KETIKA ada seseorang menyelewengkan uang kantor untuk mengisi kantongnya sendiri, lalu
ia diberitakan sebagai koruptor, betapa sakit hatinya, betapa dag dig dug
jantungnya untuk memerima keputusan vonis hakim. Belum lagi hukum moral yang
akan ia terima dari masyarakat.
Bagaimana lagi dengan orang yang tidak berbuat,
lalu diberitakan sebagai pengembat uang kantor. Dirinya tidak berbuat, tapi
kebusukannya dibikin orang, dan disebar ke mana-mana seperti bau terasi satu
truk diangkut ke pelabuhan. Betapa menyakitkan.Tapi itulah jahatnya isu, dan
kejamnya fitnah. Mendingan kalau seseorang mencuri, uangnya sudah jadi sedan,
jadi rumah mewah, jadi saham berkeping-keping, dan kemudian namanya tercemar,
itu memang barangkali sudah sepantasnya.
Baca Juga:
* Siap Jihad Demi Berdirinya Propinsi Madura
* Santri, Roko, dan Kiai
Baca Juga:
* Siap Jihad Demi Berdirinya Propinsi Madura
* Santri, Roko, dan Kiai
Itulah barangkali pentingnya asas praduga tak
bersalah, yang sering didengung-dengungkan. Itu artinya, kita sangat
menghormati manusia, yang secara kebetulan jadi tertuduh. Kalau asas itu kita
setujui, dan kita pahami sampai ketulang sumsum, tentu tak mungkin ada isu,
gosip, fitnah dan semacamnya.
Sumber Gambar: enportu.com |
Asas praduga tak bersalah tentu tidak saja
dipandang dengan kacamata hitam, tapi juga dengan kacamata akhlak dan agama.
Soalnya, Allah sangat malarang suudzdzan, buruk sangka. Buruk sangka memang
sikap tidak ilmiah, bukti-bukti kesalahannya belum akurat, cap bersalah sudah
diumumkan, dan disebarkan seluas tanah air.
Ada pertanyaan, mungkinkah era komunikasi
canggih seperti sekarang ini orang bisa menghindari isu? Bisa saja, tergantung
persepsi yang telah dibentuk di tengah-tengah masyarakat. Jika masyarakat tak
bisa membedakan antara isu dan berita yang akurat, bisa jadi semua isu dianggap
berita benar, sebagaimana sikap orang
yang sehat terhadap berita nyata yang akurat. Dalam atmosfer seperti itu,
berita yang akurat pun bisa dibantah dan dihapus oleh isu. Betapa
membingungkan!
Secara psikologis dan sosiologis, umumnya
manusia memang selalu haus akan informasi tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi di mana-mana. Di zaman modern, kebutuhan akan informasi itu dipenuhi
dengan aneka media: koran, telpon, televisi, radio, dan internet. Itu tentu
sangat bagus selagi informasi itu benar-benar bisa dipercaya. Cuma, jika
seseorang tak tahu manfaat informasi yang ia terima, bisa-bisa ia hanya jadi
gudang informasi, tetapi tak bisa mengambil hikmah dari materi informasi yang
telah dimilikinya.
Apalagi yang diterimanya bukan informasi yang
netral, tetapi “isu” yang banyak dibumbui rasa sentimen, yang bisa
menyemarakkan intrik dan fitnah, akan runyam dan susahlah keadaan. Akal sehat
akan terpinggirkan.
Akan lebih menakutkan lagi kalau kesenangan
mengembangkan isu itu sudah menjadi budaya. Isu pun tak cuma satu macamnya. Ada
isu politik, isu ekonomi, isu kesenjangan sosial, isu tukang santet, isu SARA,
sampai isu kecil tentang anak sapi berkepala macan serta kambing berkaki tujuh.
Anehnya, semua itu ada yang menganggap konsumsi batin yang menyegarkan dan
diyakini sebagai peristiwa yang benar-benar akurat. Ini terjadi karena tak ada
sikap dan kurangnya seleksi terhadap informasi yang diterima.
Baca Juga:
* Mengenang Bung Karno
* Keluarga dan Deradikalisasi Anak
Baca Juga:
* Mengenang Bung Karno
* Keluarga dan Deradikalisasi Anak
Penggemar isu barangkali mamang tidak banyak.
Tapi kalau diantara seribu orang ada 5% yang senang isu, bisa dibayangkan
betapa kotornya udara oleh polusi non-migas itu. Tuhan, agama, moral,
persaudaraan, aturan, dan nilai-nilai akan dikucilkan. Sebagian orang lalu
beriman kepada isu.
Menghadapi maraknya isu-isu, ada orang yang
pesimistis. Katanya, isu tak akan bisa dihapus, soalnya distop di sini muncul
di sana, dan sebaliknya. Sebagai manusia yang percaya pada akal sehat, seyogyanya
kita percaya pada usaha kebudayaan. Dunia ini memang tempat pergumulan antara
yang baik dan buruk, antara kebenaran dan kebatilan. Namun, Tuhan dan hati
nurani kita menyuruh kita untuk berpihak kepada yang baik dan benar, yang
menguntungkan sebagian terbesar umat manusia. Upaya membudayakan “akal sehat”
yang memberikan tempat mulia bagi kemanusiaan perlu didukung lewat pendidikan,
dakwah, media massa, kesenian, dan sebagainya.
Setiap orang yang luhur pikirannya, punya
tanggung jawab untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa “isu” itu penyakit
sosial yang perlu dihindari. Para tokoh, agamawan, pemimpin organisasi, dan
para pemangku kebudayaan lainnya punya
tugas mulia untuk menerangkan kepada masyarakat luas bahwa mengembangkan isu,
bergunjing, menggosip, dan menfitnah itu merugikan orang lain. Kalau dibiasakan
dan tidak ditepis, bisa menjadi virus yang merusak jaringan kerukunan
berbangsa.
Lebih-lebih saat mendekati masa pilkada, saat
tokoh-tokoh dan partai-partai akan berpacu untuk meraih suara sebanyak-banyaknya,
sangat dimungkinkan di antara aktivis partai ada yang membawa “isu” ke
mana-mana untuk melecehkan kelompok dan orang lain. Berupaya untuk menang
adalah sesuatu yang sangat wajar. Namun, upayakan tidak sampai menyakiti dan
menghina kelompok lain dan orang lain, agar kemenangan yang diraih diperoleh
secara indah dan terhormat. Bukan karena mengekspos isu yang hakikatnya bisa
menunjukkan kerendahan akhlak.
Untuk itu, akhlak dan moral yang baik, serta
pendekatan religius kepada Allah, bisa dijadikan tumpuan dalam berbuat dan
berbicara, sehingga tingkah laku dan kalimat yang diucapkan menjadi ajakan
simpatik, indah dan menyejukkan.
Lisan dan lidah adalah karunia Allah. Setiap
manusia wajib menjaga lisannya untuk tidak menjadi penyambung isu. Isu adalah
berita palsu yang tidak jelas. Budaya isu menjadikan masa depan tidak jelas.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berakhlak dan suka kerja keras, bukan
bangsa yang beriman kepada isu.***
0 comments :
Post a Comment