Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Bagi saya, perjalanan adalah peristiwa spiritual. Perjalanan, jika dihayati akan melahirkan seabrek inspirasi dan cara pandang yang indah. Itulah setidaknya lumuran rasa bahagia yang saya alami setelah menyelusup memasuki lorong panjang menuju Mangunan Imogiri Bantul Yogyakarta. Sebagaimana penyair Sitor Situmorang, rasanya saya ingin berkumandang: kurajut benang hidup/ waktu yang kulalui/ jejak pemburu/ di pegunungan.
Perjalanan saya ditemani oleh Abdul Hamid (33), seorang kawan yang sudah banyak mencecap asam garam kota Yogyakarta. Dalam perjalanan menuju Mangunan, kami mengendarai motor miliknya. Dan ia berkisah tempat-tempat inspiratif, yang justru belum diketahui banyak orang. Dari arah terminal Giwangan, kami melaju ke arah selatan; menyusuri jalan sempit dan jalanan yang sedikit berlubang. Jalanan ini memang sangat padat. Mobilitas masyarakat Imogiri yang sedang berangkat kerja di pagi hari, berlalu-lalang layaknya bangau-bangau yang terbang berbarengan. Begitu pula di sore hari, luberan laju motor yang saling salip berdesakan membuat jalanan sempit ini sedikit berisiko. Itulah sebabnya, sore itu kami pelan mengendarai kendaraan kami.
Serkitar 45 menit kami tiba di Kecamatan Imogiri. Di ujung jalan itu, terbelah menjadi tiga dan di tengah-tengahnya ditandai dengan pohon beringin besar. Kami mengikuti petunjuk anak panah ke arah kiri yang bertulis: Mangunan dan Makam Imogiri. Jalan ini, sering pula dilalui oleh orang-orang yang ingin berziarah ke makam Imogiri, makam para Raja Yogyakarta yang dibangun oleh Prabu Hanyokrokusumo pada tahun 1632 M. Tidak hanya di saat hidup, raja-raja Keraton Yogyakarta itu memiliki tempat tinggi, setelah meninggal jasad mereka dimakamkan di puncak bukit---untuk mengukuhkan tingginya martabat para raja di tanah Mataram.
Kawasan ini banyak berdiri bangunan-bangunan anyar, setelah tahun 2006 Bantul diluluhlantakkan oleh guncangan dahsyat gempa berkekuatan 5,9 skala richter. Tetapi dalam waktu yang sangat singkat, masyarakat Imogiri membangun kembali kampungnya pelan-pelan setelah peristiwa malang di hari Sabtu pagi, 27 Mei 2006 itu. Penyair Akhmad Muhaimin Azzet, merekam dengan baik peristiwa yang merenggut 5.000an nyawa itu: sekian ribu nyawa melayang dalam cekam/ rumah-rumah dan gedung berdebam/ desa dan kota tinggallah puing reruntuhan/ duhai jiwa yang pagi-pagi tersentak derita/ masihkah cermin tak retak untuk berkaca/ bagi langkah yang limbung tak lagi gempa.
Kami terus mengikuti jalan menanjak dan meliuk seperti ular. Hamid menurunkan gigi motornya, dari gigi tiga ke gigi dua. Kadang pula diturunkan lagi ke gigi satu. Di saat saya melihat ke arah kiri, tebing terjal menggelepar. Dan jika melihat ke arah yang jauh, terlihat pohon-pohon hijau dan persawahan. Terlihat pula asap-asap yang mengepul di kejauhan dari cerobong-cerobong pabrik dan bangunan gedung-gedung tinggi di kota Yogyakarta.
Bumi Langit
Kurang lebih 20 menit dari kecamatan Imogiri, terbentang sebuah gerbang memasuki desa Mangunan. Sekitar 200 meter dari arah gerbang itu, ada sebuah plang di kiri jalan bertulis “Bumi Langit”, artinya saya memasuki sebuah kawasan permakultur yang dibangun secara perlahan dan mandiri oleh seorang bule keturunan Inggris, Iskandar Waworuntu. Ayahnya seorang aktivis lingkungan, sedangkan ibunya adalah seorang pelukis. Ia sendiri lahir di Jakarta. Setelah bertualang jauh ke Australia, Bengkulu, dan Bali, ia memutuskan untuk menetap di Yogyakarta tahun 2002. Dan mulai saat itu, ia membangun bukit Mangunan menjadi lahan pertanian, peternakan, dan menciptakan cara hidup sehat serta berkelanjutan.
Begitu memasuki jalan yang menusuk rumah Iskandar yang berbahan kayu dan dikelilingi pepohonan serta tanaman, saya merasakan desir kesejukan yang menghempas ke dalam jiwa. Begitu masuk di halaman rumahnya, saya disambut oleh seorang lelaki kurus memakai kaos berwarna kuning, rupanya ia karyawan Iskandar. Setelah Iskandar melihat kami, ia keluar sebentar dan tersenyum. Kami bersalaman dan memperkenalkan diri.
“Saya masih ada tamu, diajak berkeliling-keliling di kebun dulu ya!” perintahnya kepada lelaki kurus dengan kaos berwarna kuning itu. Mata saya sedikit melirik ke arah ruang tamu, rupanya tamu Iskandar hari itu adalah seorang perempuan bule yang sedang berkonsultasi tentang permakultur.
Kami beranjak berkeliling di kebun besutan Iskandar dan keluarganya. Kami menyusuri jalan setapak yang sudah ditata rapi, terdiri dari paving. Segala macam tanaman sayur mayur seperti jeruk, tomat, kacang, terong hingga varian ternak, mulai bebek, ayam, kelinci, kambing, sapi serta kolam ikan yang siap dikonsumsi secara sehat dan segar. Semuanya dikelola secara mandiri dengan arus listrik tenaga surya.
Sistem pengelolaan air menggunakan teknologi sederhana: air limbah kamar mandi dan dapur, disalurkan dalam sebuah penampungan untuk difilter, yang kemudian disalurkan lagi ke kolam ikan. Akses tanaman dan ternak dibuat saling berkoneksi dan saling memberi manfaat antara satu dengan yang lainnya. Sehingga dengan sistem teknologi ini, pola kehidupan berlangsung dengan cara simbiosis mutualisme.
Motif Iskandar membangun bukit Mangunan menjadi kawasan permakultur, tak lain untuk menyelamatkan bumi. Menurutnya, tanpa bumi yang sehat, manusia tidak akan pernah mengalami kesejahteraan. Ia menginginkan agar manusia memiliki akses langsung ke sumber daya yang dibutuhkan kehidupan manusia. Dan sudah sejak lama ia ingin mengembalikan surplus input dan hasil pertanian serta mengembalikan limbah pertanian, dikelola ulang menjadi sesuatu yang bermanfaat, misal kotoran sapi menjadi biogas.
Di areal lebih tinggi dari rumah yang ditempatinya, ia membangun Restoran Bumi dan mushalla yang terbuat dari kayu. Bila malam hari, orang-orang yang nongkrong di restoran ini, akan melihat lampu-lampu kota yang kemilau, merasakan kesunyian yang indah. Hanya suara-suara hewan-hewan malam dan bintang gemintang di langit yang akan tersaji. Mari ke bumi langit.***
Bagi saya, perjalanan adalah peristiwa spiritual. Perjalanan, jika dihayati akan melahirkan seabrek inspirasi dan cara pandang yang indah. Itulah setidaknya lumuran rasa bahagia yang saya alami setelah menyelusup memasuki lorong panjang menuju Mangunan Imogiri Bantul Yogyakarta. Sebagaimana penyair Sitor Situmorang, rasanya saya ingin berkumandang: kurajut benang hidup/ waktu yang kulalui/ jejak pemburu/ di pegunungan.
Sumber Gambar: kabarbangsa.com |
Serkitar 45 menit kami tiba di Kecamatan Imogiri. Di ujung jalan itu, terbelah menjadi tiga dan di tengah-tengahnya ditandai dengan pohon beringin besar. Kami mengikuti petunjuk anak panah ke arah kiri yang bertulis: Mangunan dan Makam Imogiri. Jalan ini, sering pula dilalui oleh orang-orang yang ingin berziarah ke makam Imogiri, makam para Raja Yogyakarta yang dibangun oleh Prabu Hanyokrokusumo pada tahun 1632 M. Tidak hanya di saat hidup, raja-raja Keraton Yogyakarta itu memiliki tempat tinggi, setelah meninggal jasad mereka dimakamkan di puncak bukit---untuk mengukuhkan tingginya martabat para raja di tanah Mataram.
Sumber Gambar: kabarbangsa.com |
Kami terus mengikuti jalan menanjak dan meliuk seperti ular. Hamid menurunkan gigi motornya, dari gigi tiga ke gigi dua. Kadang pula diturunkan lagi ke gigi satu. Di saat saya melihat ke arah kiri, tebing terjal menggelepar. Dan jika melihat ke arah yang jauh, terlihat pohon-pohon hijau dan persawahan. Terlihat pula asap-asap yang mengepul di kejauhan dari cerobong-cerobong pabrik dan bangunan gedung-gedung tinggi di kota Yogyakarta.
Bumi Langit
Kurang lebih 20 menit dari kecamatan Imogiri, terbentang sebuah gerbang memasuki desa Mangunan. Sekitar 200 meter dari arah gerbang itu, ada sebuah plang di kiri jalan bertulis “Bumi Langit”, artinya saya memasuki sebuah kawasan permakultur yang dibangun secara perlahan dan mandiri oleh seorang bule keturunan Inggris, Iskandar Waworuntu. Ayahnya seorang aktivis lingkungan, sedangkan ibunya adalah seorang pelukis. Ia sendiri lahir di Jakarta. Setelah bertualang jauh ke Australia, Bengkulu, dan Bali, ia memutuskan untuk menetap di Yogyakarta tahun 2002. Dan mulai saat itu, ia membangun bukit Mangunan menjadi lahan pertanian, peternakan, dan menciptakan cara hidup sehat serta berkelanjutan.
Sumber Gambar: kabarbangsa.com |
“Saya masih ada tamu, diajak berkeliling-keliling di kebun dulu ya!” perintahnya kepada lelaki kurus dengan kaos berwarna kuning itu. Mata saya sedikit melirik ke arah ruang tamu, rupanya tamu Iskandar hari itu adalah seorang perempuan bule yang sedang berkonsultasi tentang permakultur.
Kami beranjak berkeliling di kebun besutan Iskandar dan keluarganya. Kami menyusuri jalan setapak yang sudah ditata rapi, terdiri dari paving. Segala macam tanaman sayur mayur seperti jeruk, tomat, kacang, terong hingga varian ternak, mulai bebek, ayam, kelinci, kambing, sapi serta kolam ikan yang siap dikonsumsi secara sehat dan segar. Semuanya dikelola secara mandiri dengan arus listrik tenaga surya.
Sistem pengelolaan air menggunakan teknologi sederhana: air limbah kamar mandi dan dapur, disalurkan dalam sebuah penampungan untuk difilter, yang kemudian disalurkan lagi ke kolam ikan. Akses tanaman dan ternak dibuat saling berkoneksi dan saling memberi manfaat antara satu dengan yang lainnya. Sehingga dengan sistem teknologi ini, pola kehidupan berlangsung dengan cara simbiosis mutualisme.
Motif Iskandar membangun bukit Mangunan menjadi kawasan permakultur, tak lain untuk menyelamatkan bumi. Menurutnya, tanpa bumi yang sehat, manusia tidak akan pernah mengalami kesejahteraan. Ia menginginkan agar manusia memiliki akses langsung ke sumber daya yang dibutuhkan kehidupan manusia. Dan sudah sejak lama ia ingin mengembalikan surplus input dan hasil pertanian serta mengembalikan limbah pertanian, dikelola ulang menjadi sesuatu yang bermanfaat, misal kotoran sapi menjadi biogas.
Di areal lebih tinggi dari rumah yang ditempatinya, ia membangun Restoran Bumi dan mushalla yang terbuat dari kayu. Bila malam hari, orang-orang yang nongkrong di restoran ini, akan melihat lampu-lampu kota yang kemilau, merasakan kesunyian yang indah. Hanya suara-suara hewan-hewan malam dan bintang gemintang di langit yang akan tersaji. Mari ke bumi langit.***
0 comments :
Post a Comment