20 Februari 1769, untuk pertama kalinya,
Raden Mas Surojo lahir ke dunia. Laki-laki gagah putra mahkota Sri Sultan
Hamengku Buwono II ini kelak menjadi penerus Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat
setelah ayahnya dipaksa turun oleh Herman Willem Dandels (periode 1) dan ketika
ayahnya diasingkan ke Pulau Pinang oleh Sir Thomas Stamford Bingley Raffles
(periode 2). Pulau Pinang merupakan negara bagian terkecil Malaysia setelah
Perlis. Pulau ini memiliki luas wilayah 293 km².
Rafles adalah seorang warga negara Inggris,
Gubernur Jendral Hindia Belanda yang paling besar. Ayahnya Kapten Benjamin
Raffles, pedagang budak di kepulauan Karibia. Ia berhasil menduduki tanah Jawa
setelah menundukkan Belanda pada tahun 1811. Raffles merupakan salah satu buruh
Perusahaan Hindia Timur Britania di London. Namun pada tahun 1805, Raffles
dikirim ke pulau Pinang.
Perusahaan Hindia Timur Britania merupakan
asosiasi usaha yang diberikan Raja Elizabeth I pada tanggal 1 Desember 1600, untuk
menolong hak usaha India, yang kelak perusahaan ini beralih fungsi menjadi
sebuah pemerintahan dan pertahanan militer untuk menghegemoni negara.
Di usianya yang ke-41, Raden Mas Surojo menggantikan
ayahnya Hamengku Buwono II pada tahun 1811 yang dipaksa mengundurkan diri oleh
musuh londonya Herman Willem Daendels (1762-1818). Raden Mas Surojo yang
mendapat julukan Hamengku Buwono III didaulat sebagai wakil Raja atau regent.
Willem merupakan seorang pemberontak di
Belanda yang melarikan diri ke Prancis. Dalam pelariannya, ia menyaksikan dari
dekat peristiwa Revolusi Prancis yang terjadi 1789-1799. Saat itu ia bergabung
dengan Pasukan Batavia hingga berpangkat Jendral. Pada 28 Januari 1807, atas saran
Kaisar Napoleon Bonaparte (1769-1821), Willem dikirim ke Hindia-Belanda. Willem
pun tiba di Batavia setelah kapalnya bersandar di Pulau Kenari pada 5 Januari
1808. Ia menggantikan Gubernur Jenderal Albbertus Weise (1761-1810).
Sikap Willem memang amat keras terhadap
Raja-Raja Jawa. Ia menginginkan agar Raja-Raja Jawa mengakui kedaulatan Raja
Belanda serta memaksa agar Raja-Raja Jawa meminta perlindungan kepada Raja
Belanda. Keraton Solo dan Yogyakarta diganti dari keresidenan menjadi menester.
Willem menginginkan agar Raja-Raja Jawa menjadi wakil dari Raja Belanda di
Jawa. Willem pun melarang keraton membangun hubungan bilateral dengan negara
lain. Tetapi keinginan ini menimbulkan perlawanan yang hebat dari para Raja di
Jawa, termasuk perlawanan dari Sri Sultan Hamengku Buwono II saat itu.
Situasi sosial politik pulau Jawa tahun 1811
mengalami hiruk pikuk. Situasi ini membuat saya teringat puisi Sutardji Calzoum
Bachri yang berjudul Berdarah:
hari ini aku berdarah. kapak
hitam menakik almanakku pecahlah rabuku
mengalirlah pecahlah seninku
mengalirlah pecahlah selasaku mengalirlah
pecahlah jumatku mengalirlah
darah
mengalir dalam denyut dalam debar.
Seluruh Jawa menjadi pertarungan setiap interest
para koloni saat itu. Rombongan Perusahaan Hindia Timur Britania berhasil
merebut kota pelabuhan Batavia dari tangan Hindia Belanda. Stamford Raffles
diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Jawa. Ia membebaskan kepemilikan tanah
dan memperluas jaringan perdagangan. Situasi ini dimanfaatkan oleh Hamengku
Buwono II untuk mengambil alih kembali kekuasaannya dari Hamengku Buwono III di
akhir tahun 1811.
Peralihan tersebut menjadi periode kedua
pemerintahan Sultan Sepuh. Pada peridode ini muncullah permusuhan antara Sultan
Sepuh dengan Raffles. Perlawanan Sultan Sepuh dibocorkan oleh Secadiningrat pada
Pemerintahan Inggris, bahwa Sultan mempersenjatai diri dan membuat pemerintahan
Inggris sangat berang. Pecahlah pertempuran di Yogyakarta. Sampai pada
akhirnya, Sultan Sepuh diasingkan. Kemudian Hamengku Buwono III berkuasa
kembali. Tetapi pada masa ini kedaulatan Yogyakarta dikebiri dan akhirnya harus
setuju pada tiga ketentuan.
Pertama, Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang,
dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real
setiap tahun. Kedua, Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya
beberapa tentara keamanan keraton saja. Ketiga, Sebagian daerah
kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung
Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.
Tiga ketentuan itu memang sangat menyakitkan
bagi Kerajaan Yogyakarta yang secara de facto memiliki kedaulatan penuh
setidaknya hingga tahun 1798. Hubungan dengan para koloni pada mulanya sebatas
mitra belaka. Namun api perlawanan itu kelak bergulir pada titisan Hamengku
Buwono III dari selir berdarah Sumenep Madura, R.A. Mangkarawati yang tersohor
dengan nama Pangeran Diponegoro.
Mungkin banyak orang membangun persepsi,
seandainya Notokusumo tidak mendukung Raffles, tentu Yogyakarta saat itu tetap
berada dalam singgasana kejayaan dan keluasan wilayahnya. Untuk itulah, benar
juga pepatah bijak orang Jawa : Rukun agawẻ sentosa, crah agawẻ bubrah, artinya
rukun membuat kita kuat, bertengkar membuat rusak. Pengertian lebih luas adalah
jika rakyatnya rukun membuat negara kuat, jika bertengkar membuat negara rusak.
Sumber Gambar 1 : https://goblokku.files.wordpress.com/2011/11/hamengkubuwonoiii.jpg
Sumber Gambar 2: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/33/Kraton_Yogyakarta_Pagelaran.jpg
0 comments :
Post a Comment