Home » » Ronjhangan[1]

Ronjhangan[1]

Diposkan oleh damar pada Wednesday, March 11, 2015 | 5:31 AM

Oleh : Ahmad Muchlish Amrin


1/
SEGERA bersiap-siaplah kamu, Pulanti! Sebentar lagi kita akan berangkat---perempuan dengan rambut bergelung, ditali karet berwarna merah muda itu berdiri di depan pintu. Matanya bening bulan Desember, dagunya ditumbuhi tahi lalat dan konde-kondenya terlihat berpacak bagai bunga kaca. Ayahmu sudah mengurung ayam berbulu putih dan aku sudah mempersiapkan rerampatan selamatan yang berupa beras, rempah-rempah lengkap, telur dan kelapa. Bangunlah! Cepat mandi, Pulanti! Perempuan yang melahirkanku itu segera pergi dari depan pintu, menuju amben, mendekati Ayah yang sedang menaruh Ayam berbulu putih pada sangkar janur kuning. Aku bangkit dari tempat tidur, begitu malas, mengambil sebuah handuk yang tersaung di pintu kamar. Aku melangkah ke kamar mandi, terasa lelah, terasa dingin untuk menyentuh air. 
https://jawatimuran.files.wordpress.com/2012/10/dukka-ronjangan001.jpg

Dalam telanjang, aku melihat setiap ruas tubuhku dalam cermin. Cermin yang ditaruh di dinding kanan dalam kamar mandi. Aku memperhatikan setiap lekuk tubuhku. Aku masih terngiang kata-kata Ibu, katanya aku sudah menginjak dewasa, usiaku sudah lima belas tahun, aku harus mengikuti selamatan Ronjhengan. Meski aku tidak suka, Ayah dan Ibu memaksaku, karena semua ini adalah adat di kampung kami “Kasihan suamimu, Pulanti!” begitulah kata Ibu. Ya, orang-orang di kampung kami percaya, bagi perempuan-perempuan yang pernah melaksanakan selamatan, akan selalu menambah hasrat bagi suami mereka, menambah gairah, menambah kenikmatan dalam bersetubuh, tersebab kelamin mereka akan terasa wangi dan kering. Tetapi bila tidak, orang-orang di kampung kami meyakini, mereka akan terlalu binal, kelamin mereka akan terasa bau, becek dan suami-suami mereka akan cepat bosan. Bahkan suatu waktu, kata Ibu—bicara tanpa halangan--seorang suami dari tetangga kami di kampung, sampai kewalahan, sampai pingsan.
Aku kembali mengucurkan air di seluruh tubuhku, merasakan dingin pelan-pelan, mata terpejam.
“Cepat, Pulanti!” teriak Ibu dari luar.
Aku tak menyahut.
“Cepat, Pulanti!” ia mengulangi.
“Ya, sebentar lagi, Bu!”
Aku kembali meratakan air di tubuhku, menyepih busa-busa, aku segera menyelesaikan mandiku, segera mengeringkan tubuhku dengan handuk. Memakai pakaianku. Kemudian aku keluar, masuk kamar. Aku pun segera bersiap-siap untuk berangkat. Ya, berangkat ke Bukit Rantani, di mana Ke Sariye, tetua adat kami, tinggal.  

2/
MALAM yang tenang, bunyi lesung cekung mirip sampan terus berdebam, alu (sebatang kayu) diangkat naik turun untuk menghaluskan daun-daun segar muda. Plak! Pluk! Plak! Pluk! Keplak! Keplak! Kepluk! Kepluk! Bergantian. Bulan bertandang di atas ubun-ubun, daun pisang dan lambaian janur terlihat begitu jelas dari halaman. Ke Sariye mondar-mandir, sesekali menyulut kemenyan di atas sabut kelapa, ia menaruhnya di tengah halaman, di dekat kami yang menutu laro[2]. Ia kembali lagi ke amben, meniup teplok yang berpendar. Kemudian ia duduk di dekat kami, duduk di atas sebuah batu besar yang menghampar di halaman. Di dekat batu itu telah bersanding sebuah  kendi dari tanah liat dan gayung yang terbuat dari tempurung. Kami terus menggerakkan alu naik turun.  
Nyanyian-nyanyian gembira bergenta, kata-kata terasa manis meski dada kami berdetak luka. Aku, Hossina, Annisa’, Sunabiye, Subina dan Salama (perempuan-perempuan yang menginjak dewasa) terus terjaga, sepanjang malam mata kami terbuka, sesekali berkedip bagai bintang-bintang yang berpijar di angkasa. Bebunyian seolah beraturan. Pangkur-pangkur kami terlihat bergerak-gerak dan kembang melati putih tersaung dari rambut yang digelung merumbai ke atas payudara. Kami mencoba meresapi debam lesung dan nyanyian.
Lelaki berambut putih logam itu masih duduk di atas bongkah batu, menghadap ke arah barat, bergeser ke kanan, membelokkan tubuhnya lagi ke arah utara, bergeser ke kiri “atemmua jang-bajangan odi’ matena badhan, alengka songai koneng, aengnga berseh ban jenneng, tera’ mata tera’ ate, Ronjhangan-ronjhangan kaule se anyama, Pulanti, Hossina, Subina, Sunabiye, Salama pasaeagi dalem odi’na Hoooooohhhhuuuuuuuuu!!!![3]” Kalimat-kalimat bernyawa menggeliat di udara. Berkali-kali, seperti ulat-ulat yang gelisah. Tangannya seolah-olah gemetar, dadanya bergetar, udengnya terlihat bergerak-gerak, kepalanya mengangguk-angguk, matanya terpejam. Sesekali asap menyembul dari tangannya.
Aku takut, aku tak mengerti apa sesungguhnya selamatan ini? Aku hanya disuruh Ibu untuk mengikuti Ronjhengan, aku diantarkan olehnya, dititipkan pada Ke Sariye dengan membawa rerampatan, agar aku bisa menjadi perempuan dewasa layaknya perempuan-perempuan di kampungku. Berkali-kali aku membuka mata dan menoleh ke berbagai arah, halaman hanya diterangi cahaya bulan yang berpendar. Suara daun-daun yang ditiup angin terus menggerus keadaan. Kulihat Hossina, Annisa’, Sunabiye, Subina dan Salama begitu khusyuk, kepalanya lenggak-lenggok, seolah-olah menikmati, alu naik turun, bunyi lesung terus berdebam.
“Aku tak bisa, An!” bisikku pada perempuan kurus dengan tahi lalat di ujung hidungnya itu “Bisakah kamu membantu memberiku cara?”
Ssssssttttt! Ikuti saja. Jangan banyak bicara biar lelakumu tidak batal”
“Batal?” keningku mengernyit.
“Ya, batal,”
Annisa’ meluruskan badan ke depan, menutu lesung, matanya kembali terpejam, kepalanya lenggak-lenggok, mulutnya menyanyikan lirik-lirik, bilir syair melanggam mengalir. Aku dan tiga perempuan lainnya mengikuti, melepuh gelisah dalam dada, meregang mimpi-mimpi malam yang panjang. Suara lesung terhenti, Ke Sariye menjulurkan air kembang, air kembang dalam sebuah gayung yang terbuat dari tempurung, Annisa’ menerimanya.
“Usapkan pada seluruh tubuhmu merata,”
Perempuan kurus ceking itu mencelupkan telapak tangannya pada air kembang dalam cebok tempurung, ia mengusapkan ke seluruh tubuhnya, mulai dari rambut, leher, payudara, punggung, pantat, kelamin, paha hingga jemari kaki. Kemudian ia memberikan lagi cebok tempurung itu pada lelaki tua berjenggot seputih kapas. Ke Sariye mengambil lagi air kembang itu, ia menjulurkan pada Hossina. Tubuh kami diusapi air kembang. Bergilir.
Akulah yang terakhir. Lelaki tua itu menjulurkan gagang gayung yang terbuat dari pohon beringin. Daunnya masih merumbai segar. Semerbak mendapak. Sedikit wangi pandan. Aku mengusap seluruh tubuhku di bawah bintang-bintang yang bertabur, kenangan-kenangan waktu kecil melintang, lelaki-lelaki kecil temanku bermain, Ayah dan Ibu yang menekanku mengikuti Ronjhengan. Selintas lagi bayanganmu, Mahdawi. Kamu adalah satu-satunya lelaki yang kucintai, biarpun Ibu tidak menyukaimu, aku tetap bersikukuh, aku tetap akan menjaga hatiku, perasaanku. Bayangan-bayangan yang terus menerus memeluk angan-anganku segera kutepis. Aku segera mengembalikan cebok itu pada lelaki tua bangka. Keningnya terpaut bulan purnama.
Ke Sariye berdiri, ia meminta kami juga berdiri di dekat Ronjhengan dan menaruh alu itu di atas kayu yang mirip perahu. Lelaki keriput memakai baju hitam dan celana komprang hitam itu menyuruh kami melangkahi lesung mirip sampan tiga kali. Kami pun melakukannya sesuai perintah. Ke Sariye membagikan dua iris janur kuning.
“Ikatkan di pinggang kalian,” menyeruak dari mulutnya. Kami mengikatnya dengan cepat.
Kemudian ia mengambil sebuah kain hitam, ia menutup mata kami dengan kain hitam itu. Kami disuruh saling berpegangan ke pundak teman kami. Annisa’ paling depan, sementara di belakangnya Subina, Hossina, Aku, Salama dan Sunabiye. Lelaki itu menuntun kami berjalan, entah ke mana? Kaki kami melangkah tanpa denah. Jantung kami berdegub, angan-angan kami melayang lebih tinggi daripada bayang-bayang. Kami berjalan dengan mata gulita di bawah terang bulan.

3/
SEBUAH ruangan yang gelap. Suara jangkrik memekik di luar, terdengar dari kamar berdinding bambu. Kami bersila dalam kamar yang gelap itu. Membentuk lingkaran. Teman-temanku pada memejamkan mata, mengosongkan setiap pikiran yang berdebam, mereka khusyuk pada satu titik, ya, satu titik. Sementara aku? Ya, Aku yang hanya disuruh Ibu mengikuti Selamatan ini tidak mengerti, pikiran-pikiran dihantui bermacam-macam ingatan, pertanyaan, kenangan, lelaki yang mencintaiku. Terus terang saja aku takut. Aku tak terbiasa berdiam di sebuah kamar yang gelap, aku takut kalau nantinya muncul di depan mataku makhluk-makhluk aneh, batang tubuh tak berkepala atau tengkorak menyunggingkan senyum di depanku. Sungguh pikiranku berjubel tak karuan. Aku tak mengerti, apa yang akan terjadi di kamar ini?
“Aku takut, An!” Bisikku di dekat daun telinga Annisa’.
“Kenapa?”
“Aku takut pada gulita!”
“Pejamkanlah matamu,”
Aku mencoba memejamkan mata, Sunabiye terdengar menarik napas, keluar masuk, tercium bau keringat menyengat. Salama terdengar membaca sesuatu, ya, bacaan-bacaan yang tidak kumengerti artinya. Hossina, Sunabiye dan Salama adalah tiga orang yang lebih tua usianya. Aku tak banyak berbicara dengan tiga orang itu. Kalau ada sesuatu yang membuatku tak mengerti, yang menggelisahkan di benakku, aku meluapkan pada Annisa’. Ya, hanya aku dan Annisa’ yang gelisah mengikuti Selamatan ini, namun Annisa’ lebih dingin.
Terdengar sebuah pintu terbuka. Aku terperanjat. Mataku membelalak ke arah pintu. Seorang lelaki memakai udeng masuk. Asap meletup dari mulutnya. Terlihat bara dalam gelap, bagai kunang-kunang di atas kuburan. Tentu saja bara rokok Ke Sariye. Ia duduk di sebuah kursi di pojok, bau kemenyan segera melindap. Ia mengelilingi kami seolah-olah memperhatikan kami “Khusyuk!” terdengar di telingaku. Ia melemparkan batang rokok lintingannya ke lantai. Dibuang. Bara menyala di lantai pojok timur laut. Kemudian ia berdiri di belakang kami, berjalan-jalan mengitari.
“Tarik napas lewat hidung, tekan di perut, keluarkan pelan-pelan lewat mulut,” lelaki tua bangka itu membimbing kami, aku mengikuti sebagaimana teman-temanku “Terus! Terus! Terus! Tarik napas, simpan di perut, keluarkan pelan-pelan lewat mulut” lelaki bangka itu berjalan lagi, memperhatikan kami, sesekali memegang kepala kami “Kalian adalah Ronjhengan dalam kehidupan ini. Semangatlah! Lakukan selamatan ini dengan hati yang sunyi, jangan pernah bergejolak, jadilah Ronjhengan yang dapat menutu laro,” kalimat-kalimat menghujani sepi. Aku mendengarkan saja. Aku ngantuk. Hatiku masih bermendung, kebosananku sedegub jantung.
Lalu Ke Sariye menarik seorang di antara kami. Salama. Ya, perempuan langsing berkulit kuning langsat itu ditariknya. Ia berdiri di depan kakek. Mata kakek melek kunang-kunang, menatap ke arah kami “teruskan lelaku kalian!” sergahnya ke arah kami. Kami pun tetap menarik napas, menyusuri sunyi ruangan gelap, bunyi-bunyi hewan-hewan di luar masih lantang di kuping. Kakek tetua adat itu meminta Salama mengikutinya. Kakek membuka pintu, keduanya keluar dari kamar gelap. Kami melanjutlan lelaku. Aku diam termenung karena bingung, Annisa’ sibuk menarik napas, Sunabiye dan Subina membaca sesuatu. Mungkin kalimat-kalimat mantra.
“Mau diajak ke mana Salama?” bisikku pada Annisa’ yang duduk di sebelah kiriku.
“Tidak tahu” pendek. Ia segera menarik napas lagi.
“Salama mau diajak ke mana?” tanyaku pada Subina yang duduk di sebelah kananku.
Tak menyahut. Tak sepatah kata pun bergeliat, mulutnya terus komat-kamit membaca kalimat-kalimat.
“Salama mau diajak ke mana?”
Sssstttt!!! Jangan mengganggu,” ketus.
Angan-anganku melayang, menerka peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Salama dan Ke Sariye. Ya, aku khawatir lelaki itu menodai malam, menodai perempuan-perempuan dalam selamatan. Aku khawatir pada diriku, aku mulai gelisah lagi. Ketakutan demi ketakutan terus menghantui. Aggghhhh!!! Aduuuhhhh!!!! Desahan terdengar dari kamar sebelah. Desahan dari mulut Salama. Begitu jelas, ya, aku masih bisa jeli membedakan suara-suara perempuan-perempuan di antara kami, desahan yang terdengar itu adalah desahan Salama
Sakiiittt!!!
“Diam!”
“Tapi sakit, Kek!”
“Jagalah bicaramu, biar lelakumu tidak batal”
Aku semakin ragu. Jangan-jangan lelaki tua bangka itu sudah menggesek malam, ya, menggesek perempuan di malam yang asing. Aku semakin tak bergairah melanjutkan selamatan ini. Bayang-bayang wajahmu kini datang lagi, Mahdawi! Di manakah kamu kini? Tubuhku terancam lelaki tua bangka, tetua adat yang kami tuakan. Apakah kamu mendengar jeritan hatiku? Aku tahu kamu tak di sini, tapi aku yakin hati kita satu. Desahan dan pekikan di kamar sebelah makin terdengar, suara-suara tepisan Kakek, bayang-bayang lelaki yang kucintai terus menghablur. Tentu saja Kakek itu akan menggilir kami. Perempuan-perempuan yang melakukan selamatan akan dibawa ke kamar sebelah di mana Salama telah mendesah dan meringkik. Aku masih diancam ketakutan dan keraguan. Sesekali aku berpikir, aku akan pergi dari kamar gelap ini, namun aku takut pada Ayah dan Ibuku. Aku takut kalau nantinya mereka memarahiku. Aku takut mereka mengunciku di kamar kosong selama satu minggu.
“Kamu mendengar suara desahan?” bisikku di dekat daun telinga Annisa’ yang menunduk.
“Ya, aku mendengar”
“Kenapa bibirmu gemetar?”
Aku meraba tangannya. Berkeringat “Aku takut”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Aku takut dinodai malam”
“Terus?”
“Maksudmu?”
“Apa kamu masih mau melanjutkan selamatan ini?”
“Aku tidak tahu. Aku bingung,”
Kami kembali menarik napas bersama. Kami mencoba menenangkan pikiran kami dengan bacaan-bacaan sebisa kami. Kami mencoba menepis berbagai keraguan, menepis terkaan-terkaan yang membuat hati kami gelisah. Napas keluar masuk. Jantung berdetak kencang. Bulu kuduk merinding pertanda kami sedang tegang. Keringat terurai mengalir di tubuh kami.
Kreekkk!!! Pintu kembali terbuka. Dua orang manusia masuk. Salama di depan, dibuntuti lelaki tua. Salama segera duduk di dekat kami yang melingkar. Aku dan Annisa’ pura-pura khusyu’, duduk bersila, membusungkan dada ke depan dengan mata terpejam. Kakek masih berdiri di dekat Salama “Jangan banyak bergerak” sergahnya pada Salama. Ke Sariye melangkah ke samping, ia berdiri pas di belakangku. Jantungku berdegub lebih cepat “Yang baru ikut?” kami tak menyahut. Kami diam. Kemudian lelaki tua itu menarikku, ya, tetua adat itu memintaku berdiri. Ia memintaku mengikutinya ke kamar sebelah. Meski ragu, tiris dan penuh luka di dada, aku membuntutinya ke kamar sebelah.
Aha! sebuah kamar remang, teplok berpendar di tengah, kendi besar berisi air kembang di atas meja kayu yang tak terlalu tinggi. Sebuah gunting. Sebuah pisau meliang di atas meja. Berlembar-lembar daun sirih dan daun mente segar, sebagian sudah dihaluskan. Empat buah pinang juga meliang di atas meja. Terlihat celurit di gantung di dinding sebelah timur, lukisan tua di samping kiri celurit, lukisan bergambar harimau dan dua buah golok di dinding barat. Di pojok kamar timur daya dalam kamar itu, dua tombak meliang, ditancapkan pada kayu yang berlubang. Aku masih berdiri, berjibaku di dekat meja kayu. Di dekat pendar teplok.
“Duduklah, Bing[4]!
Aku duduk di dekat meja. Berhadapan dengan lelaki tua itu. Aku melihat ke arah Kakek, ia berdiri dan melangkah ke belakangku, ia membisikkan kalimat-kalimat di telingaku “Serkeseran obi manis, jang lajangan daunna nangka, ker-pekkeran sambi nangis, jang-bajangan ekasonggu tika”. Ia menyuruhku membaca kalimat-kalimat itu terus-menerus. Tanpa henti. Dengan mata terpejam. Ke Sariye kembali lagi ke tempat duduknya. Ia mengambil sebuah cebok tempurung. Ia mengambil air dari dalam kendi, mengerat sebuah pinang, dicampuri daun sirih dan daun mente yang telah dihaluskan. Kemudian ia mengambil kain. Memeras daun-daun dan pinang itu dengan kain, ia menadahi saripatinya dengan sebuah gayung tempurung.
Ke Sariye melangkah lagi ke belakangku, ia memegang kain di tangan kirinya. Aku terus membaca mantra. Lelaki itu mengusapkan ampas daun-daun berair itu ke mukaku, leherku, ia membuka bajuku, membuka kutangku, tangannya pelan-pelan menelusup, meremas payudaraku, mengusap perutku, meraba kelaminku, pahaku hingga dua mata kakiku. Astaga! Aku ingin berteriak, tapi tertahan. Ya, tertahan karena aku tiba-tiba ingat nasehat Ibuku sebelum berangkat mengikuti Ronjhengan ini, kata Ibu “Pulanti, ikutilah lelaku apapun yang dilakukan Ke Sariye”, bulu kudukku merinding. Lelaki itu terus meraba tubuhku, payudaraku mengeras, kelaminku berair, terasa licin. Ia mengambil cebok tempurung yang ditaruh di atas meja.
“Minumlah!”
Aku melihat ke arah Kakek. Mataku menyorotnya dalam-dalam. Napasnya sedikit tersengal, seolah degub jantungnya mengencang. Aku meminum air dalam cebok itu. Lelaki tua itu berdiri di belakangku, terasa kelamin kakek menempel di punggungku, mengeras. Bibirnya gemetar. Ia menyorot tubuhku dalam-dalam.
“Habiskan!” pelan dan gemetar.
Aku meminumnya sampai habis. Pelan-pelan mataku bergerimis. Aku menyesali semuanya. Ya, tubuhku yang belum pernah disentuh oleh siapa pun, kini telah disentuh oleh lelaki tua bangka tetua adat ini. Aku ingin pulang. Aku ingin segera menyelesaikan semua ini. Sungguh malam ini adalah malam di mana tubuhku diraba seorang lelaki, Mahdawi! Ya, lelaki yang dituakan di kampung kami. Jemputlah aku, Mahdawi! Bawalah aku pergi dari tempat ini---angan-angan bergolak begitu rupa. Debam di dada bagai bunyi lesung permulaan selamatan di halaman. Kemudian Kakek menyuruhku membuka samper[5]ku, aku diam seolah-olah tak mendengar, mataku terus bergerimis.
“Cepatlah dibuka, Bing!” Kemudian aku membukanya, ia melihat tubuhku, ia menyuruh membuka celana dalamku. Aku ragu. Aku tak bisa menolaknya, bila aku menolak, mungkin ia akan mengatakan pada Ayah dan Ibuku. Aku takut pada mereka. Aku membuka celana dalamku. Ya, kini tak selembar kainpun menempel di tubuhku. Aku menutup kelamin dengan tanganku. Malu. “perempuan yang menginjak dewasa harus dikhitan” mulut Kakek mengembek seperti kambing.
“Dikhitan?”
“Ya, dikhitan. Ini masuk daftar Ronjhengan,”
Ke Sariye menyuruhku telentang. Aku pun telentang. Tanganku masih menutupi kelaminku. Ia mengangkat dan memindahkan tanganku, lalu mengambil sebuah gunting, memindahkan teplok ke pinggir meja, ia mencukur bulu-bulu yang baru tumbuh. Sebelum Ke Sariye menggosokkan pisau pada kacang kecil kelaminku, ia menaruh pisau dan gunting itu lagi di lantai, ia menciumiku, jenggotnya yang merumbai terasa bau busuk. Tangan kiri Ke Sariye meremas payudaraku, memainkan putingku. Payudaraku mengeras. Kelaminku kembali berair. Kakek menjilat-jilat kelaminku, memainkan kacang kecil kelaminku dengan lidahnya, napasnya semakin tersengal. Pelan-pelan ia membuka temali celananya, aku khawatir, aku ingin menepis perbuatan Kakek. Tapi lelaki bangka itu memintaku tetap tenang, seolah penuh ancaman. Tangan kanan Ke Sariye mengelus kelaminnya, mengocok-ngocok kelaminnya sendiri, tangan kirinya masih meremas payudaraku, kepalanya mendongak ke atas, matanya mendelik karena menahan nyaman “Agghhhh!!!! Hhssssggghhhh!!!” suara desis semakin nyaring. Tangan kanan Kakek pindah pada kelaminku, ia menggetarkan jemarinya di atas kacang kecilku, aku menggeliat, sementara tangan kanannya semakin cepat mengocok, kepalanya mendongak lagi, tangan kirinya semakin cepat menggetarkan di atas kacang kecil kelaminku. Kakek seolah semakin hilang ingatan “ccrettttt!!!” air putih kental muncrat di pahaku. Lunglai. Ya, lelaki itu terlihat lemas.
Ke Sariye segera memasang lagi temali celananya, segera berdiri, senyum masih terkulum, ia mengambil kain yang ditaruh di sebuah kotak dekat tombak, ia kembali mendekatiku, mengelap air mani di pahaku dengan kain itu, terlihat gugup. Ia kembali mengambil gunting di lantai, tepat di dekat lengan kiriku. Ia menggosok kacang kecil kelaminku dengan pisau itu.
Aghhhh!!! Sakiiiitttt!! Histeris.
“Diamlah! Cuma sebentar,”
Ke Sariye seolah tak mempedulikan pekikanku “Sakit Ke’! Aghhhh!!!” ia terus melakukan khitan.
Berdarah. Ya, kelaminku sedikit berdarah. Ke Sariye menyuruhku duduk dan mencelupkan tanganku pada air kembang dalam kendi, lalu ia menyuruhku mengusapkan tanganku pada kelaminku. Seusai mengusapkan air kembang di kelaminku, ia memegang tanganku dan tanganku itu dicelupkan lagi pada kendi. Ia menarik tanganku untuk memegang kelamin Kakek, aku menepis, aku menarik tanganku penuh curiga. Kemudian aku memakai kembali celana dalamku, kutangku, samper dan bajuku yang ditumpuk di dekat meja. Aku memakainya dengan penuh kebencian. Ya, aku benci Ke Sariye. Dan semestinya tidak hanya Ke Sariye, apakah aku harus membenci Ayah dan Ibuku juga? Orang tua yang melahirkanku, membesarkanku dan menyuruhku ikut selamatan ini? Entahlah! Mungkin perempuan-perempuan yang lain di luar akan diperlakukan sepertiku. Di sini, di kamar remang teplok yang rembang.
Aku disuruhnya keluar. Melingkar di antara teman-teman yang lain.

4/
PAGI bermendung. Embun bening terkatung di ujung rumput-rumput hijau, di daun-daun pisang, di sulur-sulur janur. Terlihat tupai berkejaran dari satu pohon ke pohon yang lain. Dan aku, perempuan pagi yang bermendung, dengan dada perih oleh rasa sesal, kelamin yang dilukai malam. Aku duduk di luar, di dekat lesung-lesung yang masih terdampar di halaman. Annisa’ keluar dari dalam rumah yang terbuat dari bambu itu, ia mendekatiku. Ia berdiri di dekatku.
“Kenapa murung?”
Aku menarik lengannya dan berbisik “Aku menyesal atas semua ini. Aku malu. Hatiku sakit,”
“Ya, sama. Aku merasakan apa yang kamu rasakan,”
Kemudian terlihat para orang tua kami berdatangan, membawa rerampatan jemputan. Kami segera masuk ke dalam kamar. Kami seolah tak ingin melihat kakek, kami mual. Para orang tua kami segera ke amben. Mereka meletakkan nampan-nampan yang berisi rerampatan. Lalu mereka pada duduk di amben, bercerita tentang selamatan, tentang kami, tentang macam-macam. Wajah mereka terlihat berkaca-kaca, mata mereka cerah bahagia, karena anak mereka telah menjadi dewasa, telah disiapkan untuk disandingkan di pelaminan.  
Sementara orang-orang kampung pada berdatangan, ingin menyaksikan pelepasan perempuan-perempuan Ronjhengan. Mereka duduk di dekat-dekat pagar, berkelompok-kelompok, sebagian berbisik-bisik, sebagian yang lain terdiam menyaksikan para orang tua yang duduk di amben. Ke Sariye keluar. Ia menyalami setiap orang tua kami. Ia memakai udeng, celana komprang hitam baju hitam dengan kaos dalam berwarna merah putih loreng. Mungkin saja para orang tua kami bangga kalau anak mereka ikut selamatan ini, mereka bangga kalau anaknya menjadi dewasa, tapi nyatanya?.  
Kami keluar. Kami berjalan pelan. Beriringan. Para lelaki yang menyaksikan, lelaki yang berbanjar di pagar menatap kami dalam-dalam. Mata mereka melotot pada tubuh kami. Kedip mereka tertahan. Kami melangkah menuju Ronjhengan, kami berjongkok di dekat lesung. Kemudian kami mengangkat alu dan menutu laro bercampur daun sirih dan pinang muda. Para orang tua kami memperhatikan dari amben. Terlihat senyum terkulum di bibir mereka. Kakek kembali ngelinting. Asapnya menyeruak di udara. Plak! Pluk! Plak! Pluk! Keplak! Keplak! Kepluk! Kepluk! Bergantian. Bebunyian pertanda kepulangan. Nyanyian dilantunkan. Kepala kami lenggak-lenggok seolah menikmati lirik-lirik. Ke Sariye mendekat ke arah kami, senyum terkulum.
Orang tua kami menyaksikan, bagai menikmati tabuhan. Satu persatu mereka keluar dari amben, tabuhan terus berdebam, aku menaruh alu di atas kayu yang mirip sampan. Aku segera berdiri di hadapan lelaki tua itu, menatap matanya seolah ingin muntah, aku membuka bajuku, aku membuka kutangku di hadapan lelaki tua itu, di hadapan orang-orang yang hadir berbanjar, ya, aku membuka samper dan celana dalamku di hadapan puluhan bahkan ratusan mata, para lelaki memandangku dengan birahi. Bunyi lesung terhenti. Kakek tertegun, mukanya tampak pucat, matanya tertahan di tubuhku. Aku segera mengambil alu yang bersandar pada Ronjhengan dan membantingkan alu itu ke kepala Ke Sariye. Ia berupaya menangkis alu. Tak tertangkap. Ia terpelanting terkapar di tanah.
“Pulanti!” seorang perempuan dengan rambut digelung itu memekik dari amben. Ibuku terbirit mendekatiku “Apa yang kau lakukan?” Mata Ibu merah menyala, melotot penuh kebencian, ia mengambil pakaianku yang tercecer di tanah, ia menutup tubuhku dengan samper.  
“Apa kamu sudah gila, Ha?” Ibu menarikku ke dekat pagar sebelah barat. Orang-orang segera mendekati Kakek, perempuan-perempuan Ronjhengan berdiri. Hossina, Sunabiye dan Salama bersanding. Sunabiye mengangkat kepala Kakek ditaruh di pahanya. Berdarah. Sementara Annisa’ hanya diam bingung.
“Ibu dan Ayah dan lelaki tua bangsat inilah yang membuatku begini!”
Orang-orang yang hadir pada tercengang. Ratusan kata menggeliat dari mulut Ibu. Aku tak menyahut. Dan aku tak akan menyahut. Aku keluar dari halaman, aku menyusuri setapak, Ibu membuntuti, Ibu mengata-ngataiku anak kurang ajar, tak tahu aturan. Aku tetap tak menyahut, dadaku bergolak. Sementara Ayah? Ya, Ayah bersama para orang tua yang lain mengusung Kakek ke amben.
Satu-persatu perempuan-perempuan peserta Ronjhengan dipulangkan. Orang-orang kampung yang datang pada berkelompok-kelompok, sebagian berkerumun di dekat Kakek, sebagian yang lain berbisik-bisik, sekelompok yang lain mengutukku. Aha! Suara lesung dan nyanyian tak lagi terdengar, tak lagi berdebam, pertanda selamatan telah usai.***
Yogyakarta/Tang Lebun, Desember 2008

Sumber Gambar: https://jawatimuran.files.wordpress.com/2012/10/dukka-ronjangan001.jpg 
Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Cerpen Indonesia 2009 dan pernah diterjemahkan ke Bahasa Inggris Oleh Toni Pollard.



[1]  Ronjhangan adalah lesung yang mirip sampan (Madura)
[2] Laro adalah daun mente yang dihaluskan (Madura)
[3] Menjumpai bayang-bayang, hidup matinya dalam tubuh, melewati sungai kuning, airnya jernih dan bening, terang mata terang hati, Ronjhengan-ronjanganku yang bernama Pulanti, Hossina, Subina, Sunabiye, Salama, tolong peliharalah dalam hidupnya. Hoooooohhhhuuuuuuuuu!!!!
[4] Bing berasal dari kata Cebbing, panggilan untuk anak perempuan (Madura)
[5] Samper adalah kain panjang yang dibuat sarung (Madura)


Artikel Terkait:

0 comments :

Post a Comment