Home » » Puasa dan Tanggung Jawab Sosial

Puasa dan Tanggung Jawab Sosial

Diposkan oleh damar pada Sunday, July 5, 2015 | 10:08 AM

Oleh : Yanuar Arifin

Tanpa terasa kita sudah menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan. Bersamaan dengan itu, kita sesungguhnya tengah menghadapi problem kebangsaan yang kian akut, di mana rakyat masih terjerembab dalam jurang kemiskinan dan para pejabat negara banyak yang rusak moralnya dengan perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Sebagaimana dilansir republika.co.id, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2014, presentasenya mencapai 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa. Sementara pada tahun 2015 diprediksi akan mencapai 30,25 juta orang atau sekitar 12,25 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Data tersebut tentunya sangatlah memprihatinkan bagi kita. Pasalnya bangsa Indonesia yang dikenal oleh masyarakat luas dengan kekayaan sumber daya alam (SDA)-nya ternyata rakyatnya malah hidup dalam lembah kemiskinan.
lailatul qadar
Sumber Gambar: kisahhikmah.com

Maka bulan Ramadan kiranya layak untuk kita tafsirkan sebagai momentum koreksi dan perbaikan diri personal sekaligus komunal. Selayaknya ibadah wajib lainnya, seperti salat, zakat dan haji, sejatinya ibadah puasa mengandung banyak pesan bagi manusia. Selain pesan ketuhanan yang hendak disampaikan, pada hakikinya puasa juga mengandung pesan kemanusiaan yang sangat penting. Secara syar’i, ritual puasa adalah menahan diri dari kebutuhan jasmani semisal makan, minum, dan seks semenjak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Namun alangkah naifnya, bila dari ibadah mulia ini yang kita dapatkan hanyalah rasa lapar belaka. Dalam hal ini perlu banyak interpretasi baru sehingga banyak hal positif yang bakal kita peroleh nantinya.

Di bulan suci Ramadan, selama satu bulan penuh jasmani kita dilatih untuk bisa melawan keinginan nafsu hewani pada diri kita. Al-Ghazali mengkiaskan hal ini dengan perumpamaan yang cukup rasional. Seumpama seekor hewan tunggangan (kuda) yang liar, maka perlu baginya untuk dikurangi jatah makan dan minumnya agar keliarannya bisa teratasi. Keliaran tersebut juga berlaku pada nafsu manusia. Agar nafsu diri manusia tidak bertambah liar, maka Tuhan memberi solusi berupa puasa. Dengan demikian, pesan ketuhanan dari ibadah puasa adalah tirakat manusia untuk meniru sifat Tuhannya yang tidak makan dan minum. Quraish Shihab (2007) menyatakan bahwa dalam puasa, manusia sebenarnya diajari sikap disiplin, jujur dan bertanggung jawab atas dirinya. Lebih dari itu, terdapat pesan kemanusiaan yang hendak disampaikan oleh ritus ibadah ini.

Seseorang yang berpuasa secara tidak langsung telah diajarkan agar bisa bersikap empati sekaligus peduli terhadap orang lain. Inilah relevansi yang seharusnya menjadi spirit utama dilaksanakannya ibadah puasa. Sebagai misal, dengan menjalankan ibadah puasa, kita, para pejabat atau para wakil rakyat diharapkan lebih peka atas problem rakyat kecil. Salah satu wujud kepedulian itu adalah dengan menyantuni mereka. Namun ironisnya, hingga kini masih banyak dari kita yang terjebak pada makna puasa sebagai ritus kesalehan individu semata. Akibatnya, kita merasa tak lagi punya tanggung jawab untuk memperjuangkan nasib orang lain dan akhirnya kita sibuk mengurusi isi perut sendiri.

Tanggung Jawab Sosial

Selama ini kita tidak dapat mengelak bila pesan kemanusiaan dari ibadah puasa belum sepenuhnya kita transformasikan dalam kehidupan keseharian. Wujud tanggung jawab sosial seakan menjadi perkara yang teramat sulit untuk dilakukan. Maka kitapun tenggelam dengan ritus ibadah yang sifatnya ritualistik semata. Menjalankan puasa hanya sekadar menahan rasa haus dan lapar serta menunggu kapan datangnya waktu berbuka. Hal demikian tentunya tidak kita inginkan. Sekali lagi, bila makna puasa dipahami dengan baik, puasa pada hakikinya akan menjadi ritus kesalehan sosial bagi pelakunya.
lailatul qadar
Sumber Gambar: anneahira.com

Sebenarnya ritus kesalehan sosial ini adalah sisi lain dari ritus kesalehan individu. Seperti halnya dua sisi mata uang, seseorang yang sebelumnya belajar bertanggung jawab atas diri individu, maka ia juga harus memiliki tanggung jawab sosial yang baik. Berpuasa yang implementasinya adalah “kelaparan”, menurut Moeslim Abdurrahman (2005) adalah ungkapan sosial yang paling tragis dari harkat dan harga diri kemanusiaan. Ini berarti bahwa manusia yang pernah merasakan lapar maka akan secara mudah tergugah rasa kemanusiaannya. Dengan berpuasa kita akan bisa berempati pada orang lain, terlebih terhadap mereka yang saban waktu, saban hari, minggu bahkan saban tahun sering merasakan kelaparan.

Oleh karenanya, pada saat berpuasa kita selalu ditekankan agar meningkatkan amal ibadah kita, semisal memperbanyak sederkah, berinfak atau menyantuni anak yatim piatu. Semua itu kita lakukan agar ibadah puasa menjadi ritual ataupun pengalaman yang paling berkesan sekaligus bermakna bagi diri kita. Kita pun mengetahui bahwa di bulan Ramadan ini seluruh umat Islam juga diperintahkan mengeluarkan zakat. Perintah tersebut tentunya juga mengandung pesan yang sama dengan ibadah puasa, baik yang sifatnya ritual maupun yang sosial. Dengan menjalankan perintah tersebut, manusia diharapkan terlahir sebagai pribadi yang unggul sekaligus mobilisator/ pemakarsa sosial yang hebat.

Akhirnya, kehadiran bulan Ramadan harus kita jadikan sebagai momentum perbaikan dengan wujud melepaskan rakyat miskin dari jeratan kemiskinannya. Hal ini hanya bisa kita wujudkan bila seluruh elemen kebangsaan, dari pemerintah hingga masyarakat berkenan bahu membahu menahan diri dari keinginan pribadinya yang acapkali merugikan kepentingan bersama. Barangkali akan menjadi pemandangan yang sangat indah, bila di bulan Ramadan ini tak seorangpun para wakil rakyat memakan harta rakyatnya. Dan untuk seterusnya, kesadaran untuk selalu berkepedulian atas orang lain menjadi karakter setiap pribadi dalam hidup kesehariannya. Dengan demikian sesungguhnya tujuan utama dari ibadah puasa menemukan orientasinya, yakni mencapai derajat takwa yang melahirkan generasi yang fitri. Marhaban Ya Ramadan.


Yanuar Arifin, mahasiswa Pascasarjana MSI Universitas Islam Negeri Yogyakarta



Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment