dilihat dari pemicunya, misalnya karena masalah batas wilayah (tanah adat) maka perangnya adalah dengan cara anak panah yang digunakannya harus lurus menghadap ke lawan, seperti lazimnya perang di belahan dunia lain. Jadi, mereka baku hadap dan saling serang.
Beda halnya dengan perang suku yang dipicu permasalahan keluarga, jika jalan damai tak mendapat titik temu, maka model perangnya saling berhadapan, hanya saja pandangan mata tidak boleh lurus menghadap musuh, melainkan menundukkan pandangan ke arah kaki, sementara anak panah di arahkan ke atas kemudian melepasnya, sehingga anak panah akan meluncur membubung ke atas kemudian menghujam ke bumi, mereka menyebutnya gratifikasi bumi, dan kondisi ini dimaksudkan anak panah yang jatuh bisa mengenai siapa saja dari pihak lawan, manakala jatuh korban diantara salah satu pihak maka pihak itulah yang dinyatakan bersalah. Selain itu pula terdapat beberapa aturan perang suku bagi mereka, diantaranya, dilarang melakukan penyerangan pada malam hari, ketika sore tiba perang harus disudahi dan dilanjutkan esok harinya.
Mereka juga dilarang melakukan penculikan dan penganiayaan. Peraturan lain yang diberlakukan adalah jatuhnya korban harus seimbang, satu nyawa dibalas satu nyawa, mereka dilarang membunuh semua lawan, hal ini dimaksudkan jika lawan dibunuh keseluruhannya maka tak ada lagi orang yang akan membawa mayat maupun kabar duka ke kampung halamannya. Meskipun sebenarnya, kita tahu perang tetaplah bukan solusi yang baik. Dan aturan tinggallah aturan, toh kenyataannya banyak yang diingkari. Terlebih lagi kondisi ini terkadang dimanfaatkan oleh sebagian pihak yang hendak mengambil keuntungan, sehingga tak jarang ditemukan banyak praktek agitasi propaganda yang banyak memakan korban. Maka sangatlah wajar jika film “DI TIMUR MATAHARI” itu mengisyaratkan agar kasih sayang adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Kota Timika tidak terlalu luas, bangunan-bangunannya juga tidak begitu maju, tapi jangan salah di Timika ini terdapat sebuah taman yang amat indah, taman ini sepertinya diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di Freeport, sebab untuk bisa masuk ke tempat ini melewati pemeriksaan yang teramat ketat, begitu memasuki pintu masuk, kita akan mendapatkan suasana yang jauh berbeda, jalanannya bagus nan mulus, di samping kanan dan kirinya ditanami bunga-bunga tapi bukan bunga desa, sungguh indah bahkan jalanan kota Timika tak sebagus jalanan di tempat ini. Di taman ini pula di lengkapi dengan masjid yang begitu megah dan terdapat Mall yang hanya menjual produk luar negeri, apalah namananya “HERO-kah?”, saya lupa. Tidak sembarang orang bisa berbelanja hanya mereka yang memiliki ID Card. Namun berkat kebaikan seorang teman yang sudi meminjamkan ID Cardnya, akhirnya saya bisa masuk, meski akhirnya tak sebutir barangpun saya beli, maklum orang desa alergi pada harga mahal.
Tidak jauh dari taman ini, terdapat tempat tinggal bagi mereka pekerja PT.Freport dengan fasilitas serba megah, maklum Freeport gituloh. Disinlah sebagai anak bangsa, saya mengalami semacam rasa galau gitu, nurani bertanya-tanya, “dimanakah keadilan? Siapa yang menyembunyikannya? Atau adakah mereka yang rakus akan keadilan, hingga tak mau berbagi dengan saudaranya?”. Aneh, benar-benar aneh, di wilayah yang kaya raya ini masih banyak wilayah yang tak tersentuh oleh sinyal dan listrik, akses sekolah dan kesehatan serba susah, salah satunya adalah Pulau Karaka, sebuah kampung yang benar-benar di atas air, jika pagi pemuda di kampung ini bisa bermain sepak bola meskipun harus berbasah-basah, semakin tinggi matahari airpun ikut meninggi dan jika lebih dari jam 14.00 waktu setempat tinggi air bisa mencapai 5 meter.
Penduduknya pun tak lebih dari 3000 jiwa, namun ironisnya kampung ini masih saja menggunakan ganset untuk penerangannya, meskipun 100 meter di samping kampung ini terdapat pembangkit tenaga listrik batu bara milik Freeport. Lagi-lagi Freeport. Ah sudahlah. Semoga saja jargon papeda (Papua Penuh Damai) benar-benar terealisai di sana. Aamiin.
NB: Terimakasih Kepada Survey METER yang memberikan kesempatan dua kali berangkat ke Papua dan kepada PSKK UGM serta kepada semua teman-teman Tim di Papua.
Papua adalah salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Jika dilihat di peta, letak posisinya di samping kiri, yang berarti berada di ujung timur Indonesia. Bentuk pulaunya menyerupai burung, iya burung, mungkin karena itulah Tuhan menciptakan burung yang teramat indah bulunya, Cendrawasih hanya ada di Papua, itu baru mungkin. Sebab hanya Tuhan sendiri yang tahu kenapa di Madura tak ditemukan burung Cendrawasih.
Padahal kedua wilayah ini memiliki nasib yang hampir sama, penduduk pribumi tak bisa menikmati kekayaan alamnya. Tak hanya burungnya yang indah, alamnya juga luar biasa dan adat-adatnya pun termasuk unik. Secara fisik orang Papua mudah dikenali karena memiliki ciri khas tersendiri, seperti nyanyian mereka “Hitam kulit, keriting rambut, itulah Papua”.
Tidak semua orang Indonesia bisa dengan mudah berkunjung ke Papua, saya perjelas, siapa pun bisa berkunjung tapi tidak mudah, tersebab jaraknya yang teramat jauh, bahkan jauuuuuh banget, ribuan kilo meter, ini bukan tentang lirik nyanyian Iwan Fals “Ribuan kilo jalan yang engkau tempuh” atau sebuah kata bijak “untuk mencapai jarak seribu kilo meter harus dimulai dengan satu langkah”, tapi ini tentang Papua yang jaraknya memang ribuan Kilo meter dari Pulau Jawa. Entah butuh berapa minggu jika menggunakan kapal laut, sebab dengan menggunakan pesawat dari Bandara Adi Sucipto Jogjakarta ke Bandara Sentani bisa menghabiskan waktu 8 hingga 9 jam. Nah, kata siapa 8 hingga 9 jam? Iya, itu pengalaman pribadi pada bulan Agustus 2012 lalu. Berangkat sekitar jam 06.30 WIB dari Jogja dan tiba di tempat tujuan sekitar jam 15.00 waktu setempat (WIT). Padahal bedanya waktu WIB dan WIT itu dua jam.
Pada mulanya sempat ada rasa khawatir atau takut hendak berkunjung ke Bumi Cendrawasih, karena sebelumnya saya mendapatkan cerita yang selalu negatif, orangnya kasar-kasar, kehidupannya serba sulit, harga serba mahal, fasilitas serba terbatas dan rawan akan penyakit malaria. Meskipun pada akhirnya cerita itu lebih banyak benarnya daripada yang tidak. Berbekal rasa ingin tahu yang tinggi saya pun dengan memberanikan diri siap diberangkatkan kesana. Ternyata, Subhanallah luar biasa, banyak sekali pengalaman yang didapatkan, mulai dari keindahan alamnya yang amat fantastis hingga kearifan lokalnya. Keindahan pertama yang dapat saya saksikan adalah Danau Sentani. Ketika pesawat hendak landing di bandara Sentani saya melihat bukit-bukit berbaris rapi diselimuti awan-awan, layaknya kambing-kambing yang sudah jinak pada tuannya, diantara bukit-bukit itu ada air yang teramat jernih dan tenang, di pinggir danaunya juga terdapat banyak bangunan, nampak seperti rumah apung, baik berupa rumah tempat bermukim maupun bangunan sekedar untuk memelihara ikan.
Selama di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura sering dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Salah satunya adalah kepala kampung Ifale, yang kantor kampungnya terletak di tengah-tengah Danau Sentani. Di kediaman beliau kami dinyatakan sah berkunjung ke Papua. Sebagaimana isu yang beredar, yakni siapa saja yang datang ke Papua, namun belum mencicipi makanan khasnya (PAPEDA) menurut hukum kesepakatan belum dinyatakan sah. Tak sekedar makan, melainkan dari mulai proses pembuatannya kami diajak ikut serta, merebus air, mengaduk sagu dengan air panas hingga rata dan matang secara sempurna, setelah itu disajikan dengan kuah kuning ikan cakalan dan melahabnya dengan sendok khusus yang di desain untuk papeda, ternyata rasanya maknyus. Ahai, orang bilang PAPEDA singkatan Papua Penuh Damai.
Hingga suatu ketika saatnya kami berkunjung ke Kampung Endokisi, kampung ini cukup jauh dari kota kabuparen Jayapura, harus menempuh perjalanan darat sekitar setengah hari untuk sampai dikota distrik, sementara angkutan tersedia hanya setiap hari pasaran, dan karena alasan ini pula banyak para pendidik yang bertempat tinggal di kota, masuk sekolah hanya setiap hari pasaran. Dari pusat distrik ke Endokisi juga harus menyebrangi laut menggunakan jonson kalau di Jawa perahu dengan jarak tempuh sekitar dua jam.
Setibanya di kampung Endokisi yang merupakan kampung terbaik dan terseberih se Kab. Jayapura, ternyata penduduk setempat sedang berduka dan adat yang berlaku disana para kaum lelaki maupun wanita dilarang melakukan aktifitas apapun kecuali yang berurusan dengan pemakaman, hingga sore tiba baru mendapat sambutan dari sekretaris kampung, kala kami juga di jamu dengan makanan pokok mereka, ketea rambat yang sudah direbus kemudian ditumbuk, bentuknya dibuat bulat menyerupai pentol, makannya pun dengan kuah kuning dan ikan laut, benar-benar lezat.
***
November 2013 adalah Kesempatan kedua menginjakkan kaki di Papua, tepatnya di Provinsi Papua barat Kabupaten Bintuni. Berbekal pengalaman sebelumnya maka sudah tak kikuk lagi berjumpa dengan mereka, sebab karakteristik orang-orangnya dan juga geografisnya tidak jauh berbeda dengan di Jayapura, orang-orangnya ramah alamnya juga indah. Setiap berjumpa, mereka terlebih dahulu mengucapkan salam, “Pagi Kakak, Siang Kakak, atau Sore Kakak” dan sesekali juga kami mendahuluinya, “Pagi Adek, bagi yang lebih muda, Siang Kakak, atau Sore Papa, Malam Mama”. Sudah hampir bisa dipastikan, bahwa setiap kali mereka mengucapkan salam selalu diiringi dengan senyuman. Seolah lupa kalau mereka harus jalan kaki pergi ke sekolah dengan jarak yang lumayan jauh. Bahkan saking baiknya mereka sempat beberapa kali memeberikan kepiting secara cuma-cuma untuk sekedar di rebus atau dibakar.
Bagi orang yang sudah biasa datang ke Papua adalah hal biasa jika dibeberapa warung atau toko banyak ditemmukan orang berjualan pinang, sirih, dan kapur. Harganya pun bukan lagi perkilo gram tapi pertumpuk.
Pinang menjadi cemelan sehari-hari,seoah menjadi cemelan yang teramat nikmat di kalangan mereka padahal saya pernah mencoba rasanya pedas, pahit dan membuat pusing kepala, mungkin karena belum terbiasa.
Karena itulah di setiap pusat perkantoran atau puskesmas biasa didapati larangan yang tak akan di dapatkan di pulau Jawa, “Dilarang Meludah Sembarangan”. Iya, tentu harap maklum, cemelan orang Papua adalah nginang maka sudah pasti ludahnya merah. Selama di Bintuni sempat mengelilingi beberapa Kampung, salah satunya adalah RKI (Rumah Kayu Indonesia), disebut RKI karena semua rumah yang ada dikampung ini terbuat dari kayu.
Sempat pula menjumpai Pesta Adat Emaida (Pesta Adat Mencari Jodoh). Pesta ini diadakan di Distrik Babo. Mula-mula kepala suku membuat bangunan dari kayu dan bambu, jauh sebelum itu telah di sebarkan kabar bahwa pesta adat Emaida akan dilaksanakan. Maka ketika waktu pesta tiba, para pemuda dari berbagai kampung banyak yang berdatangan. Prosesnya pun tidak begitu rumit, mereka cukup datang dengan tangan kosong, iya tangan kosonglah, jelas dilrang membawa senjata tajam, kemudian masuk rumah kayu yang telah disediakan, menari dengan tarian khas mereka sembari berputar dan hentakan kakinya membentuk alunan musik. Hal ini dilakukan demi menarik perhatian lawan jenis. Pesertanya pun tidak hanya laki-laki bujang, laki-laki punya istri yang mau berpoligami juga dipersilahkan.
Jika ada peserta yang saling tertarik biasanya didekati untuk menari bersama, seiring atau jabat tangan hingga dini hari, setelah itu mereka dikawinkan secara adat, yakni disiram air oleh kepala suku, dan setelah itu mereka dinyatakan sah menjadi suami istri. Bagi siapa saja yang tertarik dengan dedek-dedek gemes Papua, terutama yang masih jomblo bisa mencoba mengikuti pesta adat Emaida ini.
***
Mei 2014 adalah kesempatan ketiga menginjakkan kaki Di tanah kaya minyak dan emas itu, tepatnya di Kabupten Timika. Pada kesempatan ketiga ini suasananya agak berbeda dengan sebelumnya. Kami mengistilahkan suasana saat itu dengan ATM (Aman Tapi Mencekam). Kala itu keadaan benar-benar genting, perang saudara sedang gencar-gencarnya, perang antara suku sedang panas-panasnya, sepanjang keliling kota ini, akan dengan mudah menemukan beberapa orang dengan membawa panah lengkap dengan anak panahnya dan siap menggempur lawan-lawannya, ukurannya sangat besar hingga lebih tinggi dari orangnya.
Di Timika saya juga berkeliling kebanyak daerah, pada sebagiannya saya menemukan keunikan, yakni gaya salaman mereka lain dari pada biasanya. Iya, benar-benar lain dari pengalaman sebelumnya. Tentu setiap tempat memiliki kearifan lokalnya sendiri-sendiri. Tidak sekedar bersalaman tangan biasa, namun mereka mendahuluinya dengan salaman jari, yakni saling menjepitkan jari telunjuk dan dan jari tengah mereka hingga terdengar bunyi (cethek) baru kemudian salaman tangan. Melihat fenomena ini lantas saya menanyakan pada senior, Mas Angky. Berdasarkan pengalamannya di Lembah Baliem beliau menjelaskan bahwa cara bersalaman dengan menjepitkan jari telunjuk dan jari tengah dengan lawan bicara adalah demi menjalin hubungan yang lebih erat, mereka menyebutnya “salam Papua”. Bahkan terkadang juga berpelukan, tapi berbelukan hanya dilakukan antara kaum yang sejenis. Tak kutemukan, salaman mereka seperti halnya orang-orang barat, ciuman pipi atau kecupan bibir, jika saja ada yang berani mencobanya terlebih dengan lawan jenis. Saya yakin perang akan berkobar.
Mas Angky juga sempat menjelaskan tentang aturan perang dikalangan mereka, sebab aturan perang bisa dilihat dari pemicunya, misalnya karena masalah batas wilayah (tanah adat) maka perangnya adalah dengan cara anak panah yang digunakannya harus lurus menghadap ke lawan, seperti lazimnya perang di belahan dunia lain. Jadi, mereka baku hadap dan saling serang.
Beda halnya dengan perang suku yang dipicu permasalahan keluarga, jika jalan damai tak mendapat titik temu, maka model perangnya saling berhadapan, hanya saja pandangan mata tidak boleh lurus menghadap musuh, melainkan menundukkan pandangan ke arah kaki, sementara anak panah di arahkan ke atas kemudian melepasnya, sehingga anak panah akan meluncur membubung ke atas kemudian menghujam ke bumi, mereka menyebutnya gratifikasi bumi, dan kondisi ini dimaksudkan anak panah yang jatuh bisa mengenai siapa saja dari pihak lawan, manakala jatuh korban diantara salah satu pihak maka pihak itulah yang dinyatakan bersalah. Selain itu pula terdapat beberapa aturan perang suku bagi mereka, diantaranya, dilarang melakukan penyerangan pada malam hari, ketika sore tiba perang harus disudahi dan dilanjutkan esok harinya.
Mereka juga dilarang melakukan penculikan dan penganiayaan. Peraturan lain yang diberlakukan adalah jatuhnya korban harus seimbang, satu nyawa dibalas satu nyawa, mereka dilarang membunuh semua lawan, hal ini dimaksudkan jika lawan dibunuh keseluruhannya maka tak ada lagi orang yang akan membawa mayat maupun kabar duka ke kampung halamannya. Meskipun sebenarnya, kita tahu perang tetaplah bukan solusi yang baik. Dan aturan tinggallah aturan, toh kenyataannya banyak yang diingkari. Terlebih lagi kondisi ini terkadang dimanfaatkan oleh sebagian pihak yang hendak mengambil keuntungan, sehingga tak jarang ditemukan banyak praktek agitasi propaganda yang banyak memakan korban. Maka sangatlah wajar jika film “DI TIMUR MATAHARI” itu mengisyaratkan agar kasih sayang adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.
Kota Timika tidak terlalu luas, bangunan-bangunannya juga tidak begitu maju, tapi jangan salah di Timika ini terdapat sebuah taman yang amat indah, taman ini sepertinya diperuntukkan bagi mereka yang bekerja di Freeport, sebab untuk bisa masuk ke tempat ini melewati pemeriksaan yang teramat ketat, begitu memasuki pintu masuk, kita akan mendapatkan suasana yang jauh berbeda, jalanannya bagus nan mulus, di samping kanan dan kirinya ditanami bunga-bunga tapi bukan bunga desa, sungguh indah bahkan jalanan kota Timika tak sebagus jalanan di tempat ini. Di taman ini pula di lengkapi dengan masjid yang begitu megah dan terdapat Mall yang hanya menjual produk luar negeri, apalah namananya “HERO-kah?”, saya lupa. Tidak sembarang orang bisa berbelanja hanya mereka yang memiliki ID Card. Namun berkat kebaikan seorang teman yang sudi meminjamkan ID Cardnya, akhirnya saya bisa masuk, meski akhirnya tak sebutir barangpun saya beli, maklum orang desa alergi pada harga mahal.
Tidak jauh dari taman ini, terdapat tempat tinggal bagi mereka pekerja PT.Freport dengan fasilitas serba megah, maklum Freeport gituloh. Disinlah sebagai anak bangsa, saya mengalami semacam rasa galau gitu, nurani bertanya-tanya, “dimanakah keadilan? Siapa yang menyembunyikannya? Atau adakah mereka yang rakus akan keadilan, hingga tak mau berbagi dengan saudaranya?”. Aneh, benar-benar aneh, di wilayah yang kaya raya ini masih banyak wilayah yang tak tersentuh oleh sinyal dan listrik, akses sekolah dan kesehatan serba susah, salah satunya adalah Pulau Karaka, sebuah kampung yang benar-benar di atas air, jika pagi pemuda di kampung ini bisa bermain sepak bola meskipun harus berbasah-basah, semakin tinggi matahari airpun ikut meninggi dan jika lebih dari jam 14.00 waktu setempat tinggi air bisa mencapai 5 meter.
Penduduknya pun tak lebih dari 3000 jiwa, namun ironisnya kampung ini masih saja menggunakan ganset untuk penerangannya, meskipun 100 meter di samping kampung ini terdapat pembangkit tenaga listrik batu bara milik Freeport. Lagi-lagi Freeport. Ah sudahlah. Semoga saja jargon papeda (Papua Penuh Damai) benar-benar terealisai di sana. Aamiin.
NB: Terimakasih Kepada Survey METER yang memberikan kesempatan dua kali berangkat ke Papua dan kepada PSKK UGM serta kepada semua teman-teman Tim di Papua.
0 comments :
Post a Comment