Home » » Biografi Lubang

Biografi Lubang

Diposkan oleh damar pada Wednesday, March 11, 2015 | 5:04 AM



http://static.inilah.com/data/berita/foto/1768650.jpg
Asal mula manusia di dunia ini adalah lubang. Lubang adalah sebuah rahasia besar tuhan. Lubang adalah kehidupan. Manusia bermula dari lubang dan akan berakhir dan berbaring di lubang pula, yakni lubang kubur. Sutardji Calzoum Bachri pernah mengaum melalui sajaknya yang berjudul Perjalanan Kubur:
sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke awan membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina.

Idiom “sungai”, “awan”, “laut”, dan “hujan” tentu tidak bermakna denotatif. Tekanan psikologis puisi-puisi Tardji sangat mencekam. Sungai jiwa, awan jiwa, laut jiwa, dan hujan jiwa yang menggelinding dalam kehidupan mencapai puncaknya di dalam kubur. Ke mana-mana manusia membawa kuburnya sendiri-sendiri. Terikat oleh ruang dan waktu. Terkecuali jiwa yang “bebas” dan “merdeka”.
Sebuah proses hidup manusia bermula dari lubang cinta seorang ibu, kemudian menangis, senyum, tengkurap, duduk, merangkak, berdiri, hingga benar-benar menyaksikan onggokan dunia yang bagus ini. Dan sang ibu yang memiliki lubang hidup itu, memomong dengan penuh cinta dan kasih sayang. Ibu memberi makan, mengajari cara hidup, pandangan hidup, hingga prinsip-prinsip menjadi anak manusia agar mampu mandiri. Itulah sebabnya mengapa banyak orang menganggap bahwa ibu adalah “tuhan kedua” di dunia ini.
Manusia yang sudah melupakan lubang muasalnya, mengabaikan rahasia lubang-lubang tubuhnya, dan tidak peduli pada lubang-lubang alam, lubang langit, lubang bumi, lubang dari segala lubang di dalam “hatinya”, bagai telah masuk dalam sajak-sajak yang gelap. Dan tak seorang pun yang dapat menafsirinya.
Seperti sebuah seruling, tubuh manusia memiliki lima lubang; lubang hidung, lubang mulut, lubang telinga, lubang dubur/anus, dan lubang kelamin. Seruling pun memiliki lima lubang di atas, dan satu lubang di bawah yang biasa difungsikan oleh ibu jari peniupnya. Dan kita tahu, keindahan bunyi sebuah seruling itu bukan karena jenis bambunya, tetapi karena spirit peniupnya.
Penyair Kristen dari Libanon, Ilya Abu Madi (1889-1957) pernah berkata, siapa yang tak punya rasa keindahan di dalam hatinya, maka ia tidak akan pernah bisa melihat semua ciptaan tuhan sebagai sesuatu yang indah.
Lalu dapatkah kita menemukan keindahan dan fungsi lubang hidung selain untuk bernapas dan menangkap bau? Keindahan dan fungsi lubang mulut selain berbicara dan mengasup makanan? Keindahan dan fungsi lubang telinga selain mendengar? Keindahan dan fungsi lubang dubur selain membuang kotoran? Keindahan dan fungsi lubang kelamin selain pipis dan melakukan hubungan badan?
Sejatinya lubang-lubang dalam tubuh itu terkoneksi dan diatur oleh syaraf yang malang melintang dalam otak dan tubuh. Itulah sebabnya, ketika napas terakhir manusia dihenyakkan, lubang dubur yang pada mulanya tertutup rapat, kemudian dengan sendirinya menganga. Kotoran-kotoran yang bersembunyi di lambung atau usus keluar. Karena syaraf yang mengaturnya, sudah tidak berfungsi lagi.
Disadari atau tidak, syaraf paling penting dari segala lubang dalam tubuh paling inti manusia adalah akal sehat dan hati nurani yang jernih. Apa kata dunia, jika syaraf dari lubang-lubang itu disalah-sambungkan dan disalah-fungsikan? Bila lubang mulut mengeluarkan kotoran, tentu bau dan bahayanya melebihi kotoran yang dikeluarkan oleh lubang anus. Kata-kata kotor, menyinggung, fatwa-fatwa menyesatkan yang keluar dari mulut, lebih berbahaya dari kentut atau buang air besar di depan umum.

Lubang Bumi
Selain lubang tubuh, terdapat lubang bumi yang pernah diungkap oleh Karen Armstrong (2011:57) dalam sebuah bukunya yang berjudul The Case for God: What Religion Really Means. Armstrong meneliti lubang bumi yang lebih kita kenal sebagai gua. Ia mengungkap panjang lebar dari sisi tumbuhnya ritualitas agama di zaman pra-sejarah, serta menunjukkan bukti-bukti lukisan dinding yang menggambarkan peradaban kuno di lubang itu.  
Dinding-dinding gua itu berlapis ukiran yang berukuran besar. Di dinding tersebut terdapat gambar-gambar hewan seperti mamut, banteng, serigala, kuda liar, dll.  Ukiran-ukiran di dinding itu seolah-olah berbicara pada orang yang melihat bahwa terdapat perburuan-perburuan binatang yang sangat dahsyat. Panah melesat dari berbagai penjuru, darah seolah-olah muncrat, dan hewan-hewan bergelimpangan sedemikian rupa.
Sementara di samping gambar hewan-hewan yang terkulai itu, terdapat  gambar sosok manusia yang memakai baju dari kulit, sedang meniup seruling. Sedangkan gambar yang cukup dominan adalah gambar setengah hewan dan setengah manusia. Apakah hal itu membenarkan teori evolusi Darwin yang mengatakan bahwa manusia berasal dari kera? Atau gambar itu menunjukkan sikap manusia zaman itu yang berwatak setengah manusia dan setengah hewan? Atau bisa saja manusia zaman itu memiliki kedekatan dengan hewan, alam, dan tuhan? Atau kemungkinan terakhir ini, memang secara nyata di zaman kuno ada manusia yang berbentuk setengah manusia dan setengah hewan? Belum ada seorang sejarahwan pun yang mampu membongkar mesteri ini.
Pada umumnya gua diyakini terbentuk secara alami. Manusia-manusia zaman Paleolitikum hanya memanfaatkan lubang bumi itu sebagai tempat berlindung yang aman dalam menjalankan kepercayaannya. Terlebih gua tertua di dunia yang bernama gua Lascaux yang berada di Dordogne, Prancis. Gua ini diperkirakan berusia 17.000an tahun. Ditemukan pertama kali oleh Marcel Ravidat pada tahun 1940.
Tetapi sebelum Marcel Ravidat menemukan gua Lascaux itu, sastrawan Prancis terkemuka, Jules Verne sudah banyak mengangkat dunia bawah tanah (hollow earth) dalam science fictionnya yang diramu antara mitologi dan sains. Diantara karya-karya Verne yang dapat kita baca adalah: Journey to the Center of the Earth (1864), From the Earth to the Moon (1865), All Around the Moon (1870). The Adventures of a Special Correspondent (1872), Around the World in 80 Days (1873), The Mysterious Island (1875), The Survivors of the Chancellor (1875), Michael Strogoff (1876), Twenty Thousand Leagues Under the Sea (1877) Dick Sand: A Captain at Fifteen (1878), dll.
Layak kiranya kita sungguh-sungguh memelihara lubang-lubang itu dengan baik. Tentu lubang lahir, lubang tubuh, lubang batin, lubang alam, lubang langit, dan lubang-lubang lain yang memungkinkan lahirnya sebuah tiupan seruling kehidupan yang penuh cinta kasih.
Tetapi lubang juga dapat menjadi petaka bagi manusia ketika lubang dimanfaatkan untuk jebakan dalam sebuah perang. Lubang menjadi petaka ketika lubang menjadi tempat keluar pelor-pelor senapan untuk menghenyakkan nyawa manusia yang lain.*** 

Sumber Gambar: http://static.inilah.com/data/berita/foto/1768650.jpg 

Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment