Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
Aku memujamu dengan api ini, anakku. Sebab aku tahu rahasia pendar damar pada sumbu kapas yang desisnya terdengar. Di atas sekerat daun lontar dan jelantah itu, suluh damar menjadi kompas bagiku, dan kusulut ia bagi jiwamu, agar nyala dan terangnya meresap ke dasar hatiku.
Aku memujamu dengan api ini, anakku. Sebab aku tahu rahasia pendar damar pada sumbu kapas yang desisnya terdengar. Di atas sekerat daun lontar dan jelantah itu, suluh damar menjadi kompas bagiku, dan kusulut ia bagi jiwamu, agar nyala dan terangnya meresap ke dasar hatiku.
Bila api menggeliat di udara: ke kanan
dan ke kiri. Ia melarut jiwa. Kau pasti bahagia di sana. Dan bila ia mati,
kusulut lagi, mati lagi; gerimis bening tumpah dari mataku, memadamkan segala
sukamu.
Bagiku, kau adalah api itu, anakku. Api
yang berkobar di aliran darahku, sumsum tulang, dan detak jantungku. Garis
nasib yang kau ikuti lajurnya adalah perpanjangan sumbu yang kau sulut di
rahimku dulu. Karena itu, aku menjagamu tak mengenal waktu.
Singosaren, April 2011
Catatan :
*
Damar Kembang adalah ritual
orang Madura untuk mengetahui keadaan anak (keluarga) di rantau.
Di Pemakaman
Kelak, di pemakaman ini ruh-ruh akan
tumbuh seperti pohon. Akar-akarnya berserabut dan menghunjam dalam tanah.
Amal-amalnya menjadi batang dan getah meleleh bagai cinta yang mencair.
Lihatlah, bunga-bunga di ujung ranting, kelopaknya mekar ke langit; ada yang
ceria, ada yang derita.
Kelak, suatu pagi di pemakaman berkabut
ini, ruh-ruh kita tumbuh. Kita akan bertemu mengenang permainan dadu, buku, dan
kisah yang tak selesai. Kita berjanji akan melanjutkannya nanti, bersama ular
yang meliuk dalam api, atau dengan burung-burung yang bertekukur dalam cahaya.
Ya, kelak di pemakaman ini akan menjadi hutan rimbun, yang ditumbuhi ruh-ruh
kita.
Sareman, April-Mei 2011
Bekisar
Merah Dari Kangean
Pulau ini telah
mengambil langit
dalam diriku,
hingga matahari dan bulan tak terbit.
Kunyalakan
perapian di mataku
lalu aku
mengembara sambil kuteguk bayangan diriku.
Kutarik suaraku
sepanjang jalan.
Keras dan
lantang.
Pulau
mengembalikan langit,
hingga matahari
dan bulan
bersinar dalam
kata-kataku.
Pulauku ingin berkata-kata lewat suaraku
dan mengembara
dengan kakiku dan
menaruh mahkota
di kepalaku dan
kubawa pulauku
menyeberangi laut
sampai maut
bertaut.
Kangean, Desember
2010
Kepada Umbu
Landu Paranggi
Umbu, pada laut
yang menyimpan maut
aku ingin
bertanya muasal pasang dan surut.
Pada mata
sedalam laut
kutangkap
ikan-ikan bersisik lumut:
menelan
matahari di siang hari
dan menelan
bulan di malam hari.
Memang aku tahu
sirip kanan-kiri
mengipas di air garam
tapi ikan-ikan
tak pernah asin.
Umbu, di atas
sampan kukibarkan layar
tiang menusuk
bintang bagai bulu mataku,
gelombang
menggesek air
yang bergambar
bunga karang di dasar,
dan di tengah
bahtera itu, Umbu
sudah tak
kukenali lagi arah
hanya biru
langit
dan air laut
berombak di mata.
Memang aku tahu
langit selalu
bertaut pada laut
adakah laut
mengalami maut, Umbu?
2009-2011
Bulan Putih
Melon
Di Taman
Sare
Bulan putih
melon di Taman Sare
semakin matang,
kian meninggi
biji-bijinya
tumbuh
menjadi batang:
batang-batang
menjalar
pada malam.
Bulanku putih
melon di Taman Sare
sendiri
berdiri di atas
pelataran
dan pagar kebun
matanya
mengerling
pada
bayang-bayang kucing.
Angin merintih
karena letih
mendekap
kesedihan
diantara
awan-awan
tipis
yang bergeser
bagai cincin bulan.
Bulanku putih
melon
irisannya
memancar.
Taman Sare,
2010
Petik Laut*
Laut tua, aku mengalungkan bunga-bunga,
rerampatan, dengan bandol kepala kambing guling di lehermu, dan buih di bibirku
menjadi manik-manik mantra berkilau di bibirmu: sandoroaraikurcap cap
sandoroaraikurjem. Meletuplah lidah gelombang menelan sampan-sampan. Dan
melayanglah ruhku bersatu dengan ruhmu: ruh laut.
Aku menjadi laut---ikan-ikan berenang di
tubuhku: yang besar memakan yang kecil. Cumi-cumi naik-turun di tebing, sekali
waktu bersembunyi diantara karang, menyemprotkan kebencian bagi yang mengancam.
Lalu para nelayan memaksa membuka layar, melempar jaring dengan mata sebelas
bintang. Bila airku menghitam segeralah bersandar, agar tidak dikubur rendam
dendam.
Laut tua, o, laut tua---katamu. Aku
mengalungkan bunga-bunga, rerampatan, dengan bandol kambing guling di lehermu. Kata-kata
kemenyan menyeruak dari mulut tukang tenung, diiringi lengking suara ronggeng
dan igau gelombang di lubukku. “kirimkan padaku perempuan perawan,” kataku. Si
tukang tenung panik. Matanya terpejam, tangan dan lehernya bergerak-gerak: sandoroaraikurcap
cap sandoroaraikurjem. Asap melindap ke angkasa, menjadi mendung, dan hujan
menyampaikan isyarat laut.
Sumenep, September
2010
Catatan:
* Petik laut
adalah selamatan laut di Madura.
0 comments :
Post a Comment