Home » » Pulang Haji

Pulang Haji

Diposkan oleh damar pada Monday, March 30, 2015 | 8:01 AM



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLq8HsMv-rHXeYmvQeGXnU2HjVMPrT5w02rEmBCYzr6jgFOmqYvDNtWKKzDrl6Dx4tnhXHtrE6aPlogRJMAEtyE2l2DoEBI8FWk4otziTzFwrfIcztuVlNo1lxvgmScUMpWgLB7jSQtOE/s1600/lukis+11+martabak+naik+haji.JPG
Angkasa cerah dengan kelenjar sinar matahari yang menjalar, angin bulan oktober menggesek daun-daun nyiur, kenangan-kenangan berbaris bagai janur. Mata kami terpagut ke arah jalan, orang-orang memasang gerbang yang terbuat dari bambu berpelitur, dihiasi kembang-kembang. Di atas gerbang itu ditalap kertas kelap-kelip yang mengkilau, berbentuk menara. Bila dilihat dari depan, kami akan menangkap sebuah tulisan terpampang “Selamat Datang Haji Zubaidi, Semoga Menjadi Haji Yang Mabrur”, tulisan-tulisan itu diukir sedemikian rupa. Ya, Rahnayu, satu-satunya orang yang mampu naik haji di kampung kami sudah berubah nama, nama pemberian Ayah-Ibunya sejak lahir telah diganti menjadi Haji Zubaidi.

Tetangga sekitar pada berdatangan, Mak Salama, Mak Emar, Mas’ad, Amrin dan Sahnawi menyembelih sapi di belakang rumah. Muhsin dan Rahwini memasang tulisan-tulisan kaligrafi Arab dan tulisan lainnya di kaca-kaca jendela rumah dan langgar. Amir menggantung mercon siap sulut di atas pohon nangka sebelah timur daya, sementara Bukhari, Faidi dan Zubda membereskan ruang tamu, menaruh sebuah kursi di halaman, kursi yang akan diduduki Haji Zubaidi ketika menerima tamu para peziarah yang ingin mendengarkan kisah-kisah gaib dari tanah suci. Selain itu, Zubda menaruh bak dan cangkir kecil tempat air zam-zam, menurut orang tua di kampung kami, siapa yang meminum air zam-zam oleh-oleh orang yang naik haji, nantinya juga dikaruniai naik haji. Sebagian yang lain, berkelompok-kelompok di luar pagar, tentu menunggu sang penganten haji yang akan diarak dari pintu gerbang.
Orang-orang yang diundang untuk pawai bermotor juga sudah berangkat ke kota bersama rombongan keluarga, sebab menurut informasi dari Badan Penanganan Haji di Kabupaten Sumenep yang diterima keluarga Haji Zubaidi, jamah haji akan tiba di asrama sekitar jam 10.00. Kelompok hadrah al-Majali juga sudah datang, siap menabuh gendang dan melantunkan shalawat bila Haji Zubaidi bertandang. Orang-orang yang meliang masih cemas menunggu kedatangan, mereka berharap semuanya selamat, tak mendapat rintangan dalam berpulang.
***
Sekapas awan melengkung di langit bagai kuntum bunga melati, matahari berkelindan di atas ubun-ubun, teriknya sesengat tawon. Suara pawai motor mulai gaduh dari arah selatan, memenuhi jalan raya. Pawai motor menyalakan lampu. Di belakang ratusan lampu yang berpijar, dua buah mobil menguntit.  Orang-orang kampung berbanjar di depan gerbang, jamaah hadrah siap memainkan gendang dan tarian-tarian samman[1]. Barisan orang-orang kampung bagai menyambut sang pahlawan yang pulang dari medan perang. Penuh haru. Mata berkaca-kaca. Bulu kuduk merinding.
Pawai motor semakin dekat. Semakin ramai dan gaduh. Dua mobil Avanza berwarna hitam yang disewa khusus menyambut Haji Zubaidi bersama ibunya, istrinya dan anaknya, sementara di belakang mobil Kijang berwarna hijau yang ditumpangi saudara-saudara, ipar dan para kemenakannya. Tampak Rahnayu alias Haji Zubaidi duduk di depan. Matanya hening bulan januari. Menatap lurus ke depan, ke arah orang-orang yang berbanjar di pinggir.
“Pawai terus ke rumah!” Tukas Dapir, lelaki brewok berdada bidak, memakai kopiah hitam seraya mengatur di depan gerbang.
Pawai motor itu memasuki gerbang. Sementara dua mobil di belakang berhenti. Dapir mendekati dan meminta rombongan itu turun. Mercon mulai disulut pertanda sang penganten haji telah datang, suara letusannya menusuk gendang telinga.  Haji Zubaidi keluar dari mobil, digandeng Fatimah, istri tercintanya dan Ibunya yang renta. Di belakang mereka, terlihat dua remaja, Asro dan Nahwari (anaknya). Haji Zubaidi tampak berwibawa, ia memakai gamis[2] dan sorban berwarna hitam, memakai egal,[3] kaca mata gelap menempel.  
Minggir! Minggir!” tegas Dapir.
Orang-orang yang berbaris dipinggir pada menyingkir. Barisan para saman dan hadrah memulai menabuh gendang dan menyanyikan shalawat khusus penyambutan, nyanyian yang dicampuri dendang kebahagiaan dengan bahasa Madura. Haji Zubaidi berjalan pelan-pelan di tengah-tengah barisan. Orang-orang kampung pada mengiring di belakang barisan. Letusan mercon terus berdebam. Angin bertiup pelan. Daun nyiur bergoyang seolah ikut menyambut kedatangan lelaki dari tanah suci.
“Kulitnya tambah hitam,” sebagian orang merasani di sela-sela orang kampung yang berbanjar.
Barisan Hadrah telah memasuki halaman, para samman itu membentuk dua barisan. Haji Zubaidi bersama keluarga lewat di tengah. Haji Zubaidi didudukkan di sebuah kursi yang telah disediakan di depan amben, di dekat sebuah bonsai pohon cemara.  Ia segera berdiri. Orang-orang kampung berziarah bergantian. Berpelukan bagai orang Arab yang baru bertemu kawan lama. Setiap kali Haji Zubaidi memeluk orang yang berziarah, keningnya mengernyit, matanya selalu melihat cincin permata yang memenuhi seluruh jemarinya, mulutnya komat-kamit, entah apa yang ia baca? Mungkin saja do’a-do’a. Ia menyuruh setiap tamunya yang berziarah untuk duduk di tempat yang telah disediakan. Kurma mulai dibagikan oleh Amrin. Sementara Sahnawi menuang air zamzam dari sebuah jerigen, dicampur dengan air sumber di kampung kami.
“Tolong dibagikan!” Sahnawi menjulurkan senampan yang di atasnya berbanjar gelas-gelas kecil yang berisi air zamzam. Orang-orang kampung yang hadir pada meminum, menikmati buah kurma yang dibagikan. Haji Zubaidi kelihatan berkeringat. Seorang lelaki tua mendekat, kopiahnya terlihat lusuh, jenggotnya putih logam, rambutnya keriting “Kami mohon panjenengan mendoakan kami” pintanya. Kemudian Haji Zubaidi berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kepalanya mendongak ke langit, keningnya mengkerut, dari matanya air mata bening menetes, mengangguk-angguk. Khusyuk. Kalimat demi kalimat menyeruak dari mulutnya. Aha! Kumisnya terlihat bergerak-gerak ketika berdo’a.
Seusai berdo’a, Mak Emar, Mak Salama, Dapir, Rahwini dan Muhsin sibuk mempersiapkan hidangan untuk para tamu: berpiring-piring nasi dikeluarkan, sate-sate siap hidang menumpuk di nampan juga dikeluarkan. Semua orang-orang kampung menikmati hidangan. Mereka meretas kebahagiaan.
***
Satu jam lalu lalang orang-orang bergantian berpelukan dengan Haji Zubaidi. Halaman begitu sesak, begitu ramai orang-orang yang ingin tahu kisah-kisah dari tanah suci. Asap melindap di udara, terik matahari menyengat kulit, orang-orang terlihat pada berkeringat. Sumuk. Tibalah saatnya orang-orang kampung duduk mendongak mendengarkan kisah-kisah serunya. Sorban hitam merumbai, Muhsin mengusung kipas angin ke dekat lelaki yang berjubah mirip orang Arab itu. Keringatnya mengurai lerai sekujur tubuhnya, kaca mata hitam tak lepas, egalnya agak miring ke kanan.
Sebelum Haji Zubaidi menyampaikan kisah-kisahnya, ia iangin menebus seekor burung peliharaannya yang digadaikan kepada Masrudin, tetangganya. Menurut orang-orang di kampung kami, setiap orang yang ingin berangkat ke tanah suci, ia harus melepaskan segala peliharaannya, mulai burung, sapi, kuda atau apapun. Sebelum Rahnayu alias Haji Zubaidi berangkat, ia menggadaikan burung Beo peliharaannya itu.
Masrudin telah datang,  ia membawa burung dan sangkarnya. Masrudin berdiri di dekat burungnya. Kumisnya terlihat seperti bulan tsabit.
“Silahkan, Mas!”
Masrudin segera masuk dalam terop. Amrin dan Amir mengusung sangkar burung itu di belakang Masrudin. Haji Zubaidi memegang uang. Menumpuk. Ya, uang lima puluh ribuan, entah berapa jumlahnya? Marudin berdiri. Lelaki berkumis lebat itu mengambil burung dari dalam sangkar dan menjulurkan burung itu pada Haji Zubaidi. Kemudian lelaki memakai jubah itu menerimanya dan menyerahkan sejumlah uang. Tepuk tangan ramai, sorak sorai bergempita. Orang-orang pada bergembira. Masrudin kembali mengambil posisi tempat duduk. Sementara Haji Zubaidi menaruh burung dalam sangkar.
“Semua hadirin diharap tenang!” Dapir masih mengatur jalannya acara. Orang-orang pada mengambil posisi masing-masing. Sunyi. Senyap. Tak ada mulut yang berjibaku, tak ada yang mendesiskan suara sendu.
“Pada detik ini, Haji Zubaidi akan berkisah tentang perjalanannya di tanah suci,” orang-orang kampung semakin tertarik untuk mendengarnya. Aroma minyak wangi meletup di udara, hidung kami menangkap wangi denyar berpendar. Kemudian lelaki berjubah putih dan bersorban hitam itu segera berdiri di hadapan ratusan orang yang meliang di halaman. Orang-orang kampung duduk di atas tikar Rakara[4] yang dianggit dengan rapi.
Lelaki itu menunduk, matanya berkaca-kaca seolah-olah ia teringat peristiwa demi peristiwa yang terjadi di tanah suci, mulutnya belum berkebik. Tiba-tiba gerimis bening gugur di pipinya, hiruk pikuk terlihat di wajahnya, entah mengapa ketika lelaki itu berdiri, terasa ada sesuatu yang aneh, orang-orang yang hadir saling tatap, entah apa yang terjadi padanya? Mungkin saja ia menyimpan kenangan luka? Atau ia merasakan kangen dan kenikmatan pada tanah suci? Tak ada yang dapat menduga.
“Saya…!!” terputus. Menunduk. Gerimis demi gerimis semakin deras jatuh di pipinya. Ia mengusap air mata beningnya dengan sorban hitam itu. Kepalanya mendongak lagi. Kemudian menunduk lagi. Orang-orang pada terharu. Sebagian mereka ada yang menangis, ada yang menunduk, ada yang berbisik-bisik menelisik dengan kesan-kesan menyatu, ada yang mencibir, ada pula yang acuh tak acuh.
“Saya merasa sangat nikmat di tanah suci” ia mulai lancar bercerita. Sesekali ia mengangkat lengan kirinya yang dihiasi arloji berwarna kuning “saya bermimpi Rasulullah Saw. Seolah-olah saya disemati bunga melati. Ketika itu saya bertanya pada seorang Syaikh yang ada di sana, katanya ‘kamu adalah orang yang dekat dengan Allah!’.  Lalu saya memeluknya dengan erat,” mulutnya seok ketika berbicara, sesekali membetulkan kacamatanya. Suparno mencibir. Berbisik pada seorang lelaki di sampingnya. Sementara orang-orang yang lain pada menganga.
Ia berbisik pada Dapir. Telunjuknya menunjuk pada sebuah tas yang ada disampingnya. Sebuah tas yang berwarna hitam. Kemudian Dapir membuka tas itu, Haji Zubaidi memintanya mengambil sebuah tas kecil di dalam, Dapir menjulurkan tas kecil itu. Haji Zubaidi membuka resleting tas kecil itu, ya, tas kecil yang berisi kilauan intan permata rubi, seolah silau menghalau mata-mata yang meliang di halaman. Haji Zubaidi melanjutkan ceritanya “Ketika itu saya dicium olehnya” ia mengangkat kedua tangannya mengayun ke depan, seolah-olah ia ingin memperlihatkan barisan cincin di jemarinya “Syaikh berjanji, sebelum pulang ia akan memberikan kenang-kenangan, saya hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan,”  
“Sebelum pulang, saya mendatangi Syaikh, ia memberikan cincin ini” ia memperlihatkan jemarinya yang penuh dengan cincin “dan ada beberapa mutiara. Kalau kalian tertarik untuk membeli mutiara pemberian Syaikh, kalian bisa datang ke sini bulan depan” ia membetulkan sorban hitamnya.
“Haji Kemprol. Berdagang!” Suparno berbisik pada Supeya.
“Kalau kalian dikaruniai Allah berangkat Haji, bersihkan dulu hati kalian, biar bisa seperti saya. Saya mencium hajar aswad saja dua puluh kali. Kalau kalian pernah mendengar dari orang-orang bahwa mencium Hajar Aswad itu susah, maka bagi saya sangat gampang” bahunya diangkat, alisnya mengernyit. Orang-orang pada menganga “Kecil!” Haji Zubaidi menjulurkan kelingkingnya.
Tiba-tiba seekor burung yang berdiam dalam sangkar itu keluar, mungkin Haji Zubaidi lupa mengunci pintunya. Burung itu terbang di dekat atap, kemudian ia mendekati Haji Zubaidi. Plaggg!!! Cekernya mematuk kepala Haji Zubaidi. Pipinya berdarah. Haji Zubaidi mengangkat kepalanya. Kacamatanya jatuh.
Kuku burung itu seolah amat tajam. Burung itu mencakar lagi. Empat kali. Haji Zubaidi terpelanting. Orang-orang pada tertegun. Haji Zubaidi bangun lagi. Pipinya berlumur darah luka sayatan. Segera diusap dengan sorbannya. Burung itu kembali mengibaskan siripnya. Terbang dan hinggap di bambu penyanggah atap. Burung itu terbang lagi, mencengkram lagi. Lelaki yang baru datang dari tanah suci itu terpelanting lagi. Burung itu hinggap di plapon bawah terop “Burung Bangsat!!” Haji Zubaidi memaki. Orang-orang berkerumun, sebagian berteriak. Fatimah, istri Haji Zubaidi segera keluar dari dalam rumah dan mendekati suaminya, ia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi?
“Burung!” Dapir menjawab pendek. Air mata bening jatuh dari mata Fatimah.
Orang-orang yang berkerumun itu mengusung Haji Zubaidi ke dalam rumah. Sesak. Orang-orang kampung yang berkumpul di halaman itu buyar. Panik. Sebagian ke luar halaman, sebagian masuk dalam rumah Haji Zubaidi ingin melihat kondisinya. Pipinya berdarah. Begitu dalam. Begitu kelam Orang-orang yang ada di luar terlihat ketakutan. Kecewa.
Lelaki yang terkapar di ranjang itu menangis. Sedu sedan. Air matanya berkelindan di bantal. Fatimah mengusapnya pelan. Haru. Orang-orang masih meluber di kanan-kiri ranjang di mana Haji Zubaidi telentang. Matanya terlihat merah berdarah “Pertanda apakah peristiwa ini, Kak?” Fatimah meluapkan gelisah. Suaminya terus menangis sesenggukan.
“Tenangkan dirimu, Bing[5]”Muhsin menenangkan. Mak Emar memijit kaki lelaki itu. Mak Salama mengompres derak luka di pipi Haji Zubaidi. Haji Zubaidi menangis lagi. Sesenggukan lagi. Darah terus mengalir di pipinya. Orang-orang yang bersanding di kanan-kiri ranjang itu saling pandang. Sebagian mengernyitkan alis seolah-olah terdapat segumpal mendung di mata mereka. Sebagian yang lain berbisik-bisik dan menggerakkan bahunya berjibaku. Mulut mereka bergeming. Memang, tak setiap orang yang berangkat haji dapat menjadi haji.***

Bantul, September 2014

Sumber Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLq8HsMv-rHXeYmvQeGXnU2HjVMPrT5w02rEmBCYzr6jgFOmqYvDNtWKKzDrl6Dx4tnhXHtrE6aPlogRJMAEtyE2l2DoEBI8FWk4otziTzFwrfIcztuVlNo1lxvgmScUMpWgLB7jSQtOE/s1600/lukis+11+martabak+naik+haji.JPG
 


[1] Samman adalah tarian Saman versi Madura yang diadopsi dari Aceh.
[2] Gamis berasal dari kata Qamis adalah baju panjang berwarna putih (Arab)
[3] Egal adalah ikat kepala sebagai pengikat sorban (Arab)
[4] Tikar Rakara adalah tikar yang terbuat dari daun siwalan, tikar ini biasanya dibuat oleh orang-orang kampung.
[5] Berasal dari kata Cebing adalah sebuah panggilan untuk perempuan yang usianya lebih muda (Madura)


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment