Sapi-sapi
dihela menuju halaman. Orang-orang berseragam membawa peralatan tabuhan melangkah
dengan wajah legam bergaram, mata mereka menyalak asin. Menyorot orang-orang
yang berdatangan. Mereka memanggul gong, gendang dan saronen[1].
Lagu-lagu dangdut, sesekali lagu dhinggendhingan[2]
berdentang dari sebuah loudspeaker Toa, pertanda sapi-sapi merah indah
siap bermain di tanah bertuan. Di tengah lapangan, Surahbi memasang bambu hijau:
bambu pemisah lapangan menjadi dua baris dan mengubur selembar keratan kayu di
ujung barat, yang akan dipijak sapi-sapi indah setelah tiba di ujung. Sayadi memperbaiki
pagar kanan dan kiri agar para pengunjung tidak menyentuh, lebih-lebih
mendekati sapi-sapi.
Aku, sapi
yang dijuluki ‘Ratu’ dan pasanganku dijuluki ‘Angin’ telah bertandang di
lapangan. Ya, orang-orang yang sering nonton lomba sapi-sapi indah pasti
mengenal kami: ‘Ratu Angin’. Kata Suahmo (tuanku), ia memberiku nama ‘Ratu’
karena wajahku cantik mirip ratu, buluku halus-merah, mataku purnama, pantatku
besar, betisku ramping dan setiap goyanganku mengiringi tabuhan begitu gemulai.
Begitu pula pasanganku, ia diberi nama ‘Angin’ karena lembut, tatapannya
berdesir di dada, bisa menggesek perhatian penonton dengan goyangannya dan
lenggok kepalanya. Selain itu tanduknya bagai menyorong rembulan. Sudah
bertahun-tahun kami mengikuti kehendak sang tuan, diangkut dengan truk, diiring
puluhan orang dan penabuh gendang beserta saronennya.
Sungguh
aku sudah bosan menjadi tontonan ratusan mata yang meliang, diarak orang-orang
berjoget di belakang hanya untuk hiburan, ya, lebih-lebih bagi sapi yang bagus,
harganya bakalan melejit. Meski tuanku selalu memberiku rumput-rumput hijau
segar, sprite dan puluhan telor, dimandikan setiap pagi dan
diberi minum madu kental bau kemangi, aku tetap ingin bebas di hutan, aku ingin
lari sekehendakku, ingin bercinta di bawah pohon, menuruni lembah-lembah dan
menaiki bukit-bukit. Tapi aku tak kuasa. Tuan Suahmo menusuk hidungku dengan
jarum besar, ia memasangkan tali kendali, aku ditali di sebuah kandang yang
terbuat dari pohon kelapa, beratap genteng dan dindingnya terbuat dari bambu
yang dianggit rapi. Aku tak bisa bergerak, terkecuali berdiri untuk makan,
minum dan tidur. Karena itu, aku selalu tidur beralas kayu, pesing kencing dan taiku
sendiri.
Aku pun
tak kuasa melepaskan diri. Pernah suatu waktu, aku menerjang tuanku dengan kaki
belakang, sang tuan pun terpelanting, ia bangun dan memukulku dengan cemeti
menjalin dengan amat keras. Pantatku balur memar nyaris luka bersumbu darah. Perih.
Meski merintih dengan pekikan kesakitan dan air bening mengalir dari mataku, ia
tak henti memukulku. Entahlah! Apakah aku harus menyesali menjadi sapi merah
indah? Apakah aku harus membanting-bantingkan kepalaku ke cagak kandang agar memar
dan temali yang melingkar di leher menjeratku dan setelah itu aku mati? Bantulah
aku menemukan jalan keluar.
“Sampeyan-sampeeyan!
Para pemilik sapi-sapi diharap mempersiapkan. Sebentar lagi lotrengan[3]
akan dimulai,” suara lantang dari Toa yang ditaruh di atas pohon jati. Orang-orang
semakin berdatangan menyesaki luar pagar bambu: Bapak-bapak, Ibu-ibu, anak-anak,
kakek-kakek. Suahmo mengusap punggungku, senyumnya mengelupas dari bibirnya
yang berkumis seolah-olah di matanya tergambar kemenangan yang membanggakan. Ia
membetulkan kopyah hitamnya yang tinggi “Bawa kesini, Mahdawi! Mat Kasan!”.
Lelaki bercelana lusuh dengan rambut berombak itu membawa air kembang bercampur
pandan, kemudian menjulurkan pada Suahmo. Mat Kasan, menarik pasanganku ‘Angin’.
Mat Kasan menjulurkan temali kendali pada Mahdawi. Kemudian Suahmo menyiramkan
air kembang ke punggung kami. Kami berdiri di hadapan ribuan pandang bagai
sepasang penganten yang mengedipkan mata ke ambang.
Mat Kasan
kembali dengan membawa palung berwarna keemasan, di tengah-tengah palung itu
terdapat bunga-bungaan yang terbuat dari plastik kelap-kelip. Mengkilau. Di
tangannya cungkup kecil untuk tanduk kami, tentu saja cungkup berwarna perak. Temali
dari hidung dan leher kami melilit ke belakang. Palung dipasang di atas leher. Para
penabuh gendang dan peniup saronen sudah berbanjar di belakang. Berseragam. Sementara
sapi-sapi yang lain sudah mulai mendekat, diarak sang tuan dan para pengiring
yang lain. Kami masih menunggu panggilan, sesuai nomor urut yang telah diambil
oleh sang tuan. Kali ini nomor empat adalah nomor urut kami. Kali ini kami akan
bersanding melawan sapi-sapi Ronggolawi yang dimiliki oleh Misuhri. Nomor urut
satu dan dua sudah dimulai, mereka pada bersiap-siap di garis pemberangkatan,
diiring puluhan orang dan para penabuh gendang yang menari di belakang.
Tiga orang
juragan sapi telah datang dan duduk di ujung lapangan. Matnasu, Sahrayu dan
Haji Amrin Ra’uf terlihat di dekat lapangan. Tiga lelaki itu adalah tiga orang
yang dapat menentukan harga kami. Tiga orang itu pula adalah orang-orang
ber-uang di daerah kami. Mereka selalu membeli sapi-sapi indah yang
dipandangnya bagus dengan harga yang sangat tinggi. Senyum mereka tiris penuh sinis.
Mereka tampak berwibawa di hadapan tuan-tuan pemilik sapi-sapi indah. Seolah
tanpa kehadiran tiga orang itu, kami tak lagi berharga. Tuan Suahmo dan
tuan-tuan sapi yang lain menyalami dengan punggung membungkuk menghormati. Setelah
itu mereka kembali ke dekat sapi-sapi.
***
Waktu
berlaga jatuh di nomor kami. Mata-mata bersemi di lapangan terbuka. Giliran
kami berjejal di dekat garis pemberangkatan. Kami digiring. Di belakang kami, tuan
Suahmo memanggul anaknya yang berumur sepuluh tahun. Ia memegang tali kendali. Mahdawi
berdiri di samping Suahmo. Di belakang mereka, Subina (istri Suahmo), Matrakib,
Mas’ad, Ruswan, Ruhan dan Rukib. Para penabuh gendang dan peniup saronen berbaris
berbanjar dua-dua. Orang-orang yang meliang di samping pada memandang ke arah
kami. Kami bersiap-siap mendengarkan setiap aba-aba yang lantang dari arah loudspiker.
Kaki kami terasa ringkih untuk melangkah, meliukkan pinggul dan punggung.
Menapakkan kaki di tanah kerontang.
“Sudah
siap?”
“Siaaaaap!”
Kami terus
bersiap. Temali kendali dikencangkan. Orang-orang di belakang siap menabuh dan
menari mengiringi kami, ya, mengiringi sapi-sapi indah ‘Ratu Angin’ dan
‘Ronggolawi’. Orang-orang bersorak. Teriak mendapak udara yang pengap. Debu-debu
berhambur karena geliat kaki-kaki yang mendapak di luar lapangan. Seorang
lelaki memegang bendera berdiri di hadapan kami. Celananya komprang hitam,
dengan celurit memanggul di punggung. Lelaki memegang bendera itu menoleh ke
arah kami, ke arah sapi-sapi di samping kiri kami. Sepasang sapi yang berdiri
di samping kiri kami adalah sapi-sapi dari desa tetangga. Sapi gemuk tetapi
tidak terlalu tinggi. Sesekali sapi-sapi di samping kami menoleh ke arah kami.
Mulutnya menganga. Matanya bergambar debar. Lelaki yang bertopi hitam mirip koboy
itu mengangkat benderanya, pertanda laga sudah dimulai.
Tabuhan gendang
berdentam, kami tetap diam meski suara tiupan saronen meliuk di udara. Kepala
tuan Suahmo lenggak-lenggok menikmati. Seutas cemeti yang terbuat dari menjalin
mendarat di pantat kami. Pyarrrrr! Seolah tanpa beban berkelindan. Tuan
Suahmo melayangkan lagi dengan mata terpejam penuh kesenangan. Sabetan menyela
diantara bunyi tabuhan, bagai meregang cahaya tipis di kulit kami. Pyarrrr!!
Kami bergoyang pelan dan halus, mengikuti iringan saronen. Orang-orang di
belakang kami berjoget: Suahmo meliukkan tangannya mirip sinden, ia bersanding
istrinya yang juga menari, mengikuti kami “Uuuaaahhhhaaaaa!!!” memekik
dari mulut Mahdawi yang gembira. Di belakang mereka, Matrakib, Mas’ad, Ruswan,
Ruhan dan Rukib juga menari, seolah di mata mereka mencerminkan kemenangan
dalam berlaga. Orang-orang di luar pagar pada gempita, pandangan mereka semakin
lekat ke arah kami.
“Ratu
Angin! Ayo terus. Teruuuuussss!!” para pendukung kami memekik di luar
garis bambu.
“Hidup Ronggolawiiiii!”
Pendukung sapi Ronggolawi di kanan kiri kami berteriak. Urakan.
Kami terus
berjoget. Melangkahkan kaki pelan-pelan. Liukan tubuh semakin lincah. Tentu saja
tuan Suahmo dan para pengiringnya ingin membuat penonton berkesan bahwa kami
adalah satu-satunya sapi yang dapat berjoget dengan sangat halus. Dapat
melangkah mengikuti tabuhan dengan sangat baik “Hei! Jaga tanganmu!” Suahmo
menepis orang yang ingin meraba punggung kami. Ya, mungkin saja mereka gemes
melihat kami yang berbulu merah indah, berjoget santun, melangkah pelan-pelan
sesuai tabuhan-tabuhan yang berdentam. Tuan Suahmo kembali khusyuk berjoget. Pandangannya
mantap ke depan. Anaknya yang dipanggul juga meliukkan punggungnya. Kami
melewati garis tengah.
“Teruuussss!”
teriak Haji Amrin Ra’uf yang berdiri di luar pagar. “Ratu Angin! Ayo terus
bergoyang!” bergeliat dari mulutnya.
“Sapi
buruk!!” umpat-umpat terdengar di luar. Nampaknya orang-orang di belakang kami
tak terlalu memperhatikan.
Berbeda
dengan Sahrayu dan Matnasu, Haji Amrin Ra’uf tidak duduk di tempat duduk yang
telah disediakan di ujung. Ia lebih suka mondar-mandir memperhatikan sapi-sapi
dari berbagai Arah. Sementara sorot mata Sahrayu dan Matnasu terlihat lekang di
ujung, di dekat kerat kayu yang menyembul di tanah. Kaki Matnasu terlihat
bergerak-gerak menikmati gendang. Asap menyembul dari mulutnya. Keduanya tetap
dingin. Sahrayu sedikit mencibir. Apakah ia mencibir ke arahku atau arah
Ronggolawi? Tak dapat dipastikan.
Kami masih
melangkah dalam liukan bunyi tabuhan. Orang-orang di belakang kami menyanyi
dengan lagu Madura, tentu saja nyanyian berisi tentang pujian-pujian pada kami:
Ka Kangian
melle ajam kalkul
Ekiba’a ka
gheddungan
Rato angin
paleng unggul
E are
samangken tada’ tandingan.
Bersama-sama.
Tarian makin menggila. Pekikan mulut disumpal kata-kata yang gembira. Sebentar
lagi kami tiba di ujung. Mata Sahrayu dan Matnasu makin jelas melotot ke arah
kami. Suahmo mengendorkan temali kendali. Tabuhan makin keras.
“Satu!” rupanya orang-orang di luar pagar ikut berjoget
dan kini menghitung langkah kami yang hampir sampai di ujung, di kerat kayu
pembatas.
“Dua!”
“Tiga!”
Tibalah
kami di ujung. Kami berpijak di atas kerat kayu yang menyembul di tanah. Kami
diam. Kemudian aku dengan sengaja menurunkan kakiku. Tak bergerak. Ya, kakiku
terus berpijak di tanah. Aku sengaja tak menaikkan kakiku lagi ke atas kerat
kayu. Haji Amrin Ra’uf terngiang melihat kakiku. Wajahnya padam seketika.
Sahrayu senyum menyepelekan. Sementara Mahdawi, tuan Suahmo, Subina, Rukib,
Ruhan, Ruswan dan Matrakib terlihat berwajah masam dan kusam. Kecewa. Sebab menurut
orang-orang di kampung kami, bagi sapi-sapi merah indah yang diikutkan
lotrengan, dikategorikan sebagai sapi bagus dan mahal, apabila kakinya berpijak
saat tiba di puncak batas, tiba di kerat kayu yang menyembul di tanah. Selain
itu, sapi itu gemuk, tinggi besar dan pantatnya terlihat semok.
Kaki-kaki
sapi-sapi Ronggolawi masih terlihat berpijak di atas kerat kayu, seolah tak
bergerak, seolah seperti patung. Wajah Misuhri berdebar bergambar bahagia.
Wajah Sahema berkaca-kaca. Senyum terkulum di bibirnya yang merah anggur anggun.
Kemudian seorang anak bernama Yusqi melangkah ke depan kami dan seorang lelaki
memakai celana komprang hitam dengan baju lusuh berwarna kusam menjulurkan sebuah
mic. Ia menerima mic itu dan memandang pada Suahmo. Ia mengucapkan salam
pada ratusan tubuh yang meliang di luar pagar. Ia berpantun dengan tubuh
berjibaku :
Pangarana
ta’ ka kolpoa
Melle
eddus e ka badda’a odang
Pangarana
ta’ nompoa
Sakeng
todus kare e undang.
Larik-larik
kata menggeliat di udara, sorai orang-orang yang menonton menyesaki suasana. Orang-orang
yang mendukung kami pada terdiam. Tak ada kata melejit dari mulut mereka. Tak
ada teriakan-teriakan. Orang-orang di kanan kiri mengelu-elukan seolah menyambut
menyebut nama ‘Ronggolawi’, seolah menebar ribuan debar bergetar. Jantung
berdetak hingar bingar. Tiga orang juragan melotot ke arah kami. Asap masih
mengepul dari bibirnya yang terkulum. Di hadapan Matnasu ditaruh rokok Dji Sam
Soe, di hadapan Sahrayu rokok Gudang Garam Surya, di hadapan Haji Amrin Ra’uf
rokok 76. Mata mereka memperhatikan tubuh kami, tepatnya kaki-kaki kami. Ya,
Sahrayu tersenyum ketika melihat kakiku di tanah. Sesekali memandang ke arah
tuan Suahmo yang merengut sinis. Sementara kaki-kaki sapi Ronggolawi masih
berpijak di atas selembar kayu. Menunggu jerat harga berpagut di udara.
Lelaki
berpakaian hitam komprang itu menerima mic yang dijulurkan oleh Yusqi. Misuhri,
pemilik Ronggolawi didampingi Sahema (istrinya) berdiri di depan kanan para
juragan. Ia tetap menampakkan muka bahagia. Tak tersirat gelap mata. Suahmo dan
para pengiring yang lain berdiri di depan sebelah kiri para juragan, tepatnya di
depan kami. Wajah mereka masih hitam padam. Ia berhadapan dengan tiga orang
juragan. Tubuhnya membungkuk dan kepalanya menunduk seolah menghormati. Apakah Suahmo
menunduk dan membungkuk agar mereka menawar kami dengan harga mahal? Atau ia
bersopan santun pada mereka? Atau ia menunduk karena menahan malu tersebab
kakiku berpijak di tanah? Entahlah! Kemudian Mahruwi berbisik pada Misuhri. Dan
terlihat Mahruwi mengangguk-anggukkan kepalanya ketika Misuhri berbicara di
dekat daun telinganya. Suahmo cemburu. Ia memelototi dua orang itu.
“Para
juragan dan para penonton yang budiman” Mahruwi memberikan pengantar untuk penawaran
sapi-sapi. Tentu saja dengan bahasa Madura asli. Orang-orang yang ada di luar
pagar terdiam. Matanya tertanam menyorot ke arah kami “dalam lotrengan kali
ini, tiga juragan akan menaksir harga yang pantas untuk sapi-sapi. Akan menawar
sapi-sapi indah berbulu merah” Sepi. Angin seolah tak bertiup lagi “sang tuan telah
mempersilahkan pada para juragan untuk menawar sapi-sapi. Ya, sapi-sapi yang
mendapat julukan Ratu Angin dan Ronggolawi” lelaki itu melepas topi, menggaruk
kepalanya, kemudian memasangnya lagi “untuk yang pertama, saya persilahkan pada
Sahrayu, untuk memberikan penawaran pada Ronggolawi, harga paling rendah dari
tuan Misuhri adalah lima puluh lima juta rupiah,” lelaki itu melangkah ke dekat
para juragan. Ia menjulurkan mic ke dekat mulut Sahrayu.
“Enam
puluh juta!” kalimat-kalimat menggeliat dari arah Toa.
“Huuuuuuuuuuuu!”
suara orang-orang yang ada di luar pagar. Mereka saling pandang. Sebagian yang
lain saling berbisik.
“Yah,
ternyata juragan Sahrayu memberikan harga enam puluh juta. Sebuah harga yang
menggiurkan, saudara-saudara! Selanjutnya kita beralih pada Haji Amrin Ra’uf!”
Mahruwi melanjutkan. Lelaki berkumis tebal dengan rokok di tangan itu melotot. Lelaki
yang berkopyah putih lusuh itu mencibir seolah menyepelekan.
“Enam
puluh tiga juta!”
“Wah!
Enam puluh tiga juta. Tiga juta lebih tinggi dari penawaran Sahrayu. Saudara-saudara,
selanjutnya mari kita dengarkan penawaran dari juragan Matnasu,”
“Tujuh
puluh juta!”
“Hidup Ronggolawi!”
suara menyeka dari luar pagar “Sapi buruk!” menyela suara yang lain. Misuhri menoleh
ke arah kanan, ke arah yang mengoceh, seolah-olah mencari suara itu. Matanya merah
menyalakan kebencian. Namun ia tetap berusaha tenang.
“Bagaimana
juragan Sahrayu? Ada kenaikan?”
“Tujuh
puluh lima juta!”
Wajah tuan
Suahmo tampak semakin legam. Ia takut harga kami lebih rendah dibanding harga
Ronggolawi. Ia akan merasa malu pada semua orang yang hadir. Ia khawatir karena
sebelum lotrengan di tempat ini, kami diikutkan dalam lotrengan di luar kota,
tepatnya di kota Sumenep, ketika itu harga kami sangat melambung tinggi.
“Juragan Haji
Amrin Ra’uf, ada tambahan?”
“Delapan
puluh juta!”
“He He!”
gelak Mahruwi meledak di udara “Penawaran yang sangat menarik, saudara-saudara!”
orang-orang di luar semakin ramai terngiang penawaran yang tinggi.
“Bagaimana
dengan juragan Matnasu?”
“Sembilan
puluh juta!”
“Huuuuuuuuuuuuuuuu!!!!!”
sorak sorai di luar pagar kembali bergelegar.
“Ada yang
lebih tinggi lagi?”
“Juragan Haji
Amrin Ra’uf?”
“Ndak!” Menggeleng.
“Juragan Sahrayu?”
“Seratus
sepuluh juta!”
“Ada yang
lebih tinggi dari seratus sepuluh juta?”Tak ada yang menyahut. Dua juragan yang
lain bergeming. Pertanda penawaran yang lain sudah tak bisa melampaui lagi. Mahruwi
menghadap orang-orang yang berdiri di luar pagar “Saudara-saudara, inilah tuan
Sahrayu. Juragan kaya yang berani menawar sapi Ronggolawi dengan harga seratus
sepuluh juta,” Sahrayu menyedot rokoknya, ia memain-mainkan asap rokok dari
mulutnya. Bahunya sedikit mengangkat dan ia masih sinis “Sebuah harga yang amat
sangat menggiurkan untuk tahun ini”. Wajah tuan Suahmo menjadi pucat. Ia terus
menunduk, sama sekali tak berani melihat ke arah pagar, ke arah orang-orang
yang meliang. Apalagi menatap ke arah Misuhri. Para pengiring yang lain mencoba
menenangkan tuan Suahmo. Tuan Suahmo memandang geram ke arahku. Aku menoleh
keluar.
Sementara
selanjutnya adalah penawaran pada kami. Tuan Suahmo mematok harga enam puluh
juta untuk kami. Mahruwi mempersilahkan para juragan untuk menawar. Mahdawi
terlihat amat gelisah, bahunya terlihat bergerak-gerak dan sesekali memperbaiki
krah bajunya.
“Enam
puluh lima juta!” Haji Amrin Ra’uf menawar dengan penuh bangga
“Ha!
Ha! Ha!” tawa meledak di luar pagar.
Giliran Sahrayu
untuk menawar. Menggeleng. Ia tak memberi penawaran. Tuan Suahmo semakin geram.
Apakah diantara mereka kerja sama sebelum tiba di lapangan? Atau jangan-jangan
Misuhri melakukan trik di luar untuk menjatuhkan kami—mungkin begitulah yang
dipikirkan tuan Suahmo.
“Juragan
Matnasu bisa menawar?”
“Tujuh
puluh juta!”
“Delapan
puluh juta!” Haji Amrin Ra’uf penuh semangat.
“Ada yang
lebih tinggi?”
Tak ada
yang menyahut. Mereka saling pandang. Sesekali juragan Sahrayu melihat pada
orang-orang yang berdesakan di luar pagar. Sepi. Tak ada suara menyela kali
ini. Muka tuan Suahmo semakin pucat. Mungkin dadanya terasa mampat. Sapi-sapi
yang dibawanya kali ini tak dapat meregang harga yang tinggi. Mungkin saja tuan
Suahmo berpikir bahwa kami kali ini sangat memalukan. Aha! Tabuhan
kembali berbunyi. Kami digiring ke luar pagar. Tuan Suahmo kembali memegang
temali kendali. Kepalanya menggeleng-geleng, tatapannya lurus ke depan bagai
melamun. Cemeti hinggap lagi di pantat kami. Pyarrr!!! Terperanjat.
Terngiang perih menindih. Sorak sorai bergempita. Kami membawa kekalahan atas rendahnya
harga penawaran. Dari sekian sapi-sapi yang diikutkan lotrengan, hingga nomor
empat, harga Ronggolawi masih mengungguli. Orang-orang di belakang kami terus
menari, suara tabuhan meliuk lagi, nyanyian-nyanyian dilantunkan begitu rupa, wajah-wajah
pengiring Ronggolawi menampakkan gembira.
***
Sapi-sapi
merah indah peserta lotrengan pada meliang di luar lapangan, ditali di batang-batang
pohon. Lagu-lagu dhinggendingan kembali berdentang di kuping. Orang-orang
yang menonton pada bersiap-siap pulang, karena lotrengan telah usai. Sebagian
diantara mereka masih bercerita tentang kesan-kesan sapi-sapi merah, sebagian
yang lain menyanjung-nyanjung sapi-sapi Ronggolawi, karena pada lotrengan kali
ini merekalah yang mendapat taksiran harga paling mahal. Tuan Suahmo berdiam di
pojok lapangan dengan wajah bertudung mendung, hanya asap dari mulutnya
menyembul begitu rupa. Menunduk. Pikirannya terus menerus terdera. Subina dan
Yusqi menemani tuan Suahmo yang sedang berkabung.
Tetapi meski
kami kalah, kami tetap dihujani pujian. Kata sebagian orang-orang yang
menonton, aku adalah sapi merah indah, pantatku besar dan semok, kakiku
ramping, tandukku mirip bulan tsabit, mataku bercahaya. Memang pantas bila tuan
Suahmo memberiku julukan ‘Ratu’, karena setiap mata yang merantau ke tubuhku
akan terpukau tanpa terasa. Begitu pula dengan pasanganku ‘Angin’, sapi bertubuh
gemuk, meski lebih pendek dariku. Di bawah bulu matanya seolah terpoles hitam
tipis, sebuah polesan yang menurut orang-orang di kampung kami, membuatnya
semakin manis. Tanduknya bagai menyorong rembulan. Bila kami melangkah di
tengah lapangan, berjoget dengan halus dan sopan ketika mengiringi bunyi
tabuhan, kami bagai sepasang penganten yang bertudung cinta dan kasih sayang. Kata
mereka, kami memang pasangan yang serasi dalam lotrengan.
Mahdawi
sibuk mengusung palung dari samping kanan lapangan, dibawa ke dekat pick up.
Mas’ad dan Ruhan mengusung gong besar. Ruhan membawa Seronen. Mat Kasan membawa
gendang. Ruswan memikul cagak pemanggul gong yang terbuat dari kayu. Sementara
orang-orang yang berseragam berjalan dengan tangan kosong, keringat melerai di
sekujur tubuh mereka.
Kemudian tuan
Suahmo berdiri, ia melangkah diikuti Subina dan anaknya. Mereka mendekati kami.
Wajah tuan Suahmo tampak lelah. Apakah
karena kalah? Atau ia lelah karena menari di tengah lapangan? Entahlah! Ia
membuka temali kendali yang terikat di pohon. Ia menjulurkan temali kendali
yang merumbai di leher ‘Angin’ pada istrinya. Sedangkan temali kendali yang
merekat di leherku dipegangnya sendiri. Keduanya menghela kami ke luar. Kami akan
dibawa pulang. Orang-orang yang berkelompok-kelompok pelan-pelan bubar dengan
penuh kegembiraan. Mereka melangkah meregang kenangan-kenangan yang berdebar.
Sementara
kakiku kaku. Tatapan mataku buram. Aku diam. Aku tak mau dinaikkan ke pick
up. Sebab bagiku, kepulangan adalah sesuatu yang mencelakakan. Kepulangan
adalah ancaman, apalagi kami kalah dalam lotrengan. Pyaarrrr!!! Sebuah
cemeti melayang di pantatku. Berkali-kali. Balur. Aku tetap diam di situ. ‘Angin’
menoleh ke arahku. Di matanya terlihat gerimis turun, seolah merasa kasihan.
Tuan Suahmo mengeram kebencian.
Tidak. Aku
tidak ingin pulang. Aku yakin, tuan Suahmo akan memukulku di rumah hingga aku
memekik di gedek kandang. Ia akan balas dendam atas kekalahan. Tuan Suahmo
pindah ke depanku. Menarik sekuat tenaga. Kakiku semakin kuat mencengkeram di
tanah. “Mahdawi! Ke sini!” membentak. Alisnya mengkerut. Mahdawi segera
mendekat “Gara-gara kalian yang ndak aktif dalam latihan. Kalau begini?”
matanya melotot bagai kelereng. Mahdawi tak menyahut. Pyaarrr!! Tuan
Suahmo menyabet punggungku lagi dengan cemeti, kemudian ia segera pergi, meminta
temali Angin yang dipegang istrinya. Ia membawa Angin ke dekat pick up. Ia
dinaikkan.
Mahdawi
berusaha membujukku dengan temali yang dipegangnya. Aku tidak memperhatikan. Cemeti
kembali melayang di pantatku. Meski sakit melekat di kulit. Aku tetap berusaha
untuk bertahan. Aku ingin bebas. Aku ingin berjalan ke hutan, merasakan sejuk
angin bukit, menuruni lembah-lembah, bercinta di bawah pohon yang rindang. Muka
Tuan Suahmo semakin geram, semakin seram. Mat Kasan, Mas’ad dan Ruhan mendekati
kami, bermaksud membantu Mahdawi. Mereka mengikatku dengan tampar. Lalu empat
orang itu mengusungku. Mahdawi di kaki kanan depan. Mas’ad di kaki kiri depan.
Mat Kasan di kaki kanan belakang dan Ruhan di kaki kiri belakang.
Aku tak
bisa mengelak. Aku diusung menuju pick up. Aku benar-benar tak bisa
bergerak, benar-benar tak bisa menghindar. Aku menyesal menjadi sapi merah
indah. Sungguh aku menyesal.***
Yogyakarta/Tang
Lebun, 2013
Sumber Gambar 1: https://jawatimuran.files.wordpress.com/2012/01/sape-sonok007.jpg
Sumber Gambar 2: http://i.ytimg.com/vi/ABy6JlwuXUs/maxresdefault.jpg
[1]
Saronen adalah
seruling khas Madura
[2] Dhinggendhingan
adalah lagu sinden tradisional Madura
[3] Lotrengan
adalah kontes sapi (Madura)
0 comments :
Post a Comment