Banjir menjadi trending topic tahunan
di negeri kita, khususnya di ibu kota Jakarta. Rumah-rumah mengapung seperti
pulau yang tenggelam. Orang-orang menaiki perahu karet bagai mendayung di
tengah laut. Penduduk-penduduk yang terdiri dari bayi, anak-anak, remaja,
dewasa, dan lansia diungsikan ke beberapa tempat. Ibu kota lumpuh. Roda
perekonomian macet. Para pejabat bingung. Kameramen sibuk mengambil gambar di
tengah pasang air; bencana.
Konon, sekitar 3000 SM, banjir telah merobek peradaban
Sumeria, bahkan ratusan ribu nyawa dipaksa pasrah pada ajal yang menjemput. Saat
itu, banjir di seantero Mesopotamia melenyapkan peradaban yang sudah berkembang
semenjak 7000 SM. Temuan-temuan para arkeolog Barat membuktikan bahwa sebelum
terjadi banjir hebat, di daerah ini hidup peradaban maju yang silih berganti.
Bukti-bukti arkeologis seperti mangkuk, kendi, pot, lapisan mutiara membuktikan
megahnya kemajuan saat itu.
Namun tak ada ampun dari air bah yang menggusur
kota-kota megah itu. Air bah menyerang selama tujuh hari tujuh malam,
melumpuhkan kota Kish, Ur, Erech, dan Shuruppak. Orang-orang Sumeria percaya,
akibat banjir tak lain dan tak bukan adalah kutukan Dewa Enki kepada Ziusudra.
Karena itu, bangsa yang dihancurkan oleh bencana harus dibangun kembali. Bangsa
Sumeria harus membangun tatanan kehidupan baru yang saat itu dipimpin oleh Raja
Ethana, sebagai penguasa pertama. Di tangan raja pertama ini, bangsa Sumeria berhasil
bangkit dan gemilang.
Peristiwa banjir itu, dalam Kitab Kejadian
disebutkan bahwa umat manusia beberapa generasi telah meninggalkan Taman Eden,
sehingga Allah sangat murka dan mengirimkan banjir. Menurut Allah dalam kitab
itu, hanya ada satu orang yang pantas diselamatkan, yaitu Nuh. Lalu Nuh diminta
untuk membuat bahtera di atas gunung. Allah meminta Nuh mengajak istri dan tiga
anaknya; Sem, Ham, dan Yafet menaiki bahtera itu. Nuh juga diminta untuk
menaikkan beberapa pasang hewan.
Dalam Kitab Kejadian 7:17, 7:24, 8:3, banjir
terjadi 40 hari dan 40 malam, bertahan selama 150 hari dan malam. Bahtera Nuh
terhenti di atas gunung Ararat pada hari ke tujuh belas bulan itu. Dan
gunung-gunung mulai tampak ujungnya semenjak hari pertama bulan sepuluh. Rasanya
tak pernah ada banjir yang menyamai banjir ini.
Dalam mitologi Yunani, banjir Nuh ini terjadi
pada zaman perunggu. Dewa Zeus menurunkan hujan selama sembilan hari sembilan
malam. Deukalion adalah nama lain dari Nuh yang diyakini sebagai manusia.
Deukalion putra Titan Prometheus atau dalam tradisi agama dikenal bernama Lamik bin Metusyalih bin Idris.
Deukalion diminta Prometheus
untuk membuat perahu di atas gunung. Ia pun membuat bersama istrinya dan
anaknya Pirrha. Deukalion juga diminta Prometheus untuk menyiapkan perbekalan
di atas perahu. Begitu hujan berhari-hari datang, Deukalion dan keluarganya
naik ke atas perahu. Air laut naik dan badai terjadi. Air itu kemudian
menenggelamkan gunung, sehingga perahu di atas gunung itu pun terapung.
Setelah sembilan hari lamanya,
air pelan-pelan surut, umat manusia sudah lenyap, perahu Deukalion berhenti di
daratan, tepatnya puncak gunung Parnassos.
Dalam sejarah peradaban China, sekitar tahun
1887 M banjir Sungai Huang Ho pernah meluluhlantakkan Propinsi Henan. Bangunan-bangunan
remuk redam. Sekitar 900.000-2.000.000 jiwa hanyut. Penyebabnya adalah perluasan
daratan membabi buta, sementara bendungan yang ada di sungai ini tak mampu
menampung air. Ditambah lagi dahsyatnya air hujan dan naiknya air laut selama
berhari-hari.
Peradaban di lembah sungai Huang Ho ini sudah
berkembang semenjak tahun 1600 SM. Dinasti Shang (1600-1046 SM) diyakini
sebagai dinasti pertama lembah sungai Huang Ho. Dinasti ini didirikan oleh suku
Shang, dipimpin oleh Tang seusai menyerbu telak dinasti Xia. Kepercayaan yang
berkembang pada dinasti ini adalah kepercayaan terhadap dewa-dewa. Dewa
tertinggi saat itu adalah Dewa Shang Ti. Perluasan wilayah dengan cara menyerbu
negara-negara kecil di sekitarnya membuat dinasti semakin kuat. Ekonomi dan
pertanian berkembang pesat. Kekuasaan pun silih berganti sampai di pucuk
kepemimpinan dinasti Han 206 SM. Peradaban kemudian bangkit lagi di tangan
dinasti T’ang (615-906 M) hingga saat ini.
Banjir yang lebih besar kembali terjadi di
lembah sungai Huang Ho pada tahun 1931. Banjir ini ditengarai menewaskan
2.500.000-3.700.000 jiwa. Bahkan serbuan air bah ini dianggap sebagai serbuan
banjir paling mematikan di abad 20. Pada mulanya, terjadi kemarau panjang dari
tahun 1928-1930. Kemudian datang musim dingin pada tahun 30-an yang diikuti
salju dan badai hebat.
Di tahun 1931, hujan terjadi selama
berhari-hari, 7 badai hebat menyerang, dan puncaknya pada tanggal 19 Agustus
1931. Ketinggian air mencapai 16 cm, air meluap ke beberapa kota di China,
diantaranya; Hubei, Hunan, Jiangxi, Hankou, Wuhan, Hanyang, Chongqing, hingga
Ibu Kota Nanjing. Pada tanggal 25 Agustus 1931, bendungan terbesar di Gao You
jebol, hingga menewaskan 200.000 orang yang sedang tidur.
Air memang tetaplah air yang bisa tenang,
cerminan kedamaian. Tetapi apabila air telah berubah menjadi banjir, apapun
yang ada di hadapannya akan hancur lebur. Banjir yang terjadi di Jakarta adalah
peristiwa kecil dibandingkan peristiwa-peristiwa di atas. Akan tetapi, bila
sesuatu yang kecil diabaikan, korbannya akan menjadi lebih besar.***
Sumber Gambar : http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/RadenSaleh/1024px-A_Flood_on_Java_1865-1876_Raden_Saleh.jpg
0 comments :
Post a Comment