30 Januari
1948, matahari perdamaian dunia, Mahatma Gandhi menghembuskan nyawa karena
dibunuh oleh penganut Hindu ekstrem Muhasabha, Nathuram Godse dan
rekan-rekannya: Narayan Apte, Vishnu Karkare, dan Madanlal Pahwa.
Sang pembunuh
tidak suka, tersebab menurutnya inspirator yang dikremasi di New Delhi ini
terlalu getol membela kaum minoritas, termasuk kaum muslim di India.
Narasi besar
yang dinyanyikan Gandhi adalah “jiwa agung” dan “membela jalan kebenaran”. Ia
sangat membenci diskriminasi, ketidakadilan, dan rasisme.
Pengalaman
penting yang memupuk embrio perjuangan Gandhi tak lain dan tak bukan ketika ia
hijrah ke Natal, Afrika Selatan.
Di sana, ia
merasa menjadi korban rasisme dan perlakuan tidak adil atas hak-hak para
pekerja India. Ia pernah diusir dari kompartemen kereta kelas satu dan
ditendang disuruh keluar.
Baginya,
belajar dari pengalaman pahit menjadi pelajaran paling penting. Menyimpan
amarah dan mengubah amarah itu menjadi energi, lalu amarah yang terkendali
dapat diubah menjadi kekuatan besar yang dapat menggerakkan dunia.
Itulah
sebabnya, Gandhi menjadi guru besar yang berpengaruh bagi tokoh sekaliber
Jawaharlal Nehru, Nelson Mandela, Martin Luther King Jr, Gusdur, dll.
Inti pemikiran
Gandhi memiliki kecenderungan spiritual,
menempatkan intuisi sebagai sarana
memperoleh kebenaran; bersifat monistis;
selalu mempertimbangkan hal-hal yang bersifat tradisional dan bersedia menerima
komentar-komentar dari para pemikir, serta berupaya membumikan ajaran-ajaran
spiritualitasnya (David, 1984:76).
Kesederhanaan
tidak hanya mewarnai gagasan-gagasan dan gerakannya, melainkan menjadi perilaku
nyata sehari-hari. Tuhan bagi Gandhi, sebagai energi kebenaran dan kasih
sayang. Tuhan adalah etika dan moralitas. Gerakan-gerakan politiknya tak lain
sebagai aksentuasi dari nilai-nilai yang berkecamuk dalam pemikirannya,
sehingga membentuk kesederhanaan hidup yang dilingkupi “kebenaran”.
Kehadiran
Tuhan bagi Gandhi tercermin dalam sebuah realitas sosial. Realitas yang
mengandung keadilan dan ketidakadilan. Secara mendasar, ia mempersoalkan
kehadiran Tuhan dalam realitas diskriminatif, kotor, jijik, miskin, kumal, dan
sebagainya dalam institusi agama dan negara.
Gandhi yakin
“Tangan Tuhan” tidak semata-mata berkutat di tempat-tempat ibadah yang “suci”
dan elit. Tangan Tuhan menyentuh seluruh lapisan masyarakat miskin yang kumuh
dan kelaparan. Itulah landasan pertama, ahimsa, dalam pemikiran Gandhi yang
menguatkan spiritnya untuk mengangkat hak tangan-tangan “kotor” dan kumuh
menjadi mulia di hadapan hukum. Jiwa ahimsa adalah jiwa yang menolak kekerasan
terhadap semua makhluk. (Gandhi, 1982:66).
Gandhi menulis
dalam catatan hariannya: “Saat itu tak ada orang
Eropa yang bersedia membantu membalut luka mereka...Kami harus membersihkan
luka-luka orang Zulu yang tidak dirawat, setidaknya setelah lima atau enam hari
yang lalu, karena itu luka-lukanya membusuk dan sangat menakutkan. Kami
menyukai pekerjaan kami.”
Kedua, prinsip
satyagraha merupakan prinsip keteguhan hati dan jiwa untuk berpegang
teguh pada kebenaran. Tentu kebenaran hanya bisa dirasakan melalui hati nurani,
bukan indera luar yang mudah terkontaminasi oleh godaan-godaan ambisi. Tetapi
Gandhi berupaya menerjemahkan keteguhan itu ke wilayah sosial, politik, agama,
pendidikan, dan buadaya. Jiwa satyagrahi adalah jiwa yang kokoh, teguh,
dan tak dapat dibeli dengan materi (korupsi).
Ketiga, prinsip
bramkhacharya (mengendalikan nafsu seksual). Nafsu seksual adalah simbol
dari sifat kebinatangan manusia. Menurut Gandhi, jika nafsu kebinatangan bisa
dikendalikan, baik di ranah sosial maupun politik, maka kesewenang-wenangan,
ketidakadilan, penindasan, dan diskriminasi bisa dipastikan diminimalisir dari
realitas sosial.
Jika ada
bangsa lain yang menindas dan menyakiti, tentu perlawanan yang paling tepat
bukanlah perlawanan melalui kekerasan. Bagi Gandhi, kekerasan yang dibalas
dengan kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Dan kekerasan baru itulah yang
nantinya akan membentuk rezim baru yang justeru lebih keras.
Keempat, prinsip
Swadesi yakni upaya menguatkan identitas bangsa yang kuat. Gandhi
berupaya “memboikot” produk-produk Inggris sebagai penjajah, kemudian
menggerakkan masyarakat India untuk mengolah kreativitas yang bersumber dari
bahan baku alam India. Harapannya adalah agar masyarakat India back to
nature membangun kekuatan ekonomi mandiri yang berbasis kerakyatan.
Sebab itu pula
India disegani oleh bangsa-bangsa Amerika dan Eropa karena menyamai China,
menjadi penyuplai bahan baku terbesar di dunia. Bahkan sang penasehat Gedung Putih,
Samuel Huntington (2000:54) mengkategorikan sebagai negara yang “berbahaya”
bagi peradaban Amerika dan Eropa.
***
30 Januari
1948 lalu adalah hari yang redup bagi masyarakat India. Kematiannya adalah
kabar buruk bagi perdamaian dunia. Tetapi meskipun abu kremasi Gandhi sudah
bertabur, pemikiran-pemikirannya tetap berkibar di seluruh dunia.
Sebuah buku
yang secara khusus ditulis oleh Manohar Malgonkar “The Men Who Killed
Gandhi” telah menginspirasi sutradara terkenal Siddharth Sengupta. Ia
memproyeksikan buku itu di layar lebar yang ditayangkan bulan Januari 2014 lalu.
Semoga dengan
proyek itu, ajaran-ajaran Gandhi tetap bisa terealisasi dalam kehidupan sosial,
politik, pendidikan, agama, dan ekonomi di seluruh dunia. Boleh saja seorang
tokoh itu mendahului kita, tapi ajarannya tak dapat dilupakan begitu saja.***
Sumber Gambar 1 : http://www.iloveindia.com/indian-heroes/pics/mahatmagandhi.jpg
Sumber Gambar 2 : http://media2.intoday.in/indiatoday/images/Photo_gallery/mahatma%20gandhi_070811092419.jpg
0 comments :
Post a Comment