Home » » Rumah Metaforis Tjokroaminoto

Rumah Metaforis Tjokroaminoto

Diposkan oleh damar pada Thursday, March 12, 2015 | 2:21 AM




Rumahku dari unggun timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
 (Chairil Anwar, Rumahku, 27 April 1943)

Aktris senior Christine Hakim sempat terharu ketika mengunjungi rumah cagar budaya, HOS Tjokroaminoto di Jalan Peneleh VII No. 29-31 Surabaya, pada 5 Maret 2015 lalu (JP,6/3/2015). Kunjungannya bersama aktris Reza Rahadian, Noe Letto, dan tim lain dalam rangka peluncuran film bertajuk Guru Bangsa; Tjokroaminoto.
Film tersebut mereview kembali sosio-historis perjuangan, dedikasi, nilai, dan semangat muda yang berapi-api. Rumah Tjokroaminoto yang sederhana itu menyimpan kemegahan kenangan dan inspirasi sosok pejuang Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (SI). Ia adalah guru bangsa yang seyogyanya diteladani oleh generasi muda masa kini dalam mengawal empat pilar nilai kebangsaan; kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan identitas bangsa.

Di rumah Tjokroaminoto itu pernah berlangsung diskusi-diskusi kecil para pemuda seperti Soekarno, Kartosoewiryo, Sampoerno, Abikusno, Alimin, Moesso, dll yang saat itu masih mengenyam pendidikan di H.B.S (Hollands Binnenlands School). Embrio demokrasi, anti imperialisme, sosialisme, dan ideologi kerakyatan digagas dari rumah Tjokroaminoto.
Rumah itu menjadi unggun timbun sajak yang terus berkobar hingga bangsa ini menyatakan kemerdekaannya. Rumah itu menjadi bangsa kecil yang mencetak pemuda--- yang bukan sekedar anak muda---dalam memperjuangkan revolusi, mempersiapkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berwibawa, serta melahirkan tokoh-tokoh pejuang nasional yang tangguh.
Rumah Tjokroaminoto, sebagaimana yang diilustrasikan dalam puisi Subagyo Sastrowardoyo: Rumah ini tak kosong meskipun tak/ ada yang menghuni./ Di ruang sunyi/ masih melekat kenangan pada dinding,/ ranjang, dan lemari.
Secara metaforis, rumah menjadi bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Rumah menjadi tempat berlindung, tempat lahir, peristiwa sejarah, lokalisme, bahkan tempat akhir dari hayat manusia. Tetapi dalam konteks ini, rumah menjadi ruang tumbuh kembangnya generasi masa depan sebuah bangsa.
***
Di rumah, setiap orang tua mendidik, membesarkan, dan menggembleng anak-anak menjadi orang yang memiliki akal budi yang sehat dan jernih. Di rumah pula, orang tua kadang abai terhadap peristiwa-peristiwa kecil yang disaksikan anak-anak mereka sehingga anak-anak itu menjadi “kurang ajar”. Rumah nyatanya menjadi kodrat manusia menjalani kehidupan.
Tjokroaminoto membangun rumah tidak sekedar sebagai benda, tetapi baginya rumah sebagai simbol, puisi, madrasah, dan ruang publik. Di rumah itu pula, Tjokroaminoto banyak menasihati murid-muridnya, untuk menyuarakan ide-ide kritis, kreatif, dan mudah diterima layaknya para pemimpin besar di dunia. Ia pernah berkata kepada murid-muridnya “jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator”.   
Nasehat tersebut bukan tanpa dasar. Tjokro sendiri adalah seorang penulis surat kabar Suara Surabaya. Ia juga menjadi rahim lahirnya surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad.
Sebagai ketua Sarekat Islam yang menggantikan H. Samanhoedi pada Kongres SI kedua di Yogyakarta pada bulan April 1914, tak seorangpun meragukan kemampuannya dalam berorasi dan bernegosiasi.
Dan pada gilirannya, murid-murid Tjokro yang lahir dari “rumah unggun” di Jl. Paneleh Surabaya ini menjadi tokoh-tokoh penting melalui gerbong-gerbong yang berbeda. Pertarungan antara nasionalisme Soekarno, Islam fundamentalis Kartosuwiryo, dan komunisme Moesso dan Alimin adalah pertarungan murid-murid Tjokroaminoto. Pertarungan mereka di depan publik bagai sebuah musik dengan alat yang berbeda, tetapi melahirkan bunyi yang indah.
***
Menatap kaca jernih rumah metaforis Tjokroaminoto, harapan-harapan kian bertunas. Tjokroaminoto tak pernah gentar pada siapapun. Ia pernah dihadapkan pada pengadilan Belanda karena difitnah. Ia kemudian diadili di pengadilan Belanda (Raad van Justitie).
Seorang hakim Belanda berkata pada Tjokro yang sedang berdiri di hadapannya “Tuan Tjokro, anda tahu di hadapan siapa anda berdiri?”
Lelaki kelahiran Bakur, Madiun Jawa Timur itu bergeming. Kemudian hakim membentaknya “Tahukah tuan Tjokro bahwa tuan Tjokro sekarang ini sedang berdiri di hadapan Voorzitter Raad van Justitie!”
Ia masih diam dan kalem.
Tak lama kemudian Tjokro balik tanya dengan tenang “tuan Voorzitter Raad van Justitie! Tahukah tuan di hadapan siapa sekarang anda duduk?” Ruang pengadilan terasa lebih tegang dan semua orang yang hadir di tempat itu pada diam. Hakim ketua memandang dengan sorot mata yang tajam.
Kemudian Tjokroaminoto berkata dengan lugas “tuan-tuan sekarang ini sedang duduk di hadapan ketua Central Sarekat Islam seluruh Indonesia.”
Saat itu, Tjokroaminoto memang tengah dikagumi oleh seluruh rakyat. Ia seringkali dianggap sebagai Ratu Adil. Bahkan Tan Malaka pernah menulis dalam buku Dari Penjara Ke Penjara bahwa Tjokroaminoto di hadapan orang Barat dianggap sebagai The uncrowned king of Indonesia (Raja tanpa mahkota bagi Indonesia).
Pemerintah Hindia-Belanda menyebutnya De Ongekroonde van Java  atau Raja Jawa tanpa mahkota (Agus Sunyoto, 1996: 146). Tjokroaminoto menepis semua anggapan itu. Ia menyikapinya dengan tenang dan rendah hati. Ia mengatakan bahwa dirinya adalah manusia biasa. Ratu Adil bukanlah manusia, tetapi Ratu Adil hadir dalam bentuk ide, konsep, dan gagasan yaitu sosialisme.
Tjokroaminoto merupakan sosok elegan dan kharismatik yang mampu menciptakan solidaritas dalam politik kontemporer Indonesia---meminjam bahasa Herbert Feith, ia menjadi solidarity maker. Gagasan-gagasannya bersifat holistik dan mudah diterima oleh berbagai kalangan.
Sebagai pribadi, Tjokroaminoto pada hakikatnya adalah rumah bagi para pemuda dan gerakan pemuda sebagai agen perubahan (agent of change). Kebesaran jiwanya menjadi rumah bagi para pemuda yang siap berangkat berjuang hingga pulang. Lalu ia berkumandang dengan penuh semangat layaknya  Sitor Situmorang dalam Upacara Di Rumah Adat :
 Benahilah kamar di hatimu 
atau mari diam dalam rumahku.


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment