Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Santri, dalam pandangan Prof. Van Bruinessen adalah orang-orang yang mengerti kitab suci. Pandangan tersebut merujuk pada sebuah lingkungan pesantren yang telah diteliti oleh akademisi dari negeri kincir angin ini.
Dalam ruang lingkup pesantren, banyak sekali kisah-kisah yang dapat kita kenang kembali. Dan bagi orang yang belum pernah mampir di pesantren, tentu tulisan ini akan menjadi rasa sesal yang tak akan pernah terulang kembali seumur hidupnya.
Di pesantren, syair Arab dinyanyikan, Alfiyah, 'imrity, tashrif, dan kajian-kajian kitab kuning dari berbagai pengarang dan literatur Islam. Mulai dari model diskusi, sorogan, dan ngaji al-Qur'an dengan berbagai modelnya. Mulai kajian tafsir hingga belajar membaca al-Qur'an, yakni tajwid.
Jika anda pernah di pesantren, tentu ingat benar bagaimana menyanyikan lagu tashrif ini: fa'ala yaf'ulu fa'lan wa maf'alan fahuwa faa'ilun wa dzaaka maf'ulun uf'ul la taf'ul maf'alun-maf'alun mif'alun. Di waktu lain melanggamkan : fa'ala fa'ala fa'aluu fa'alat fa'alata fa'alna fa'alta fa'altuma fa'altum fa'alti fa'altuma fa'altunna fa'altu fa'alna. dan setersnya.
Bukan hanya kekayaan kognisi yang diperkaya, tetapi bagaimana penggemblengan mental-spiritual dilatih sedemikian ketat, sehingga para santri tidak hanya cerdas secara intelektual, akan tetapi cerdas spititual. Pesantren pun bukan sekedar tempat belajar sebagaimana sekolah-sekolah dan kampus pada umumnya, tetapi di pesantren, seseorang diberi tahu, bagaimana menjadi manusia yang kokoh, kuat, dan memiliki loyalitas pengabdian yang tinggi.
***
Suatu hari, kisah ini terjadi di pesantren Tebuireng Jombang. Saat itu lampu padam. Konon di sana dibuat sebuah aturan, dilarang merokok bagi santri yang belum dewasa, artinya santri yang tingkat pendidikinnya masih Aliyah (setara SMA) belum boleh merokok.
Saat itu yang didaulat menjadi pengasuh pesantren adalah Almarhum KH. Abdurrahman Wahid. Karena lampu padam, saat itu Gusdur ke luar dari ndalem sambil merokok. Beliau jongkok di dekat masjid sambil menikmati bintang gemintang yang berpendar di angkasa.
Tak lama kemudian, seorang santri mendekati tempat di mana ada asap rokok dan pendar kecil yang mirip kunang-kunang.
"Ngudud kang?"
Kemudian si santri itu juga jongkok di dekat pendar kecil asap rokok itu. Kemudian Gusdur menjulurkan rokoknya pada si santri yang sepertinya juga ingin merokok tapi tidak punya rokok atau belum boleh merokok.
Si santri ini menerima rokok yang dijulurkan oleh Gusdur. Si santri ini sebenarnya belum tahu bahwa yang sedang merokok itu adalah Gusdur.
Begitu rokok itu diterima, tentu ia menyedot rokok yang dipegangnya. Nah, begitu rokok itu disedot, tentu cahayanya makin terang, semakin jelaslah bahwa yang ada disampingnya itu adalah pengasuh pesantrennya. Ia segera lari. Bahkan rokok itu dibawanya.
"Hei, rokokku kok dibawa lariiii!" Ucap Gusdur sambil senyum dan geleng-geleng kepala.
***
Di pesantren juga diperlakukan punish and reward sebagai upaya untuk menciptakan kedisiplinan pada santri. Suatu ketika di pesantren Nasy'atul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep. Seorang santri yang berasal dari kampung yang sama.
Sebut saja satu bernama Rusdi dan yang kedua bernama Ali. Si Rusdi ini adalah salah seorang pengurus pesantren bagian pendidikan. Setiap habis isya' pasti mengkondisikan santri-santri yang ada di sana untuk belajar, anggap saja jam belajar santri.
Rusdi selalu mendata dan mendatangi semua kamar pondok di pesantren itu. Bagi santri yang masih ada di dalam kamar, ia memintanya untuk segera keluar. Malam itu adalah malam Final Liga Champion. Tentu di pesantren, para santri saat itu dilarang nonton TV, apalagi nonton di rumah tetangga pesantren.
Si Ali ternyata malam itu tidak ada di kamarnya. Rusdi bertanya kepada teman-temannya yang se pondokan, mereka semua pada tidak tahu. Akhirnya, sebagai seorang pengurus pesantren, ia mencari Ali ke luar.
Ia menyisir dari tetangga ke tetangga. Dan ternyata, begitu datang ke salah satu tetangga pesantren, Ali sedang nonton final liga Champion di rumah itu.
"Ali, nonton TV!"
"Iya. Sini!" Jawab Ali dengan tanpa bersalah.
"Sekarang jam belajar lho!"
"Iya ini lho final, ayo nonton sini. Aku tidak akan ngomong siapa-siapa"
Rusdi mendekati Ali. "Sudah duduk di sini. Yang lain tidak akan tahu." Ali memaksa Rusdi untuk ikut nonton. Karena Rusdi terbujuk perkataan Ali, akhirnya Rusdi juga duduk di tempat itu nonton bareng. "Rasia lho ini!"
"Siap komandan!" jawab Ali sambil tersenyum.
***
Kisah lain terjadi di pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kisah ini sudah lama sekali. Di pesantren itu ada seorang Gus yang memang terkenal khilaf, yaitu Gus Maimun. Gus Maimun adalah putra dari KH. Hasan Abdul Wafi, ahli bahasa dari pesantren tersebut.
Bagi santri yang keluar tanpa izin pengurus tentu juga ada punish yang harus diterima. Setiap pesantren, tentu melarang santrinya keluar nonton bioskop.
Nah, suatu ketika ada seorang santri yang diajak Gus Maimun nonton bioskop. Karena yang mengajaknya adalah seorang Gus, tentu tidak elok jika ia menolak. Maka si santri ini menyanggupi ajakan Gus. Berangkatlah keduanya nonton bioskop.
Setelah nontonnya usai, keduanya tentu kembali lagi ke pondok. Dari jalan raya, keduanya naik becak ke pesantren. Begitu tiba di pintu gerbang, Gus Maimum meminta tukang becak itu terus masuk ke dalam. Ia meminta becak itu berhenti di depan kantor pesantren.
Ketika itu ada beberapa orang pengurus pesantren sedang duduk santai di depan kantor.
"Mana keamanan pesantren?"
"Njih Gus!"
Berdiri salah seorang dari beberapa orang yang sedang berkumpul itu.
"Ini lho tadi nonton bioskop bareng saya."
Begitu dilaporkan ke keamanan, tentu saja santri yang diajak Gus Maimun itu diberi hukuman gundul alias rambutnya dipangkas. Hehehe.
***
Terlepas dari seabrek kisah-kisah konyol para santri di seluruh nusantara ini, seabrek pula nilai-nilai unik, baik, dan menarik yang didapatkan oleh para santri. Di pesantren, dipelajari bagaimana santri dapat hidup mandiri, jauh dari orang tua, hingga bagaimana cara menjadi muslim yang baik dan memiliki manfaat terhadap nusa dan bangsa.
Sumbangan pesantren terhadap bangsa ini sangatlah banyak. Pendiri oraganisasi terbesar bangsa ini, NU dan Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy'arie dan KH. Ahmad Dahlan adalah santri dari KH. Muhammad Khalil Bangkalan. Keduanya menimba ilmu, mengabdi, ngalap barokah yang kemudian mendirikan organisasi yang hingga kini memiliki peran penting dalam mengawal bangsa.
Pesantren berdiri jauh sebelum bangsa ini mendapatkan kedaulatannya. Pesantren berdiri di negeri ini jauh sebelum bangsa ini mencapai kemerdekaannya. Dan orang-orang pesantren, memiliki peran penting dalam merebut kemerdekaan dari para penjajah.
Jika bangsa ini tidak menghargai pesantren sebagai tempat tumbuh kembangnya pendidikan dan pencetak karakter bangsa, dapat diartikan bahwa bangsa ini sedang mengalami sakit. Sebab pesantren adalah jiwa dan pencetak manusia-manusia tangguh bermental kokoh. Mereka memiliki identitas, ideologi, dan kepedulian untuk selalu bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Sebab itulah, kiranya memang penting ada #HariSantri sebagai wujud apresiasi dan upaya untuk melanjutkan perjuangan para ulama'-ulama' terdahulu. Santri, kiai, dan pesantren harusnya tetap mengambil peran dalam berbagai posisi untuk membawa bangsa ini menuju lebih baik.
Santri dan pesantren harusnya tetap dapat mengontrol negara sebagai pengelola yang cerdas dan dapat membentuk sebuah model beragama dan bernegara yang indah.***
Santri, dalam pandangan Prof. Van Bruinessen adalah orang-orang yang mengerti kitab suci. Pandangan tersebut merujuk pada sebuah lingkungan pesantren yang telah diteliti oleh akademisi dari negeri kincir angin ini.
Dalam ruang lingkup pesantren, banyak sekali kisah-kisah yang dapat kita kenang kembali. Dan bagi orang yang belum pernah mampir di pesantren, tentu tulisan ini akan menjadi rasa sesal yang tak akan pernah terulang kembali seumur hidupnya.
Di pesantren, syair Arab dinyanyikan, Alfiyah, 'imrity, tashrif, dan kajian-kajian kitab kuning dari berbagai pengarang dan literatur Islam. Mulai dari model diskusi, sorogan, dan ngaji al-Qur'an dengan berbagai modelnya. Mulai kajian tafsir hingga belajar membaca al-Qur'an, yakni tajwid.
Sumber Gambar: rmol.co |
Bukan hanya kekayaan kognisi yang diperkaya, tetapi bagaimana penggemblengan mental-spiritual dilatih sedemikian ketat, sehingga para santri tidak hanya cerdas secara intelektual, akan tetapi cerdas spititual. Pesantren pun bukan sekedar tempat belajar sebagaimana sekolah-sekolah dan kampus pada umumnya, tetapi di pesantren, seseorang diberi tahu, bagaimana menjadi manusia yang kokoh, kuat, dan memiliki loyalitas pengabdian yang tinggi.
***
Suatu hari, kisah ini terjadi di pesantren Tebuireng Jombang. Saat itu lampu padam. Konon di sana dibuat sebuah aturan, dilarang merokok bagi santri yang belum dewasa, artinya santri yang tingkat pendidikinnya masih Aliyah (setara SMA) belum boleh merokok.
Saat itu yang didaulat menjadi pengasuh pesantren adalah Almarhum KH. Abdurrahman Wahid. Karena lampu padam, saat itu Gusdur ke luar dari ndalem sambil merokok. Beliau jongkok di dekat masjid sambil menikmati bintang gemintang yang berpendar di angkasa.
Tak lama kemudian, seorang santri mendekati tempat di mana ada asap rokok dan pendar kecil yang mirip kunang-kunang.
"Ngudud kang?"
Kemudian si santri itu juga jongkok di dekat pendar kecil asap rokok itu. Kemudian Gusdur menjulurkan rokoknya pada si santri yang sepertinya juga ingin merokok tapi tidak punya rokok atau belum boleh merokok.
Si santri ini menerima rokok yang dijulurkan oleh Gusdur. Si santri ini sebenarnya belum tahu bahwa yang sedang merokok itu adalah Gusdur.
Begitu rokok itu diterima, tentu ia menyedot rokok yang dipegangnya. Nah, begitu rokok itu disedot, tentu cahayanya makin terang, semakin jelaslah bahwa yang ada disampingnya itu adalah pengasuh pesantrennya. Ia segera lari. Bahkan rokok itu dibawanya.
"Hei, rokokku kok dibawa lariiii!" Ucap Gusdur sambil senyum dan geleng-geleng kepala.
Sumber Gambar: annuqayah.blogspot.com |
Di pesantren juga diperlakukan punish and reward sebagai upaya untuk menciptakan kedisiplinan pada santri. Suatu ketika di pesantren Nasy'atul Muta'allimin Gapura Timur Sumenep. Seorang santri yang berasal dari kampung yang sama.
Sebut saja satu bernama Rusdi dan yang kedua bernama Ali. Si Rusdi ini adalah salah seorang pengurus pesantren bagian pendidikan. Setiap habis isya' pasti mengkondisikan santri-santri yang ada di sana untuk belajar, anggap saja jam belajar santri.
Rusdi selalu mendata dan mendatangi semua kamar pondok di pesantren itu. Bagi santri yang masih ada di dalam kamar, ia memintanya untuk segera keluar. Malam itu adalah malam Final Liga Champion. Tentu di pesantren, para santri saat itu dilarang nonton TV, apalagi nonton di rumah tetangga pesantren.
Si Ali ternyata malam itu tidak ada di kamarnya. Rusdi bertanya kepada teman-temannya yang se pondokan, mereka semua pada tidak tahu. Akhirnya, sebagai seorang pengurus pesantren, ia mencari Ali ke luar.
Ia menyisir dari tetangga ke tetangga. Dan ternyata, begitu datang ke salah satu tetangga pesantren, Ali sedang nonton final liga Champion di rumah itu.
"Ali, nonton TV!"
"Iya. Sini!" Jawab Ali dengan tanpa bersalah.
"Sekarang jam belajar lho!"
"Iya ini lho final, ayo nonton sini. Aku tidak akan ngomong siapa-siapa"
Rusdi mendekati Ali. "Sudah duduk di sini. Yang lain tidak akan tahu." Ali memaksa Rusdi untuk ikut nonton. Karena Rusdi terbujuk perkataan Ali, akhirnya Rusdi juga duduk di tempat itu nonton bareng. "Rasia lho ini!"
"Siap komandan!" jawab Ali sambil tersenyum.
***
Kisah lain terjadi di pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo. Kisah ini sudah lama sekali. Di pesantren itu ada seorang Gus yang memang terkenal khilaf, yaitu Gus Maimun. Gus Maimun adalah putra dari KH. Hasan Abdul Wafi, ahli bahasa dari pesantren tersebut.
Sumber Gambar: kholilahmad.com |
Nah, suatu ketika ada seorang santri yang diajak Gus Maimun nonton bioskop. Karena yang mengajaknya adalah seorang Gus, tentu tidak elok jika ia menolak. Maka si santri ini menyanggupi ajakan Gus. Berangkatlah keduanya nonton bioskop.
Setelah nontonnya usai, keduanya tentu kembali lagi ke pondok. Dari jalan raya, keduanya naik becak ke pesantren. Begitu tiba di pintu gerbang, Gus Maimum meminta tukang becak itu terus masuk ke dalam. Ia meminta becak itu berhenti di depan kantor pesantren.
Ketika itu ada beberapa orang pengurus pesantren sedang duduk santai di depan kantor.
"Mana keamanan pesantren?"
"Njih Gus!"
Berdiri salah seorang dari beberapa orang yang sedang berkumpul itu.
"Ini lho tadi nonton bioskop bareng saya."
Begitu dilaporkan ke keamanan, tentu saja santri yang diajak Gus Maimun itu diberi hukuman gundul alias rambutnya dipangkas. Hehehe.
***
Terlepas dari seabrek kisah-kisah konyol para santri di seluruh nusantara ini, seabrek pula nilai-nilai unik, baik, dan menarik yang didapatkan oleh para santri. Di pesantren, dipelajari bagaimana santri dapat hidup mandiri, jauh dari orang tua, hingga bagaimana cara menjadi muslim yang baik dan memiliki manfaat terhadap nusa dan bangsa.
Sumbangan pesantren terhadap bangsa ini sangatlah banyak. Pendiri oraganisasi terbesar bangsa ini, NU dan Muhammadiyah, KH. Hasyim Asy'arie dan KH. Ahmad Dahlan adalah santri dari KH. Muhammad Khalil Bangkalan. Keduanya menimba ilmu, mengabdi, ngalap barokah yang kemudian mendirikan organisasi yang hingga kini memiliki peran penting dalam mengawal bangsa.
Pesantren berdiri jauh sebelum bangsa ini mendapatkan kedaulatannya. Pesantren berdiri di negeri ini jauh sebelum bangsa ini mencapai kemerdekaannya. Dan orang-orang pesantren, memiliki peran penting dalam merebut kemerdekaan dari para penjajah.
Jika bangsa ini tidak menghargai pesantren sebagai tempat tumbuh kembangnya pendidikan dan pencetak karakter bangsa, dapat diartikan bahwa bangsa ini sedang mengalami sakit. Sebab pesantren adalah jiwa dan pencetak manusia-manusia tangguh bermental kokoh. Mereka memiliki identitas, ideologi, dan kepedulian untuk selalu bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Sebab itulah, kiranya memang penting ada #HariSantri sebagai wujud apresiasi dan upaya untuk melanjutkan perjuangan para ulama'-ulama' terdahulu. Santri, kiai, dan pesantren harusnya tetap mengambil peran dalam berbagai posisi untuk membawa bangsa ini menuju lebih baik.
Santri dan pesantren harusnya tetap dapat mengontrol negara sebagai pengelola yang cerdas dan dapat membentuk sebuah model beragama dan bernegara yang indah.***
0 comments :
Post a Comment