Siapa
yang di dalam hatinya tak punya rasa keindahan, maka ia tidak akan bisa melihat
semua ciptaan Tuhan sebagai sesuatu yang indah (Ilya Abu Madi, Lebanon,
1967)
Waduk Sempor
ternyata bukan semata-mata tempat wisata yang memiliki keindahan panorama yang
luar biasa dahsyat. Waduk sempor ternyata punya sejarah pahit. Pohon-pohon
pinus yang mengitarinya bagai nyawa-nyawa yang tumbuh hijau dalam kenangan kita.
Waduk Sempor dibangun
dengan nyawa. Pada tahun 1967, 127 korban jiwa tercatat untuk melawan lupa. Waduk ini memiliki empat fungsi sekaligus, diantaranya; paraboga, paradipta,
paratirta, dan pariwisata. Alam tentu memiliki keindahannya sendiri-sendiri,
tetapi bagaimana masyarakat dapat menjaga keutuhannya.
Nama-nama yang
menjadi pahlawan bagi terciptanya waduk Sempor terpampang jelas di sebuah
monumen yang mirip Monas. Monumen itu pernah diresmikan oleh Prof. DR. Ir.
Sutami, Menteri Pekerjaan Umum zaman Orde Baru, pada bulan Maret 1978.
Pemerintah
Hindia-Belanda pada tahun 1916, pas satu tahun sebelum bapak Soemitro Djojohadikusumo
lahir di kota ini, telah mengidentifikasi bahwa terdapat sebuah tempat yang pas
untuk dibuat waduk.
Identifikasi waduk
untuk memastikan jalur irigasi untuk mencukupi kebutuhan air di lahan ribuan
hektar pertanian di Gombong. Meskipun pada perjalanannya, pembangunan waduk itu
baru terealisasi setelah Indonesia Merdeka di tahun 1950 dan berfungsi sebagai
pembangkit listrik. Kini banyak orang menjadikannya sebagai tempat wisata keluarga
yang indah.
Waduk Sempor memang
menjadi bagian penting bagi para petani di Gombong dan sekitarnya. Padi-padi merunduk
kemuning. Curah air begitu subur. Produksi padi berlangsung tiga putaran tiap
tahun.
Masyarakat
berharap akan terbangun kehidupan sejahtera di sekitar waduk. Jangan biarkan
orang-orang di luar sana menikmati curah bumi kita, sementara orang-orang yang
ada di sekitarnya hanya menjadi buruh tani yang tidak bisa berkuasa atas
tanahnya sendiri.
Lingkungan masyarakatnya
bertani di satu sisi dan menjadi buruh pabrik rokok di sisi lain. Kekayaan pertanian
selama ini hanya dinikmati oleh kelas menengah. Harga hasil tani dirontokkan
oleh kebijakan impor yang tak terkontrol. Ws. Rendra sudah lama menegaskan
secara lugas dalam puisinya yang berjudul Sajak Burung-Burung Kondor;
Kemudian
hatinya pilu
melihat jejak-jejak
sedih para petani-buruh
yang
terpacak di atas tanah gembur
namun tidak
memberi kemakmuran bagi penduduknya.
Para tani-buruh
bekerja,
berumah di
gubug-gubug tanpa jendela,
memanen
hasil yang berlimpah dan makmur
namun hidup
mereka sendiri sengsara.
Sajak di atas
menceritakan tentang kehidupan sosiologis para petani yang sangat ironis. Mereka
hidup di atas gundukan tanah yang luar biasa subur, tanaman-tanaman yang ranum,
tetapi kondisi perekonomian mereka masih berada dalam situasi yang lemah. Para petani
kita hanya mampu memproduksi bahan dasar pertanian, sementara mereka tidak
mampu memproduksi hasil tani hingga mereka menentukan harga dari pekerjaan
mereka.
Perubahan nasib
tak berpihak pada para petani kita. Rendra mengungkapkan secara verbal dan sama
sekali tidak metaforis pada bagian di atas. Sajak ini merupakan sajak keberpihakan
atas realitas sosial aku (lirik). Sempor hanya menjadi bagian kecil dalam sajak
Rendra. Sajak itu ditulis secara sadar bahwa negeri kita adalah negeri agraris.
Pada tahun
1980, penyair D. Zawawi Imron pernah menulis sebuah puisi berjudul Sungai
Kecil. Puisi ini mengilustrasikan sebuah sungai antara Cirebon dan
Purwokerto. Dapat dicurigai sungai yang dibicarakan Zawawi di sini adalah
sungai Cincingguling yang melintang dari Serayu Cilacap. Sungai itu juga
menjadi bagian dari sungai yang mengalir ke waduk Sempor, Gombong Kebumen Jawa
Tengah ini.
Di saat-saat
Zawawi menikmati airnya yang jernih, berpendarlah ungkapan-ungkapan puitik
berikut ini;
sungai
kecil, sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara Cirebon
dan Purwokerto atau hanya dalam mimpi?
di atasmu
batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-\
daun
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam
doaku
sungai
kecil, sungai kecil terangkanlah kepadaku, di manakah
negeri
asalmu?
di atasmu
akan kupasang jembatan bambu agar para petani
mudah
melintasimu danb akan kubersihkan lubukmu agar
para
perampok yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai
kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau
kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang
jelita
kutembangkan buat kekasihku.
1980
Bila anda
lewat di Gombong, Kebumen, Jawa Tengah, dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Jangan lupa mampir sejenak untuk melepas penat pikiran. Bila anda dari arah
Yogyakarta, sebelah barat pasar Gombong, ada sebuah bangjo (lampu
APILL), lalu belok kanan. Ikutilah jalan itu sekitar 5km ke arah utara. Di
kanan kiri jalan, anda akan diiring oleh aliran air di selokan yang panjang
serta pohon-pohon di kanan kiri yang hijau. 10 menit kemudian, anda akan tiba
di sebuah pintu gerbang yang kadang ada petugasnya, kadang pula tidak ada.***
0 comments :
Post a Comment