Home » » Orang-Orang Tanah Garam

Orang-Orang Tanah Garam

Diposkan oleh damar pada Tuesday, March 17, 2015 | 11:56 PM


http://www.greenerbali.com/image-files/puri-lukisan-painting.jpg

a/
Kami merasa, mata kami selalu asin. Apakah karena kami berdekatan dengan laut?---berderak dalam jiwa kami. Kening kusam di bawah matahari yang menyengat. Ayah memperbaiki kincir yang berdiri di pojok kanan tambak, Ibu mengais-ngais air yang dialirkan dari laut. Suara ombak seperti dengusan gelombang pasang.
Ibu melangkah seraya memasang sebuah pembatas yang terbuat dari semen, agar air yang baru dialirkannya tidak membasahi tumpukan garam. “Yang bercampur pasir tidak usah dimasukkan, Pulanti!” Tukas Ibu dari arah pembatas. Aku hanya mengangguk. Kata Ibu, garam yang bercampur pasir akan didaur dengan air yang baru dialirkan.

Aku memasukkan garam dalam sebuah karung goni. Satu, dua hingga tiga karung bisa kami hasilkan setiap dua minggu. Sesekali aku membetulkan handuk yang disaungkan di atas caping yang terbuat dari menjalin. Keringat menghujan di sekujur tubuh kami. Basah. Tat! Tat! Tat! Tat! Tat! Laguh lagah suara kincir sedikit menghibur kepenatan kami.
Separuh bambu bergoyang naik turun menggusar air di tambak ketika kincir berputar: semakin kencang kincir berputar, semakin bergelombang pula air di tambak dan semakin cepat pula air itu menjadi garam. Matahari terik. Udara amis cempedak. Kulit kami menghitam dan seolah-olah terlihat bersisik. Mungkin saja karena panas yang terlalu menukik.
Ibu segera mendekatiku. Mengambil sebuah skop yang meliang di tanah. Ibu membantuku mendorong garam ke tumpukan. Pelan-pelan. Penuh kehati-hatian. Aku memasukkan garam dalam karung. Ibu menoleh pada karung yang sudah dipenuhi garam, “Biar Ibu yang menali” katanya parau. Aku segera mengisi karung yang baru lagi.  
Dan seusai memperbaiki kincir, Ayah bersiap mengangkutnya dengan sepeda ontel yang dipinjamnya dari Sahnawi menuju gubuk: satu karung di samping kanan dan satunya lagi di samping kiri. Ayah mendorongnya dari belakang.
Terlihat juga Sahnawi bolak-balik ke tambak, Bi’ Subina mengisi karung goni, Rupakmo memperbaiki saluran air, Sakida senyum tiris di pinggir gigir dan parau suara orang-orang yang memiliki petak tambak di dekat ladang kami. Mereka membawa pulang hasil panennya. Muka mereka seperti malam tanggal enam. Bulan di mata mereka tak kunjung padang. Lekang lengket garam di kulit dan baju mereka diciumi angin yang pergi dan datang.

b/
Hari ini, kami bersiap untuk berangkat ke seberang, bersangu semangat keras karang. Di langit, matahari bersinar benderang, berkapas-kapas awan tipis melintas di angkasa. Angin menghelai rambut yang merumbai.  Kemudian Ayah memasang caping, celana komprang lusuh hitam, kaos oblong warna kelam. Wajah Ayah terlihat penat: alisnya seperti perahu yang tak membuka layar.
Ayah mempersiapkan dua paruh garam, dimasukkan dalam keranjang menjalin yang dianggit. Kemudian ia mengambil gagang bambu warna putih untuk memikul keranjang itu. Ayah segera keluar dari gubuk. Sementara Ibu membungkus sangu nasi jagung, lauk lembayung dengan bungkus daun jati. Sebotol kopi dan sebotol air.
Aha! Kami seperti terjebak dalam perjalanan panjang. Setiap habis panen, kami harus menjajakan garam ke kampung-kampung, menukar dengan beras, ikan, kopi, rempah-rempah, rokok dan segala kebutuhan kami. Itupun jika orang-orang di kampung seberang berkehendak untuk menukar. Terkadang  kami pulang dengan tangan kosong: Ayah memikul dua paruh karung berisi garam, Ibu menyunggi keranjang yang terbuat dari anggitan bambu.
Ya, garam hasil panen kami tak bisa masuk ke gudang, tersebab ulah Haji Amrin Ra’uf bangsat itu. Sebagai juragan garam perwakilan di kecamatan kami, ia berupaya membeli dengan harga yang murah. Satu karung garam hanya akan dibeli dengan harga Rp 3000. Sungguh harga yang tidak pantas. Ia memiliki puluhan hektar tambak yang dikelola sendiri, karenanya ia tak menghargai hasil panen kami. Sudah berkali-kali kami meminta agar Haji Amrin Ra’uf bisa membeli garam kami dengan harga yang pantas. Namun kepalanya hanya mengangguk, bibirnya mencibir seperti ember dan kumisnya bergerak-gerak seperti ekor babi ketika berbicara. Bohong. Bangsat.
Pernah suatu waktu, tambak kami akan dibeli oleh Haji Amrin Ra’uf dengan harga yang mahal, namun kami bersepakat untuk tidak menjualnya. Sebab kami berpikir, jika ladang kami dijual, kami tak bisa punya penghasilan. Itulah sebabnya kami geram pada Haji Amrin Ra’uf. Dan itu pula sebabnya kami berupaya untuk menjajakan garam hasil panen kami ke pulau seberang. Meski harus melintasi laut, berbantal ombak, berselimut angin dan menyusuri lanau pulau-pulau. Kami tetap berupaya melanglang membawa garam kami.
Aku segera mempersiapkan baju-bajuku, juga baju Ayah dan Ibu. Aku memasukkan dalam sebuah buntalan sarung. Tak terlupakan, Ayah membawa sebuah kaleng kecil berisi tembakau lintingan. Dan kaleng yang berisi tembakau, botol kopi, air dan nasi sangu dibungkus sebuah plastik berwarna hitam. Plastik itu dimasukkan ke dalam karung garam yang siap dipikul Ayah. Dan inilah kali keduaku ikut menjajakan garam ke pulau seberang.
Lalu lelaki berkumis tipis dengan wajah kusam itu masuk lagi ke gubuk, ia menunjuk sebuah karung goni. Perempuan memakai samper dengan kerudung berwarna merah muda itu segera mengambil garam. Ayah mendekat. 
“Yang ini dibawa duluan,” telunjuk Ayah mengarah pada karung goni berwarna cokelat yang telah dibuka. Ibu mengangguk. Tak ada kata-kata pecah di udara. Ibu terlihat penat. Aku menatap matanya yang bermendung. Mungkin saja Ibu sedang membayangkan perjalanan panjang, menyeberangi laut, melintasi darat, menaiki bukit, menuruni lembah, mengikuti setapak yang meliuk.  Ayah melangkahkan kakinya keluar dari gubuk.
“Pulanti, berangkat!” Ajak Ibu.
“Iya, Bu!”
Aku segera mendekat. Aku dan Ibu memasang kain tebal alas sunggi. Aku mengangkat pelan-pelan, kemudian aku menaruh keranjang itu di atas kepalaku. Begitu pula Ibu. Sementara Ayah segera memikul dua keranjang itu. Kami berjalan pelan-pelan, keluar dari halaman, menuju pantai. Laut membiru di mata kami. Dan suara gelombang laut tak pernah surut di telinga kami. Kami terus berjalan menuju pantai, mengikuti jalan nasib yang mengintai.
Matahari terik menyengat kulit kami. Lalu lalang orang-orang di pinggir pantai terlihat sibuk, sebagian menunduk menata jaring ikan, bersiap untuk melempar lokan di laut seberang. Sebagian yang lain baru datang, dengan muka cerah gembira karena mendapatkan ikan yang memuaskan. Deru mesin sampan berlalu lalang: pergi dan pulang. Sementara kami masih menunggu sampan penumpang yang mengangkut orang-orang yang akan berlayar ke pulau seberang.
Ah! Pasir di pantai terlihat mengkilau ke masa silam. Aku teringat masa kecil ketika bermain. Seorang lelaki sepermainanku, ketika menyusun pasir dan air asin, mencipta tubuh manusia di pasir, gelak tawa yang pecah diantara debur ombak. Lelaki itu semakin lekat di mataku---Mengapa kamu membiarkan dirimu hanyut oleh ombak laut yang menyimpan maut, Mahdawi? Apakah kamu dimakan ikan? Atau bersembunyi dalam karang?---angin tak mengantarkan jawaban.
Tiba-tiba Ayah mendekati seorang lelaki kurus dan tinggi yang berdiam di sebuah gubuk pinggir pantai. Tentu saja lelaki itu membawa garam. Tapi tidak dengan keranjang yang dipikul sebagaimana Ayah. Ia membawa sepeda ontel dan gerobak. Asap kelobot mengepul dari mulutnya. Ya, laki-laki itu adalah Sahnawi. Topinya berwarna hitam lusuh. Mukanya sedikit pucat.
“Mana Maryam?” Tanya Ayah
“Ibu sakit. Ia menjaga Ibu,”
Sahnawi menghisap lagi batang rokoknya. Sesekali memandang ke kanan, ke arah suara ramai orang-orang yang baru pulang dari melaut. Ya, orang-orang yang baru menemui istri dan anaknya. Kemudian Sahnawi kembali menatap wajah Ayah.  
“Haji Amrin Ra’uf belum menaikkan harga, Sim?” Ayah menggeleng. “Aku sudah meminta agar teman-teman petani garam bisa mendatangi Haji Amrin Ra’uf lagi,”
“Tapi kita tak pernah bisa membujuknya,”
“Aku mendapat kabar dari Supardi, teman kita di Kecamatan Dungkek, harga garam di sana mencapai 30 ribu/karung,”
“Bagaimana jikalau garam kita dijual ke sana?”
“Tidak bisa, Sim” Sahnawi menyedot kelobotnya lagi dan menghempaskan asap ke udara “setiap kecamatan sudah ada penanggung jawabnya masing-masing,” Lanjutnya.
“Sayangnya kita seperti ijuk tak bersagar,” Ayah mengeluarkan sebuah kaleng berwarna hijau, Ayah melinting “Kita tak punya sanak saudara yang bisa didengarkan Haji Amrin ra’uf,”. Ayah seolah menyesali dirinya. Sahnawi hanya mengangguk. “Tapi kita seharusnya bisa. Kita memang harus menggugat. Tidak sepantasnya kita terus menerus diam begini,” tegas Sahnawi dengan mata berapi-api. 
Ayah menunduk, sesekali menghenyakkan napas ke udara.  
Ayaaaahhh! Perahunya sudah datang,”
Ayah segera beranjak. Begitu pula Sahnawi. Ayah mendekati kami. Ibu segera mengangkat keranjang. Ayah kembali memikul dua paruh karung dalam dua keranjang. Kami segera menaiki perahu kecil. Sementara juru mudi segera menaikkan keranjang-keranjang kami ke atas sampan kecil itu. Tentu saja setiap penumpang yang bersiap menaiki sampan besar jurusan pulau seberang harus menaiki tongkang.  
Angin menghempas rambut kami. Dan remang-remang pulau seberang terpancang dalam penglihatan. Ombak tampak tenang. Ikan-ikan kecil terlihat riang berenang. Kami pindah ke sampan besar. Barang-barang kami diangkut ke altar sampan. Para penumpang yang lain juga segera menaiki sampan besar ini. Wajahmu masih tergambar di air, Mahdawi! Dan setiap kali aku melihat ikan, kerling matamu begitu terang. Apakah kamu mengikuti perjalananku?
Remang-remang di mata kami sebuah cagak mercusuar pulau seberang. Cagak putih menusuk angkasa. Juru mudi melepas tampar. Perahu memecah ombak dan mulai berjarak dari pantai. Kami meninggalkan tanah garam, udara asin dan bunyi kincir di tambak.

c/
Sampan mulai merapat ke pantai seberang. Juru mudi mulai menutup layar. Terlihat matahari di ufuk barat bersiap masuk dalam tandannya. Langit merah pitam, awan menggumpal kelam. Bianglala menggantung seolah karam. Kami turun dari sampan, barang-barang kami dipanggul Ayah ke pinggir. Aku dan Ibu turun. Melangkah cepat, menginjak pasir putih di pantai. Ibu menatap pulau kelahiran, seolah-olah Ibu mendengar suara kincir di tambak.
Aku juga berdiri, di mataku laut seolah bersambung dengan langit. Orang-orang lalu lalang, juga suara mesin sampan yang terdengar ke ambang. Pantai sudah mulai gelap. Ayah mengajak kami beranjak, ia meminta Ibu dan aku segera menyunggi keranjang garam, dan Ayah memikulnya. Meski lelah, kami terus melangkah. Memasuki sebuah gapura yang terbuat dari bambu yang bercat kuning keemasan. Kami terus menyusuri jalanan berpasir, melewati jalanan yang disesaki pohon-pohon nyiur.
Tibalah kami di sebuah rumah bambu berwarna putih. Rumah yang tidak terlalu besar, namun tertata rapi. Dan di halaman rumah itu ada banyak bonsai cemara udang. Berbanjar. Di bawah pot bonsai cemara itu, disusun batu bata. Lima-lima. Kurang lebih setinggi setengah meter. Pintu itu segera terbuka. Seorang lelaki berambut gondrong keluar. Kumisnya lebat. Ia memakai celana cokelat dan kaos oblong warna hijau. Dadanya yang bidak terlihat sangat tegap.
“Silahkan masuk!” dengan suara yang santun. Sungguh aku tak menyangka lelaki jangkung dengan rambut gondrong dan kumis tebal bersikap sedemikian baik. Sebelumnya aku mengira setiap lelaki gondrong dan jangkung adalah lelaki yang jahat. Tersebab aku belum pernah menjumpai lelaki tinggi besar ini, “Wah! rupanya anakmu sudah besar,”
“Sudah saatnya diajari bekerja, Wan! biar tahu pahit getir kehidupan,” Tukas Ayah dengan sangat akrab. Ayah memintaku untuk segera bersalaman dengannya. Aku segera menjulurkan telapak tanganku dan aku mencium telapak tangannya yang berbulu lebat.
“Panggil aku, Om Ruswan” menggeliat dari mulutnya.
“Om Ruswan!” aku menirukannya. Ibu tersenyum di sampingku.
“Namamu?”
“Pulanti!”
Lelaki itu menatap wajah Ayah “Kok bisa kamu punya anak secantik ini, Sim?”
Ha! Ha! Ha!” tawa Ayah meledak. Aku tersipu malu.
“Silahkan istirahat di sini,” ia menunjuk sebuah kamar di samping kanan dalam rumah itu. Sementara kamar yang terletak di sebelah kiri adalah kamarnya sendiri. Lelaki itu beranjak lagi ke amben. Ibu membuka buntalan sarung yang berisi pakaian. Aku menaruh batang tubuh di atas ranjang.
Ayah masih banyak bercerita dengan Om Ruswan, seperti melepas kangen dengan lelaki tinggi jangkung itu. Sesekali tawa mereka rebah di udara. Kami segera istirahat karena terlalu penat. Ibu segera telentang di sampingku. Kamar benderang. Aku melihat gambar-gambar dalam kamar, sesekali melamun, hingga sukmaku bertualang ke daerah yang jauh.

d/
Sebuah pagi yang tenang. Embun bening turun membasahi ujung-ujung rumput. Burung-burung berkicau berceracau di pohon-pohon, sesekali terbang berkejaran dari satu pohon ke pohon yang lain. Pelan-pelan matahari bersinar dari timur. Ayah menaruh separuh karung yang ada dalam keranjang. Kemudian Ayah membagi dua garam yang ada pada paruh karung itu. Ia menaruhnya dalam keranjang yang kosong.
Ibu juga membagi dua garam dalam karung. Separuh dibawa sendiri dan separuhnya lagi untuk dibawaku. Kami bersiap berangkat. Om Ruswan berdiri di depan rumahnya seolah melepas keberangkatan kami. Kaki kami melangkah pelan, menyusuri jalanan beraspal. Ayah di depan. Ibu di tengah dan aku paling belakang. Begitu panjang. Punggung Ibu sedikit membungkuk. Mungkin saja garam yang dibawanya terlalu berat.
Kami masuk dalam sebuah perapatan. Dan di jalan itulah Ayah mulai meneriakkan “Garam-garam rantau,” terus menerus. Bergantian dengan Ibu. “Garam-garam rantau” dari mulut Ibu. Seperti musik mulut yang melahirkan bunyi yang indah. Orang-orang yang ada di kanan kiri jalan pada memperhatikan kami, seolah-olah ada sesuatu yang aneh. Aku tidak tahu, apakah Ayah pernah datang ke kampung ini?
Kami masuk ke halaman sebuah rumah. Ayah menaruh keranjang yang dipikulnya. Begitu pula aku dan Ibu. Aku menaruh keranjang di teras halaman itu. Seorang perempuan keluar, ia bertanya tentang kami. Ia bertanya pada Ayah dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Kami duduk di lantai amben rumah itu. Dan perempuan itu segera masuk ke dalam. Ibu membuka karung garam, mengambil dua takaran mangkuk. Dimasukkan dalam sebuah plastik warna hitam.
Perempuan itu keluar lagi. Menjulurkan plastik warna putih yang berisi beras. Aha! Aku tidak tahu, apakah perempuan itu memang butuh garam atau hanya karena iba pada kami? Ibu mengucapkan terima kasih dengan kepala mengangguk-angguk. Kami segera pamit, perempuan itu mengangguk dengan senyum terkulum. Kami beranjak keluar dari halaman, berbelok ke kiri. Memasuki jalanan berbatu. Sedikit menanjak.
Matahari semakin meninggi, cahayanya menelusup di balik pohon. Terlihat tupai-tupai berkejaran di atas janur: dari janur satu ke janur yang lain. Kami terus saja menanjak jalan setapak. Sedikit meliuk. Keringat terurai di sekujur tubuh kami. Terlihat sebuah gubuk bambu beratap ilalang. Di samping kiri gubuk itu, berdiri sebuah kandang dengan dua ekor sapi. Terlihat kakek dan nenek itu sedang memberi makan sapi peliharaannya. 

https://alfhadl.files.wordpress.com/2013/02/lukisan.jpg

Nenek itu mengalihkan pandangannya ke arah kami “Garam!” Teriaknya dari jauh seolah-olah sudah kenal. Mendengar panggilan nenek itu, kami segera mengikuti jalan yang menusuk gubuk bambu itu. Kami menaruh keranjang di tanah. Ibu mengambil dua takaran lagi, dimasukkan dalam sebuah plastik hitam. Sementara nenek itu, membawa gula merah yang dimasukkan dalam keranjang yang terbuat dari daun lontar. Setelah Ibu menerima gula merah itu, Ibu tak lupa mengucapkan terima kasih dengan kepala mengangguk.
“Sama-sama!”
Nenak tua itu tak menawarkan kami untuk istirahat di gubuknya. Ia cepat-cepat membalikkan badannya. Melangkah dengan sangat cepat. Kamipun segera keluar dari halaman gubuk bambu itu. Kami terus melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan setapak yang kian panjang.  

e/
 Sebuah siang yang sumbing. Tak dinyana, kami bertemu dengan Sahnawi di sebuah kelokan jalan perbatasan kampung Candi dan Banuaju. Ya, Sahnawi meminta kami agar segera pulang ke kampung. Katanya, Haji Amrin Ra’uf bersama anak buahnya berbuat ulah di tambak kami. Ia bermaksud untuk membuat pabrik garam di wilayah tambak kami. Kincir punya Sahnawi dirusak. Saluran air punya Ayah dirusak dan pembatas yang terbuat dari semen diambilnya. Dan tambak-tambak lain yang bukan miliknya juga dirusak.
Sahnawi mendapatkan kabar ini dari Rupakmo yang mengirim surat padanya lewat temannya di pulau ini. Kata Sahnawi, Rupakmo nyaris berkelahi dengan komplotan Haji Amrin Ra’uf bangsat itu. Ia bersama para petugas berseragam, membawa beberapa lembar surat. Katanya, surat itu adalah surat dari Bupati yang meminta agar orang-orang kampung segera menjual tambaknya untuk dijadikan lahan pabrik garam.
Muka Ayah tampak merah. Mendung di matanya semakin tebal. Akhirnya, Ayah memutuskan untuk kembali bersama Sahnawi. Aku panik. Ibu mencoba menenangkan Ayah. Ibu meminta Ayah tetap sabar, namun Ayah seolah tak menggubris ungkapan Ibu. Tatapannya condong ke depan, seperti orang yang sangat bersemangat. Mungkin saja Ayah didera amarah. Dan Ayah memutuskan untuk tidak mampir di rumah Om Ruswan. Katanya, biarkan garam dan pakaian kita di sana. Kita harus segera pulang.
Kami berjalan seperti barisan bangau. Mengikuti jalanan yang becek, kadang berbatu. Kami harus melangkah lebih cepat. Ayah memikul dua paruh garam seolah terasa ringan. Napas kami tersengal. Kami menuju pantai kepulangan.

f/
Sore itu sampan segera merapat ke jangkar. Deru mesin sampan masih hingar. Langit merah pitam. Orang-orang masih ramai. Tiba-tiba Maryam segera lari ke arah kami. Ya, napasnya tersengal seperti kuda. Tentu saja ia menunggu suaminya (Sahnawi) yang segera tiba bersama kami. Matanya terlihat asin air garam. Pelan-pelan mengalir bening di pipinya.
“Haji Amrin Ra’uf, Kak!”
Ia bersimpuh di pasir. Sahnawi terlihat panik. Ayah tertegun. Ibu mematung. Degub jantungku berdetak kencang. Aku takut.
Isak tangis Maryam terus meledak di udara. Air matanya tumpah meruwah di pipinya. Aku tak kuasa menahan air mataku. Ibu mencoba memeluk Maryam. “Haji Amrin Ra’uf telah merusak semuanya, Kak!” tangis menderu dalam pelukan Ibu.
Mata Ayah merah padam. Amarah terus bergurindam. Begitu pula Sahnawi. Aku, Ayah, Ibu, Sahnawi dan Maryam segera keluar dari pantai menuju tambak. Melihat kincir yang hancur bertabur. Tambak yang dipenuhi air laut karena saluran air yang sudah rusak. Kami geram, benci dan cemas. Muka Ayah semakin merah.
“Keterlaluan!” menguap dari mulut Ayah. “Kita harus mengumpulkan para petani garam, Wi!”
“Sebaiknya begitu,” Sahnawi bersedekap cemas, tangan kanannya mengusap-usap kumisnya. Ia menatap tambaknya yang berantakan. “Kita tidak bisa dibeginikan terus, Sim” Ayah hanya mengangguk. Ayah segera membagi tugas.
“Kamu datang ke Surahbi dan Markawi, sampaikan padanya, nanti malam berkumpul di rumah,” tegas Ayah. Ibu mengangguk. “Maryam datang ke Sulam dan Dul Hamid. Pulanti datang ke Mas’ad, Sakida, dan Ruhan,” Ayah menyulut rokok. Mungkin saja ia berupaya menenangkan dirinya. Asap meruap “Kamu Sahnawi,” sembari menatap sahnawi “datang ke Ali Hasan dan Rahnayu. Aku akan mendatangi Rupakmo dan Massuri. Kita harus mempertahankan tambak ini,” Terlihat berang, sembari menekan geraham.  
Bila Haji Amrin Ra’uf terus merajalela, dibiarkan merusak tambak, dan petani garam tidak melawan, tentu saja kami akan dijadikan bola mainan. “Kita tidak boleh menangis, kita tidak boleh lemah, kita harus kuat,” dengus Ayah di depan kami. Matanya merah amarah. Kemudian kami segera berpencar sesuai dengan tugas masing-masing.
g/
Bulan bertandang di angkasa, gubuk-gubuk di tempat kami diterangi dengan teplok. Kelelawar bercericit dari pohon ke pohon. Sebagian diantara kami sudah ada yang datang. Terlihat Markawi memakai udeng, celana komprang hitam, kaos loreng merah putih dan baju hitam kelam. Asap kelobot menyepul dari mulutnya. Surahbi memakai sarung dan baju kotak-kotak dengan rokok cap tampar. Songkok hitam tinggi dan kumis tebal. Disusul Sahnawi, Ali Hasan, Rahnayu, Dul Hamid, Maryam, dan lainnya. Ramai.
Mereka pada duduk di amben. Terlihat celurit di punggung menjenggel di baju belakang Surahbi. Mukanya terlihat kesal, “Jika dibiarkan terus menerus, Haji Amrin Rauf semakin merajalela,”. Matanya merah neraka.
“Mereka ingin tahu, siapa kita?” Tukas Ayah.
“Mereka ingin tahu, celuritku bercahaya dalam perutnya,” kumis Surahbi bergerak.
“Betul, Bi! Selesaikan saja Haji tengik itu?” tanya Rahnayu.
Tiba-tiba seorang lelaki muda muncul. Ia mengaku dari kota. Rambutnya tertata rapi, memakai celana dan baju ditaruh di dalam. Memakai sepatu gelap dan kaos kaki gelap. Pembicaraan kami sedikit terputus. Ya, lelaki itu diam-diam diundang Sahnawi.
“Mohon maaf Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu!” dengan kepala mengangguk-angguk dan matanya membelalak. Ia segera duduk diantara kumpulan kami. Ia duduk di sebelah kanan Dul Hamid. Kedatangannya membuat pembicaraan kami sedikit terputus “Mohon maaf jika kedatangan saya mengganggu” Bahunya sedikit bergerak-gerak, “Nama saya Efendi. Saya adalah seorang pengacara. Kedatangan saya ke sini karena saya mendapatkan kabar dari teman saya bahwa Haji Amrin Rauf telah merusak tambak garam para petani di sini,”. Ia mengusap rambutnya dan mengambil sebuah rokok Gudang Garam Surya, kemudian ia menyulutnya. 

http://pusatfakta.com/wp-content/uploads/2014/01/lukisan3.jpg

“Secara hukum, kejadian tersebut sungguh merupakan pelanggaran yang tidak bisa diampuni. Kasus tersebut bisa dibawa ke pengadilan.”
“Hah!! Pengadilan? Kita habisi saja Haji Amrin Ra’uf tengik itu,” sergah Rahnayu.
“Bagaimana cara untuk menyeret si tengik itu ke pengadilan, Pak Fendi??” Ayah minta penjelasan dengan halus. Sahnawi mengangguk-angguk dan berpura-pura bengong.
“Jika melalui saya, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu bisa patungan untuk mengumpulkan biaya hukum dan biaya administrasi sekitar tiga juta. Semua kasus Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu akan segera selesai dan tambak garam akan aman ke depan,”
Srrrrttttt!!! Surahbi mengeluarkan celurit dari punggungnya dan mengangkatnya ke udara, “Ini tiga juta” tegasnya seraya mengangkat celurit ke atas. “Kamu ini ternyata jadi bajingan tengik juga. Ternyata kamu sama dengan Haji Amrin Ra’uf yang mau mengelupas uang dari kocek kami. Pulaaangg!!!” Surahbi berdiri. Matanya melotot seperti mau keluar. “Ayo cepat pulang!” Mata Surahbi masih melotot pada lelaki muda itu. Sahnawi memegang tubuh Surahbi. Aku gemetar. Aku memeluk Ibu. Pak Fendi itu segera dikeluarkan dari kumpulan kami. Ia diajak oleh Dul Hamid.
“Sudahlah, Bi!” Pinta Ali Hasan.
“Kamu juga?” ia mengangkat celuritnya lagi. Sahnawi semakin erat memegang tubuh Surahbi.
“Peduli tamanco’! siapa yang mengundang pemuda bangsat itu?” tak ada yang menyahut. Sunyi. “Malam ini kita akan bersepakat, untuk mencari jalan keluar agar kita segera dijauhkan dari para bangsat, bukan mendatangkan tengik bangsat baru lagi,”. Lelaki jangkung itu memasukkan celurit itu dalam sarungnya dan ia menaruhnya lagi di punggungnya.
Ibu segera mengambil segelas air. Ia memberikannya pada Surahbi. Dan lelaki jangkung itu segera meminumnya.
Setelah suasana semakin tenang. “Mari kita lanjutkan,” pinta Ayah. Lampu teplok masih berpijar di sudut-sudut ruangan. Derit jangkrik di luar masih memekik. “apakah Bapak-Bapak ada yang punya usul tentang keamanan tambak garam kita ke depan?”
Ali Hasan mengacungkan telunjuk, “Menurut saya, perlawanan para petani garam tidak cukup hanya dengan mengangkat celurit” sambil tersenyum dan Surahbi juga tersenyum, “tetapi diantara kita harus ada perwakilan yang datang ke kantor dewan suku di kota agar dewan kita bisa melobi untuk duduk bersama dengan Haji Amrin Rauf untuk membuat perjanjian,”.
“Wah! Tidak mungkin. Orang tengik seperti Haji Amrin Ra’uf pasti akan melanggar perjanjian. Ia justeru akan membuat langkah-langkah licik lain lagi. Menurut saya, masing-masing petani garam, memasang nisan di setiap pojok tambak sebagai lambang, jika Haji Amrin Ra’uf membuat masalah lagi, taruhannya adalah nyawa,”. Tegas Rahnayu.
“Ya, benar itu,” Surahbi menyetujui pendapat Rahnayu.
“Setidaknya kita mencari jalan keluar agar Haji Amrin Rauf tidak berani menyentuh, apalagi merusak tambak kita,”. Tambah Sahnawi.
Kemudian Ayah menawarkan jalan tengah, “kalau begitu, bagaimana jika kita ambil jalan tengah, kita memasang nisan di pojok tambak dan sebagian melobi ke dewan suku agar dewan bisa menjembatani suara petani tambak,”.
Bedebah!!
“Apa kita masih percaya pada dewan suku? Bukankah tahun lalu kita sudah dibohongi?” tanya Rahnayu.
Tak ada yang menjawab. Malam sudah mulai larut. Suara halilintar berkaung-kaung di kejauhan. Akhirnya kami bersepakat untuk mengambil keputusan jalan tengah. Ya, jangan ada yang melukai tambak kami jika nyawa mereka tak ingin disabet celurit. Kami akan memejamkan mata bagi tangan usil yang berani melukai tambak kami. Penderitaan kami sudah asin garam dan pikiran kami sudah sangat lelah dipermainkan. Kami akan terus mengepalkan tangan untuk melawan.***

Yogyakarta/Tang Lebun, 2010

Sumber Gambar 1: http://www.greenerbali.com/image-files/puri-lukisan-painting.jpg
Sumber Gambar 2 :  https://alfhadl.files.wordpress.com/2013/02/lukisan.jpg
Sumber Gambar 3 : http://pusatfakta.com/wp-content/uploads/2014/01/lukisan3.jpg

Catatan:
1. Tamanco’ adalah tai ayam. Dalam konteks ini dipakai untuk mengumpat perbuatan orang yang tidak beres. (Madura).

NB. Kepada engkau yang memiliki lukisan yang saya jadikan ilustrasi atau gambar di blog ini, saya ucapkan apresiasi dan luar biasa. Saya mohon izin dan saya sertakan sumber pengutipannya. Semoga menjadi upaya untuk memperkenalkan lukisan-lukisan anda kepada penikmatnya.





Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment