Home » » Menyiuli Burung

Menyiuli Burung

Diposkan oleh damar pada Thursday, July 23, 2015 | 5:51 PM

Oleh : Rachem Siyaeza

Mulut dimonyongkan, tangan kiri di pinggang, dan tangan kanan memegang ponsel. Dialah Luto, temanku. Ia berdiri tegak dan lurus dengan tiang teras. Bersama angin yang dihembuskan dari bibir, keluarlah siulan itu. Tak ada sangkar burung yang biasa menggantung di teras. Apalagi sebenar burung dalam sangkar.

Di luar rumah, pada pohon-pohon pisang dan di sawah barat rumah, burung-burung berbunyi. Ada yang berebut pisang di pohong pisang, ada yang berebut padi di sawah. Bukan burung-burung itu yang disiuli Luto. Kontrakan sepi saja.

Di depan rumah—maksudnya kontrakan yang sepi saja itu—, seorang perempuan berpakaian mini, menyalakan matic, menghangatkan. Aku memerhatikan temanku, Luto, yang tengah bersiul di teras itu dari ruang tamu kontrakan. Agaknya ia menyiuli si perempuan. Atau lebih tepatnya, ia tidak menyiuli siapa pun tapi berharap si perempuan memerhatikan ia bersiul. Semacam mencari perhatian.

Aku bertaruh dengan diri sendiri. Kalau temanku itu, oleh siulannya, dapat tercuri perhatian perempuan itu, maka, sepanjang hari ini aku akan memanyungkan mulut. Lagi pula, siapa yang akan tertarik pada Luto? Jangankan si perempuan, burung emprit saja pasti ogah.

Sumber Gambar: kicauan.wodrpress.com
Bukan perbuatan terpuji bagi seorang lelaki, yang baru bangun tidur, tanpa cuci muka, menampakkan diri ke tetangga. Dengan sengaja pula. Apalagi tetangga itu perempuan aduhai, sudah mandi, sudah berdandan, dan wangi parfumnya seolah-olah sengaja disemprotkan ke segala penjuru mata angin.

Sudah begitu, terang-terangan lelaki itu—Luto itu—bersiul-siul mencari perhatian. Macam pedagang burung saja. Kalau aku si perempuan, tak sudi aku mendengar siulannya. Bisa tuli lama-lama. Kuping bisa corot!

Matic yang sudah nyala itu berangkat membawa si perempuan tetangga. Aku keluar dari ruang tamu kontrakan menghampiri Luto. Kumoyongkan mulut dan bersiul. Luto masih bersiul dan menyambut hangat siulanku. Siulannya tambah keras. Aku perhatikan ia yang memegang ponsel itu. Ternyata ia twitteran. Jangan-jangan Luto menyiuli burung jejaring sosial itu? Ikh, sinting!

“Sip. Sudah nyampek,” katanya padaku.

“Siapa?”

“Yayangku. Ini Ayang ngetwitt.”

Ihk, biasa saja kalau menyebut pacarnya, Bung. Corot kuping mendengarnya, tau!

Sudah sejak semalam Luto gelisah menunggu pacarnya yang katanya mau berkunjung dari kampung. Gelisahnya bukan sudah. Melihatnya bisa geleng-geleng kepala. Nada pesan ponselnya diperkeras. Kalau ada pesan, lagu You Are Beautiful milik Cherrybelle berteriak di ponselnya. Katanya lagu itu kesukaan pacarnya. Tentu saja ia juga menyukainya. Sudah begitu, komunikasinya dengan pacar berganti-ganti menggunakan perangkat ponsel. Bosan lewat sms, pindah chatting di Facebook, bosan tinggal BBM-an. Bosan lagi, masih ada twitter. Masih bosan? Lempar saja itu smarphone, Bung.

“Aduh, kangennya awak. Tunggu ya,” ucapnya, membicarai ponsel.
 
Luto masuk ke dalam kontrakan grusa-grusu. Sebentar kemudian, ia keluar dari kontrakan berpakaian lengkap. Tapi mukanya kusut. Sampai lupa cuci muka kau, Bung? Luto berangkat menjemput pacarnya menggunakan motor. Aku masuk ke dalam kontrakan dan menyalakan televisi. FTV mulai. Sip.

Di televisi, seorang perempuan—cantiknya bukan main, namanya juga artis, Cuk—mengusiri andong, pakai kebaya. Ada-ada saja! Perempuan akting jadi kusir. Aku mulai dibawa hanyut oleh film itu. Andong berjalan, si perempuan bergoyang-goyang seirama buntut kuda. Iya kepalanya bergoyang, iya bahunya juga. Yang paling menarik ya pasti dadanya. Goyangannya bikin sembuh sakit mata. Cah ayu kinyis-kinyis kau, Mbak, main film denganku dong.

Sial! Andong nabrak orang. Hati-hati dong kalau nyebrang, Mas. Kasian dong Mbak kusir. Mukanya tu sampai pucet. Yang ditabrak terjatuh ke pinggiran jalan. Aduh! Mbak kusir turun buru-buru dari andong dan menolong yang ditabrak. Yang ditabrak itu pasti nanti jadi pacarnya. Memang begitulah biasanya. Waktu mbak kusir menolong korban tabrakan andongnya itu, mata mereka bertemu pandang. Ikh, mbak kusir mengulum bibirnya. Tenan! Cantiknya, Cuk! Bukan sudah. Luto datang..

“Kalau bambu buku ketemu buku ya begitu, Yang. Tidak seperti Kakak, ketemu dirimu, Dik, eh, Yang. Hi-hi..”

Ganggu saja kau, Lut. Pamer! Sana Yayangmu ajak main film ke kamar. Aikh! Waduh, pacarnya Luto! Dandanannya macam Girl Band. Rambutnya dikepang dua. Mau ke mana to, Mbak? Norak!

“Sampeyan, Mbak. Silahkan-silahkan duduk. Kontrakan cowok memang kotor. Tak sempat bersih-bersih kita. Ini malah saya enak nonton FTV,” kataku, menyapa pacar Luto. Sapaan yang ramah bukan? Tapi mulutku mau penyok omong begitu. Maunya aku ngomong: sana langsung ke kamar, Mbak. Biar cepat disikat sama Luto!

“Pacarmu yang mana yang main, Dul?” tanya Luto.

Aku nyengir saja. Malu.

“Dudul itu, Yang, pacarnya banyak. Ya itu, yang main di tv. Ha-ha.” Pacar Luto mengernyitkan dahi. Mungkin bingung. “Penyakitnya orang tak laku-laku, Yang. Biasa. Jadinya artis-artis dipacarin. Maksudnya dianggap pacar! Ha-ha-ha.”

Pacar Luto kemudian tersenyum sambil bertanya, “Masa sih, Kak?” Pasti dalam hatimu kau bilang aku sinting, Mbak. Awas! Kalau sampai kau ngomong begitu, sudah penyok mulutmu, Mbak! Enak saja kau.

“Ah, bisa-bisanya Luto ngerjai saya begitu, Mbak. Kalau pas tidak ada sampeyan, Luto malah sering merebut pacar saya.. hi-hi-hi...” Kena kau Luto! Mau main-main kau?

Kalau kau tahu, Mbak, enak seperti saya. Bosan sama pacar tinggal ganti saluran televisi. Tinggal pilih saja yang baru. Ambil yang main film boleh, yang iklan juga silahkan. Yang kartun, monggo pacarin juga. Sesuaikan mood saja. Ngapain susah-susah. Tahu jaman dong. Ini modern, tau!

“Ikkh, Kakak. Hohorrr!” Nah, benar begitu, Mbak. Kena! Lagi dong, Mbak. Kata-katain itu pacarmu. Tadi saja pacarmu mancing-mancing perhatian mbak tetangga depan dengan bersiul-siul.

“Wah, ada tamu? Sudah lama, Mbak? Mengunjungi pacar ne ceritanya..” sapa Tura, berjalan dari kamarnya. Tura teman satu kontrakan kami. Ia bangun paling pagi di antara kami bertiga (sebenarnya kami ada lima orang. Dua teman kontrakan kami, Joe dan Apen, lagi pulang kampung sudah sejak sebulan lalu). Tapi, sepagian ia tetap di kamarnya main laptop. Iya, jaman sekarang, bangun tidur langsung online buka akun Facebook dan Twitter, iseng-iseng baca berita. Selebihnya, palingan kau donwload film pendek, Bung. Tatapanmu itu lho, berahi!

“Matamu merah, Bung?” tanya Luto.

“Awas, laptopmu nanti meledak.. ha-ha-ha..” kusambung.

“Kalian ini bercanda terus. Kumpulan orang-orang horor! Sedeng!” pacar Luto berbagi komentar.
Sok akrab kau, Mbak. Tidak sadar kalau kau juga horor! Tidak sadar kalau kau juga sedeng? Sakit mata ini lihat dandanammu, Mbak! Orang kampung juga.

“Ayuk, Yang, kau masuk kamar dulu. Istirahat!” Nah, sikat saja pacarmu itu, Lut. Tunggu apa lagi.

“Awas! Belum nikah, ha-ha-ha,” kataku.

“Otakmu itu lho, Dul. Jorok!” Luto mengantar pacarnya masuk ke kamar. Ia menutup pintu kamar dan duduk di sampingku. FTV di layar kaca masih on fire. Kukomentari mbak kusir.

“Kalau orang sudah cantik itu, ada di mana pun tetap saja cantik. Di andong, oke. Becak, iya tak masalah. Sepeda, iya asal jangan pake sampir soalnya bisa kesulitan ngayuh pedal. Jalan kaki panas-panasan, iya masih kelihatan ayunya, paling cuma ketiaknya berkeringat, sedikit bau bawang. Tapi tak masalah..”
Di televisi, mbak kusir ngusirin lelaki yang ditabraknya. Tali kuda ditarik-tarik oleh mbak kusir sambil haek-haek mulutnya dan si lelaki tak henti-hentinya menatapi leher mbak kusir, tatapannya mencurigakan. Berahi! Tahan nafsumu, Mas, lagi di atas andong!

“Kepalamu itu, Dul, nggak perlu geleng-geleng. Cuma lihat gambar sudah begitu. Apalagi lihat aslinya, paling kepalamu nanti patah! Cantik memang cantik. Namanya juga artis!” Tura mencolek pipiku, mulutnya berbicara layaknya tukang demo. Enak saja kau bilang begitu, Tur. Sambil colak-colek lagi. Boleh dicoba kepalan tinjuku di mulutmu ne. Kubuat penyok cocotmu itu baru tahu rasa kau!

“Ada-ada saja kau ini, Bung. Cuma geleng-geleng pegal. Salah tidur.” Kutatap Tura dengan nyengir. Hi-hi!

***

Siang tiba. FTV hampir selesai. Mbak kusir dan lelaki yang ditabraknya main sembunyi-sembunyian di sebuah taman. Kejar-kejaran. Saling berbagi nyengir. Terus kejar, Mas. Tangkap mbaknya! Sikat! Nah, begitu. Hampir kena. Itu baru namanya lelaki. Tangkap, tatap, tak berani nyium kau, Mas. Aikh, berpelukan mereka. Peluk yang erat, jangan dilepas. Aikhh.. Tamat!

Luto tertidur di sampingku. Ngorok dengan mulut menganga. Mau tak tonjok mulutmu apa, Lut? Tura sudah kembali ke kamarnya. Apalagi, ya pasti Facebook, twitt-twitt, donwload film cabul.

Acara TV tinggal acara yang buat orang bosan. Bikin otak mampet. Berita banjir, demo BBM naik, pejabat pemerintah yang macarin artis-artis hot-hot, pencabulan di bawah umur. Memang boleh cabul kalau di atas umur, hei Mbak Pembawa Berita? Kau yang kena cabul baru tahu rasa, Mbak!

Dari pada otak macet mending masuk ke kamarnya Luto. Eh. Jangan, Bro, ada pacarnya sedang istirahat. Nanti bisa terjadi hal yang diinginkan. Siapa coba yang tidak ingin? Mampus saja kalau tak ingin, Bro.

Mau ngapain ya? Nah, itu dia. Gabung ke Tura. Mantap! Nonton film pendek bisa bikin otak segar siang-siang.

Masuk ke kamar Tura. Ia melototi laptop. Bah! Sambil siul-siul. Laptop bukan burung, Bung.

“Kenapa siul-siul, Bung?”

“Cuma ingin siul, Bung. Biar mulut tidak pegal-pegal.”

“Nyiulin burung sendiri ya?”

“Memang lagi nyiulin burung, Bung?” Bagaimana sih kau, Tura? Plin-plan!

“Mana burungnya, Bung?”

“Ini, Bung. Burung twitter!” Lho? Bukan sudah. Orang ini benar-benar sinting.

Tidak jadi, ah, gabung ke Tura. Bisa ketularan sinting awak. Mending di teras saja. Mbak tetangga sudah datang. Angin-anginan di teras rumahnya dia. Seger ne! Mumpung Luto masih tidur, pacarnya tidur, dan Tura loptopan. Tidak ada yang ganggu. Siapa tahu mbaknya mau disikat. Siapa tau lho.

 Bagaimana cara menarik perhatiannya ya?

Bersiul saja, ah. Luto gagal dengan bersiul bukan berarti aku akan gagal dengan cara yang sama. Luto bersiul nggak pake teknik. Lihat saja. Taruhan. Kalau aku gagal, aku monyongkan mulut seharian, Bro.

Yuk, mulai. Mayungkan mulut, hembuskan nafas. Lirik mbaknya. Terus pura-pura melihat ke kejauhan. Itu teknik yang benar. Lihat ke saya dong, Mbak. Ini saya bersiul untukmu, say. Mbak cantik sungguh cantik kalau mau melihat ke saya. Nah, gitu dong. Senyum dikit, Mbak. Ikhh, pandangangannya sinis. Judes! Melengos lagi. Keraskan siulan. Tambah melengos, Mbak? Pura-pura tak mau disiulin kau, cantik!

“Ngapain siul-siul, Bung?” Eh kau, Luto? Ngapain kau bangun. Ganggu orang saja!

“Lagi pengin aja, Bung, biar mulut tidak penyok-penyok.”

“Mana burung yang kau siulin?” Sudah kubilang cuma ingin bersiul. Maksa!

“Ini. Di dalam celana!” Ayo maksa lagi?!

“Ikhhh. Cari perhatian ya?” Benar-benar maksa kau, Luto!

Aduh, ma’afin saya, Mbak. Terpaksa saya hentikan siulan. Teman saya ne mengganggu. Jangan, Mbak! Jangan masuk dulu. Saya belum selesai bersiul.

“Corot kuping! Huh!” Keras sekali ngomongnya, Mbak. Pintunya kok dibanting? Akting kau!

Luto tertawa. Sekejab. Pasti dalam hatimu kau mau bilang ‘rasain!’, Lut. Awas! Aku nyengir. Lalu bersiul lagi. Kemudian kataku:
  
“Nyiulin pacarmu aku!” Lho, Luto bersiul juga. Ikut-ikutan orang. Latah! “Apa yang kau siulin, Lut?”

“Burung.”

“Mana burungnya?”

“Burung dalam hape.” Lho? Sinting!

Luto nyengir. Aku juga nyengir padanya lalu kumonyongkan mulut. Bersiul lagi.

“Apa yang kau siulin, Dul?” Sudah kubilang tadi cuma ingin bersiul. Cerewet!

“Nyiulin diri sendiri. Habis!”

“Apanya habis?” Ngurus panjang mulutmu, Lut.

“Habis pintunya dibanting!”

Ayo ngomong lagi kau. Kepalan tinjuku ini sudah siap buat mulutmu penyok, Lut!

Sumenep, Juli 2013

Rachem Siyaeza, bermukim di Yogyakarta sejak 2007




Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment