Home » » Sepasang Sapi Merah Dari Taman Sare

Sepasang Sapi Merah Dari Taman Sare

Diposkan oleh damar pada Saturday, March 21, 2015 | 11:39 PM




https://jawatimuran.files.wordpress.com/2012/01/sape-sonok007.jpg

Sapi-sapi dihela menuju halaman. Orang-orang berseragam membawa peralatan tabuhan melangkah dengan wajah legam bergaram, mata mereka menyalak asin. Menyorot orang-orang yang berdatangan. Mereka memanggul gong, gendang dan saronen[1]. Lagu-lagu dangdut, sesekali lagu dhinggendhingan[2] berdentang dari sebuah loudspeaker Toa, pertanda sapi-sapi merah indah siap bermain di tanah bertuan. Di tengah lapangan, Surahbi memasang bambu hijau: bambu pemisah lapangan menjadi dua baris dan mengubur selembar keratan kayu di ujung barat, yang akan dipijak sapi-sapi indah setelah tiba di ujung. Sayadi memperbaiki pagar kanan dan kiri agar para pengunjung tidak menyentuh, lebih-lebih mendekati sapi-sapi.

Aku, sapi yang dijuluki ‘Ratu’ dan pasanganku dijuluki ‘Angin’ telah bertandang di lapangan. Ya, orang-orang yang sering nonton lomba sapi-sapi indah pasti mengenal kami: ‘Ratu Angin’. Kata Suahmo (tuanku), ia memberiku nama ‘Ratu’ karena wajahku cantik mirip ratu, buluku halus-merah, mataku purnama, pantatku besar, betisku ramping dan setiap goyanganku mengiringi tabuhan begitu gemulai. Begitu pula pasanganku, ia diberi nama ‘Angin’ karena lembut, tatapannya berdesir di dada, bisa menggesek perhatian penonton dengan goyangannya dan lenggok kepalanya. Selain itu tanduknya bagai menyorong rembulan. Sudah bertahun-tahun kami mengikuti kehendak sang tuan, diangkut dengan truk, diiring puluhan orang dan penabuh gendang beserta saronennya.
Sungguh aku sudah bosan menjadi tontonan ratusan mata yang meliang, diarak orang-orang berjoget di belakang hanya untuk hiburan, ya, lebih-lebih bagi sapi yang bagus, harganya bakalan melejit. Meski tuanku selalu memberiku rumput-rumput hijau segar, sprite dan puluhan telor, dimandikan setiap pagi dan diberi minum madu kental bau kemangi, aku tetap ingin bebas di hutan, aku ingin lari sekehendakku, ingin bercinta di bawah pohon, menuruni lembah-lembah dan menaiki bukit-bukit. Tapi aku tak kuasa. Tuan Suahmo menusuk hidungku dengan jarum besar, ia memasangkan tali kendali, aku ditali di sebuah kandang yang terbuat dari pohon kelapa, beratap genteng dan dindingnya terbuat dari bambu yang dianggit rapi. Aku tak bisa bergerak, terkecuali berdiri untuk makan, minum dan tidur. Karena itu, aku selalu tidur beralas kayu, pesing kencing dan taiku sendiri.
Aku pun tak kuasa melepaskan diri. Pernah suatu waktu, aku menerjang tuanku dengan kaki belakang, sang tuan pun terpelanting, ia bangun dan memukulku dengan cemeti menjalin dengan amat keras. Pantatku balur memar nyaris luka bersumbu darah. Perih. Meski merintih dengan pekikan kesakitan dan air bening mengalir dari mataku, ia tak henti memukulku. Entahlah! Apakah aku harus menyesali menjadi sapi merah indah? Apakah aku harus membanting-bantingkan kepalaku ke cagak kandang agar memar dan temali yang melingkar di leher menjeratku dan setelah itu aku mati? Bantulah aku menemukan jalan keluar.
Sampeyan-sampeeyan! Para pemilik sapi-sapi diharap mempersiapkan. Sebentar lagi lotrengan[3] akan dimulai,” suara lantang dari Toa yang ditaruh di atas pohon jati. Orang-orang semakin berdatangan menyesaki luar pagar bambu: Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak, kakek-kakek. Suahmo mengusap punggungku, senyumnya mengelupas dari bibirnya yang berkumis seolah-olah di matanya tergambar kemenangan yang membanggakan. Ia membetulkan kopyah hitamnya yang tinggi “Bawa kesini, Mahdawi! Mat Kasan!”. Lelaki bercelana lusuh dengan rambut berombak itu membawa air kembang bercampur pandan, kemudian menjulurkan pada Suahmo. Mat Kasan, menarik pasanganku ‘Angin’. Mat Kasan menjulurkan temali kendali pada Mahdawi. Kemudian Suahmo menyiramkan air kembang ke punggung kami. Kami berdiri di hadapan ribuan pandang bagai sepasang penganten yang mengedipkan mata ke ambang.
Mat Kasan kembali dengan membawa palung berwarna keemasan, di tengah-tengah palung itu terdapat bunga-bungaan yang terbuat dari plastik kelap-kelip. Mengkilau. Di tangannya cungkup kecil untuk tanduk kami, tentu saja cungkup berwarna perak. Temali dari hidung dan leher kami melilit ke belakang. Palung dipasang di atas leher. Para penabuh gendang dan peniup saronen sudah berbanjar di belakang. Berseragam. Sementara sapi-sapi yang lain sudah mulai mendekat, diarak sang tuan dan para pengiring yang lain. Kami masih menunggu panggilan, sesuai nomor urut yang telah diambil oleh sang tuan. Kali ini nomor empat adalah nomor urut kami. Kali ini kami akan bersanding melawan sapi-sapi Ronggolawi yang dimiliki oleh Misuhri. Nomor urut satu dan dua sudah dimulai, mereka pada bersiap-siap di garis pemberangkatan, diiring puluhan orang dan para penabuh gendang yang menari di belakang.
Tiga orang juragan sapi telah datang dan duduk di ujung lapangan. Matnasu, Sahrayu dan Haji Amrin Ra’uf terlihat di dekat lapangan. Tiga lelaki itu adalah tiga orang yang dapat menentukan harga kami. Tiga orang itu pula adalah orang-orang ber-uang di daerah kami. Mereka selalu membeli sapi-sapi indah yang dipandangnya bagus dengan harga yang sangat tinggi. Senyum mereka tiris penuh sinis. Mereka tampak berwibawa di hadapan tuan-tuan pemilik sapi-sapi indah. Seolah tanpa kehadiran tiga orang itu, kami tak lagi berharga. Tuan Suahmo dan tuan-tuan sapi yang lain menyalami dengan punggung membungkuk menghormati. Setelah itu mereka kembali ke dekat sapi-sapi.   
***
Waktu berlaga jatuh di nomor kami. Mata-mata bersemi di lapangan terbuka. Giliran kami berjejal di dekat garis pemberangkatan. Kami digiring. Di belakang kami, tuan Suahmo memanggul anaknya yang berumur sepuluh tahun. Ia memegang tali kendali. Mahdawi berdiri di samping Suahmo. Di belakang mereka, Subina (istri Suahmo), Matrakib, Mas’ad, Ruswan, Ruhan dan Rukib. Para penabuh gendang dan peniup saronen berbaris berbanjar dua-dua. Orang-orang yang meliang di samping pada memandang ke arah kami. Kami bersiap-siap mendengarkan setiap aba-aba yang lantang dari arah loudspiker. Kaki kami terasa ringkih untuk melangkah, meliukkan pinggul dan punggung. Menapakkan kaki di tanah kerontang.
“Sudah siap?”
Siaaaaap!
Kami terus bersiap. Temali kendali dikencangkan. Orang-orang di belakang siap menabuh dan menari mengiringi kami, ya, mengiringi sapi-sapi indah ‘Ratu Angin’ dan ‘Ronggolawi’. Orang-orang bersorak. Teriak mendapak udara yang pengap. Debu-debu berhambur karena geliat kaki-kaki yang mendapak di luar lapangan. Seorang lelaki memegang bendera berdiri di hadapan kami. Celananya komprang hitam, dengan celurit memanggul di punggung. Lelaki memegang bendera itu menoleh ke arah kami, ke arah sapi-sapi di samping kiri kami. Sepasang sapi yang berdiri di samping kiri kami adalah sapi-sapi dari desa tetangga. Sapi gemuk tetapi tidak terlalu tinggi. Sesekali sapi-sapi di samping kami menoleh ke arah kami. Mulutnya menganga. Matanya bergambar debar. Lelaki yang bertopi hitam mirip koboy itu mengangkat benderanya, pertanda laga sudah dimulai.  
Tabuhan gendang berdentam, kami tetap diam meski suara tiupan saronen meliuk di udara. Kepala tuan Suahmo lenggak-lenggok menikmati. Seutas cemeti yang terbuat dari menjalin mendarat di pantat kami. Pyarrrrr! Seolah tanpa beban berkelindan. Tuan Suahmo melayangkan lagi dengan mata terpejam penuh kesenangan. Sabetan menyela diantara bunyi tabuhan, bagai meregang cahaya tipis di kulit kami. Pyarrrr!! Kami bergoyang pelan dan halus, mengikuti iringan saronen. Orang-orang di belakang kami berjoget: Suahmo meliukkan tangannya mirip sinden, ia bersanding istrinya yang juga menari, mengikuti kami “Uuuaaahhhhaaaaa!!!” memekik dari mulut Mahdawi yang gembira. Di belakang mereka, Matrakib, Mas’ad, Ruswan, Ruhan dan Rukib juga menari, seolah di mata mereka mencerminkan kemenangan dalam berlaga. Orang-orang di luar pagar pada gempita, pandangan mereka semakin lekat ke arah kami.
“Ratu Angin! Ayo terus. Teruuuuussss!!” para pendukung kami memekik di luar garis bambu.
“Hidup Ronggolawiiiii!” Pendukung sapi Ronggolawi di kanan kiri kami berteriak. Urakan.
Kami terus berjoget. Melangkahkan kaki pelan-pelan. Liukan tubuh semakin lincah. Tentu saja tuan Suahmo dan para pengiringnya ingin membuat penonton berkesan bahwa kami adalah satu-satunya sapi yang dapat berjoget dengan sangat halus. Dapat melangkah mengikuti tabuhan dengan sangat baik “Hei! Jaga tanganmu!” Suahmo menepis orang yang ingin meraba punggung kami. Ya, mungkin saja mereka gemes melihat kami yang berbulu merah indah, berjoget santun, melangkah pelan-pelan sesuai tabuhan-tabuhan yang berdentam. Tuan Suahmo kembali khusyuk berjoget. Pandangannya mantap ke depan. Anaknya yang dipanggul juga meliukkan punggungnya. Kami melewati garis tengah.
Teruuussss!” teriak Haji Amrin Ra’uf yang berdiri di luar pagar. “Ratu Angin! Ayo terus bergoyang!” bergeliat dari mulutnya.
“Sapi buruk!!” umpat-umpat terdengar di luar. Nampaknya orang-orang di belakang kami tak terlalu memperhatikan.
Berbeda dengan Sahrayu dan Matnasu, Haji Amrin Ra’uf tidak duduk di tempat duduk yang telah disediakan di ujung. Ia lebih suka mondar-mandir memperhatikan sapi-sapi dari berbagai Arah. Sementara sorot mata Sahrayu dan Matnasu terlihat lekang di ujung, di dekat kerat kayu yang menyembul di tanah. Kaki Matnasu terlihat bergerak-gerak menikmati gendang. Asap menyembul dari mulutnya. Keduanya tetap dingin. Sahrayu sedikit mencibir. Apakah ia mencibir ke arahku atau arah Ronggolawi? Tak dapat dipastikan.
Kami masih melangkah dalam liukan bunyi tabuhan. Orang-orang di belakang kami menyanyi dengan lagu Madura, tentu saja nyanyian berisi tentang pujian-pujian pada kami:
Ka Kangian melle ajam kalkul
Ekiba’a ka gheddungan
Rato angin paleng unggul
E are samangken tada’ tandingan.
Bersama-sama. Tarian makin menggila. Pekikan mulut disumpal kata-kata yang gembira. Sebentar lagi kami tiba di ujung. Mata Sahrayu dan Matnasu makin jelas melotot ke arah kami. Suahmo mengendorkan temali kendali. Tabuhan makin keras.
“Satu!”  rupanya orang-orang di luar pagar ikut berjoget dan kini menghitung langkah kami yang hampir sampai di ujung, di kerat kayu pembatas.
“Dua!”
“Tiga!”
Tibalah kami di ujung. Kami berpijak di atas kerat kayu yang menyembul di tanah. Kami diam. Kemudian aku dengan sengaja menurunkan kakiku. Tak bergerak. Ya, kakiku terus berpijak di tanah. Aku sengaja tak menaikkan kakiku lagi ke atas kerat kayu. Haji Amrin Ra’uf terngiang melihat kakiku. Wajahnya padam seketika. Sahrayu senyum menyepelekan. Sementara Mahdawi, tuan Suahmo, Subina, Rukib, Ruhan, Ruswan dan Matrakib terlihat berwajah masam dan kusam. Kecewa. Sebab menurut orang-orang di kampung kami, bagi sapi-sapi merah indah yang diikutkan lotrengan, dikategorikan sebagai sapi bagus dan mahal, apabila kakinya berpijak saat tiba di puncak batas, tiba di kerat kayu yang menyembul di tanah. Selain itu, sapi itu gemuk, tinggi besar dan pantatnya terlihat semok.

http://i.ytimg.com/vi/ABy6JlwuXUs/maxresdefault.jpg

Kaki-kaki sapi-sapi Ronggolawi masih terlihat berpijak di atas kerat kayu, seolah tak bergerak, seolah seperti patung. Wajah Misuhri berdebar bergambar bahagia. Wajah Sahema berkaca-kaca. Senyum terkulum di bibirnya yang merah anggur anggun. Kemudian seorang anak bernama Yusqi melangkah ke depan kami dan seorang lelaki memakai celana komprang hitam dengan baju lusuh berwarna kusam menjulurkan sebuah mic. Ia menerima mic itu dan memandang pada Suahmo. Ia mengucapkan salam pada ratusan tubuh yang meliang di luar pagar. Ia berpantun dengan tubuh berjibaku :
Pangarana ta’ ka kolpoa
Melle eddus  e ka badda’a odang
Pangarana ta’ nompoa
Sakeng todus kare e undang.
Larik-larik kata menggeliat di udara, sorai orang-orang yang menonton menyesaki suasana. Orang-orang yang mendukung kami pada terdiam. Tak ada kata melejit dari mulut mereka. Tak ada teriakan-teriakan. Orang-orang di kanan kiri mengelu-elukan seolah menyambut menyebut nama ‘Ronggolawi’, seolah menebar ribuan debar bergetar. Jantung berdetak hingar bingar. Tiga orang juragan melotot ke arah kami. Asap masih mengepul dari bibirnya yang terkulum. Di hadapan Matnasu ditaruh rokok Dji Sam Soe, di hadapan Sahrayu rokok Gudang Garam Surya, di hadapan Haji Amrin Ra’uf rokok 76. Mata mereka memperhatikan tubuh kami, tepatnya kaki-kaki kami. Ya, Sahrayu tersenyum ketika melihat kakiku di tanah. Sesekali memandang ke arah tuan Suahmo yang merengut sinis. Sementara kaki-kaki sapi Ronggolawi masih berpijak di atas selembar kayu. Menunggu jerat harga berpagut di udara.
Lelaki berpakaian hitam komprang itu menerima mic yang dijulurkan oleh Yusqi. Misuhri, pemilik Ronggolawi didampingi Sahema (istrinya) berdiri di depan kanan para juragan. Ia tetap menampakkan muka bahagia. Tak tersirat gelap mata. Suahmo dan para pengiring yang lain berdiri di depan sebelah kiri para juragan, tepatnya di depan kami. Wajah mereka masih hitam padam. Ia berhadapan dengan tiga orang juragan. Tubuhnya membungkuk dan kepalanya menunduk seolah menghormati. Apakah Suahmo menunduk dan membungkuk agar mereka menawar kami dengan harga mahal? Atau ia bersopan santun pada mereka? Atau ia menunduk karena menahan malu tersebab kakiku berpijak di tanah? Entahlah! Kemudian Mahruwi berbisik pada Misuhri. Dan terlihat Mahruwi mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Misuhri berbicara di dekat daun telinganya. Suahmo cemburu. Ia memelototi dua orang itu.
“Para juragan dan para penonton yang budiman” Mahruwi memberikan pengantar untuk penawaran sapi-sapi. Tentu saja dengan bahasa Madura asli. Orang-orang yang ada di luar pagar terdiam. Matanya tertanam menyorot ke arah kami “dalam lotrengan kali ini, tiga juragan akan menaksir harga yang pantas untuk sapi-sapi. Akan menawar sapi-sapi indah berbulu merah” Sepi. Angin seolah tak bertiup lagi “sang tuan telah mempersilahkan pada para juragan untuk menawar sapi-sapi. Ya, sapi-sapi yang mendapat julukan Ratu Angin dan Ronggolawi” lelaki itu melepas topi, menggaruk kepalanya, kemudian memasangnya lagi “untuk yang pertama, saya persilahkan pada Sahrayu, untuk memberikan penawaran pada Ronggolawi, harga paling rendah dari tuan Misuhri adalah lima puluh lima juta rupiah,” lelaki itu melangkah ke dekat para juragan. Ia menjulurkan mic ke dekat mulut Sahrayu.
“Enam puluh juta!” kalimat-kalimat menggeliat dari arah Toa.
Huuuuuuuuuuuu!” suara orang-orang yang ada di luar pagar. Mereka saling pandang. Sebagian yang lain saling berbisik.
Yah, ternyata juragan Sahrayu memberikan harga enam puluh juta. Sebuah harga yang menggiurkan, saudara-saudara! Selanjutnya kita beralih pada Haji Amrin Ra’uf!” Mahruwi melanjutkan. Lelaki berkumis tebal dengan rokok di tangan itu melotot. Lelaki yang berkopyah putih lusuh itu mencibir seolah menyepelekan.
“Enam puluh tiga juta!”
Wah! Enam puluh tiga juta. Tiga juta lebih tinggi dari penawaran Sahrayu. Saudara-saudara, selanjutnya mari kita dengarkan penawaran dari juragan Matnasu,”
“Tujuh puluh juta!”
“Hidup Ronggolawi!” suara menyeka dari luar pagar “Sapi buruk!” menyela suara yang lain. Misuhri menoleh ke arah kanan, ke arah yang mengoceh, seolah-olah mencari suara itu. Matanya merah menyalakan kebencian. Namun ia tetap berusaha tenang.   
“Bagaimana juragan Sahrayu? Ada kenaikan?”
“Tujuh puluh lima juta!”
Wajah tuan Suahmo tampak semakin legam. Ia takut harga kami lebih rendah dibanding harga Ronggolawi. Ia akan merasa malu pada semua orang yang hadir. Ia khawatir karena sebelum lotrengan di tempat ini, kami diikutkan dalam lotrengan di luar kota, tepatnya di kota Sumenep, ketika itu harga kami sangat melambung tinggi.
“Juragan Haji Amrin Ra’uf, ada tambahan?”
“Delapan puluh juta!”
He He!” gelak Mahruwi meledak di udara “Penawaran yang sangat menarik, saudara-saudara!” orang-orang di luar semakin ramai terngiang penawaran yang tinggi.
“Bagaimana dengan juragan Matnasu?”
“Sembilan puluh juta!”
Huuuuuuuuuuuuuuuu!!!!!” sorak sorai di luar pagar kembali bergelegar.
“Ada yang lebih tinggi lagi?”
“Juragan Haji Amrin Ra’uf?”
“Ndak!” Menggeleng.
“Juragan Sahrayu?”
“Seratus sepuluh juta!”
“Ada yang lebih tinggi dari seratus sepuluh juta?”Tak ada yang menyahut. Dua juragan yang lain bergeming. Pertanda penawaran yang lain sudah tak bisa melampaui lagi. Mahruwi menghadap orang-orang yang berdiri di luar pagar “Saudara-saudara, inilah tuan Sahrayu. Juragan kaya yang berani menawar sapi Ronggolawi dengan harga seratus sepuluh juta,” Sahrayu menyedot rokoknya, ia memain-mainkan asap rokok dari mulutnya. Bahunya sedikit mengangkat dan ia masih sinis “Sebuah harga yang amat sangat menggiurkan untuk tahun ini”. Wajah tuan Suahmo menjadi pucat. Ia terus menunduk, sama sekali tak berani melihat ke arah pagar, ke arah orang-orang yang meliang. Apalagi menatap ke arah Misuhri. Para pengiring yang lain mencoba menenangkan tuan Suahmo. Tuan Suahmo memandang geram ke arahku. Aku menoleh keluar.
Sementara selanjutnya adalah penawaran pada kami. Tuan Suahmo mematok harga enam puluh juta untuk kami. Mahruwi mempersilahkan para juragan untuk menawar. Mahdawi terlihat amat gelisah, bahunya terlihat bergerak-gerak dan sesekali memperbaiki krah bajunya.
“Enam puluh lima juta!” Haji Amrin Ra’uf menawar dengan penuh bangga
Ha! Ha! Ha!” tawa meledak di luar pagar.
Giliran Sahrayu untuk menawar. Menggeleng. Ia tak memberi penawaran. Tuan Suahmo semakin geram. Apakah diantara mereka kerja sama sebelum tiba di lapangan? Atau jangan-jangan Misuhri melakukan trik di luar untuk menjatuhkan kami—mungkin begitulah yang dipikirkan tuan Suahmo.
“Juragan Matnasu bisa menawar?”
“Tujuh puluh juta!”
“Delapan puluh juta!” Haji Amrin Ra’uf penuh semangat.
“Ada yang lebih tinggi?”
Tak ada yang menyahut. Mereka saling pandang. Sesekali juragan Sahrayu melihat pada orang-orang yang berdesakan di luar pagar. Sepi. Tak ada suara menyela kali ini. Muka tuan Suahmo semakin pucat. Mungkin dadanya terasa mampat. Sapi-sapi yang dibawanya kali ini tak dapat meregang harga yang tinggi. Mungkin saja tuan Suahmo berpikir bahwa kami kali ini sangat memalukan. Aha! Tabuhan kembali berbunyi. Kami digiring ke luar pagar. Tuan Suahmo kembali memegang temali kendali. Kepalanya menggeleng-geleng, tatapannya lurus ke depan bagai melamun. Cemeti hinggap lagi di pantat kami. Pyarrr!!! Terperanjat. Terngiang perih menindih. Sorak sorai bergempita. Kami membawa kekalahan atas rendahnya harga penawaran. Dari sekian sapi-sapi yang diikutkan lotrengan, hingga nomor empat, harga Ronggolawi masih mengungguli. Orang-orang di belakang kami terus menari, suara tabuhan meliuk lagi, nyanyian-nyanyian dilantunkan begitu rupa, wajah-wajah pengiring Ronggolawi menampakkan gembira.
***
Sapi-sapi merah indah peserta lotrengan pada meliang di luar lapangan, ditali di batang-batang pohon. Lagu-lagu dhinggendingan kembali berdentang di kuping. Orang-orang yang menonton pada bersiap-siap pulang, karena lotrengan telah usai. Sebagian diantara mereka masih bercerita tentang kesan-kesan sapi-sapi merah, sebagian yang lain menyanjung-nyanjung sapi-sapi Ronggolawi, karena pada lotrengan kali ini merekalah yang mendapat taksiran harga paling mahal. Tuan Suahmo berdiam di pojok lapangan dengan wajah bertudung mendung, hanya asap dari mulutnya menyembul begitu rupa. Menunduk. Pikirannya terus menerus terdera. Subina dan Yusqi menemani tuan Suahmo yang sedang berkabung.
Tetapi meski kami kalah, kami tetap dihujani pujian. Kata sebagian orang-orang yang menonton, aku adalah sapi merah indah, pantatku besar dan semok, kakiku ramping, tandukku mirip bulan tsabit, mataku bercahaya. Memang pantas bila tuan Suahmo memberiku julukan ‘Ratu’, karena setiap mata yang merantau ke tubuhku akan terpukau tanpa terasa. Begitu pula dengan pasanganku ‘Angin’, sapi bertubuh gemuk, meski lebih pendek dariku. Di bawah bulu matanya seolah terpoles hitam tipis, sebuah polesan yang menurut orang-orang di kampung kami, membuatnya semakin manis. Tanduknya bagai menyorong rembulan. Bila kami melangkah di tengah lapangan, berjoget dengan halus dan sopan ketika mengiringi bunyi tabuhan, kami bagai sepasang penganten yang bertudung cinta dan kasih sayang. Kata mereka, kami memang pasangan yang serasi dalam lotrengan.
Mahdawi sibuk mengusung palung dari samping kanan lapangan, dibawa ke dekat pick up. Mas’ad dan Ruhan mengusung gong besar. Ruhan membawa Seronen. Mat Kasan membawa gendang. Ruswan memikul cagak pemanggul gong yang terbuat dari kayu. Sementara orang-orang yang berseragam berjalan dengan tangan kosong, keringat melerai di sekujur tubuh mereka.
Kemudian tuan Suahmo berdiri, ia melangkah diikuti Subina dan anaknya. Mereka mendekati kami.  Wajah tuan Suahmo tampak lelah. Apakah karena kalah? Atau ia lelah karena menari di tengah lapangan? Entahlah! Ia membuka temali kendali yang terikat di pohon. Ia menjulurkan temali kendali yang merumbai di leher ‘Angin’ pada istrinya. Sedangkan temali kendali yang merekat di leherku dipegangnya sendiri. Keduanya menghela kami ke luar. Kami akan dibawa pulang. Orang-orang yang berkelompok-kelompok pelan-pelan bubar dengan penuh kegembiraan. Mereka melangkah meregang kenangan-kenangan yang berdebar.
Sementara kakiku kaku. Tatapan mataku buram. Aku diam. Aku tak mau dinaikkan ke pick up. Sebab bagiku, kepulangan adalah sesuatu yang mencelakakan. Kepulangan adalah ancaman, apalagi kami kalah dalam lotrengan. Pyaarrrr!!! Sebuah cemeti melayang di pantatku. Berkali-kali. Balur. Aku tetap diam di situ. ‘Angin’ menoleh ke arahku. Di matanya terlihat gerimis turun, seolah merasa kasihan. Tuan Suahmo mengeram kebencian.  
Tidak. Aku tidak ingin pulang. Aku yakin, tuan Suahmo akan memukulku di rumah hingga aku memekik di gedek kandang. Ia akan balas dendam atas kekalahan. Tuan Suahmo pindah ke depanku. Menarik sekuat tenaga. Kakiku semakin kuat mencengkeram di tanah. “Mahdawi! Ke sini!” membentak. Alisnya mengkerut. Mahdawi segera mendekat “Gara-gara kalian yang ndak aktif dalam latihan. Kalau begini?” matanya melotot bagai kelereng. Mahdawi tak menyahut. Pyaarrr!! Tuan Suahmo menyabet punggungku lagi dengan cemeti, kemudian ia segera pergi, meminta temali Angin yang dipegang istrinya. Ia membawa Angin ke dekat pick up. Ia dinaikkan.  
Mahdawi berusaha membujukku dengan temali yang dipegangnya. Aku tidak memperhatikan. Cemeti kembali melayang di pantatku. Meski sakit melekat di kulit. Aku tetap berusaha untuk bertahan. Aku ingin bebas. Aku ingin berjalan ke hutan, merasakan sejuk angin bukit, menuruni lembah-lembah, bercinta di bawah pohon yang rindang. Muka Tuan Suahmo semakin geram, semakin seram. Mat Kasan, Mas’ad dan Ruhan mendekati kami, bermaksud membantu Mahdawi. Mereka mengikatku dengan tampar. Lalu empat orang itu mengusungku. Mahdawi di kaki kanan depan. Mas’ad di kaki kiri depan. Mat Kasan di kaki kanan belakang dan Ruhan di kaki kiri belakang.
Aku tak bisa mengelak. Aku diusung menuju pick up. Aku benar-benar tak bisa bergerak, benar-benar tak bisa menghindar. Aku menyesal menjadi sapi merah indah. Sungguh aku menyesal.***
Yogyakarta/Tang Lebun, 2013


Sumber Gambar 1: https://jawatimuran.files.wordpress.com/2012/01/sape-sonok007.jpg
Sumber Gambar 2: http://i.ytimg.com/vi/ABy6JlwuXUs/maxresdefault.jpg 



[1] Saronen adalah seruling khas Madura
[2] Dhinggendhingan adalah lagu sinden tradisional Madura
[3] Lotrengan adalah kontes sapi (Madura)


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment