Puisi
adalah puncak pencapaian derita penyair (Octivio Pazz)
Para
pengarang, diyakini sebagai “tuhan kecil” yang mampu meniupkan ruh pada
kata-kata yang mereka cipta. Lalu kata-kata itu memiliki batinnya sendiri yang
mengungkap realitas psikis pengarang dan realitas masyarakat yang kemudian
menciptakan perubahan, baik bagi diri sang pengarang maupun perubahan di sektor
sosial, politik, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Itulah sebabnya mengapa tuhan
kecil harus hidup di setiap napas ciptaannya.
Demi
kata-kata, pengarang merelakan diri
bertaruh meski remuk redam, meski harus termangu di segala ngilu, kata
Chairil. Dan kata-kata serupa makhluk hidup yang menggeliat menyampaikan
seabrek nilai (values) kepada publiknya dengan cara simbolik atau
sarkastik, untuk menyentil segala sesuatu yang “menyimpang” (Herbert Meed:1994:87).
Pengarang
mampu merasakan yang tidak pas pada tempatnya, termasuk berjuang memilih kata
yang sesuai, sehingga nilai-nilai dalam kata-kata tidak terdistorsi maknanya.
Itulah sebabnya kita yakini bahwa kata-kata yang dicipta oleh para pengarang
tidak turun dari ruang kosong dan hampa.
Kata, ungkap
Octavio Pazz, penerima Nobel Award for Leteratur 1990--suku kata, kelompok
kata/ adalah bintang-bintang yang berputar menuju pusat abadi, dan tahukah
kalian bintang-bintang yang berputar menuju pusat abadi itu? Adalah letupan
batin sang pengarang yang menyuarakan senyum, tangis, luka, cinta, benci, duka,
nestapa, bahagia, dan seterusnya. Kata-kata dan suku kata itu menelusup di
relung pembacanya, meriuhkan getar dalam jiwa.
Orkertrasi Jiwa Pengarang
Karya
sastra tidak sekedar berupa kerajinan kata-kata, melainkan hal ihwal orkestrasi
jiwa pengarang dalam merespons diri dan lingkungannya. Alam di luar dirinya
adalah metafora yang dapat mewakili semesta jiwanya yang akan menyampaikan
seabrek pesan kepada publik pembacanya. Dalam jiwa pengarang ada musik, suara,
bunyi, dan tarian yang berkelindan untuk memaknai lingkungannya, lalu
diungkapkan menjadi karya sastra yang diyakini dapat mengubah dunia.
Permenungan
yang mendalam atas realitas kehidupan itulah yang akan memantik percikan puitik
ke dalam rasa. Kata-kata yang keluar bukan sekedar kata-kata biasa dan
sederhana, tetapi kata-kata yang terus bernyawa melampaui zamannya, tidak
sekedar aku ingin hidup seribu tahun lagi sebagaimana yang diraungkan
Chairil Anwar. Melainkan kata-kata itu akan terus hidup dalam pikiran dan jiwa
pembacanya meskipun pengarangnya sudah lama “mati”. Lihatlah berikut ini puisi
dahsyat karya Rabindranath Tagore, penerima penghargaan Nobel Sastra pada tahun
1915 yang berjudul “Tukang Kebun”:
Matamu yang mengandung tanya itu
duka. Ia mencari-cari hendak mengetahui isi hatiku bagai bulan hendak menduga
laut.
Telah kusingkapkan hidupku
seluruhnya di muka matamu, tak ada lagi yang tersembunyi atau tertahan. Itulah
sebabnya mengapa tak kau tahu aku.
Jika hidupku hanya sebuah permata,
akan dapat kupecahkan jadi seratus keping dan kurangkai jadi seutas rantai
untuk kukalungkan di lehermu.
Jika ia hanya sekuntum bunga,
bundar dan kecil dan indah, akan dapat kupetik dari batangnya untuk kusematkan
di rambutmu.
Tapi ia adalah hati, kekasihku. Di
manakah pantai dan dasarnya?
Kau tak tahu batas-batas kerajaan
ini, selama kau jadi ratunya.
Jika ia hanya sejenak kesenangan,
ia akan mengembang jadi senyuman ringan, dan akan dapat kau lihat dan kau baca
dalam sekejap.
Jika ia semata-mata hanya
kepedihan, ia akan mencerna menjadi air mata bening mengaca, membiaskan
rahasianya yang terdalam tanpa kata.
Tapi ia adalah cinta, kekasihku.
Kesenangan dan kepedihannya tak
terbatas, dan tak ada akhirnya kepapaan dan kemewahannya.
Ia dekat padamu
seperti hidupmu sendiri, tetapi kau tak pernah dapat mengetahuinya benar-benar.
Begitu
membaca puisi di atas, kita seperti hanyut di laut, diombang-ambingkan oleh
orkestrasi rasa sang pengarang. Kita tak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya
menggeleng-gelengkan kepala, terangguk-angguk bagai orang bengong dan gila.
Bagaimana aku (lirik) mampu menghanyutkan kita? Bagaimana Tagore mampu
menerjemahkan onggokan demi onggokan rasa yang begitu hebat dalam kata-kata?
Karya
sastra yang lahir dari permenungan mendalam akan menyentil hati nurani
publiknya. Pengarang tidak perlu mengumbar ungkapan di depan publik “ini lho
karya bagus,” tetapi karya itu sangat jujur. Ia akan berbicara dengan lugas
pada bangunan rasa pembacanya. Sastra yang dahsyat juga akan menerobos
dinding-dinding zaman, melompati waktu, dan tak akan mengalami “tua”. Kapanpun
dan di manapun dibaca, akan selalu sesuai dengan zamannya. Pembaca akan selalu
menafsirkannya dengan berbagai macam perspektif.
Menulis itu
Candu
Menulis
itu memang candu. Ia tak akan memilih tempat dan waktu. Bila panggilan menulis
itu datang, pengarang akan segera menumpahkannya. Marquez De Sade, adalah pengarang
dan filsuf kelahiran Paris Prancis. Tulisan-tulisannya yang beraroma kebebasan,
melawan segala kredo agama dan etika bergaung dari balik jeruji besi penjara.
Ia hidup di rentang tahun 1740-1814.
The
Quills adalah film biografinya yang sangat terkenal. De Sade menguak
libertinisme yang bermuatan perubahan politik dan satire terhadap
pejabat-pejabat Gereja yang munafik dan monarkhi Eropa yang korup. De Sade
menulis manuskripnya dengan tulisan tangan, tanpa mesin ketik apalagi komputer.
Melalui
tulisannya, De Sade berhasil mentertawakan keteraturan, keadilan, situasi
alamiah (state of nature), dan tata sosial yang rapi. Bagi De Sade,
kehidupan yang sebenarnya adalah ketidak beraturan. Banyak manusia membohongi
dirinya sendiri dan bahkan munafik terhadap dirinya sendiri. Ide-ide ini
dianggap membahayakan oleh negara dan Gereja, sehingga semua alat tulis yang
dimiliki De Sade, dirampas oleh para sipir penjara. Pada puncaknya, De Sade
menulis dengan darah dan kotorannya ke dinding penjara.
Tokoh lain yang pernah menulis di penjara adalah
Tan Malaka. Dia adalah salah satu pejuang sejati Indonesia yang sempat di
penjara oleh Belanda. Lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat
1896 ini merupakan sosok penentang kolonialisme yang berjuang selama 30 tahun
tanpa henti, dari Bukit Tinggi, Batavia, Semarang, Yogya, dll. Salah satu judul
bukunya yang ditulis dari balik jeruji Dari Penjara Ke Penjara, 3 jilid.
Dalam buku itu Tan Malaka menulis, “Buku
ini saya namakan dari penjara ke penjara. Memang saya rasa ada hubungannya
antara penjara dan kemerdekaan sejati. Barang siapa yang sunggguh menghendaki
kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas untuk
menderita 'kehilangan kemerdekaan diri sendiri'. Siapa ingin merdeka ia harus
siap dipenjara”.
Semangat kemerdekaan mengalir di aliran
darahnya. Semangat juang meluap lewat aksi-aksinya. Pahit getir perlawanan
terhadap kolonial menyulut rasa kemanusiaannya yang paling subtantif, yakni
kemerdekaan. Tapi ia ingin mengatakan bahwa kemerdekaan itu tidak bisa
didapatkan dengan mudah, apalagi gratis. Bahkan untuk mendapatkan kemerdekaan
sejati, manusia harus bersedia hilang kemerdekaannya atau bahkan mengorbankan
nyawanya.***
Sumber Gambar: http://www.promojateng-pemprovjateng.com/fotopromo/1023695830waduksempor.jpg
[1] Makalah
ini disampaikan di Kampus STAINU Kebumen, Sabtu 14 Maret 2015
0 comments :
Post a Comment