Oleh : Dwi
Pranoto
Petikan dari perempuan penyair Rusia semasa Revolusi
Bolshevik, Marina Tsvetaeva, sebelum Mukadimah yang memuat kesaksian kreatif
yang diakhiri dengan rentetan ucapan terimakasih menjadi semacam gerbang
penanda sebelum berhadap-hadapan dengan puisi-puisi Sofyan RH. Zaid yang
terbagi dalam empat bagian. Komitmen Tsvetaeva yang memposisikan penyair
sebagai belaka mengemban peran mediator dalam tugas kesastraan memberikan
peringatan bahwa karya-karya yang terlahir adalah bukan kehendak sastrawan atau
penyair. Sastrawan atau penyair impersonal. Ia secuma penyampai kata-kata dari
suatu kekuasaan yang menguasai dirinya. Disamping menegaskan posisi penyair
sebagai penyampai, Tsvetaeva juga menetapkan karyanya bukan untuk sesiapa. Tapi
karya untuk karya.
Baca Juga:
“Bukan
untuk mereka yang berjuta-juta, bukan juga untuk seseorang, bukan pula untuk
diriku. Aku menulis untuk karya itu sendiri. Ia menuliskan dirinya lewat
diriku”
(Marina Tsvetaeva dalam Sofyan RH. Zaid, Pagar
Kenabian, 2015)
Sumber Gambar: pixabay.com |
Sepintas Tsvetaeva tampak memaklumatkan bahwa
puisinya berada di luar hiruk-pikuk dunia, jika tidak boleh disebut apolitis.
Namun demikian sajak epiknya Lebidinyi
Stan (Encampment of the Swans /
Perkemahan Angsa-angsa) yang memuliakan Balatentara Putih yang bertempur
melawan pasukan Komunis menegaskan keberpihakan Tsvetaeva secara politik dan
“kejatuhannya” dalam kemelut duniawi.
“Tidak
ada pembiasan estetik tanpa sesuatu yang dibiaskan: tidak ada imajinasi tanpa
ada hal yang diimajinasikan”, kata Theodor W. Adorno dalam Aesthetic Theory. Karya seni, apapun itu
– termasuk puisi, tidak pernah berangkat dari kekosongan atau hal-hal di luar
dunia. Jikapun suatu bentuk karya seni
harus menemui takdir dirinya secara inheren dalam dirinya sendiri, namun isi
karya seni tak mungkin melepaskan diri dari berkorespondensi dengan dunia.
Puisi selalu berbicara kepada dunia, atau tepatnya dunia yang dipersepsikan.
Oleh karenanya, puisi berbicara kepada manusia dengan segala pengalaman duniawi
yang ada dalam dirinya.
Baca Juga
Pagar
Kenabian
Sejak diterbitkan April 2015, Pagar Kenabian telah
memperoleh banyak tanggapan dari berbagai kalangan. Bahkan bentuk puisi yang
ada dalam Pagar Kenabian telah memicu perdebatan di Republika. Salah satu
ulasan yang cukup komprehensif atas puisi-puisi dalam Pagar Kenabian ditulis
oleh Jamal T. Suryanata dengan judul Membuka
Pagar Kenabian: Memasuki Rumah Kepenyairan Sofyan RH. Zaid. Jamal menelaah
puisi-puisi dalam Pagar Kenabian dari
segi bentuk dan isi. Bagi Jamal, bentuk puisi-puisi Sofyan bukan bentuk nazam
sebagaimana mestinya, namun nazam yang telah dimodifikasi. Sementara isi
puisi-puisi Sofyanmenurutnya penuh dengan pesan-pesan profetik dengan dipengaruhi
oleh sufisme atau ajaran tasawuf.
Sebagaimana diisyaratkan oleh judul dan tiga
paragraf pembuka, ulasan atas Pagar Kenabian di sini tidak akan menitik berat
atau berhenti pada tema sufistik dan bentuk nazam yang sudah banyak dibahas
dalam berbagai ulasan sebelumnya oleh banyak pihak. Dalam ulasan ini kita akan
berupaya meninjau puisi-puisi Sofyan dengan menjejakkannya pada tanah padat
tempat kita berdiri dan melakukan segala perbuatan hidup.
Puisi Sebagai
Penyair barangkali tepat bagi kita untuk memulai pencarian tanah berpijak
puisi-puisi langit Sofyan. Puisi Sebagai
Penyair ini dapat dibaca sebagai suatu pernyataan sikap kepenyairan
terhadap kemashuran. Sebagai penyair kita
tak perlu # memaksakan terukir di batu / atau dunia memberikan tempat # dalam
sejarah dan hikayat merupakan pernyataan gamblang bahwa kemashuran bukanlah
yang dikejar. Namun demikian kemashuran bukan hal yang ditanggalkan
benar-benar, sebab puisi itu sendiri telah menyimpan kemashuran di dalam
dirinya sendiri. Kemashuran puisi yang sui
generis inilah yang dipercaya penyair akan menuntun dirinya. Sebab penyair,
seolah menggemakan komitmen Tsvetaeva, belaka media bagi puisi:kita hanya melahirkan # dari rahim keabadian. Dalam puisi ini
penyair, sebagai subyek, seolah lesap dalam ketiadaan, tapi tidak. Penyair
sebagai subyek tidak belaka pasif tapi ia ada dan aktif; ke mana angin bertiup # kita
lari mencari degub. Dengan demikian penyair mencari puisi yang menyimpan
kemashuran sui generis. Atau lebih
lugasnya penyair “mencari” kemashuran walaupun menolak sebagai kehendaknya
sendiri. Sikap ambigu semacam ini terus terulang di dalam hampir seluruh puisi
yang terhimpun dalam Pagar Kenabian.
Baca Juga:
Barangkali karena kezuhudan yang berkait dengan
pengaruh ajaran tasawuf, puisi-puisi dalam Pagar
Kenabian seolah hendak menolak segala godaan duniawi. Kehidupan dunia
dijalani sebagai musafir lata yang menyimpan rindu pada kebaqaan. Sehingga
jarak yang terbentang antara yang fana dan baqa menumbuhkan segala siksa dan
keperihan. Baik tersurat maupun tersurat jarak menjadi kendala paling nyana bagi diri yang dipenuhi dengan angan-angan
ilahiah seperti diungkapkan dalam Butterfly
Effect,Sehelai Rambut Alfreda, Lembah Sembah, Ratib Rindu, dan masih banyak lagi.
Sumber Gambar: pixabay.com |
Jarak yang direpresentasikan sebagai dualitas tubuh dan
ruh, masa silam dan kekinian, kefanaan dan kebaqaan, dunia dan akhirat
seringkali juga melahirkan ambiguitas yang tak terhindarkan. Momen-momen
penyatuan begitu rapuh dan guyah. Bertukar
tangkap dengan lepas, kata Amir Hamzah. Tubuh yang terjangkar karam di
tanah padat dan terus menerus menarik turun angan-angan kemanunggalan
panteistik menjelmakan ekspresi-eskpresi kemenduaan seperti terbaca dalam Risalah Rahasia, Nabi Kangen, Kampung Kebenaran. Bahkan dalam Kawin Batindan Puncak Kebijaksanaanyang sekilas tampak mengekspresikan
kemanunggalan ternyata masih tetap menyimpan keretakan. Dalam Kawin Batin, perkawinan ruh ternyata bukan suatu pencapaian
paripurna dari perwujudan angan-angan kemanunggalan. Sebab, jarak antara yang
fana dan abadi tak serta merta hapus. Pasangan ruh masih harus menempuh
pelayaran menuju pulau abadi: ruh kita
satu tuju # lebur menyatu dalam hu /
berloncatan ikan abad # menuju pulau abadi.Keretakan ruang-waktu dalam
kemanunggalan ini juga muncul dalam Puncak
Kebijaksanaan. Bukan hanya karena tamasya keabadian yang diisyaratkan oleh
berhentinya segala pencerapan pancaindera yang memilah realitas kebendaan
dipenggal oleh tatapan pada kesengsaraan duniawi: di tiang yang tercipta dari cuaca# terus berkibar bendera air mata.
Lebih dari itu, pada baris berikutnya sikap hormat pada maut ternyata diikuti
oleh penilaian yang tidak sejajar dengan sikap hormat dengan menyebut maut
sebagai penghianat: kita pejamkan mata
memberi hormat # kepada maut sebagai penghianat.
Baca Juga:
Ambiguitas atau kemenduaan yang mewujud dalam
keretakan ruang-waktu dalam puisi-puisi dalam Pagar Kenabian menjadi tak
terelak. Sebagaimana doktrin sufisme wahdat al-Wujud, yang dapat dilacak sampai
Ibn Arabi, yang sesungguhnya merepresentasikan kesulitan dan kerumitan
menggambarkan hubungan antara Tuhan dan manusia karena keterbatasan bahasa dan
nalar. Ya, kita adalah Tuhan, tapi kita
bukan Tuhan. Ambiguitas yang disadari ini juga dapat dibaca sebagai
“anti-kemapanan”, jika bukan sikap anarkistis, yang sulit bahkan tak terbaca
pada level tertentu.Suatu sikap yang terlarang bagi institusi kekuasaan apapun
yang menghendaki ketundukan dan kekakuan batas dalam identitas
kekuasaannya.
Bagaimanapun, walaupun berangkat dari pondasi keagamaan,
tradisi sufistik ini melampaui wujud keras keagamaan sebagai suatu institusi
dan sumber nilai sosial. Persekutuannya dengan kekuasaan ilahiah membuat
sufisme menjauh dari kekuasaan duniawi. Posisi ini membuat sufisme bersifat subversif
terhadap kekuasaan duniawi (kekuasaan politik). Tidak seperti agama yang kerap
menjadi kakitangan kultural negara untuk menertibkan, yang tepat mestinya
menjinakan, kehidupan sosial. Nilai-nilai sufistik yang menjauh atau berbeda
dari nilai-nilai umum yang menopang tatanan sosial seringkali dipandang merongrong
tatanan sosial. Oleh karenanya, hampir di sepanjang sejarah komunitas-komunitas
sufi selalu ditindas dan bahkan diburu untuk dihancurkan oleh negara. Pada abad
17 kerajaan Aceh di bawah Sultan Iskandar Tsani dengan Nurrudin Al-Raniri
sebagai mufti kerajaan, menghancurkan dan memburu pengamal ajaran tasawuf
Hamzah Fansuri. Sementara Turki melarang sufisme sejak 1925. Bahkan sampai
sekarang ajaran sufi di Turki secara teknis masih ilegal. Kita masih dapat
menyebut lagi sejumlah negara yang membatasi kehidupan sufistik seperti di
Saudi Arabia, Mesir, Pakistan.
Sufisme bukan hanya “lawan” bagi negara. Institusi
keagamaan, tertutama institusi keagamaan yang dibangun menyerupai negara atau
berkehendak merengkuh status negara bagi dirinya sendiri, bahkan menekan
komunitas sufi lebih keras lagi. Nilai-nilai dan norma-norma sufisme yang
relatif memandang eksistensi apapun (termasuk agama-agama dan manusia) sebagai
satu kesatuan kebajikan universal perwujudan keilahian membuat mereka dikutuk
sebagai zindik dan membahayakan kehidupan sosial. Di Gujarat India sebuah makam
seorang penyair sufi, Wali Deccani, yang sangat dicintai oleh berbagai pemeluk
agama dihancurkan oleh fundamentalis Hindu. Sementara di Mali, Al Qaeda yang
bersekutu dengan kelompok pemberontak Tuareq memporak-porandakan komunitas sufi
di Timbuktu.Namun, pada sisi yang lain sufisme dapat menjelma gerakan radikal
yang militan dalam melawan penindas-penindasnya seperti di Senegal yang melawan
penjajah Prancis pada tahun 1853-1927.Kita mungkin juga bisa menyebut
pemberontakan Hur di India yang melawan penjajah Inggris sejak 1871.
Hampir di sepanjang sejarah sufisme relatif selalu
beroposisi terhadap kekuasaan-kekuasaan mapan, negara maupun agama. Pembebasan
manusia dari belenggu duniawi dalam praktik kezuhudan hidup dipandang
membahayakan bagi kekuasaan-kekuasaan politik dan tatanan sosial hirarki yang
terbentuk dari penguasaan sumber daya alam dan sosial. Sepertinya pernyataan
Marx tentang agama itu candu pantas dilekatkan pada ajaran tasawuf ini. Ajaran sufisme yang menjauhkan diri dari
keduniawian menjadi semacam ekspresi perlawanan tanpa kekuatan terhadap
ketidakadilan kekuasaan dunia. Syair-syair Rumi
dan Ibn Arabi dapat dibaca sebagai pembebasan belenggu rasialis dunia
pada masanya.
Namun demikian, di era pencapaian tekhnologi
informasi saat ini, wacana-wacana sufisme telah menyebar luas tanpa disertai
oleh praktik-praktik sufistik yang dituntun oleh seorang mursyid secara
langsung. Pengajaran sufisme telah bermetamorfosa dari lisan ke manuskrip ke
teks digital. Sufisme hari ini, dalam istilah Zizek, seperti bir tanpa alkohol
atau kopi tanpa kafein. Hakikat sufisme sesungguhnya adalah cita-cita ilahiah
dalam kebertubuhan. Praktik sufistik dengan demikian menjadi mustahil tanpa perbuatan-perbuatan
badani. Jika kemudian praktik sufistik menjadi gaya hidup, maka sufisme hadir
tanpa suatu perlawanan nyata melawan ketidakadilan dunia. Sufi seolah,
sebagaimana Punk sebagai budaya tanding, berakhir di toko-toko merchandise dan
distro-distro.
Pagar Kenabian memang banyak disarati oleh istilah-istilah sufisme dan ajaran-ajaran tasawuf. Namun keterkaitannya yang lemah pada kehidupan hari ini membuat ajaran-ajaran tasawuf seolah telah dinetralkan. Tidak ada “gangguan” yang ditimbulkan oleh Pagar Kenabian sebagaimana syair-syair Ibn Arabi yang mengguncangkan kehidupan sosio-kultural, bahkan politik, pada masa itu. Syair Ibn Arabi, seperti “Hatiku adalah padang rumput bagi kijang-kijang dan tempat bagi pendeta-pendeta Kristen” dan “Agamaku adalah agama cinta. Di manapun unta-unta berpaling, itulah agamaku dan keyakinanku” menjadi semacam lontaran kritik keras terhadap mentalitas rasialis masa itu. Adakah Pagar Kenabian ini bisa dibaca sebagaimana syair-syair Marina Tsveteva yang posisi politiknya diselubung oleh pernyataan-pernyataan apolitis dan haluan spiritualitasnya dihela oleh hancurnya tatanan sosial yang menyokong status dan previlage penyair yang melahirkan kelaparan dan kemiskinan duniawi yang menderitakan?
0 comments :
Post a Comment