Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa
panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar
tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan.
Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang.
panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar
tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan.
Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang.
(Ngiau, 1999, Sutardji
Calzoum Bachri)
Bila dua ekor
kucing saling berteriak di tengah petang, biarkanlah! Mereka sedang berupaya
memadu kasih, negosiasi, ta’aruf, dan berbujuk-rayu. Mereka akan
berkejaran, petak-umpet, sambil berteriak “meeeooooonggggggg!” layaknya
sepasang kekasih yang malu-malu mau.
Kucing
merupakan binatang yang banyak disukai, dipelihara, bahkan belakangan ini
kucing seringkali diternak dan dijadikan lahan bisnis yang menguntungkan. Pernahkah
kita dengar mitos-mitos yang berkembang di kampung kita berkaitan dengan kucing?
Bila kita sedang berkendara, lalu menabrak kucing, lalu kucing itu mati, tandanya
kita akan celaka, kecuali kita menguburnya.
Di Jerman,
tumbuh kepercayaan, apabila kucing hitam melompat di tempat tidur orang yang
sakit, maka ajal akan segera datang. Di Jawa, kucing dengan bulu tiga warna
lebih disukai, karena dipercayai membawa keberuntungan dan dapat menolak celaka.
Dan bila ada orang yang meninggal, sementara rencana penguburannya masih esok
hari dengan berbagai alasan, misal menunggu kerabat masih diperjalanan,
jenazahnya diinapkan, biasanya dijaga semalaman, karena khawatir ada kucing
yang melompat di atasnya.
Dalam mitologi
Mesir kuno, kucing disebut sebagai dewi pelindung (bast), karena dewi
bast sangat mirip dengan kucing. Dewi kucing juga dikenal sebagai dewi perawan,
putri dari Dewa Matahari yang bernama Ra. Ia merupakan ibu dari Mihos.
Sekitar 5000 tahun
Sebelum Masehi, kucing Afrika dijinakkan di Mesir untuk menjaga pangan dari serangan
hewan-hewan lain seperti tikus. Karena manfaat kucing yang luar biasa, kerajaan
Fir’aun Mesir kuno sempat melarang ekspor kucing, bahkan kerajaan menghadiahkan
hukuman mati bagi yang melanggar.
Fir’aun
bukanlah nama orang, melainkan nama gelar kehormatan semua periode Raja Mesir. Nama
raja Fir’aun yang dimumi adalah Ramses III (1186-1155 SM). Ia merupakan Fir’aun
kedua dari dinasti ke-20. Ramses III adalah putra dari Setnakhte dan ibunya
Tiy-Merenese. Alasan terpenting bangsa Fir’aun menghormati kucing karena hewan
lucu satu ini telah menyelamatkan bangsa Mesir dari kelaparan.
Yang menarik, beberapa
waktu lalu, artefak kucing ditemukan di kota Alexandria Mesir berusia ± 4.000 tahun
silam. Artefak itu menguatkan bahwa kucing dalam sejarah Mesir memang disembah.
Kota Alexandria yang juga dikenal dengan Iskandariyah merupakan kota pelabuhan
terbesar kedua di Mesir. Kota ini terletak sekitar 208 km sebelah barat laut
kota Kairo.
Stephen Summer
(1999) mengilustrasi dengan sangat bagus tentang kucing dalam film the Mumy.
Dalam film itu, mumi berusaha menyerang sang tokoh, kemudian hancur lebur ketika
melihat kucing. Tatapan matanya yang nanar memporak-porandakan mumi yang
berusaha masuk dalam kamar, dan mumi hancur menjadi pasir di kamar itu. Adegan ini
secara historis mengilustrasikan bahwa pendekar-pendekar dari Mesir, tidak akan
menyerang dalam sebuah perang, apabila musuh mereka membunuh kucing di medan
perang sebelum bertarung.
Dalam sejarah
peradaban Islam, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad Saw. juga memiliki seekor
kucing yang bernama Mueeza. Karena saking sayang pada Mueeza, suatu waktu,
ketika beliau hendak berangkat ke Masjid, Mueeza terlelap di atas jubahnya. Beliau
hanya mengelus-elusnya tiga kali. Karena Mueeza tidak bangun, beliau memotong
beberapa kain untuk dipakainya ke masjid.
Sebab itulah,
Rasul begitu sayang terhadap kucing dan beliau sangat murka ketika ada orang
yang menyiksa kucing. Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Seorang
wanita disiksa karena mengurung seekor kucing sampai mati. Kemudian wanita itu
masuk neraka karenanya, yaitu karena ketika mengurungnya ia tidak memberinya
makan dan tidak pula memberinya minum sebagaimana ia tidak juga melepasnya
mencari makan dari serangga-serangga tanah.” (Shahih Muslim No.4160)
Abu Hurairah
adalah gelar yang diberikan Nabi kepadanya, karena setiap ia bertemu dengan
Nabi, selalu ditanya “apakah gerangan yang ada di lenganmu, sahabat?” lalu Abu
Hurairah mengeluarkan seekor kucing kecil yang disayanginya. Sejak itu, lelaki
yang memiliki nama lahir Abdu Syamsi itu diberi gelar Abu Hurairah (bapak para
kucing jantan). Nama pemberian Nabi kepada Abdu Syamsi setelah masuk Islam
adalah Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi. Kucing memang hewan biasa yang bermakna
tidak biasa. Kucing telah hidup ribuan tahun yang lalu. Kucing merupakan
lambang keamanan, keharmonisan, dan kasih sayang.
Tetapi zaman
post-modernisme telah mengubah hal ihwal paradigma orang tentang kucing,
meskipun paradigma ini hanya bekerja di dunia persepsi. Film animasi Tom and
Jerry telah mendekontruksi persepsi umum bahwa kucing yang secara kodrati
dan alamiah semenjak zaman ekumene 5000 tahun yang lalu, selalu menang sama
tikus, dalam film ini ia kalah. Tikus (Jerry) dihadirkan sebagai sosok kecil
yang lebih cerdik dari kucing (Tom).
Munculnya film
itu dapat pula ditandai sebagai bangkitnya kaum minoritas, sub-altern, dan
orang-orang pinggiran yang selalu kalah. Para pemangku kekuatan, kelompok
mayoritas, mengalami kekalahan karena sikap-sikap terlena dan gegabah, seperti
Tom.
Kisah dalam
film animasi ini digarap oleh dua orang animator, William Hanna (1910-2001) dan
Joseph Barbera (1911-2006). William Hanna adalah seorang produser, sutradara
dan kartunis Amerika Serikat. Ia pernah kuliah Camton City Collage, tetapi
tidak selesai. Ia mengalami depresi yang luar biasa. Di tengah-tengah depresi,
ia bekerja serabutan sambil mengembangkan potensinya, dan ia menemukan kembali
hidupnya setelah bergabung dengan studio animasi Harman and Ising pada tahun
1930.
Joseph Barbera
adalah seniman kartun Amerika Serikat, artis, dan produser. Ia menjalani masa
muda, sekolah, hingga dewasa di kota New York. Di tengah kesibukannya sebagai
seorang Bankir, ia terus menerus mengasah kemampuannya di bidang kartun. Dan
menjumpai keberhasilan yang luar biasa setelah kartun hasil ciptaannya disukai
banyak orang di seluruh dunia.
Film serial
kartun Tom and Jerry adalah film animasi yang paling banyak menerima
penghargaan, salah satunya piala Academy Award (Piala Oscar).
***
Bagaimana pun
kucing tetaplah kucing. Ia tetap menjadi hewan lucu yang kadang disenangi dan
kadang pula dibenci. Kucing juga tak luput dari radar penglihatan penyair
terkemuka Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri. Pada tahun 1995, presiden penyair
itu menulis sebuah puisi berjudul Kucing, yang berbunyi:
Ngiau! Kucing dalam darah dia
menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau
dia ber
gegas lewat dalam aortaku
dalam rimba
darahku dia besar dia bukan
harimau bu
kan singa bukan hiena bukan
leopar dia
macam kucing bukan kucing tapi
kucing
ngiau dia lapar dia merambah
rimba af
rikaku dengan cakarnya dengan
amuknya
dia meraung dia mengerang
jangan beri
daging dia tak mau daging
Jesus jangan
beri roti dia tak mau roti
ngiau ku
cing meronta dalam darahku
meraung
merambah barah darahku dia
lapar 0
alangkah lapar ngiau berapa
juta hari
dia tak makan berapa ribu
waktu dia
tak kenyang berapa juta lapar
lapar ku
cingku berapa abad dia mencari
menca
kar menunggu tuhan mencipta
kucingku
tanpa mauku dan sekarang dia
meraung
mencariMu dia lapar jangan
beri da
ging jangan beri nasi tuhan
mencipta
nya tanpa setahuku dan kini
dia minta
tuhan sejemput saja untuk
tenang seha
ri untuk kenyang sewaktu untuk
tenang.
Sutardji sadar
benar bahwa dalam dirinya ada kekuatan, keperkasaan, kewibawaan, kemampuan
melindungi, bahkan kebuasan yang lapar. Namun kebuasan yang lapar itu tak butuh
sesuatu yang fisik, tak butuh yang sementara, tak butuh yang imanen, dia
lapar jangan beri daging/ jangan beri nasi tuhan menciptanya/ tanpa setahuku
dan kini dia minta/ tuhan sejemput saja untuk tenang sehari/ untuk kenyang
sewaktu untuk tenang. Kucing buas yang lapar itu hanya bisa jinak dengan kejinakan
tuhan.
Tentu Sutardji
hanya mengungkap satu bagian saja dari sifat ke-kucing-an—lebih tepatnya
kehewanan--manusia. Apakah kucing dalam diri itu benar-benar akan
berteriak-teriak, meronta tanpa henti, menyerang di seluruh aliran darah kita,
tanpa bisa dikendalikan oleh sifat ketuhanan dalam diri? Atau kucing-kucing
justeru saling mangsa dalam diri, memangsa tikus-tikus diri, bahkan memangsa
tuhan dalam diri sehingga pada akhirnya kita menyembah kucing dalam diri itu?
Aku (lirik)
benar-benar menjadikan diri sebagai miniatur dunia. Kucing-kucing itu telah
merambah lembah Afrikaku, yang bisa juga merambah lembah Palestinaku, Timur
Tengahku, Eropaku, Amerikaku, dan lembah Asiaku. Kucing-kucing itu bukan
leopar, bukan jet tempur, bukan tank-tank, bukan persenjataan yang dicipta
untuk meluluhlantakkan manusia lain. Tapi senjata-senjata celaka itu dikendalikan
oleh kucing-kucing buas yang tak mau diberi makan roti, nasi, bahkan tidak mau
diberi makan Jesus dan Muhammad. Kucing-kucing itu hanya butuh tangan tuhan
untuk tenang. Entah tangan tuhan yang kasar yang berupa bencana alam atau
tangan tuhan yang lembut alias hati mereka ditenangkan.
Bukankah
begitu bang Tardji?
Ternyata,
setiap orang di dunia ini sedang memelihara kucing-kucing mereka sendiri dalam
diri. Kucing-kucing itu memiliki peran yang signifikan dari cara kita
membesarkannya. Jika kita membesarkan dengan cinta, kucing-kucing itu seperti
dewi bast yang dapat melindungi dari celaka. Jika kucing-kucing itu dipelihara
dengan amuk, kucing-kucing itu akan terus menerus ngamuk, melalui sikap,
perilaku, dan cara kerja sosial kita. Karena itu, saya setuju pada sebuah
pepatah Arab yang berbunyi: idza kaana qalbuka wardatan/ fakullu ma yakhruju
min famika yakuunu mu’thiran artinya jika hatimu adalah bunga mawar/ maka
yang keluar dari mulutmu pastilah keharuman wangi-wangian.***
Sumber Gambar : https://artkustiks.files.wordpress.com/2011/04/modern-cat-04.jpg
0 comments :
Post a Comment