Home » » Sempor, Petani, dan Puisi

Sempor, Petani, dan Puisi

Diposkan oleh damar pada Monday, March 23, 2015 | 9:47 AM


Siapa yang di dalam hatinya tak punya rasa keindahan, maka ia tidak akan bisa melihat semua ciptaan Tuhan sebagai sesuatu yang indah (Ilya Abu Madi, Lebanon, 1967)

Waduk Sempor ternyata bukan semata-mata tempat wisata yang memiliki keindahan panorama yang luar biasa dahsyat. Waduk sempor ternyata punya sejarah pahit. Pohon-pohon pinus yang mengitarinya bagai nyawa-nyawa yang tumbuh hijau dalam kenangan kita.


Waduk Sempor dibangun dengan nyawa. Pada tahun 1967, 127 korban jiwa tercatat untuk melawan lupa. Waduk ini memiliki empat fungsi sekaligus, diantaranya; paraboga, paradipta, paratirta, dan pariwisata. Alam tentu memiliki keindahannya sendiri-sendiri, tetapi bagaimana masyarakat dapat menjaga keutuhannya.
Nama-nama yang menjadi pahlawan bagi terciptanya waduk Sempor terpampang jelas di sebuah monumen yang mirip Monas. Monumen itu pernah diresmikan oleh Prof. DR. Ir. Sutami, Menteri Pekerjaan Umum zaman Orde Baru, pada bulan Maret 1978.
Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1916, pas satu tahun sebelum bapak Soemitro Djojohadikusumo lahir di kota ini, telah mengidentifikasi bahwa terdapat sebuah tempat yang pas untuk dibuat waduk.
Identifikasi waduk untuk memastikan jalur irigasi untuk mencukupi kebutuhan air di lahan ribuan hektar pertanian di Gombong. Meskipun pada perjalanannya, pembangunan waduk itu baru terealisasi setelah Indonesia Merdeka di tahun 1950 dan berfungsi sebagai pembangkit listrik. Kini banyak orang menjadikannya sebagai tempat wisata keluarga yang indah.
Waduk Sempor memang menjadi bagian penting bagi para petani di Gombong dan sekitarnya. Padi-padi merunduk kemuning. Curah air begitu subur. Produksi padi berlangsung tiga putaran tiap tahun.
Masyarakat berharap akan terbangun kehidupan sejahtera di sekitar waduk. Jangan biarkan orang-orang di luar sana menikmati curah bumi kita, sementara orang-orang yang ada di sekitarnya hanya menjadi buruh tani yang tidak bisa berkuasa atas tanahnya sendiri.
Lingkungan masyarakatnya bertani di satu sisi dan menjadi buruh pabrik rokok di sisi lain. Kekayaan pertanian selama ini hanya dinikmati oleh kelas menengah. Harga hasil tani dirontokkan oleh kebijakan impor yang tak terkontrol. Ws. Rendra sudah lama menegaskan secara lugas dalam puisinya yang berjudul Sajak Burung-Burung Kondor;
Kemudian hatinya pilu
melihat jejak-jejak sedih para petani-buruh
yang terpacak di atas tanah gembur
namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani-buruh bekerja,
berumah di gubug-gubug tanpa jendela,
menanam bibit di tanah yang subur,
memanen hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup mereka sendiri sengsara.
Sajak di atas menceritakan tentang kehidupan sosiologis para petani yang sangat ironis. Mereka hidup di atas gundukan tanah yang luar biasa subur, tanaman-tanaman yang ranum, tetapi kondisi perekonomian mereka masih berada dalam situasi yang lemah. Para petani kita hanya mampu memproduksi bahan dasar pertanian, sementara mereka tidak mampu memproduksi hasil tani hingga mereka menentukan harga dari pekerjaan mereka.
Perubahan nasib tak berpihak pada para petani kita. Rendra mengungkapkan secara verbal dan sama sekali tidak metaforis pada bagian di atas. Sajak ini merupakan sajak keberpihakan atas realitas sosial aku (lirik). Sempor hanya menjadi bagian kecil dalam sajak Rendra. Sajak itu ditulis secara sadar bahwa negeri kita adalah negeri agraris.


Pada tahun 1980, penyair D. Zawawi Imron pernah menulis sebuah puisi berjudul Sungai Kecil. Puisi ini mengilustrasikan sebuah sungai antara Cirebon dan Purwokerto. Dapat dicurigai sungai yang dibicarakan Zawawi di sini adalah sungai Cincingguling yang melintang dari Serayu Cilacap. Sungai itu juga menjadi bagian dari sungai yang mengalir ke waduk Sempor, Gombong Kebumen Jawa Tengah ini.
Di saat-saat Zawawi menikmati airnya yang jernih, berpendarlah ungkapan-ungkapan puitik berikut ini;

sungai kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara Cirebon dan Purwokerto atau hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-\
daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku

sungai kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di manakah
negeri asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani
mudah melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang
jelita kutembangkan buat kekasihku.

1980

Bila anda lewat di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, dengan menggunakan kendaraan pribadi. Jangan lupa mampir sejenak untuk melepas penat pikiran. Bila anda dari arah Yogyakarta, sebelah barat pasar Gombong, ada sebuah bangjo (lampu APILL), lalu belok kanan. Ikutilah jalan itu sekitar 5km ke arah utara. Di kanan kiri jalan, anda akan diiring oleh aliran air di selokan yang panjang serta pohon-pohon di kanan kiri yang hijau. 10 menit kemudian, anda akan tiba di sebuah pintu gerbang yang kadang ada petugasnya, kadang pula tidak ada.***


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment