oleh : halim bahriz*
"cukuplah hallaj dan jenar"
(nabi kangen, hal 3)
buku puisi ini datang kepadaku di waktu yang telah terisi perihal lain. rencana rencana yang meskipun tak lebih berharga dari puisi, memiliki momen kerterjadian yang amat jarang. sebab itu cukup sukar aku abaikan begitu saja. tanpa bermaksud mendamba pemakluman, aku ingin mengatakan—demi keterbacaan yang lebih layak atas “risalah rohani” yang meskipun banyak memajang puisi berangka tahun 2014, diakui oleh penulisnya sendiri, merangkum 14 tahun perjalanan kreatif yang dengan khusuk dan terjaga mengelumiti bentang tematis kepenyairan; bahwa ulasan berikut cumalah kesan awal yang sangat mungkin mengalami revisi pada pembacaan-pembacaan berikutnya
Baca Juga:
* Kucing dan Sakralitasnya
* Matahari Perdamaian Dari New Delhi
***
membaca puisi puisi sofyan rh. zaid dalam kumpulan ini seperti mendengarkan suara majnun yang melambung memanggil-manggil laila. sejak judul pertama, kegilaan melankolis segera menyatakan dirinya sebagai tanaman yang merambati pagar kenabian. si aku liriklah yang merawat tanaman itu hingga kuncup di sela-sela sulur rekah dan menghias batas dengan kaligrafi mahkota bunga bunga. kepompong kata yang tergantung diranting sunyi kemudian berdatangan sebagai kupu, menyesap sabda yang pernah tertunda—dengan lagak menenggak anggur tua: membuat kepak sepasang sayap miliknya menyala nyala, lalu terbang menghuni mitos dan perlambang.
Baca Juga:
* Colosium Abu Vulkanik
* Banjir Dalam Mitologi Dunia
sofyan mirip seorang juru kunci di sebuah makam keramat. hampir seluruh puisi yang dihadirkannya dengan lidah larut menjilat, membentang jadat diri semulai luka melupa nafsu sampai peluh mencebur dalam lautan hu, adalah ungkap “syathahat” yang hendak membakar jarak, mengairi cawan ingatan dengan arak, mengidam retas batas sebagaimana pejam padam tenggelam kepada cahaya.
hingga angin pun lupa kepada dingin # angan akhirnya benci kepada ingin
duka meleleh seperti batang lilin # siang dan malam berganti jadi mungkin
(puncak kebijaksanaan, hal 40)
kegilaan yang tampil—dalam sebagian besar judul—tidaklah berupaya memuat suara protes, atau interupsi untuk mengoyak yang telah yakin di balkon akal dan mapan di selubung batin. pergulatannya adalah sebentuk pernyataan takluk demi takluk, dengan penuh mendaras deret panjang proklamasi yang meresmikan diri sendiri seumpama budak abadi. bahkan juga tampak kepenuhan itu dari “nama-nama liar para peloncat pagar” yang dipeliharanya seperti ia rawat tanaman rambat demi panorama tapal batas yang mungkin dianggapnya lebih pantas, atau sanggup: memancar denyar mawar dan aroma kesturi—yang menyihir kita dengan getar wajar, “mengangkat kedua tangan serupa prajurit yang kalah.”
Baca Juga:
* Filosofi Jenggot Dalam Agama-Agama di Dunia
* Manusia Pencipta
***
gairah yang kupaparan kelewat singkat nan padat di atas, dalam puisi-puisi sofyan, umumnya ia jela dengan corak ungkapan yang tak banyak bergeser. mode nadhaman yang dipinjamnya dari tradisi parsi (?), ia terapkan dengan tak ketat. unsur musikal kata yang merupakan aspek krusial (dan sejauh ini belum tampil meyakinkan melalui bahasa indonesia), agaknya jadi hitungan lazim sebatas rima. “gita puisik” hampir tak kutemukan bekerja dalam permainan atau perjumpaannya melalui sebentuk fluktuasi nada antara bunyi kata yang berakhiran vokal dan kata berawalan konsonan. Juga pola suku kata yang tak disiplin. sebagaimana haiku, misalnya.
perlakuan yang tak ketat tersebut, meskipun memperlihatkan bagaimana “tradisi” dan “tualang” berebut rebah dalam pangkuan dari seseorang yang sedang duduk di atas batu, yang seolah tengah berlomba memancar sinar paling rayu, taklah terhindar dari tanggungan sejumlah kepudaran sebagai konsekuensi gaya yang dipilihnya sendiri.
Baca Juga:
* Mengenang Sa'di
* Surat Kepada Alfreda
pertama, “tipikal hymne” (pemujaan—pula aspek performatif berjamaah dari tradisi nadhaman) yang menjauh dan “tipikal puisi kamar” yang dominan. kedua, fungsional tagar terkesan gagal membedakan dirinya dari entering dalam kelaziman perpuisian indonesia. pada larik-larik tertentu, tanda tagar itu, rasa-rasanya tidak menopang apa-apa. ketiga, nyanyi kegilaan (yang pada masa silam dipakai oleh hamba sahaya untuk memuji yang tengah dipertuankannya), memperdengarkan semacam falseto majnun yang kadang-kadang merdu kadang-kadang fals.
buku puisi pagar kenabian, kukira, serupa kitab kesaksian yang ditulis buat membatis para penyaksi sebagai casanova yang menyihir sang majikan menjadi kekasih. lembar partitur yang khusuk dinyanyikan sejak lubuk hati paling sunyi, dalam sebuah rumah tanpa pintu, dalam suatu halaqah yang seorang diri, di lembah sembah—barangkali seumpama rengek janin yang menggelar gema seriosa dalam dekapan rahim semesta. mungkin juga, semacam keberdiaman batu-batu yang menghitam sebab cahaya telah terpejam. hajar aswad, hu.
* penyair dan peraih juara pertama festival sastra universitas gadjah mada kategori cipta puisi (2015).
"cukuplah hallaj dan jenar"
(nabi kangen, hal 3)
buku puisi ini datang kepadaku di waktu yang telah terisi perihal lain. rencana rencana yang meskipun tak lebih berharga dari puisi, memiliki momen kerterjadian yang amat jarang. sebab itu cukup sukar aku abaikan begitu saja. tanpa bermaksud mendamba pemakluman, aku ingin mengatakan—demi keterbacaan yang lebih layak atas “risalah rohani” yang meskipun banyak memajang puisi berangka tahun 2014, diakui oleh penulisnya sendiri, merangkum 14 tahun perjalanan kreatif yang dengan khusuk dan terjaga mengelumiti bentang tematis kepenyairan; bahwa ulasan berikut cumalah kesan awal yang sangat mungkin mengalami revisi pada pembacaan-pembacaan berikutnya
Baca Juga:
* Kucing dan Sakralitasnya
* Matahari Perdamaian Dari New Delhi
***
membaca puisi puisi sofyan rh. zaid dalam kumpulan ini seperti mendengarkan suara majnun yang melambung memanggil-manggil laila. sejak judul pertama, kegilaan melankolis segera menyatakan dirinya sebagai tanaman yang merambati pagar kenabian. si aku liriklah yang merawat tanaman itu hingga kuncup di sela-sela sulur rekah dan menghias batas dengan kaligrafi mahkota bunga bunga. kepompong kata yang tergantung diranting sunyi kemudian berdatangan sebagai kupu, menyesap sabda yang pernah tertunda—dengan lagak menenggak anggur tua: membuat kepak sepasang sayap miliknya menyala nyala, lalu terbang menghuni mitos dan perlambang.
Baca Juga:
* Colosium Abu Vulkanik
* Banjir Dalam Mitologi Dunia
sofyan mirip seorang juru kunci di sebuah makam keramat. hampir seluruh puisi yang dihadirkannya dengan lidah larut menjilat, membentang jadat diri semulai luka melupa nafsu sampai peluh mencebur dalam lautan hu, adalah ungkap “syathahat” yang hendak membakar jarak, mengairi cawan ingatan dengan arak, mengidam retas batas sebagaimana pejam padam tenggelam kepada cahaya.
hingga angin pun lupa kepada dingin # angan akhirnya benci kepada ingin
duka meleleh seperti batang lilin # siang dan malam berganti jadi mungkin
(puncak kebijaksanaan, hal 40)
kegilaan yang tampil—dalam sebagian besar judul—tidaklah berupaya memuat suara protes, atau interupsi untuk mengoyak yang telah yakin di balkon akal dan mapan di selubung batin. pergulatannya adalah sebentuk pernyataan takluk demi takluk, dengan penuh mendaras deret panjang proklamasi yang meresmikan diri sendiri seumpama budak abadi. bahkan juga tampak kepenuhan itu dari “nama-nama liar para peloncat pagar” yang dipeliharanya seperti ia rawat tanaman rambat demi panorama tapal batas yang mungkin dianggapnya lebih pantas, atau sanggup: memancar denyar mawar dan aroma kesturi—yang menyihir kita dengan getar wajar, “mengangkat kedua tangan serupa prajurit yang kalah.”
Baca Juga:
* Filosofi Jenggot Dalam Agama-Agama di Dunia
* Manusia Pencipta
***
Sumber Gambar: pixabay.com |
perlakuan yang tak ketat tersebut, meskipun memperlihatkan bagaimana “tradisi” dan “tualang” berebut rebah dalam pangkuan dari seseorang yang sedang duduk di atas batu, yang seolah tengah berlomba memancar sinar paling rayu, taklah terhindar dari tanggungan sejumlah kepudaran sebagai konsekuensi gaya yang dipilihnya sendiri.
Baca Juga:
* Mengenang Sa'di
* Surat Kepada Alfreda
pertama, “tipikal hymne” (pemujaan—pula aspek performatif berjamaah dari tradisi nadhaman) yang menjauh dan “tipikal puisi kamar” yang dominan. kedua, fungsional tagar terkesan gagal membedakan dirinya dari entering dalam kelaziman perpuisian indonesia. pada larik-larik tertentu, tanda tagar itu, rasa-rasanya tidak menopang apa-apa. ketiga, nyanyi kegilaan (yang pada masa silam dipakai oleh hamba sahaya untuk memuji yang tengah dipertuankannya), memperdengarkan semacam falseto majnun yang kadang-kadang merdu kadang-kadang fals.
buku puisi pagar kenabian, kukira, serupa kitab kesaksian yang ditulis buat membatis para penyaksi sebagai casanova yang menyihir sang majikan menjadi kekasih. lembar partitur yang khusuk dinyanyikan sejak lubuk hati paling sunyi, dalam sebuah rumah tanpa pintu, dalam suatu halaqah yang seorang diri, di lembah sembah—barangkali seumpama rengek janin yang menggelar gema seriosa dalam dekapan rahim semesta. mungkin juga, semacam keberdiaman batu-batu yang menghitam sebab cahaya telah terpejam. hajar aswad, hu.
* penyair dan peraih juara pertama festival sastra universitas gadjah mada kategori cipta puisi (2015).
0 comments :
Post a Comment