Asal mula
manusia di dunia ini adalah lubang. Lubang adalah sebuah rahasia besar tuhan.
Lubang adalah kehidupan. Manusia bermula dari lubang dan akan berakhir dan
berbaring di lubang pula, yakni lubang kubur. Sutardji Calzoum Bachri pernah mengaum
melalui sajaknya yang berjudul Perjalanan Kubur:
sungai
pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi
ke awan membawa kubur-kubur
awan pergi
ke hujan membawa kubur-kubur
hujan
pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa
kuburmu alina.
Idiom
“sungai”, “awan”, “laut”, dan “hujan” tentu tidak bermakna denotatif. Tekanan
psikologis puisi-puisi Tardji sangat mencekam. Sungai jiwa, awan jiwa, laut
jiwa, dan hujan jiwa yang menggelinding dalam kehidupan mencapai puncaknya di
dalam kubur. Ke mana-mana manusia membawa kuburnya sendiri-sendiri. Terikat oleh
ruang dan waktu. Terkecuali jiwa yang “bebas” dan “merdeka”.
Sebuah proses hidup
manusia bermula dari lubang cinta seorang ibu, kemudian menangis, senyum, tengkurap,
duduk, merangkak, berdiri, hingga benar-benar menyaksikan onggokan dunia yang
bagus ini. Dan sang ibu yang memiliki lubang hidup itu, memomong dengan penuh
cinta dan kasih sayang. Ibu memberi makan, mengajari cara hidup, pandangan
hidup, hingga prinsip-prinsip menjadi anak manusia agar mampu mandiri. Itulah
sebabnya mengapa banyak orang menganggap bahwa ibu adalah “tuhan kedua” di
dunia ini.
Manusia yang
sudah melupakan lubang muasalnya, mengabaikan rahasia lubang-lubang tubuhnya,
dan tidak peduli pada lubang-lubang alam, lubang langit, lubang bumi, lubang
dari segala lubang di dalam “hatinya”, bagai telah masuk dalam sajak-sajak yang
gelap. Dan tak seorang pun yang dapat menafsirinya.
Seperti sebuah
seruling, tubuh manusia memiliki lima lubang; lubang hidung, lubang mulut,
lubang telinga, lubang dubur/anus, dan lubang kelamin. Seruling pun memiliki
lima lubang di atas, dan satu lubang di bawah yang biasa difungsikan oleh ibu
jari peniupnya. Dan kita tahu, keindahan bunyi sebuah seruling itu bukan karena
jenis bambunya, tetapi karena spirit peniupnya.
Penyair
Kristen dari Libanon, Ilya Abu Madi (1889-1957) pernah berkata, siapa yang tak
punya rasa keindahan di dalam hatinya, maka ia tidak akan pernah bisa melihat
semua ciptaan tuhan sebagai sesuatu yang indah.
Lalu dapatkah
kita menemukan keindahan dan fungsi lubang hidung selain untuk bernapas dan
menangkap bau? Keindahan dan fungsi lubang mulut selain berbicara dan mengasup
makanan? Keindahan dan fungsi lubang telinga selain mendengar? Keindahan dan
fungsi lubang dubur selain membuang kotoran? Keindahan dan fungsi lubang
kelamin selain pipis dan melakukan hubungan badan?
Sejatinya
lubang-lubang dalam tubuh itu terkoneksi dan diatur oleh syaraf yang malang
melintang dalam otak dan tubuh. Itulah sebabnya, ketika napas terakhir manusia
dihenyakkan, lubang dubur yang pada mulanya tertutup rapat, kemudian dengan
sendirinya menganga. Kotoran-kotoran yang bersembunyi di lambung atau usus
keluar. Karena syaraf yang mengaturnya, sudah tidak berfungsi lagi.
Disadari atau
tidak, syaraf paling penting dari segala lubang dalam tubuh paling inti manusia
adalah akal sehat dan hati nurani yang jernih. Apa kata dunia, jika syaraf dari
lubang-lubang itu disalah-sambungkan dan disalah-fungsikan? Bila lubang mulut
mengeluarkan kotoran, tentu bau dan bahayanya melebihi kotoran yang dikeluarkan
oleh lubang anus. Kata-kata kotor, menyinggung, fatwa-fatwa menyesatkan yang
keluar dari mulut, lebih berbahaya dari kentut atau buang air besar di depan
umum.
Lubang Bumi
Selain lubang
tubuh, terdapat lubang bumi yang pernah diungkap oleh Karen Armstrong (2011:57)
dalam sebuah bukunya yang berjudul The Case for God: What Religion Really
Means. Armstrong meneliti lubang bumi yang lebih kita kenal sebagai gua. Ia
mengungkap panjang lebar dari sisi tumbuhnya ritualitas agama di zaman
pra-sejarah, serta menunjukkan bukti-bukti lukisan dinding yang menggambarkan
peradaban kuno di lubang itu.
Dinding-dinding
gua itu berlapis ukiran yang berukuran besar. Di dinding tersebut terdapat
gambar-gambar hewan seperti mamut, banteng, serigala, kuda liar, dll. Ukiran-ukiran di dinding itu seolah-olah
berbicara pada orang yang melihat bahwa terdapat perburuan-perburuan binatang
yang sangat dahsyat. Panah melesat dari berbagai penjuru, darah seolah-olah
muncrat, dan hewan-hewan bergelimpangan sedemikian rupa.
Sementara di
samping gambar hewan-hewan yang terkulai itu, terdapat gambar sosok manusia yang memakai baju dari
kulit, sedang meniup seruling. Sedangkan gambar yang cukup dominan adalah
gambar setengah hewan dan setengah manusia. Apakah hal itu membenarkan teori
evolusi Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera? Atau gambar itu
menunjukkan sikap manusia zaman itu yang berwatak setengah manusia dan setengah
hewan? Atau bisa saja manusia zaman itu memiliki kedekatan dengan hewan, alam,
dan tuhan? Atau kemungkinan terakhir ini, memang secara nyata di zaman kuno ada
manusia yang berbentuk setengah manusia dan setengah hewan? Belum ada seorang
sejarahwan pun yang mampu membongkar mesteri ini.
Pada umumnya gua
diyakini terbentuk secara alami. Manusia-manusia zaman Paleolitikum hanya
memanfaatkan lubang bumi itu sebagai tempat berlindung yang aman dalam
menjalankan kepercayaannya. Terlebih gua tertua di dunia yang bernama gua
Lascaux yang berada di Dordogne, Prancis. Gua ini diperkirakan berusia 17.000an
tahun. Ditemukan pertama kali oleh Marcel Ravidat pada tahun 1940.
Tetapi sebelum
Marcel Ravidat menemukan gua Lascaux itu, sastrawan Prancis terkemuka, Jules
Verne sudah banyak mengangkat dunia bawah tanah (hollow earth) dalam science
fictionnya yang diramu antara mitologi dan sains. Diantara karya-karya
Verne yang dapat kita baca adalah: Journey to the Center of the Earth (1864), From
the Earth to the Moon (1865), All Around the Moon (1870). The
Adventures of a Special Correspondent (1872), Around the World in 80
Days (1873), The Mysterious Island (1875), The Survivors of the Chancellor
(1875), Michael Strogoff (1876), Twenty Thousand Leagues Under the
Sea (1877) Dick Sand: A Captain at Fifteen (1878), dll.
Layak kiranya kita sungguh-sungguh memelihara
lubang-lubang itu dengan baik. Tentu lubang lahir, lubang tubuh, lubang batin,
lubang alam, lubang langit, dan lubang-lubang lain yang memungkinkan lahirnya
sebuah tiupan seruling kehidupan yang penuh cinta kasih.
Tetapi lubang juga dapat menjadi petaka bagi
manusia ketika lubang dimanfaatkan untuk jebakan dalam sebuah perang. Lubang
menjadi petaka ketika lubang menjadi tempat keluar pelor-pelor senapan untuk
menghenyakkan nyawa manusia yang lain.*** Sumber Gambar: http://static.inilah.com/data/berita/foto/1768650.jpg
0 comments :
Post a Comment