Home » » Pengarang Itu “tuhan kecil”

Pengarang Itu “tuhan kecil”

Diposkan oleh damar pada Sunday, March 15, 2015 | 11:58 PM

http://www.promojateng-pemprovjateng.com/fotopromo/1023695830waduksempor.jpg

Puisi adalah puncak pencapaian derita penyair (Octivio Pazz)

Para pengarang, diyakini sebagai “tuhan kecil” yang mampu meniupkan ruh pada kata-kata yang mereka cipta. Lalu kata-kata itu memiliki batinnya sendiri yang mengungkap realitas psikis pengarang dan realitas masyarakat yang kemudian menciptakan perubahan, baik bagi diri sang pengarang maupun perubahan di sektor sosial, politik, pendidikan, ekonomi, dan budaya. Itulah sebabnya mengapa tuhan kecil harus hidup di setiap napas ciptaannya.

Demi kata-kata, pengarang  merelakan diri bertaruh meski remuk redam, meski harus termangu di segala ngilu, kata Chairil. Dan kata-kata serupa makhluk hidup yang menggeliat menyampaikan seabrek nilai (values) kepada publiknya dengan cara simbolik atau sarkastik, untuk menyentil segala sesuatu yang “menyimpang” (Herbert Meed:1994:87).
Pengarang mampu merasakan yang tidak pas pada tempatnya, termasuk berjuang memilih kata yang sesuai, sehingga nilai-nilai dalam kata-kata tidak terdistorsi maknanya. Itulah sebabnya kita yakini bahwa kata-kata yang dicipta oleh para pengarang tidak turun dari ruang kosong dan hampa.
Kata, ungkap Octavio Pazz, penerima Nobel Award for Leteratur 1990--suku kata, kelompok kata/ adalah bintang-bintang yang berputar menuju pusat abadi, dan tahukah kalian bintang-bintang yang berputar menuju pusat abadi itu? Adalah letupan batin sang pengarang yang menyuarakan senyum, tangis, luka, cinta, benci, duka, nestapa, bahagia, dan seterusnya. Kata-kata dan suku kata itu menelusup di relung pembacanya, meriuhkan getar dalam jiwa.

Orkertrasi Jiwa Pengarang
Karya sastra tidak sekedar berupa kerajinan kata-kata, melainkan hal ihwal orkestrasi jiwa pengarang dalam merespons diri dan lingkungannya. Alam di luar dirinya adalah metafora yang dapat mewakili semesta jiwanya yang akan menyampaikan seabrek pesan kepada publik pembacanya. Dalam jiwa pengarang ada musik, suara, bunyi, dan tarian yang berkelindan untuk memaknai lingkungannya, lalu diungkapkan menjadi karya sastra yang diyakini dapat mengubah dunia.
Permenungan yang mendalam atas realitas kehidupan itulah yang akan memantik percikan puitik ke dalam rasa. Kata-kata yang keluar bukan sekedar kata-kata biasa dan sederhana, tetapi kata-kata yang terus bernyawa melampaui zamannya, tidak sekedar aku ingin hidup seribu tahun lagi sebagaimana yang diraungkan Chairil Anwar. Melainkan kata-kata itu akan terus hidup dalam pikiran dan jiwa pembacanya meskipun pengarangnya sudah lama “mati”. Lihatlah berikut ini puisi dahsyat karya Rabindranath Tagore, penerima penghargaan Nobel Sastra pada tahun 1915 yang berjudul “Tukang Kebun”:
Matamu yang mengandung tanya itu duka. Ia mencari-cari hendak mengetahui isi hatiku bagai bulan hendak menduga laut.
Telah kusingkapkan hidupku seluruhnya di muka matamu, tak ada lagi yang tersembunyi atau tertahan. Itulah sebabnya mengapa tak kau tahu aku.
Jika hidupku hanya sebuah permata, akan dapat kupecahkan jadi seratus keping dan kurangkai jadi seutas rantai untuk kukalungkan di lehermu.
Jika ia hanya sekuntum bunga, bundar dan kecil dan indah, akan dapat kupetik dari batangnya untuk kusematkan di rambutmu.
Tapi ia adalah hati, kekasihku. Di manakah pantai dan dasarnya?
Kau tak tahu batas-batas kerajaan ini, selama kau jadi ratunya.
Jika ia hanya sejenak kesenangan, ia akan mengembang jadi senyuman ringan, dan akan dapat kau lihat dan kau baca dalam sekejap.
Jika ia semata-mata hanya kepedihan, ia akan mencerna menjadi air mata bening mengaca, membiaskan rahasianya yang terdalam tanpa kata.
Tapi ia adalah cinta, kekasihku.
Kesenangan dan kepedihannya tak terbatas, dan tak ada akhirnya kepapaan dan kemewahannya.
Ia dekat padamu seperti hidupmu sendiri, tetapi kau tak pernah dapat mengetahuinya benar-benar.
Begitu membaca puisi di atas, kita seperti hanyut di laut, diombang-ambingkan oleh orkestrasi rasa sang pengarang. Kita tak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya menggeleng-gelengkan kepala, terangguk-angguk bagai orang bengong dan gila. Bagaimana aku (lirik) mampu menghanyutkan kita? Bagaimana Tagore mampu menerjemahkan onggokan demi onggokan rasa yang begitu hebat dalam kata-kata?
Karya sastra yang lahir dari permenungan mendalam akan menyentil hati nurani publiknya. Pengarang tidak perlu mengumbar ungkapan di depan publik “ini lho karya bagus,” tetapi karya itu sangat jujur. Ia akan berbicara dengan lugas pada bangunan rasa pembacanya. Sastra yang dahsyat juga akan menerobos dinding-dinding zaman, melompati waktu, dan tak akan mengalami “tua”. Kapanpun dan di manapun dibaca, akan selalu sesuai dengan zamannya. Pembaca akan selalu menafsirkannya dengan berbagai macam perspektif.

Menulis itu Candu
Menulis itu memang candu. Ia tak akan memilih tempat dan waktu. Bila panggilan menulis itu datang, pengarang akan segera menumpahkannya. Marquez De Sade, adalah pengarang dan filsuf kelahiran Paris Prancis. Tulisan-tulisannya yang beraroma kebebasan, melawan segala kredo agama dan etika bergaung dari balik jeruji besi penjara. Ia hidup di rentang tahun 1740-1814.
The Quills adalah film biografinya yang sangat terkenal. De Sade menguak libertinisme yang bermuatan perubahan politik dan satire terhadap pejabat-pejabat Gereja yang munafik dan monarkhi Eropa yang korup. De Sade menulis manuskripnya dengan tulisan tangan, tanpa mesin ketik apalagi komputer.
Melalui tulisannya, De Sade berhasil mentertawakan keteraturan, keadilan, situasi alamiah (state of nature), dan tata sosial yang rapi. Bagi De Sade, kehidupan yang sebenarnya adalah ketidak beraturan. Banyak manusia membohongi dirinya sendiri dan bahkan munafik terhadap dirinya sendiri. Ide-ide ini dianggap membahayakan oleh negara dan Gereja, sehingga semua alat tulis yang dimiliki De Sade, dirampas oleh para sipir penjara. Pada puncaknya, De Sade menulis dengan darah dan kotorannya ke dinding penjara.
Tokoh lain yang pernah menulis di penjara adalah Tan Malaka. Dia adalah salah satu pejuang sejati Indonesia yang sempat di penjara oleh Belanda. Lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat 1896 ini merupakan sosok penentang kolonialisme yang berjuang selama 30 tahun tanpa henti, dari Bukit Tinggi, Batavia, Semarang, Yogya, dll. Salah satu judul bukunya yang ditulis dari balik jeruji Dari Penjara Ke Penjara, 3 jilid.
Dalam buku itu Tan Malaka menulis, “Buku ini saya namakan dari penjara ke penjara. Memang saya rasa ada hubungannya antara penjara dan kemerdekaan sejati. Barang siapa yang sunggguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap sedia dan ikhlas untuk menderita 'kehilangan kemerdekaan diri sendiri'. Siapa ingin merdeka ia harus siap dipenjara”.
Semangat kemerdekaan mengalir di aliran darahnya. Semangat juang meluap lewat aksi-aksinya. Pahit getir perlawanan terhadap kolonial menyulut rasa kemanusiaannya yang paling subtantif, yakni kemerdekaan. Tapi ia ingin mengatakan bahwa kemerdekaan itu tidak bisa didapatkan dengan mudah, apalagi gratis. Bahkan untuk mendapatkan kemerdekaan sejati, manusia harus bersedia hilang kemerdekaannya atau bahkan mengorbankan nyawanya.***



Sumber Gambar: http://www.promojateng-pemprovjateng.com/fotopromo/1023695830waduksempor.jpg

[1] Makalah ini disampaikan di Kampus STAINU Kebumen, Sabtu 14 Maret 2015



Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment