Rumahku dari unggun timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
(Chairil Anwar, Rumahku,
27 April 1943)
Aktris senior
Christine Hakim sempat terharu ketika mengunjungi rumah cagar budaya, HOS
Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No. 29-31 Surabaya, pada 5
Maret 2015 lalu (JP,6/3/2015). Kunjungannya bersama aktris Reza Rahadian, Noe
Letto, dan tim lain dalam rangka peluncuran film bertajuk Guru Bangsa; Tjokroaminoto.
Film tersebut mereview
kembali sosio-historis perjuangan, dedikasi, nilai, dan semangat muda yang
berapi-api. Rumah Tjokroaminoto yang sederhana itu menyimpan kemegahan kenangan
dan inspirasi sosok pejuang Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (SI). Ia
adalah guru bangsa yang seyogyanya diteladani oleh generasi muda masa kini dalam
mengawal empat pilar nilai kebangsaan; kemerdekaan, persamaan, persaudaraan,
dan identitas bangsa.
Di rumah Tjokroaminoto
itu pernah berlangsung diskusi-diskusi kecil para pemuda seperti Soekarno,
Kartosoewiryo, Sampoerno, Abikusno, Alimin, Moesso, dll yang saat itu masih
mengenyam pendidikan di H.B.S (Hollands Binnenlands School). Embrio
demokrasi, anti imperialisme, sosialisme, dan ideologi kerakyatan digagas dari
rumah Tjokroaminoto.
Rumah itu menjadi
unggun timbun sajak yang terus berkobar hingga bangsa ini menyatakan
kemerdekaannya. Rumah itu menjadi bangsa kecil yang mencetak pemuda--- yang
bukan sekedar anak muda---dalam memperjuangkan revolusi, mempersiapkan
pemimpin-pemimpin bangsa yang berwibawa, serta melahirkan tokoh-tokoh pejuang nasional
yang tangguh.
Rumah
Tjokroaminoto, sebagaimana yang diilustrasikan dalam puisi Subagyo
Sastrowardoyo: Rumah ini tak kosong meskipun tak/ ada yang menghuni./ Di
ruang sunyi/ masih melekat kenangan pada dinding,/ ranjang, dan lemari.
Secara
metaforis, rumah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Rumah
menjadi tempat berlindung, tempat lahir, peristiwa sejarah, lokalisme, bahkan
tempat akhir dari hayat manusia. Tetapi dalam konteks ini, rumah menjadi ruang
tumbuh kembangnya generasi masa depan sebuah bangsa.
***
Di rumah,
setiap orang tua mendidik, membesarkan, dan menggembleng anak-anak menjadi
orang yang memiliki akal budi yang sehat dan jernih. Di rumah pula, orang tua kadang
abai terhadap peristiwa-peristiwa kecil yang disaksikan anak-anak mereka
sehingga anak-anak itu menjadi “kurang ajar”. Rumah nyatanya menjadi kodrat manusia
menjalani kehidupan.
Tjokroaminoto
membangun rumah tidak sekedar sebagai benda, tetapi baginya rumah sebagai
simbol, puisi, madrasah, dan ruang publik. Di rumah itu pula,
Tjokroaminoto banyak menasihati murid-muridnya, untuk menyuarakan ide-ide kritis,
kreatif, dan mudah diterima layaknya para pemimpin besar di dunia. Ia pernah
berkata kepada murid-muridnya “jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah
seperti wartawan dan bicaralah seperti orator”.
Nasehat tersebut
bukan tanpa dasar. Tjokro sendiri adalah seorang penulis surat kabar Suara
Surabaya. Ia juga menjadi rahim lahirnya surat kabar Oetoesan Hindia, surat
kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad.
Sebagai ketua
Sarekat Islam yang menggantikan H. Samanhoedi pada Kongres SI kedua di
Yogyakarta pada bulan April 1914, tak seorangpun meragukan kemampuannya dalam
berorasi dan bernegosiasi.
Dan pada
gilirannya, murid-murid Tjokro yang lahir dari “rumah unggun” di Jl. Paneleh Surabaya
ini menjadi tokoh-tokoh penting melalui gerbong-gerbong yang berbeda. Pertarungan
antara nasionalisme Soekarno, Islam fundamentalis Kartosuwiryo, dan komunisme
Moesso dan Alimin adalah pertarungan murid-murid Tjokroaminoto. Pertarungan
mereka di depan publik bagai sebuah musik dengan alat yang berbeda, tetapi
melahirkan bunyi yang indah.
***
Menatap kaca
jernih rumah metaforis Tjokroaminoto, harapan-harapan kian bertunas. Tjokroaminoto
tak pernah gentar pada siapapun. Ia pernah dihadapkan pada pengadilan Belanda
karena difitnah. Ia kemudian diadili di pengadilan Belanda (Raad van
Justitie).
Seorang hakim
Belanda berkata pada Tjokro yang sedang berdiri di hadapannya “Tuan Tjokro,
anda tahu di hadapan siapa anda berdiri?”
Lelaki
kelahiran Bakur, Madiun Jawa Timur itu bergeming. Kemudian hakim membentaknya
“Tahukah tuan Tjokro bahwa tuan Tjokro sekarang ini sedang berdiri di hadapan
Voorzitter Raad van Justitie!”
Ia masih diam
dan kalem.
Tak lama
kemudian Tjokro balik tanya dengan tenang “tuan Voorzitter Raad van Justitie!
Tahukah tuan di hadapan siapa sekarang anda duduk?” Ruang pengadilan terasa
lebih tegang dan semua orang yang hadir di tempat itu pada diam. Hakim ketua
memandang dengan sorot mata yang tajam.
Kemudian
Tjokroaminoto berkata dengan lugas “tuan-tuan sekarang ini sedang duduk di
hadapan ketua Central Sarekat Islam seluruh Indonesia.”
Saat itu,
Tjokroaminoto memang tengah dikagumi oleh seluruh rakyat. Ia seringkali
dianggap sebagai Ratu Adil. Bahkan Tan Malaka pernah menulis dalam buku Dari
Penjara Ke Penjara bahwa Tjokroaminoto di hadapan orang Barat dianggap
sebagai The uncrowned king of Indonesia (Raja tanpa mahkota bagi
Indonesia).
Pemerintah
Hindia-Belanda menyebutnya De Ongekroonde van Java atau Raja Jawa tanpa mahkota (Agus Sunyoto,
1996: 146). Tjokroaminoto menepis semua anggapan itu. Ia menyikapinya dengan
tenang dan rendah hati. Ia mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa. Ratu Adil
bukanlah manusia, tetapi Ratu Adil hadir dalam bentuk ide, konsep, dan gagasan
yaitu sosialisme.
Tjokroaminoto
merupakan sosok elegan dan kharismatik yang mampu menciptakan solidaritas dalam
politik kontemporer Indonesia---meminjam bahasa Herbert Feith, ia menjadi solidarity
maker. Gagasan-gagasannya bersifat holistik dan mudah diterima oleh
berbagai kalangan.
Sebagai
pribadi, Tjokroaminoto pada hakikatnya adalah rumah bagi para pemuda dan
gerakan pemuda sebagai agen perubahan (agent of change). Kebesaran
jiwanya menjadi rumah bagi para pemuda yang siap berangkat berjuang hingga pulang.
Lalu ia berkumandang dengan penuh semangat layaknya Sitor Situmorang dalam Upacara Di Rumah
Adat :
Benahilah kamar di
hatimu
atau mari diam dalam rumahku.
0 comments :
Post a Comment