a/
Kami
merasa, mata kami selalu asin. Apakah karena kami berdekatan dengan laut?---berderak
dalam jiwa kami. Kening kusam di bawah matahari yang menyengat. Ayah
memperbaiki kincir yang berdiri di pojok kanan tambak, Ibu mengais-ngais air
yang dialirkan dari laut. Suara ombak seperti dengusan gelombang pasang.
Ibu melangkah
seraya memasang sebuah pembatas yang terbuat dari semen, agar air yang baru
dialirkannya tidak membasahi tumpukan garam. “Yang bercampur pasir tidak usah
dimasukkan, Pulanti!” Tukas Ibu dari arah pembatas. Aku hanya mengangguk. Kata Ibu,
garam yang bercampur pasir akan didaur dengan air yang baru dialirkan.
Aku
memasukkan garam dalam sebuah karung goni. Satu, dua hingga tiga karung bisa
kami hasilkan setiap dua minggu. Sesekali aku membetulkan handuk yang
disaungkan di atas caping yang terbuat dari menjalin. Keringat menghujan di
sekujur tubuh kami. Basah. Tat! Tat! Tat! Tat! Tat! Laguh lagah suara
kincir sedikit menghibur kepenatan kami.
Separuh
bambu bergoyang naik turun menggusar air di tambak ketika kincir berputar:
semakin kencang kincir berputar, semakin bergelombang pula air di tambak dan
semakin cepat pula air itu menjadi garam. Matahari terik. Udara amis cempedak. Kulit
kami menghitam dan seolah-olah terlihat bersisik. Mungkin saja karena panas
yang terlalu menukik.
Ibu
segera mendekatiku. Mengambil sebuah skop yang meliang di tanah. Ibu membantuku
mendorong garam ke tumpukan. Pelan-pelan. Penuh kehati-hatian. Aku memasukkan
garam dalam karung. Ibu menoleh pada karung yang sudah dipenuhi garam, “Biar Ibu
yang menali” katanya parau. Aku segera mengisi karung yang baru lagi.
Dan
seusai memperbaiki kincir, Ayah bersiap mengangkutnya dengan sepeda ontel yang
dipinjamnya dari Sahnawi menuju gubuk: satu karung di samping kanan dan satunya
lagi di samping kiri. Ayah mendorongnya dari belakang.
Terlihat
juga Sahnawi bolak-balik ke tambak, Bi’ Subina mengisi karung goni, Rupakmo
memperbaiki saluran air, Sakida senyum tiris di pinggir gigir dan parau suara orang-orang
yang memiliki petak tambak di dekat ladang kami. Mereka membawa pulang hasil
panennya. Muka mereka seperti malam tanggal enam. Bulan di mata mereka tak
kunjung padang. Lekang lengket garam di kulit dan baju mereka diciumi angin
yang pergi dan datang.
b/
Hari
ini, kami bersiap untuk berangkat ke seberang, bersangu semangat keras karang. Di
langit, matahari bersinar benderang, berkapas-kapas awan tipis melintas di
angkasa. Angin menghelai rambut yang merumbai.
Kemudian Ayah memasang caping, celana komprang lusuh hitam, kaos oblong
warna kelam. Wajah Ayah terlihat penat: alisnya seperti perahu yang tak membuka
layar.
Ayah mempersiapkan
dua paruh garam, dimasukkan dalam keranjang menjalin yang dianggit. Kemudian ia
mengambil gagang bambu warna putih untuk memikul keranjang itu. Ayah segera keluar
dari gubuk. Sementara Ibu membungkus sangu nasi jagung, lauk lembayung dengan
bungkus daun jati. Sebotol kopi dan sebotol air.
Aha! Kami
seperti terjebak dalam perjalanan panjang. Setiap habis panen, kami harus
menjajakan garam ke kampung-kampung, menukar dengan beras, ikan, kopi,
rempah-rempah, rokok dan segala kebutuhan kami. Itupun jika orang-orang di
kampung seberang berkehendak untuk menukar. Terkadang kami pulang dengan tangan kosong: Ayah
memikul dua paruh karung berisi garam, Ibu menyunggi keranjang yang terbuat
dari anggitan bambu.
Ya,
garam hasil panen kami tak bisa masuk ke gudang, tersebab ulah Haji Amrin Ra’uf
bangsat itu. Sebagai juragan garam perwakilan di kecamatan kami, ia berupaya
membeli dengan harga yang murah. Satu karung garam hanya akan dibeli dengan
harga Rp 3000. Sungguh harga yang tidak pantas. Ia memiliki puluhan hektar
tambak yang dikelola sendiri, karenanya ia tak menghargai hasil panen kami.
Sudah berkali-kali kami meminta agar Haji Amrin Ra’uf bisa membeli garam kami
dengan harga yang pantas. Namun kepalanya hanya mengangguk, bibirnya mencibir
seperti ember dan kumisnya bergerak-gerak seperti ekor babi ketika berbicara.
Bohong. Bangsat.
Pernah
suatu waktu, tambak kami akan dibeli oleh Haji Amrin Ra’uf dengan harga yang
mahal, namun kami bersepakat untuk tidak menjualnya. Sebab kami berpikir, jika
ladang kami dijual, kami tak bisa punya penghasilan. Itulah sebabnya kami geram
pada Haji Amrin Ra’uf. Dan itu pula sebabnya kami berupaya untuk menjajakan
garam hasil panen kami ke pulau seberang. Meski harus melintasi laut, berbantal
ombak, berselimut angin dan menyusuri lanau pulau-pulau. Kami tetap berupaya
melanglang membawa garam kami.
Aku segera
mempersiapkan baju-bajuku, juga baju Ayah dan Ibu. Aku memasukkan dalam sebuah
buntalan sarung. Tak terlupakan, Ayah membawa sebuah kaleng kecil berisi
tembakau lintingan. Dan kaleng yang berisi tembakau, botol kopi, air dan nasi
sangu dibungkus sebuah plastik berwarna hitam. Plastik itu dimasukkan ke dalam
karung garam yang siap dipikul Ayah. Dan inilah kali keduaku ikut menjajakan
garam ke pulau seberang.
Lalu lelaki
berkumis tipis dengan wajah kusam itu masuk lagi ke gubuk, ia menunjuk sebuah
karung goni. Perempuan memakai samper dengan kerudung berwarna merah
muda itu segera mengambil garam. Ayah mendekat.
“Yang
ini dibawa duluan,” telunjuk Ayah mengarah pada karung goni berwarna cokelat
yang telah dibuka. Ibu mengangguk. Tak ada kata-kata pecah di udara. Ibu terlihat
penat. Aku menatap matanya yang bermendung. Mungkin saja Ibu sedang membayangkan
perjalanan panjang, menyeberangi laut, melintasi darat, menaiki bukit, menuruni
lembah, mengikuti setapak yang meliuk. Ayah
melangkahkan kakinya keluar dari gubuk.
“Pulanti,
berangkat!” Ajak Ibu.
“Iya,
Bu!”
Aku
segera mendekat. Aku dan Ibu memasang kain tebal alas sunggi. Aku mengangkat
pelan-pelan, kemudian aku menaruh keranjang itu di atas kepalaku. Begitu pula
Ibu. Sementara Ayah segera memikul dua keranjang itu. Kami berjalan
pelan-pelan, keluar dari halaman, menuju pantai. Laut membiru di mata kami. Dan
suara gelombang laut tak pernah surut di telinga kami. Kami terus berjalan
menuju pantai, mengikuti jalan nasib yang mengintai.
Matahari
terik menyengat kulit kami. Lalu lalang orang-orang di pinggir pantai terlihat
sibuk, sebagian menunduk menata jaring ikan, bersiap untuk melempar lokan di
laut seberang. Sebagian yang lain baru datang, dengan muka cerah gembira karena
mendapatkan ikan yang memuaskan. Deru mesin sampan berlalu lalang: pergi dan
pulang. Sementara kami masih menunggu sampan penumpang yang mengangkut
orang-orang yang akan berlayar ke pulau seberang.
Ah! Pasir
di pantai terlihat mengkilau ke masa silam. Aku teringat masa kecil ketika
bermain. Seorang lelaki sepermainanku, ketika menyusun pasir dan air asin,
mencipta tubuh manusia di pasir, gelak tawa yang pecah diantara debur ombak.
Lelaki itu semakin lekat di mataku---Mengapa kamu membiarkan dirimu hanyut oleh
ombak laut yang menyimpan maut, Mahdawi? Apakah kamu dimakan ikan? Atau
bersembunyi dalam karang?---angin tak mengantarkan jawaban.
Tiba-tiba
Ayah mendekati seorang lelaki kurus dan tinggi yang berdiam di sebuah gubuk
pinggir pantai. Tentu saja lelaki itu membawa garam. Tapi tidak dengan
keranjang yang dipikul sebagaimana Ayah. Ia membawa sepeda ontel dan gerobak. Asap
kelobot mengepul dari mulutnya. Ya, laki-laki itu adalah Sahnawi. Topinya
berwarna hitam lusuh. Mukanya sedikit pucat.
“Mana
Maryam?” Tanya Ayah
“Ibu
sakit. Ia menjaga Ibu,”
Sahnawi menghisap
lagi batang rokoknya. Sesekali memandang ke kanan, ke arah suara ramai
orang-orang yang baru pulang dari melaut. Ya, orang-orang yang baru menemui
istri dan anaknya. Kemudian Sahnawi kembali menatap wajah Ayah.
“Haji
Amrin Ra’uf belum menaikkan harga, Sim?” Ayah menggeleng. “Aku sudah meminta
agar teman-teman petani garam bisa mendatangi Haji Amrin Ra’uf lagi,”
“Tapi
kita tak pernah bisa membujuknya,”
“Aku
mendapat kabar dari Supardi, teman kita di Kecamatan Dungkek, harga garam di
sana mencapai 30 ribu/karung,”
“Bagaimana
jikalau garam kita dijual ke sana?”
“Tidak
bisa, Sim” Sahnawi menyedot kelobotnya lagi dan menghempaskan asap ke udara
“setiap kecamatan sudah ada penanggung jawabnya masing-masing,” Lanjutnya.
“Sayangnya
kita seperti ijuk tak bersagar,” Ayah mengeluarkan sebuah kaleng berwarna
hijau, Ayah melinting “Kita tak punya sanak saudara yang bisa didengarkan Haji
Amrin ra’uf,”. Ayah seolah menyesali dirinya. Sahnawi hanya mengangguk. “Tapi
kita seharusnya bisa. Kita memang harus menggugat. Tidak sepantasnya kita terus
menerus diam begini,” tegas Sahnawi dengan mata berapi-api.
Ayah menunduk,
sesekali menghenyakkan napas ke udara.
“Ayaaaahhh!
Perahunya sudah datang,”
Ayah
segera beranjak. Begitu pula Sahnawi. Ayah mendekati kami. Ibu segera
mengangkat keranjang. Ayah kembali memikul dua paruh karung dalam dua
keranjang. Kami segera menaiki perahu kecil. Sementara juru mudi segera
menaikkan keranjang-keranjang kami ke atas sampan kecil itu. Tentu saja setiap
penumpang yang bersiap menaiki sampan besar jurusan pulau seberang harus
menaiki tongkang.
Angin
menghempas rambut kami. Dan remang-remang pulau seberang terpancang dalam
penglihatan. Ombak tampak tenang. Ikan-ikan kecil terlihat riang berenang. Kami
pindah ke sampan besar. Barang-barang kami diangkut ke altar sampan. Para
penumpang yang lain juga segera menaiki sampan besar ini. Wajahmu masih
tergambar di air, Mahdawi! Dan setiap kali aku melihat ikan, kerling matamu
begitu terang. Apakah kamu mengikuti perjalananku?
Remang-remang
di mata kami sebuah cagak mercusuar pulau seberang. Cagak putih menusuk
angkasa. Juru mudi melepas tampar. Perahu memecah ombak dan mulai berjarak dari
pantai. Kami meninggalkan tanah garam, udara asin dan bunyi kincir di tambak.
c/
Sampan
mulai merapat ke pantai seberang. Juru mudi mulai menutup layar. Terlihat matahari
di ufuk barat bersiap masuk dalam tandannya. Langit merah pitam, awan
menggumpal kelam. Bianglala menggantung seolah karam. Kami turun dari sampan,
barang-barang kami dipanggul Ayah ke pinggir. Aku dan Ibu turun. Melangkah
cepat, menginjak pasir putih di pantai. Ibu menatap pulau kelahiran,
seolah-olah Ibu mendengar suara kincir di tambak.
Aku juga
berdiri, di mataku laut seolah bersambung dengan langit. Orang-orang lalu
lalang, juga suara mesin sampan yang terdengar ke ambang. Pantai sudah mulai
gelap. Ayah mengajak kami beranjak, ia meminta Ibu dan aku segera menyunggi keranjang
garam, dan Ayah memikulnya. Meski lelah, kami terus melangkah. Memasuki sebuah
gapura yang terbuat dari bambu yang bercat kuning keemasan. Kami terus
menyusuri jalanan berpasir, melewati jalanan yang disesaki pohon-pohon nyiur.
Tibalah
kami di sebuah rumah bambu berwarna putih. Rumah yang tidak terlalu besar,
namun tertata rapi. Dan di halaman rumah itu ada banyak bonsai cemara udang. Berbanjar.
Di bawah pot bonsai cemara itu, disusun batu bata. Lima-lima. Kurang lebih
setinggi setengah meter. Pintu itu segera terbuka. Seorang lelaki berambut
gondrong keluar. Kumisnya lebat. Ia memakai celana cokelat dan kaos oblong
warna hijau. Dadanya yang bidak terlihat sangat tegap.
“Silahkan
masuk!” dengan suara yang santun. Sungguh aku tak menyangka lelaki jangkung
dengan rambut gondrong dan kumis tebal bersikap sedemikian baik. Sebelumnya aku
mengira setiap lelaki gondrong dan jangkung adalah lelaki yang jahat. Tersebab aku
belum pernah menjumpai lelaki tinggi besar ini, “Wah! rupanya anakmu sudah
besar,”
“Sudah
saatnya diajari bekerja, Wan! biar tahu pahit getir kehidupan,” Tukas Ayah
dengan sangat akrab. Ayah memintaku untuk segera bersalaman dengannya. Aku
segera menjulurkan telapak tanganku dan aku mencium telapak tangannya yang
berbulu lebat.
“Panggil
aku, Om Ruswan” menggeliat dari mulutnya.
“Om
Ruswan!” aku menirukannya. Ibu tersenyum di sampingku.
“Namamu?”
“Pulanti!”
Lelaki
itu menatap wajah Ayah “Kok bisa kamu punya anak secantik ini, Sim?”
“Ha!
Ha! Ha!” tawa Ayah meledak. Aku tersipu malu.
“Silahkan
istirahat di sini,” ia menunjuk sebuah kamar di samping kanan dalam rumah itu. Sementara
kamar yang terletak di sebelah kiri adalah kamarnya sendiri. Lelaki itu
beranjak lagi ke amben. Ibu membuka buntalan sarung yang berisi pakaian. Aku
menaruh batang tubuh di atas ranjang.
Ayah
masih banyak bercerita dengan Om Ruswan, seperti melepas kangen dengan lelaki
tinggi jangkung itu. Sesekali tawa mereka rebah di udara. Kami segera istirahat
karena terlalu penat. Ibu segera telentang di sampingku. Kamar benderang. Aku
melihat gambar-gambar dalam kamar, sesekali melamun, hingga sukmaku bertualang
ke daerah yang jauh.
d/
Sebuah
pagi yang tenang. Embun bening turun membasahi ujung-ujung rumput. Burung-burung
berkicau berceracau di pohon-pohon, sesekali terbang berkejaran dari satu pohon
ke pohon yang lain. Pelan-pelan matahari bersinar dari timur. Ayah menaruh
separuh karung yang ada dalam keranjang. Kemudian Ayah membagi dua garam yang
ada pada paruh karung itu. Ia menaruhnya dalam keranjang yang kosong.
Ibu juga
membagi dua garam dalam karung. Separuh dibawa sendiri dan separuhnya lagi untuk
dibawaku. Kami bersiap berangkat. Om Ruswan berdiri di depan rumahnya seolah
melepas keberangkatan kami. Kaki kami melangkah pelan, menyusuri jalanan
beraspal. Ayah di depan. Ibu di tengah dan aku paling belakang. Begitu panjang.
Punggung Ibu sedikit membungkuk. Mungkin saja garam yang dibawanya terlalu
berat.
Kami
masuk dalam sebuah perapatan. Dan di jalan itulah Ayah mulai meneriakkan
“Garam-garam rantau,” terus menerus. Bergantian dengan Ibu. “Garam-garam
rantau” dari mulut Ibu. Seperti musik mulut yang melahirkan bunyi yang indah. Orang-orang
yang ada di kanan kiri jalan pada memperhatikan kami, seolah-olah ada sesuatu
yang aneh. Aku tidak tahu, apakah Ayah pernah datang ke kampung ini?
Kami
masuk ke halaman sebuah rumah. Ayah menaruh keranjang yang dipikulnya. Begitu
pula aku dan Ibu. Aku menaruh keranjang di teras halaman itu. Seorang perempuan
keluar, ia bertanya tentang kami. Ia bertanya pada Ayah dengan bahasa yang
tidak aku mengerti. Kami duduk di lantai amben rumah itu. Dan perempuan itu
segera masuk ke dalam. Ibu membuka karung garam, mengambil dua takaran mangkuk.
Dimasukkan dalam sebuah plastik warna hitam.
Perempuan
itu keluar lagi. Menjulurkan plastik warna putih yang berisi beras. Aha! Aku
tidak tahu, apakah perempuan itu memang butuh garam atau hanya karena iba pada
kami? Ibu mengucapkan terima kasih dengan kepala mengangguk-angguk. Kami segera
pamit, perempuan itu mengangguk dengan senyum terkulum. Kami beranjak keluar
dari halaman, berbelok ke kiri. Memasuki jalanan berbatu. Sedikit menanjak.
Matahari
semakin meninggi, cahayanya menelusup di balik pohon. Terlihat tupai-tupai
berkejaran di atas janur: dari janur satu ke janur yang lain. Kami terus saja
menanjak jalan setapak. Sedikit meliuk. Keringat terurai di sekujur tubuh kami.
Terlihat sebuah gubuk bambu beratap ilalang. Di samping kiri gubuk itu, berdiri
sebuah kandang dengan dua ekor sapi. Terlihat kakek dan nenek itu sedang memberi
makan sapi peliharaannya.
Nenek
itu mengalihkan pandangannya ke arah kami “Garam!” Teriaknya dari jauh
seolah-olah sudah kenal. Mendengar panggilan nenek itu, kami segera mengikuti
jalan yang menusuk gubuk bambu itu. Kami menaruh keranjang di tanah. Ibu
mengambil dua takaran lagi, dimasukkan dalam sebuah plastik hitam. Sementara
nenek itu, membawa gula merah yang dimasukkan dalam keranjang yang terbuat dari
daun lontar. Setelah Ibu menerima gula merah itu, Ibu tak lupa mengucapkan
terima kasih dengan kepala mengangguk.
“Sama-sama!”
Nenak
tua itu tak menawarkan kami untuk istirahat di gubuknya. Ia cepat-cepat
membalikkan badannya. Melangkah dengan sangat cepat. Kamipun segera keluar dari
halaman gubuk bambu itu. Kami terus melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan setapak
yang kian panjang.
e/
Sebuah siang yang sumbing. Tak dinyana, kami
bertemu dengan Sahnawi di sebuah kelokan jalan perbatasan kampung Candi dan
Banuaju. Ya, Sahnawi meminta kami agar segera pulang ke kampung. Katanya, Haji
Amrin Ra’uf bersama anak buahnya berbuat ulah di tambak kami. Ia bermaksud
untuk membuat pabrik garam di wilayah tambak kami. Kincir punya Sahnawi
dirusak. Saluran air punya Ayah dirusak dan pembatas yang terbuat dari semen
diambilnya. Dan tambak-tambak lain yang bukan miliknya juga dirusak.
Sahnawi
mendapatkan kabar ini dari Rupakmo yang mengirim surat padanya lewat temannya
di pulau ini. Kata Sahnawi, Rupakmo nyaris berkelahi dengan komplotan Haji
Amrin Ra’uf bangsat itu. Ia bersama para petugas berseragam, membawa beberapa
lembar surat. Katanya, surat itu adalah surat dari Bupati yang meminta agar
orang-orang kampung segera menjual tambaknya untuk dijadikan lahan pabrik
garam.
Muka
Ayah tampak merah. Mendung di matanya semakin tebal. Akhirnya, Ayah memutuskan
untuk kembali bersama Sahnawi. Aku panik. Ibu mencoba menenangkan Ayah. Ibu
meminta Ayah tetap sabar, namun Ayah seolah tak menggubris ungkapan Ibu. Tatapannya
condong ke depan, seperti orang yang sangat bersemangat. Mungkin saja Ayah didera
amarah. Dan Ayah memutuskan untuk tidak mampir di rumah Om Ruswan. Katanya,
biarkan garam dan pakaian kita di sana. Kita harus segera pulang.
Kami
berjalan seperti barisan bangau. Mengikuti jalanan yang becek, kadang berbatu. Kami
harus melangkah lebih cepat. Ayah memikul dua paruh garam seolah terasa ringan.
Napas kami tersengal. Kami menuju pantai kepulangan.
f/
Sore itu
sampan segera merapat ke jangkar. Deru mesin sampan masih hingar. Langit merah
pitam. Orang-orang masih ramai. Tiba-tiba Maryam segera lari ke arah kami. Ya,
napasnya tersengal seperti kuda. Tentu saja ia menunggu suaminya (Sahnawi) yang
segera tiba bersama kami. Matanya terlihat asin air garam. Pelan-pelan mengalir
bening di pipinya.
“Haji
Amrin Ra’uf, Kak!”
Ia
bersimpuh di pasir. Sahnawi terlihat panik. Ayah tertegun. Ibu mematung. Degub
jantungku berdetak kencang. Aku takut.
Isak
tangis Maryam terus meledak di udara. Air matanya tumpah meruwah di pipinya. Aku
tak kuasa menahan air mataku. Ibu mencoba memeluk Maryam. “Haji Amrin Ra’uf telah
merusak semuanya, Kak!” tangis menderu dalam pelukan Ibu.
Mata
Ayah merah padam. Amarah terus bergurindam. Begitu pula Sahnawi. Aku, Ayah,
Ibu, Sahnawi dan Maryam segera keluar dari pantai menuju tambak. Melihat kincir
yang hancur bertabur. Tambak yang dipenuhi air laut karena saluran air yang
sudah rusak. Kami geram, benci dan cemas. Muka Ayah semakin merah.
“Keterlaluan!”
menguap dari mulut Ayah. “Kita harus mengumpulkan para petani garam, Wi!”
“Sebaiknya
begitu,” Sahnawi bersedekap cemas, tangan kanannya mengusap-usap kumisnya. Ia
menatap tambaknya yang berantakan. “Kita tidak bisa dibeginikan terus, Sim”
Ayah hanya mengangguk. Ayah segera membagi tugas.
“Kamu datang
ke Surahbi dan Markawi, sampaikan padanya, nanti malam berkumpul di rumah,” tegas
Ayah. Ibu mengangguk. “Maryam datang ke Sulam dan Dul Hamid. Pulanti datang ke
Mas’ad, Sakida, dan Ruhan,” Ayah menyulut rokok. Mungkin saja ia berupaya
menenangkan dirinya. Asap meruap “Kamu Sahnawi,” sembari menatap sahnawi
“datang ke Ali Hasan dan Rahnayu. Aku akan mendatangi Rupakmo dan Massuri. Kita
harus mempertahankan tambak ini,” Terlihat berang, sembari menekan geraham.
Bila Haji
Amrin Ra’uf terus merajalela, dibiarkan merusak tambak, dan petani garam tidak
melawan, tentu saja kami akan dijadikan bola mainan. “Kita tidak boleh
menangis, kita tidak boleh lemah, kita harus kuat,” dengus Ayah di depan kami. Matanya
merah amarah. Kemudian kami segera berpencar sesuai dengan tugas masing-masing.
g/
Bulan
bertandang di angkasa, gubuk-gubuk di tempat kami diterangi dengan teplok.
Kelelawar bercericit dari pohon ke pohon. Sebagian diantara kami sudah ada yang
datang. Terlihat Markawi memakai udeng, celana komprang hitam, kaos loreng
merah putih dan baju hitam kelam. Asap kelobot menyepul dari mulutnya. Surahbi
memakai sarung dan baju kotak-kotak dengan rokok cap tampar. Songkok hitam
tinggi dan kumis tebal. Disusul Sahnawi, Ali Hasan, Rahnayu, Dul Hamid, Maryam,
dan lainnya. Ramai.
Mereka
pada duduk di amben. Terlihat celurit di punggung menjenggel di baju belakang
Surahbi. Mukanya terlihat kesal, “Jika dibiarkan terus menerus, Haji Amrin Rauf
semakin merajalela,”. Matanya merah neraka.
“Mereka
ingin tahu, siapa kita?” Tukas Ayah.
“Mereka
ingin tahu, celuritku bercahaya dalam perutnya,” kumis Surahbi bergerak.
“Betul, Bi!
Selesaikan saja Haji tengik itu?” tanya Rahnayu.
Tiba-tiba
seorang lelaki muda muncul. Ia mengaku dari kota. Rambutnya tertata rapi,
memakai celana dan baju ditaruh di dalam. Memakai sepatu gelap dan kaos kaki
gelap. Pembicaraan kami sedikit terputus. Ya, lelaki itu diam-diam diundang
Sahnawi.
“Mohon
maaf Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu!” dengan kepala mengangguk-angguk dan matanya
membelalak. Ia segera duduk diantara kumpulan kami. Ia duduk di sebelah kanan
Dul Hamid. Kedatangannya membuat pembicaraan kami sedikit terputus “Mohon maaf
jika kedatangan saya mengganggu” Bahunya sedikit bergerak-gerak, “Nama saya
Efendi. Saya adalah seorang pengacara. Kedatangan saya ke sini karena saya
mendapatkan kabar dari teman saya bahwa Haji Amrin Rauf telah merusak tambak
garam para petani di sini,”. Ia mengusap rambutnya dan mengambil sebuah rokok
Gudang Garam Surya, kemudian ia menyulutnya.
“Secara
hukum, kejadian tersebut sungguh merupakan pelanggaran yang tidak bisa diampuni.
Kasus tersebut bisa dibawa ke pengadilan.”
“Hah!!
Pengadilan? Kita habisi saja Haji Amrin Ra’uf tengik itu,” sergah Rahnayu.
“Bagaimana
cara untuk menyeret si tengik itu ke pengadilan, Pak Fendi??” Ayah minta
penjelasan dengan halus. Sahnawi mengangguk-angguk dan berpura-pura bengong.
“Jika
melalui saya, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu bisa patungan untuk mengumpulkan biaya
hukum dan biaya administrasi sekitar tiga juta. Semua kasus Bapak-Bapak dan
Ibu-Ibu akan segera selesai dan tambak garam akan aman ke depan,”
Srrrrttttt!!!
Surahbi
mengeluarkan celurit dari punggungnya dan mengangkatnya ke udara, “Ini tiga
juta” tegasnya seraya mengangkat celurit ke atas. “Kamu ini ternyata jadi
bajingan tengik juga. Ternyata kamu sama dengan Haji Amrin Ra’uf yang mau
mengelupas uang dari kocek kami. Pulaaangg!!!” Surahbi berdiri. Matanya melotot
seperti mau keluar. “Ayo cepat pulang!” Mata Surahbi masih melotot pada lelaki
muda itu. Sahnawi memegang tubuh Surahbi. Aku gemetar. Aku memeluk Ibu. Pak
Fendi itu segera dikeluarkan dari kumpulan kami. Ia diajak oleh Dul Hamid.
“Sudahlah,
Bi!” Pinta Ali Hasan.
“Kamu
juga?” ia mengangkat celuritnya lagi. Sahnawi semakin erat memegang tubuh
Surahbi.
“Peduli tamanco’!
siapa yang mengundang pemuda bangsat itu?” tak ada yang menyahut. Sunyi. “Malam
ini kita akan bersepakat, untuk mencari jalan keluar agar kita segera dijauhkan
dari para bangsat, bukan mendatangkan tengik bangsat baru lagi,”. Lelaki
jangkung itu memasukkan celurit itu dalam sarungnya dan ia menaruhnya lagi di
punggungnya.
Ibu
segera mengambil segelas air. Ia memberikannya pada Surahbi. Dan lelaki
jangkung itu segera meminumnya.
Setelah
suasana semakin tenang. “Mari kita lanjutkan,” pinta Ayah. Lampu teplok masih
berpijar di sudut-sudut ruangan. Derit jangkrik di luar masih memekik. “apakah
Bapak-Bapak ada yang punya usul tentang keamanan tambak garam kita ke depan?”
Ali
Hasan mengacungkan telunjuk, “Menurut saya, perlawanan para petani garam tidak
cukup hanya dengan mengangkat celurit” sambil tersenyum dan Surahbi juga
tersenyum, “tetapi diantara kita harus ada perwakilan yang datang ke kantor
dewan suku di kota agar dewan kita bisa melobi untuk duduk bersama dengan Haji
Amrin Rauf untuk membuat perjanjian,”.
“Wah!
Tidak mungkin. Orang tengik seperti Haji Amrin Ra’uf pasti akan melanggar
perjanjian. Ia justeru akan membuat langkah-langkah licik lain lagi. Menurut
saya, masing-masing petani garam, memasang nisan di setiap pojok tambak sebagai
lambang, jika Haji Amrin Ra’uf membuat masalah lagi, taruhannya adalah nyawa,”.
Tegas Rahnayu.
“Ya,
benar itu,” Surahbi menyetujui pendapat Rahnayu.
“Setidaknya
kita mencari jalan keluar agar Haji Amrin Rauf tidak berani menyentuh, apalagi
merusak tambak kita,”. Tambah Sahnawi.
Kemudian
Ayah menawarkan jalan tengah, “kalau begitu, bagaimana jika kita ambil jalan
tengah, kita memasang nisan di pojok tambak dan sebagian melobi ke dewan suku agar
dewan bisa menjembatani suara petani tambak,”.
“Bedebah!!”
“Apa
kita masih percaya pada dewan suku? Bukankah tahun lalu kita sudah dibohongi?”
tanya Rahnayu.
Tak ada
yang menjawab. Malam sudah mulai larut. Suara halilintar berkaung-kaung di
kejauhan. Akhirnya kami bersepakat untuk mengambil keputusan jalan tengah. Ya,
jangan ada yang melukai tambak kami jika nyawa mereka tak ingin disabet
celurit. Kami akan memejamkan mata bagi tangan usil yang berani melukai tambak
kami. Penderitaan kami sudah asin garam dan pikiran kami sudah sangat lelah
dipermainkan. Kami akan terus mengepalkan tangan untuk melawan.***
Yogyakarta/Tang
Lebun, 2010
Sumber Gambar 1: http://www.greenerbali.com/image-files/puri-lukisan-painting.jpg
Sumber Gambar 2 : https://alfhadl.files.wordpress.com/2013/02/lukisan.jpg
Sumber Gambar 3 : http://pusatfakta.com/wp-content/uploads/2014/01/lukisan3.jpg
Catatan:
1. Tamanco’ adalah tai ayam. Dalam
konteks ini dipakai untuk mengumpat perbuatan orang yang tidak beres. (Madura).
NB. Kepada engkau yang memiliki lukisan yang saya jadikan ilustrasi atau gambar di blog ini, saya ucapkan apresiasi dan luar biasa. Saya mohon izin dan saya sertakan sumber pengutipannya. Semoga menjadi upaya untuk memperkenalkan lukisan-lukisan anda kepada penikmatnya.
0 comments :
Post a Comment