Z ? G JX F X F N T B D F W E F
D X W B U J H R V W W G Z E B Q
Z Z Z B ? G K B M A G X B Z M Q
Itulah potongan
sandi romantik yang tergurat di sebuah nisan tua seorang perempuan pribumi di
desa Sinderan Pacitan. Sandi tersebut menjadi teka-teki hampir 100 tahun. Tak
seorang pun dapat mengungkap makna monumen cinta di nisan ini. Kuburannya
berada di bawah sebuah cungkup tua yang seringkali disebut Mausoleum oleh
masyarakat sekitarnya. Dalam tradisi dunia, sebutan itu biasanya ditabalkan di
makam pemimpin-pemimpin besar seperti Tajmahal (India), Piramida (Mesir), dan
Mausoleum Maossolos (Bodrum Turki).
Menurut
Remmelink, puisi liris di nisan itu kira-kira berbunyi begini: “Untuk istri yang sangat kucintai, Djamijah. Terlahir
1873 meninggal 12 Desember 1901. O, Djamijahku! Bunga mawarku (rose of sharon).
Bagaimana aku dapat mengungkapkan rasa cinta dan hormatku kepadamu? Seluruh
dunia ini menjadi sempit bagiku. Apakah aku akan bertemu denganmu lagi?
Seandainya ada kehidupan di alam baka, tentu kamu sekarang ini ada di surga.
Kamu sungguh sangat baik dan begitu saja terlempari kotoran. Karena itu, aku akan
menempuh jalan sulit melewati Golgotha dan menemuimu kembali. Sampai kita
ketemu lagi!”
Dentuman cinta
dari seorang mandor kebun Hindia-Belanda kepada kekasihnya Djamijah terus kita
saksikan hingga kini. Cinta yang bertaut-kelindan ini menghapus batas relasi
kuasa, antara Hindia-Belanda yang berkuasa saat itu terhadap seorang perempuan pribumi
yang telah dikawininya. Pada dasarnya, ia mudah saja memperlakukan Djamijah
dengan seenak nafsunya, tapi tuan Kip masih menaruh rasa hormat dan rasa cinta
yang mendalam. Salah satu bukti terkuat cintanya Kip kepada Djamijah adalah penggunaan
idiom rose of sharon bagi Djamijah.
Rose of
Sharon dikenal sebagai bunga nasional masyarakat Korea Selatan. Sifat bunga
ini sederhana dan baunya sangat wangi. Bunga ini dipilih oleh masyarakat Korea
Selatan sebagai simbol ketekunan, kelembutan, dan keteguhan di masa penjajahan
Jepang (1910-1945). Kita dapat menginterpretasikan bahwa idiom itu dipilih oleh
tuan Kip, karena ia menaruh rasa sayang dan rasa hormat karena kebaikan, kelembutan,
ketekunan, keteguhan, dan keharuman
sifatnya.
Dan Suatu waktu, seorang tetangga di
dekat Mausoleum Djamijah bertutur bahwa ada seorang bule yang usianya sudah tua
dan pipinya keriput datang mengunjungi makamnya, ia membaca kembali sandi-sandi
di atas nisan itu. Begitu membaca kalimat berikut ini, ia meneteskan air mata,
lalu membalikkan badan dan segera kembali: “Kamu sungguh sangat baik dan begitu saja terlempari kotoran. Karena
itu, saya akan menempuh jalan sulit melewati Golgotha dan menemuimu kembali”.
***
Djamijah
memang bukan Julia. Taalman-Kip memang bukan Valentine. Tapi keduanya sama-sama
merangkai kisah cinta yang sangat istimewa. Keduanya membangun sandi-sandi kehidupan
yang tak dapat ditafsirkan hanya sekedar melalui kata-kata. Tubuh boleh saja
dikubur. Claudius II boleh saja memenggal leher Valentine. Jarak boleh saja
berpisah. Tapi genggaman cinta keduanya tak dapat dipisahkan siapapun, bahkan
tuhan sekalipun.
Karena itulah,
Rabindranath Tagore (1861-1941) pernah berkumandang melalui puisinya yang
berjudul Tukang Kebun 28:
Jika
hidupku hanya sebuah permata, akan dapat kupecahkan jadi seratus keping dan
kurangkai jadi seutas rantai untuk kukalungkan di lehermu.
Jika ia
hanya sekuntum bunga, bundar dan kecil dan indah, akan dapat kupetik dari
batangnya, untuk kusematkan di rambutmu.
Tapi ia
adalah hati, kekasihku. Di manakah pantai dan dasarnya?
Pertalian
cinta Valentine dan Julia mengusik kegusaran Kaisar Roma, Claudius II. Sebab
saat itu Kekaisaran Romawi sedang mengalami kemerosotan di bidang pertahanan
dan keamanan, karena adanya pemberontakan masyarakat sipil. Ancaman lain dari
luar muncul dari Turki, Mongolia, Slavia, dan Hun. Kemudian Kaisar merekrut
para lelaki untuk diberangkatkan ke medan perang. Dan dibuatlah aturan yang
melarang pemuda Romawi menjalin hubungan cinta dan menikah, karena bagi Kaisar,
orang yang telah menikah dan memiliki hubungan cinta hanya akan melembekkan
pertahanan di medan perang.
Tersebab Valentine
melawan hukum yang telah dibuat oleh Kaisar, ia dipenjara dan diberi hukuman
mati. Di saat-saat terakhir menjelang eksekusi, Julia mengatakan pada
Valentine; “Apakah kau tahu apa yang kudo’akan setiap pagi? Aku berdoa agar aku
dapat melihat. Aku ingin melihat dunia seperti yang telah kau ajarkan padaku.”
Kemudian
Valentine berkata kepala Julia dengan tenang; “Tuhan memberikan yang terbaik
untuk kita, jika kita percaya pada-Nya.”
Dan, cinta di
dunia ini memang ada dan monumen-monumen cinta adalah bukti betapa cinta punya
sejarah. Candi Prambanan adalah bukti cinta dari Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Jabal Rahmah di Arab Saudi
adalah bukti pertemuan cinta pertama Adam dan Hawa setelah diturunkan dari
Surga. Taman Gantung Babylonia adalah
bukti cinta Raja Nabukadnezar II kepada istrinya Amytis. Dan Mausoleum Djamijah
adalah bukti cinta abadi Taalman-Kip kepada Djamijah.
Maka sekali
lagi, atas nama cinta, izinkan aku mengumandangkan puisi Tagore berjudul Tukang
Kebun 29:
Bila
kata-katamu berakhir, kita akan duduk tenang dan diam. Hanya pohon-pohon akan
berbisikan dalam gelap.
Malam akan
pudar. Hari akan merekah fajar. Kita akan saling bertatapan mata dan pergi
menurutkan jalan kita masing-masing.
Bicaralah
padaku, kekasihku! Ceritakan padaku dengan kata-kata apa yang kau nyanyikan.***
Sumber Gambar: https://ngrasanipacitan.files.wordpress.com/2013/02/20130206-210116.jpg
Tulisan ini dimuat di Jawa Pos Minggu, 22 Februari 2015
Mr. Remmelink made a wrong identification of “Mr. Gip“.
ReplyDeleteMarcus Jacobus van Erp Taalman Kip died on July 10th 1889 in Tjilatjap. He was 59 years old. Mr. Remmelink’s identification as the husband of Princess Djamija is thus incorrect. His wife Noertija applied for a widow’s pension in that year.
The Mr. Van Erp Taalman Kip who died in 1903 was his oldest son, Marcus Willem Louis Hubert Frederik. But this also is a misinterpreted piece of information.
De husband of Djamija, Princess of Mandailing, was the younger son Jan Louis. He was the plantation manager in Patjitan. Djamija was his second wife. Jan Louis divorced his first wife, Iboe Bok Gijem, with whom he had a son in 1891. After Djamija’s death in 1901 Jan Louis remarried in 1907 with Tan Sien No, with whom he had two daughters.
With kind regards,
Maarten Taalman Kip.
Thank's for your correct...
Delete