Dan cinta adalah nyawa
engkau boleh mengatasnamakan apa saja
tetapi yang tumbuh di dada ini
adalah pohon cahayanya
tebanglah
jika engkau sanggup menanggung perihnya
(Zainal Arifin Thaha, Cinta Adalah Nyawa, 1996)
Gus, salam ta’dzim.
Surat ini ditulis oleh murid yang selalu merindukan seorang guru bersahaja yang
benar-benar berusaha mengorbitkan semua murid-muridnya menjadi orang bermanfaat,
minimal diri sendiri dan sesamanya. Hanya melalui surat ini kami bisa
menyampaikan kerinduan kepadamu.
Suatu waktu
engkau pernah menasihati kami: berbuatlahlah meskipun sedikit, dari pada kamu
berangan-angan ingin bertindak banyak. Ya, ternyata action itu lebih
penting daripada hanya berangan-angan layaknya para penyair gagal itu. Apalagi
berangan-angan ingin menulis puisi, cerpen, novel yang dahsyat, tetapi
kenyataannya tak ditulis-tulis pula.
Murid-muridmu
memang banyak yang menjadi penulis, Gus. Karya-karya mereka bertebaran di
seluruh media massa di negeri ini. Setiap huruf dan kata-kata yang berpendar di
lembaran-lembaran koran minggu itu, sejatinya mereka sedang mengibarkan bendera
namamu. Hingga saat ini, saya masih belum percaya jika engkau ini sudah
meninggal, Gus. Engkau masih hidup, minimal di dalam hati kami dan hati setiap
orang yang pernah merasakan sejuk air kebaikanmu.
Gus, masih
ingat kan? Bagaimana ayammu yang dipelihara oleh penyair dan esais hebat Ridwan
Munawar, hanya karena sakit sedikit, lalu kami sembelih bersama-sama? Haaa, itu
adalah bagian dari tingkah muridmu yang masola (nakal). Engkau hanya
menegur kami begini “Lho, mana ayam satunya kok tinggal tiga?” lalu kami dan
teman-teman dengan muka tanpa bersalah menjawab “Sudah disembelih, Gus! Ayamnya
sakit.”
Engkau hanya
menimpali “Ya, jangan gitu rek! Kalau mau nyembelih itu ya ngomong. Kan
enak kalau disembelih bersama-sama dan dimakan bersama-sama.” Saat itu yang
memutuskan untuk menyembelih biar saya sebutkan di sini Gus. Ada cerpenis hebat
Mahwi Air Tawar, Fauzi Abdur Rahman (bagian rempah-rempah), saya bagian
menguliti bulunya, sementara Yunus BS, yang sekarang jadi kiai kondang di
Masalembu, tukang sembelihnya, Gus.
***
Gus, setiap
malam tak bosan-bosan engkau mengadakan evaluasi kepada kami, baik berkaitan
dengan intelektualitas, spiritualitas, dan profesionalitas. Tiga jargon yang
selalu engkau sodorkan kepada kami dan bagaimana cara mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Kami ingat
betul, bagaimana santri-santrimu yang nakal itu beraksi. Ketika engkau siap
mengisi pengajian bersama kami. Engkau membawa secangkir kopi dan sebungkus
rokok. Pengajian berlangsung selama satu jam. Setelah itu engkau buka sesi
tanya jawab. Di tengah-tengah sesi itu, dipanggil dari rumah utara, bahwa ada
telpon yang harus engkau terima.
Kemudian setelah kembali lagi ke majlis pengajian di pondok, kopi yang pada mulanya tinggal separuh telah habis dan rokok yang pada mulanya tinggal lima batang tinggal satu batang. Siapa yang minum kopi dan merokok? Tanyalah pada Rahmat, Affas, dan kawan-kawan. He He. Betapa bengal santri-santrimu itu, Gus. Tapi tak sedikitpun teronggok rasa marah di raut wajahmu.
Dan suatu
hari, engkau kehilangan sarung dan kaos di tempat jemuran depan pondok. Setelah
hari berikutnya ternyata sarung dan kaos itu dipakai oleh sastrawan Ridwan
Munawar, hehehe, tetapi saat itu engkau justeru tertawa dan bilang “Wah, kaos
dan sarung itu dicari dari kemarin, ternyata kamu yang memakai, Wan. Ah, bisa
saja kamu ini.”
Memang banyak
sekali kisah yang berkaitan dengan Ridwan. Ia termasuk santri paling rajin
menjalankan program jualan bukumu di kampus-kampus, Gus. Tapi terus terang
saja, lama-lama saya pun penasaran, kenapa anak ini rajin sekali berangkat
jualan buku di UAD Sastra. Ternyata, seminggu kemudian mulai terkuak. Selain
jualan buku, Ridwan juga ikut pencak silat di kampus itu. hehehe.
***
Gus, sulit
sekali kami mendapat ganti sosok sepertimu. Pepatah hilang satu tumbuh
seribu itu tak terbukti bagi kepergianmu. Sampai saat ini engkau tak
tergantikan. Teman kami yang bernama Saifulllah, telah mengabadikan namamu
menjadi nama anaknya : Zainal Arifin Thaha. Itu sebabnya, setiap kami datang ke
rumahnya, kerinduan kami tumbuh lagi.
Semoga engkau selalu
tenang dan bahagia di sana, Gus! Meski bagian-bagian tertentu mulai runtuh dan
dimiliki orang lain. Ajaran-ajaranmu tetap berkibar sampai kapanpun. Kepergianmu
delapan tahun lalu sejatinya sedang mengalami puisi yang engkau tulis sendiri.
Puisi itu berjudul Ciuman Terakhir Menjelang Kematian:
Di bawah
matahari terik yang meledak-ledak
keringat
begitu deras melumuri tangan malaikat
dan aku
yang terpingsan-pingsan dekat jendela
memandang
wajahmu dalam gaib asmaradana
“Tuhan,
beri aku ciuman, sebelum nyawa meregang
Meninggalkan
tanah sorga yang jalang rupawan.”
Dan
malaikat mulai lingsir ke sebelah wuwung
malaikat
merayap-rayapkan tangan
mencari
letak nyawa
tangis
begitu mengharap
hingga ini
kamar bagai debur gelombang
tangan
menggapai-gapai
meraih alam
lain yang penuh camar
“Tuhan,
beri aku ciuman, biar segera lesat
ini sukma
dan
terlemparlah bangkai badan dari biru semesta.”
Sumber Gambar 1: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDGCr1S1GC1hyphenhyphens2S910o-ODfiR3UzO2rfwimAB52wc7a2Bqai24w7q6DwrpTy3lkru7-p9gMXPUOCm1JxXdHZ5COKcSgPNc7_ZUlUe-XOAi-o0ZGFBDkUZlH2Y6UnLEQfLEEEsS1gNhk2M/s300/Gus+Zainal+Arifin+Thoha.jpg
Sumber Gambar 2 : https://c2.staticflickr.com/4/3195/2494714454_a8a9e521cd.jpg
Esai ini dimuat di Merapi, 15 Maret 2015
0 comments :
Post a Comment