Angkasa cerah
dengan kelenjar sinar matahari yang menjalar, angin bulan oktober menggesek
daun-daun nyiur, kenangan-kenangan berbaris bagai janur. Mata kami terpagut ke
arah jalan, orang-orang memasang gerbang yang terbuat dari bambu berpelitur,
dihiasi kembang-kembang. Di atas gerbang itu ditalap kertas kelap-kelip yang
mengkilau, berbentuk menara. Bila dilihat dari depan, kami akan menangkap sebuah
tulisan terpampang “Selamat Datang Haji Zubaidi, Semoga Menjadi Haji Yang
Mabrur”, tulisan-tulisan itu diukir sedemikian rupa. Ya, Rahnayu, satu-satunya
orang yang mampu naik haji di kampung kami sudah berubah nama, nama pemberian
Ayah-Ibunya sejak lahir telah diganti menjadi Haji Zubaidi.
Tetangga
sekitar pada berdatangan, Mak Salama, Mak Emar, Mas’ad, Amrin dan
Sahnawi menyembelih sapi di belakang rumah. Muhsin dan Rahwini memasang tulisan-tulisan
kaligrafi Arab dan tulisan lainnya di kaca-kaca jendela rumah dan langgar. Amir
menggantung mercon siap sulut di atas pohon nangka sebelah timur daya, sementara
Bukhari, Faidi dan Zubda membereskan ruang tamu, menaruh sebuah kursi di
halaman, kursi yang akan diduduki Haji Zubaidi ketika menerima tamu para
peziarah yang ingin mendengarkan kisah-kisah gaib dari tanah suci. Selain itu,
Zubda menaruh bak dan cangkir kecil tempat air zam-zam, menurut orang tua di
kampung kami, siapa yang meminum air zam-zam oleh-oleh orang yang naik haji,
nantinya juga dikaruniai naik haji. Sebagian yang lain, berkelompok-kelompok di
luar pagar, tentu menunggu sang penganten haji yang akan diarak dari pintu
gerbang.
Orang-orang
yang diundang untuk pawai bermotor juga sudah berangkat ke kota bersama
rombongan keluarga, sebab menurut informasi dari Badan Penanganan Haji di
Kabupaten Sumenep yang diterima keluarga Haji Zubaidi, jamah haji akan tiba di asrama
sekitar jam 10.00. Kelompok hadrah al-Majali juga sudah datang, siap
menabuh gendang dan melantunkan shalawat bila Haji Zubaidi bertandang. Orang-orang
yang meliang masih cemas menunggu kedatangan, mereka berharap semuanya selamat,
tak mendapat rintangan dalam berpulang.
***
Sekapas
awan melengkung di langit bagai kuntum bunga melati, matahari berkelindan di
atas ubun-ubun, teriknya sesengat tawon. Suara pawai motor mulai gaduh dari
arah selatan, memenuhi jalan raya. Pawai motor menyalakan lampu. Di belakang
ratusan lampu yang berpijar, dua buah mobil menguntit. Orang-orang kampung berbanjar di depan
gerbang, jamaah hadrah siap memainkan gendang dan tarian-tarian samman[1].
Barisan orang-orang kampung bagai menyambut sang pahlawan yang pulang dari
medan perang. Penuh haru. Mata berkaca-kaca. Bulu kuduk merinding.
Pawai
motor semakin dekat. Semakin ramai dan gaduh. Dua mobil Avanza berwarna hitam yang
disewa khusus menyambut Haji Zubaidi bersama ibunya, istrinya dan anaknya,
sementara di belakang mobil Kijang berwarna hijau yang ditumpangi
saudara-saudara, ipar dan para kemenakannya. Tampak Rahnayu alias Haji Zubaidi
duduk di depan. Matanya hening bulan januari. Menatap lurus ke depan, ke arah
orang-orang yang berbanjar di pinggir.
“Pawai
terus ke rumah!” Tukas Dapir, lelaki brewok berdada bidak, memakai kopiah hitam
seraya mengatur di depan gerbang.
Pawai
motor itu memasuki gerbang. Sementara dua mobil di belakang berhenti. Dapir mendekati
dan meminta rombongan itu turun. Mercon mulai disulut pertanda sang penganten
haji telah datang, suara letusannya menusuk gendang telinga. Haji Zubaidi keluar dari mobil, digandeng
Fatimah, istri tercintanya dan Ibunya yang renta. Di belakang mereka, terlihat
dua remaja, Asro dan Nahwari (anaknya). Haji Zubaidi tampak berwibawa, ia
memakai gamis[2]
dan sorban berwarna hitam, memakai egal,[3]
kaca mata gelap menempel.
“Minggir!
Minggir!” tegas Dapir.
Orang-orang
yang berbaris dipinggir pada menyingkir. Barisan para saman dan hadrah memulai
menabuh gendang dan menyanyikan shalawat khusus penyambutan, nyanyian
yang dicampuri dendang kebahagiaan dengan bahasa Madura. Haji Zubaidi berjalan
pelan-pelan di tengah-tengah barisan. Orang-orang kampung pada mengiring di
belakang barisan. Letusan mercon terus berdebam. Angin bertiup pelan. Daun
nyiur bergoyang seolah ikut menyambut kedatangan lelaki dari tanah suci.
“Kulitnya
tambah hitam,” sebagian orang merasani di sela-sela orang kampung yang
berbanjar.
Barisan
Hadrah telah memasuki halaman, para samman itu membentuk dua barisan. Haji
Zubaidi bersama keluarga lewat di tengah. Haji Zubaidi didudukkan di sebuah
kursi yang telah disediakan di depan amben, di dekat sebuah bonsai pohon cemara.
Ia segera berdiri. Orang-orang kampung
berziarah bergantian. Berpelukan bagai orang Arab yang baru bertemu kawan lama.
Setiap kali Haji Zubaidi memeluk orang yang berziarah, keningnya mengernyit,
matanya selalu melihat cincin permata yang memenuhi seluruh jemarinya, mulutnya
komat-kamit, entah apa yang ia baca? Mungkin saja do’a-do’a. Ia menyuruh setiap
tamunya yang berziarah untuk duduk di tempat yang telah disediakan. Kurma mulai
dibagikan oleh Amrin. Sementara Sahnawi menuang air zamzam dari sebuah jerigen,
dicampur dengan air sumber di kampung kami.
“Tolong
dibagikan!” Sahnawi menjulurkan senampan yang di atasnya berbanjar gelas-gelas
kecil yang berisi air zamzam. Orang-orang kampung yang hadir pada meminum,
menikmati buah kurma yang dibagikan. Haji Zubaidi kelihatan berkeringat.
Seorang lelaki tua mendekat, kopiahnya terlihat lusuh, jenggotnya putih logam,
rambutnya keriting “Kami mohon panjenengan mendoakan kami” pintanya. Kemudian
Haji Zubaidi berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kepalanya
mendongak ke langit, keningnya mengkerut, dari matanya air mata bening menetes,
mengangguk-angguk. Khusyuk. Kalimat demi kalimat menyeruak dari
mulutnya. Aha! Kumisnya terlihat bergerak-gerak ketika berdo’a.
Seusai
berdo’a, Mak Emar, Mak Salama, Dapir, Rahwini dan Muhsin sibuk mempersiapkan
hidangan untuk para tamu: berpiring-piring nasi dikeluarkan, sate-sate siap
hidang menumpuk di nampan juga dikeluarkan. Semua orang-orang kampung menikmati
hidangan. Mereka meretas kebahagiaan.
***
Satu jam
lalu lalang orang-orang bergantian berpelukan dengan Haji Zubaidi. Halaman
begitu sesak, begitu ramai orang-orang yang ingin tahu kisah-kisah dari tanah
suci. Asap melindap di udara, terik matahari menyengat kulit, orang-orang
terlihat pada berkeringat. Sumuk. Tibalah saatnya orang-orang kampung duduk
mendongak mendengarkan kisah-kisah serunya. Sorban hitam merumbai, Muhsin
mengusung kipas angin ke dekat lelaki yang berjubah mirip orang Arab itu. Keringatnya
mengurai lerai sekujur tubuhnya, kaca mata hitam tak lepas, egalnya agak
miring ke kanan.
Sebelum Haji
Zubaidi menyampaikan kisah-kisahnya, ia iangin menebus seekor burung
peliharaannya yang digadaikan kepada Masrudin, tetangganya. Menurut orang-orang
di kampung kami, setiap orang yang ingin berangkat ke tanah suci, ia harus
melepaskan segala peliharaannya, mulai burung, sapi, kuda atau apapun. Sebelum
Rahnayu alias Haji Zubaidi berangkat, ia menggadaikan burung Beo peliharaannya itu.
Masrudin
telah datang, ia membawa burung dan
sangkarnya. Masrudin berdiri di dekat burungnya. Kumisnya terlihat seperti
bulan tsabit.
“Silahkan,
Mas!”
Masrudin
segera masuk dalam terop. Amrin dan Amir mengusung sangkar burung itu di
belakang Masrudin. Haji Zubaidi memegang uang. Menumpuk. Ya, uang lima puluh
ribuan, entah berapa jumlahnya? Marudin berdiri. Lelaki berkumis lebat itu
mengambil burung dari dalam sangkar dan menjulurkan burung itu pada Haji
Zubaidi. Kemudian lelaki memakai jubah itu menerimanya dan menyerahkan sejumlah
uang. Tepuk tangan ramai, sorak sorai bergempita. Orang-orang pada bergembira. Masrudin
kembali mengambil posisi tempat duduk. Sementara Haji Zubaidi menaruh burung
dalam sangkar.
“Semua
hadirin diharap tenang!” Dapir masih mengatur jalannya acara. Orang-orang pada
mengambil posisi masing-masing. Sunyi. Senyap. Tak ada mulut yang berjibaku, tak
ada yang mendesiskan suara sendu.
“Pada
detik ini, Haji Zubaidi akan berkisah tentang perjalanannya di tanah suci,”
orang-orang kampung semakin tertarik untuk mendengarnya. Aroma minyak wangi meletup
di udara, hidung kami menangkap wangi denyar berpendar. Kemudian lelaki
berjubah putih dan bersorban hitam itu segera berdiri di hadapan ratusan orang
yang meliang di halaman. Orang-orang kampung duduk di atas tikar Rakara[4]
yang dianggit dengan rapi.
Lelaki
itu menunduk, matanya berkaca-kaca seolah-olah ia teringat peristiwa demi
peristiwa yang terjadi di tanah suci, mulutnya belum berkebik. Tiba-tiba
gerimis bening gugur di pipinya, hiruk pikuk terlihat di wajahnya, entah
mengapa ketika lelaki itu berdiri, terasa ada sesuatu yang aneh, orang-orang
yang hadir saling tatap, entah apa yang terjadi padanya? Mungkin saja ia
menyimpan kenangan luka? Atau ia merasakan kangen dan kenikmatan pada tanah
suci? Tak ada yang dapat menduga.
“Saya…!!”
terputus. Menunduk. Gerimis demi gerimis semakin deras jatuh di pipinya. Ia
mengusap air mata beningnya dengan sorban hitam itu. Kepalanya mendongak lagi. Kemudian
menunduk lagi. Orang-orang pada terharu. Sebagian mereka ada yang menangis, ada
yang menunduk, ada yang berbisik-bisik menelisik dengan kesan-kesan menyatu,
ada yang mencibir, ada pula yang acuh tak acuh.
“Saya
merasa sangat nikmat di tanah suci” ia mulai lancar bercerita. Sesekali ia
mengangkat lengan kirinya yang dihiasi arloji berwarna kuning “saya bermimpi
Rasulullah Saw. Seolah-olah saya disemati bunga melati. Ketika itu saya
bertanya pada seorang Syaikh yang ada di sana, katanya ‘kamu adalah orang yang
dekat dengan Allah!’. Lalu saya memeluknya
dengan erat,” mulutnya seok ketika berbicara, sesekali membetulkan kacamatanya.
Suparno mencibir. Berbisik pada seorang lelaki di sampingnya. Sementara
orang-orang yang lain pada menganga.
Ia
berbisik pada Dapir. Telunjuknya menunjuk pada sebuah tas yang ada
disampingnya. Sebuah tas yang berwarna hitam. Kemudian Dapir membuka tas itu,
Haji Zubaidi memintanya mengambil sebuah tas kecil di dalam, Dapir menjulurkan
tas kecil itu. Haji Zubaidi membuka resleting tas kecil itu, ya, tas kecil yang
berisi kilauan intan permata rubi, seolah silau menghalau mata-mata yang
meliang di halaman. Haji Zubaidi melanjutkan ceritanya “Ketika itu saya dicium
olehnya” ia mengangkat kedua tangannya mengayun ke depan, seolah-olah ia ingin
memperlihatkan barisan cincin di jemarinya “Syaikh berjanji, sebelum pulang ia
akan memberikan kenang-kenangan, saya hanya tersenyum dan mengangguk
mengiyakan,”
“Sebelum
pulang, saya mendatangi Syaikh, ia memberikan cincin ini” ia memperlihatkan jemarinya
yang penuh dengan cincin “dan ada beberapa mutiara. Kalau kalian tertarik untuk
membeli mutiara pemberian Syaikh, kalian bisa datang ke sini bulan depan” ia
membetulkan sorban hitamnya.
“Haji Kemprol.
Berdagang!” Suparno berbisik pada Supeya.
“Kalau
kalian dikaruniai Allah berangkat Haji, bersihkan dulu hati kalian, biar bisa seperti
saya. Saya mencium hajar aswad saja dua puluh kali. Kalau kalian pernah
mendengar dari orang-orang bahwa mencium Hajar Aswad itu susah, maka bagi saya
sangat gampang” bahunya diangkat, alisnya mengernyit. Orang-orang pada menganga
“Kecil!” Haji Zubaidi menjulurkan kelingkingnya.
Tiba-tiba
seekor burung yang berdiam dalam sangkar itu keluar, mungkin Haji Zubaidi lupa mengunci
pintunya. Burung itu terbang di dekat atap, kemudian ia mendekati Haji Zubaidi.
Plaggg!!! Cekernya mematuk kepala Haji Zubaidi. Pipinya berdarah. Haji
Zubaidi mengangkat kepalanya. Kacamatanya jatuh.
Kuku
burung itu seolah amat tajam. Burung itu mencakar lagi. Empat kali. Haji
Zubaidi terpelanting. Orang-orang pada tertegun. Haji Zubaidi bangun lagi.
Pipinya berlumur darah luka sayatan. Segera diusap dengan sorbannya. Burung itu
kembali mengibaskan siripnya. Terbang dan hinggap di bambu penyanggah atap. Burung
itu terbang lagi, mencengkram lagi. Lelaki yang baru datang dari tanah suci itu
terpelanting lagi. Burung itu hinggap di plapon bawah terop “Burung Bangsat!!”
Haji Zubaidi memaki. Orang-orang berkerumun, sebagian berteriak. Fatimah, istri
Haji Zubaidi segera keluar dari dalam rumah dan mendekati suaminya, ia
bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi?
“Burung!”
Dapir menjawab pendek. Air mata bening jatuh dari mata Fatimah.
Orang-orang
yang berkerumun itu mengusung Haji Zubaidi ke dalam rumah. Sesak. Orang-orang
kampung yang berkumpul di halaman itu buyar. Panik. Sebagian ke luar halaman,
sebagian masuk dalam rumah Haji Zubaidi ingin melihat kondisinya. Pipinya
berdarah. Begitu dalam. Begitu kelam Orang-orang yang ada di luar terlihat
ketakutan. Kecewa.
Lelaki
yang terkapar di ranjang itu menangis. Sedu sedan. Air matanya berkelindan di
bantal. Fatimah mengusapnya pelan. Haru. Orang-orang masih meluber di
kanan-kiri ranjang di mana Haji Zubaidi telentang. Matanya terlihat merah
berdarah “Pertanda apakah peristiwa ini, Kak?” Fatimah meluapkan gelisah.
Suaminya terus menangis sesenggukan.
“Tenangkan
dirimu, Bing[5]”Muhsin
menenangkan. Mak Emar memijit kaki lelaki itu. Mak Salama mengompres derak luka
di pipi Haji Zubaidi. Haji Zubaidi menangis lagi. Sesenggukan lagi. Darah terus
mengalir di pipinya. Orang-orang yang bersanding di kanan-kiri ranjang itu
saling pandang. Sebagian mengernyitkan alis seolah-olah terdapat segumpal mendung
di mata mereka. Sebagian yang lain berbisik-bisik dan menggerakkan bahunya
berjibaku. Mulut mereka bergeming. Memang, tak setiap orang yang berangkat
haji dapat menjadi haji.***
Sumber Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLq8HsMv-rHXeYmvQeGXnU2HjVMPrT5w02rEmBCYzr6jgFOmqYvDNtWKKzDrl6Dx4tnhXHtrE6aPlogRJMAEtyE2l2DoEBI8FWk4otziTzFwrfIcztuVlNo1lxvgmScUMpWgLB7jSQtOE/s1600/lukis+11+martabak+naik+haji.JPG
[1] Samman adalah tarian Saman versi
Madura yang diadopsi dari Aceh.
[4] Tikar Rakara adalah tikar yang
terbuat dari daun siwalan, tikar ini biasanya dibuat oleh orang-orang kampung.
[5]
Berasal dari kata Cebing adalah
sebuah panggilan untuk perempuan yang usianya lebih muda (Madura)
0 comments :
Post a Comment