Home » » Pertemuan Sastra(wan)

Pertemuan Sastra(wan)

Diposkan oleh damar pada Friday, July 24, 2015 | 3:38 AM

(Multikulturalisme Sastra Menuju Pluralisme Budaya)
Oleh : Sofyan RH. Zaid

“Orang yang hanya mendengarkan suaranya sendiri,
apa bedanya dengan orang tuli?”

Mustofa Bisri

"Penguasa lebih suka membangun peradaban dari pada kebudayaan," kata Cak Nur. Itu sebabnya "saya sering melihat orang-orang pintar, politikus dan agamawan berpidato di atas mimbar berapi-api dengan kepala tegak, tapi dadanya bolong," ucap Iqbal. Maka di sini letak pentingnya sastrawan berperan sebagai budayawan, mengambil bagian paling depan dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan untuk mengimbangi pembangunan peradaban yang semakin meluas. Sebab peradaban tanpa kebudayaan, sama dengan istana besar dengan arsitektur buruk dan tanpa lukisan pada dindingnya, atau bahkan lebih dari itu adalah jasad tak berjiwa, segalanya hanya menjadi robot-robot kekuasaan dan modernisme.

Sastra sebagai bagian tidak terpisahkan (dari) kebudayaan, tidak cukup bertahan hanya dengan tradisi literasi semata seperti penerbitan buku, pemuatan karya di media, penerjemahan dan dokumentasi naskah, namun juga butuh terhadap diskusi, dialog, polemik yang sehat dan pertemuan sastra(wan). Duduk satu meja menimbang dan merumuskan masa depan sastra Indonesia yang lebih cerah. “Sebab suatu bangsa yang tradisi kesusastraannya tinggi dapat menghargai perbedaan pendapat. Kesusastraan membuat kita lebih manusiawi. Dengan membaca sastra, kita mengadakan dialog dengan diri sendiri. Demokrasi, hak asasi manusia, martabat manusia itu tidak bisa kalau tidak ada contohnya. Dan kesusastraan membawa pencerahan (enlightenment),” tutur Sani.

tawon
Sumber Gambar: alamsyahadah.wordpress.com
Sastra bisa menjadi salah satu alasan pertemuan antara budaya, agama dan etnis yang beragam di Indonesia. Apalagi lahirnya sastra Indonesia modern sendiri menurut Maman dalam Sastra Indonesia dalam Perspektif Multikulturalisme (2005) paling tidak dilatar-belakangi oleh tiga perkara, yakni: pertemuan dengan sastra barat, sehingga berkembang pesat alur sastra tulis, meski kemudian menganak-tirikan sastra lisan (oral tradition); lahir dari rahim sastrawan yang dibentuk dan dibesarkan oleh etnik dan beragam; ditulis dalam bahasa Indonesia sebagai lingua franca yang disuling dari akar Melayu dan memiliki sejarah panjang di Nusantara.

Mengingat alasan di atas, pertemuan sastra(wan) menjadi penting adanya. Baik secara lokal maupun nasional, besar ataupun kecil. Sebab dengan cara begitu multikulturalisme sastra bisa menjadi pluralisme budaya yang menggerakkan segala sendi kebangsaan, sehingga bernegara tidak hanya menjadi wawasan, melainkan sebuah kesadaran mewujudkan trisakti Bung Karno:  berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya. Dan napas dari kebudayaan –kata Ahmadun- adalah sastra itu sendiri.

Lalu adakah pertemuan yang lebih indah dari pertemuan sastra(wan)? Ketika di dalamnya kita menjadi manusia yang utuh, musnah kepentingan, moksa keinginan, yang tersisa hanya kedamaian. Semua melebur dalam cinta dan sajak-sajak minta dibaca.

Merdeka!

Bekasi, 28 Juni 2015


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment