Oleh : Ahmad Muchlish Amrin
1/
SEGERA
bersiap-siaplah kamu, Pulanti! Sebentar lagi kita akan berangkat---perempuan dengan
rambut bergelung, ditali karet berwarna merah muda itu berdiri di depan pintu. Matanya
bening bulan Desember, dagunya ditumbuhi tahi lalat dan konde-kondenya terlihat
berpacak bagai bunga kaca. Ayahmu sudah mengurung ayam berbulu putih dan aku
sudah mempersiapkan rerampatan selamatan yang berupa beras, rempah-rempah
lengkap, telur dan kelapa. Bangunlah! Cepat mandi, Pulanti! Perempuan yang
melahirkanku itu segera pergi dari depan pintu, menuju amben, mendekati Ayah
yang sedang menaruh Ayam berbulu putih pada sangkar janur kuning. Aku bangkit
dari tempat tidur, begitu malas, mengambil sebuah handuk yang tersaung di pintu
kamar. Aku melangkah ke kamar mandi, terasa lelah, terasa dingin untuk menyentuh
air.
Dalam
telanjang, aku melihat setiap ruas tubuhku dalam cermin. Cermin yang ditaruh di
dinding kanan dalam kamar mandi. Aku memperhatikan setiap lekuk tubuhku. Aku
masih terngiang kata-kata Ibu, katanya aku sudah menginjak dewasa, usiaku sudah
lima belas tahun, aku harus mengikuti selamatan Ronjhengan. Meski aku tidak
suka, Ayah dan Ibu memaksaku, karena semua ini adalah adat di kampung kami “Kasihan
suamimu, Pulanti!” begitulah kata Ibu. Ya, orang-orang di kampung kami percaya,
bagi perempuan-perempuan yang pernah melaksanakan selamatan, akan selalu menambah
hasrat bagi suami mereka, menambah gairah, menambah kenikmatan dalam
bersetubuh, tersebab kelamin mereka akan terasa wangi dan kering. Tetapi bila
tidak, orang-orang di kampung kami meyakini, mereka akan terlalu binal, kelamin
mereka akan terasa bau, becek dan suami-suami mereka akan cepat bosan. Bahkan
suatu waktu, kata Ibu—bicara tanpa halangan--seorang suami dari tetangga kami
di kampung, sampai kewalahan, sampai pingsan.
Aku
kembali mengucurkan air di seluruh tubuhku, merasakan dingin pelan-pelan, mata
terpejam.
“Cepat,
Pulanti!” teriak Ibu dari luar.
Aku
tak menyahut.
“Cepat,
Pulanti!” ia mengulangi.
“Ya,
sebentar lagi, Bu!”
Aku
kembali meratakan air di tubuhku, menyepih busa-busa, aku segera menyelesaikan
mandiku, segera mengeringkan tubuhku dengan handuk. Memakai pakaianku. Kemudian
aku keluar, masuk kamar. Aku pun segera bersiap-siap untuk berangkat. Ya,
berangkat ke Bukit Rantani, di mana Ke Sariye, tetua adat kami, tinggal.
2/
MALAM
yang tenang, bunyi lesung cekung mirip sampan terus berdebam, alu (sebatang
kayu) diangkat naik turun untuk menghaluskan daun-daun segar muda. Plak!
Pluk! Plak! Pluk! Keplak! Keplak! Kepluk! Kepluk! Bergantian. Bulan
bertandang di atas ubun-ubun, daun pisang dan lambaian janur terlihat begitu
jelas dari halaman. Ke Sariye mondar-mandir, sesekali menyulut kemenyan di atas
sabut kelapa, ia menaruhnya di tengah halaman, di dekat kami yang menutu laro[2].
Ia kembali lagi ke amben, meniup teplok yang berpendar. Kemudian ia duduk di
dekat kami, duduk di atas sebuah batu besar yang menghampar di halaman. Di
dekat batu itu telah bersanding sebuah kendi dari tanah liat dan gayung yang
terbuat dari tempurung. Kami terus menggerakkan alu naik turun.
Nyanyian-nyanyian
gembira bergenta, kata-kata terasa manis meski dada kami berdetak luka. Aku,
Hossina, Annisa’, Sunabiye, Subina dan Salama (perempuan-perempuan yang
menginjak dewasa) terus terjaga, sepanjang malam mata kami terbuka,
sesekali berkedip bagai bintang-bintang yang berpijar di angkasa. Bebunyian
seolah beraturan. Pangkur-pangkur kami terlihat bergerak-gerak dan kembang
melati putih tersaung dari rambut yang digelung merumbai ke atas payudara. Kami
mencoba meresapi debam lesung dan nyanyian.
Lelaki
berambut putih logam itu masih duduk di atas bongkah batu, menghadap ke arah
barat, bergeser ke kanan, membelokkan tubuhnya lagi ke arah utara, bergeser ke
kiri “atemmua jang-bajangan odi’ matena badhan, alengka songai koneng,
aengnga berseh ban jenneng, tera’ mata tera’ ate, Ronjhangan-ronjhangan kaule
se anyama, Pulanti, Hossina, Subina, Sunabiye, Salama pasaeagi dalem odi’na
Hoooooohhhhuuuuuuuuu!!!![3]”
Kalimat-kalimat bernyawa menggeliat di udara. Berkali-kali, seperti ulat-ulat
yang gelisah. Tangannya seolah-olah gemetar, dadanya bergetar, udengnya terlihat
bergerak-gerak, kepalanya mengangguk-angguk, matanya terpejam. Sesekali asap
menyembul dari tangannya.
Aku
takut, aku tak mengerti apa sesungguhnya selamatan ini? Aku hanya
disuruh Ibu untuk mengikuti Ronjhengan, aku diantarkan olehnya, dititipkan pada
Ke Sariye dengan membawa rerampatan, agar aku bisa menjadi perempuan dewasa
layaknya perempuan-perempuan di kampungku. Berkali-kali aku membuka mata dan
menoleh ke berbagai arah, halaman hanya diterangi cahaya bulan yang berpendar.
Suara daun-daun yang ditiup angin terus menggerus keadaan. Kulihat Hossina,
Annisa’, Sunabiye, Subina dan Salama begitu khusyuk, kepalanya lenggak-lenggok,
seolah-olah menikmati, alu naik turun, bunyi lesung terus berdebam.
“Aku
tak bisa, An!” bisikku pada perempuan kurus dengan tahi lalat di ujung hidungnya
itu “Bisakah kamu membantu memberiku cara?”
“Ssssssttttt!
Ikuti saja. Jangan banyak bicara biar lelakumu tidak batal”
“Batal?”
keningku mengernyit.
“Ya,
batal,”
Annisa’
meluruskan badan ke depan, menutu lesung, matanya kembali terpejam, kepalanya
lenggak-lenggok, mulutnya menyanyikan lirik-lirik, bilir syair melanggam
mengalir. Aku dan tiga perempuan lainnya mengikuti, melepuh gelisah dalam dada,
meregang mimpi-mimpi malam yang panjang. Suara lesung terhenti, Ke Sariye menjulurkan
air kembang, air kembang dalam sebuah gayung yang terbuat dari tempurung, Annisa’
menerimanya.
“Usapkan
pada seluruh tubuhmu merata,”
Perempuan
kurus ceking itu mencelupkan telapak tangannya pada air kembang dalam cebok
tempurung, ia mengusapkan ke seluruh tubuhnya, mulai dari rambut, leher,
payudara, punggung, pantat, kelamin, paha hingga jemari kaki. Kemudian ia
memberikan lagi cebok tempurung itu pada lelaki tua berjenggot seputih kapas. Ke
Sariye mengambil lagi air kembang itu, ia menjulurkan pada Hossina. Tubuh kami
diusapi air kembang. Bergilir.
Akulah
yang terakhir. Lelaki tua itu menjulurkan gagang gayung yang terbuat dari pohon
beringin. Daunnya masih merumbai segar. Semerbak mendapak. Sedikit wangi
pandan. Aku mengusap seluruh tubuhku di bawah bintang-bintang yang bertabur,
kenangan-kenangan waktu kecil melintang, lelaki-lelaki kecil temanku bermain,
Ayah dan Ibu yang menekanku mengikuti Ronjhengan. Selintas lagi bayanganmu, Mahdawi.
Kamu adalah satu-satunya lelaki yang kucintai, biarpun Ibu tidak menyukaimu, aku
tetap bersikukuh, aku tetap akan menjaga hatiku, perasaanku. Bayangan-bayangan
yang terus menerus memeluk angan-anganku segera kutepis. Aku segera
mengembalikan cebok itu pada lelaki tua bangka. Keningnya terpaut bulan
purnama.
Ke
Sariye berdiri, ia meminta kami juga berdiri di dekat Ronjhengan dan menaruh alu
itu di atas kayu yang mirip perahu. Lelaki keriput memakai baju hitam dan
celana komprang hitam itu menyuruh kami melangkahi lesung mirip sampan tiga
kali. Kami pun melakukannya sesuai perintah. Ke Sariye membagikan dua iris
janur kuning.
“Ikatkan
di pinggang kalian,” menyeruak dari mulutnya. Kami mengikatnya dengan cepat.
Kemudian
ia mengambil sebuah kain hitam, ia menutup mata kami dengan kain hitam itu. Kami
disuruh saling berpegangan ke pundak teman kami. Annisa’ paling depan,
sementara di belakangnya Subina, Hossina, Aku, Salama dan Sunabiye. Lelaki itu
menuntun kami berjalan, entah ke mana? Kaki kami melangkah tanpa denah. Jantung
kami berdegub, angan-angan kami melayang lebih tinggi daripada bayang-bayang. Kami
berjalan dengan mata gulita di bawah terang bulan.
3/
SEBUAH
ruangan yang gelap. Suara jangkrik memekik di luar, terdengar dari kamar
berdinding bambu. Kami bersila dalam kamar yang gelap itu. Membentuk lingkaran.
Teman-temanku pada memejamkan mata, mengosongkan setiap pikiran yang berdebam, mereka
khusyuk pada satu titik, ya, satu titik. Sementara aku? Ya, Aku yang hanya
disuruh Ibu mengikuti Selamatan ini tidak mengerti, pikiran-pikiran dihantui
bermacam-macam ingatan, pertanyaan, kenangan, lelaki yang mencintaiku. Terus terang
saja aku takut. Aku tak terbiasa berdiam di sebuah kamar yang gelap, aku takut
kalau nantinya muncul di depan mataku makhluk-makhluk aneh, batang tubuh tak
berkepala atau tengkorak menyunggingkan senyum di depanku. Sungguh pikiranku
berjubel tak karuan. Aku tak mengerti, apa yang akan terjadi di kamar ini?
“Aku
takut, An!” Bisikku di dekat daun telinga Annisa’.
“Kenapa?”
“Aku
takut pada gulita!”
“Pejamkanlah
matamu,”
Aku
mencoba memejamkan mata, Sunabiye terdengar menarik napas, keluar masuk, tercium
bau keringat menyengat. Salama terdengar membaca sesuatu, ya, bacaan-bacaan
yang tidak kumengerti artinya. Hossina, Sunabiye dan Salama adalah tiga orang yang
lebih tua usianya. Aku tak banyak berbicara dengan tiga orang itu. Kalau ada
sesuatu yang membuatku tak mengerti, yang menggelisahkan di benakku, aku
meluapkan pada Annisa’. Ya, hanya aku dan Annisa’ yang gelisah mengikuti Selamatan
ini, namun Annisa’ lebih dingin.
Terdengar
sebuah pintu terbuka. Aku terperanjat. Mataku membelalak ke arah pintu. Seorang
lelaki memakai udeng masuk. Asap meletup dari mulutnya. Terlihat bara
dalam gelap, bagai kunang-kunang di atas kuburan. Tentu saja bara rokok Ke
Sariye. Ia duduk di sebuah kursi di pojok, bau kemenyan segera melindap. Ia
mengelilingi kami seolah-olah memperhatikan kami “Khusyuk!” terdengar di
telingaku. Ia melemparkan batang rokok lintingannya ke lantai. Dibuang. Bara
menyala di lantai pojok timur laut. Kemudian ia berdiri di belakang kami,
berjalan-jalan mengitari.
“Tarik
napas lewat hidung, tekan di perut, keluarkan pelan-pelan lewat mulut,” lelaki
tua bangka itu membimbing kami, aku mengikuti sebagaimana teman-temanku “Terus!
Terus! Terus! Tarik napas, simpan di perut, keluarkan pelan-pelan lewat mulut”
lelaki bangka itu berjalan lagi, memperhatikan kami, sesekali memegang kepala
kami “Kalian adalah Ronjhengan dalam kehidupan ini. Semangatlah! Lakukan selamatan
ini dengan hati yang sunyi, jangan pernah bergejolak, jadilah Ronjhengan yang
dapat menutu laro,” kalimat-kalimat menghujani sepi. Aku mendengarkan
saja. Aku ngantuk. Hatiku masih bermendung, kebosananku sedegub jantung.
Lalu
Ke Sariye menarik seorang di antara kami. Salama. Ya, perempuan langsing
berkulit kuning langsat itu ditariknya. Ia berdiri di depan kakek. Mata kakek
melek kunang-kunang, menatap ke arah kami “teruskan lelaku kalian!” sergahnya
ke arah kami. Kami pun tetap menarik napas, menyusuri sunyi ruangan gelap,
bunyi-bunyi hewan-hewan di luar masih lantang di kuping. Kakek tetua adat itu meminta
Salama mengikutinya. Kakek membuka pintu, keduanya keluar dari kamar gelap. Kami
melanjutlan lelaku. Aku diam termenung karena bingung, Annisa’ sibuk menarik
napas, Sunabiye dan Subina membaca sesuatu. Mungkin kalimat-kalimat mantra.
“Mau
diajak ke mana Salama?” bisikku pada Annisa’ yang duduk di sebelah kiriku.
“Tidak
tahu” pendek. Ia segera menarik napas lagi.
“Salama
mau diajak ke mana?” tanyaku pada Subina yang duduk di sebelah kananku.
Tak
menyahut. Tak sepatah kata pun bergeliat, mulutnya terus komat-kamit membaca
kalimat-kalimat.
“Salama
mau diajak ke mana?”
“Sssstttt!!!
Jangan mengganggu,” ketus.
Angan-anganku
melayang, menerka peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Salama dan Ke Sariye. Ya,
aku khawatir lelaki itu menodai malam, menodai perempuan-perempuan dalam selamatan.
Aku khawatir pada diriku, aku mulai gelisah lagi. Ketakutan demi ketakutan
terus menghantui. Aggghhhh!!! Aduuuhhhh!!!! Desahan terdengar dari kamar
sebelah. Desahan dari mulut Salama. Begitu jelas, ya, aku masih bisa jeli
membedakan suara-suara perempuan-perempuan di antara kami, desahan yang
terdengar itu adalah desahan Salama
“Sakiiittt!!!”
“Diam!”
“Tapi
sakit, Kek!”
“Jagalah
bicaramu, biar lelakumu tidak batal”
Aku
semakin ragu. Jangan-jangan lelaki tua bangka itu sudah menggesek malam, ya, menggesek
perempuan di malam yang asing. Aku semakin tak bergairah melanjutkan selamatan
ini. Bayang-bayang wajahmu kini datang lagi, Mahdawi! Di manakah kamu kini?
Tubuhku terancam lelaki tua bangka, tetua adat yang kami tuakan. Apakah kamu
mendengar jeritan hatiku? Aku tahu kamu tak di sini, tapi aku yakin hati kita
satu. Desahan dan pekikan di kamar sebelah makin terdengar, suara-suara tepisan
Kakek, bayang-bayang lelaki yang kucintai terus menghablur. Tentu saja Kakek
itu akan menggilir kami. Perempuan-perempuan yang melakukan selamatan akan
dibawa ke kamar sebelah di mana Salama telah mendesah dan meringkik. Aku masih
diancam ketakutan dan keraguan. Sesekali aku berpikir, aku akan pergi dari kamar
gelap ini, namun aku takut pada Ayah dan Ibuku. Aku takut kalau nantinya mereka
memarahiku. Aku takut mereka mengunciku di kamar kosong selama satu minggu.
“Kamu
mendengar suara desahan?” bisikku di dekat daun telinga Annisa’ yang menunduk.
“Ya,
aku mendengar”
“Kenapa
bibirmu gemetar?”
Aku
meraba tangannya. Berkeringat “Aku takut”
“Apa
yang kamu takutkan?”
“Aku
takut dinodai malam”
“Terus?”
“Maksudmu?”
“Apa
kamu masih mau melanjutkan selamatan ini?”
“Aku
tidak tahu. Aku bingung,”
Kami
kembali menarik napas bersama. Kami mencoba menenangkan pikiran kami dengan
bacaan-bacaan sebisa kami. Kami mencoba menepis berbagai keraguan, menepis
terkaan-terkaan yang membuat hati kami gelisah. Napas keluar masuk. Jantung
berdetak kencang. Bulu kuduk merinding pertanda kami sedang tegang. Keringat
terurai mengalir di tubuh kami.
Kreekkk!!!
Pintu kembali terbuka. Dua orang manusia masuk. Salama di depan, dibuntuti
lelaki tua. Salama segera duduk di dekat kami yang melingkar. Aku dan Annisa’
pura-pura khusyu’, duduk bersila, membusungkan dada ke depan dengan mata terpejam.
Kakek masih berdiri di dekat Salama “Jangan banyak bergerak” sergahnya pada
Salama. Ke Sariye melangkah ke samping, ia berdiri pas di belakangku. Jantungku
berdegub lebih cepat “Yang baru ikut?” kami tak menyahut. Kami diam. Kemudian
lelaki tua itu menarikku, ya, tetua adat itu memintaku berdiri. Ia memintaku mengikutinya
ke kamar sebelah. Meski ragu, tiris dan penuh luka di dada, aku membuntutinya
ke kamar sebelah.
Aha!
sebuah kamar remang, teplok berpendar di tengah, kendi besar berisi air kembang
di atas meja kayu yang tak terlalu tinggi. Sebuah gunting. Sebuah pisau meliang
di atas meja. Berlembar-lembar daun sirih dan daun mente segar, sebagian sudah
dihaluskan. Empat buah pinang juga meliang di atas meja. Terlihat celurit di
gantung di dinding sebelah timur, lukisan tua di samping kiri celurit, lukisan
bergambar harimau dan dua buah golok di dinding barat. Di pojok kamar timur
daya dalam kamar itu, dua tombak meliang, ditancapkan pada kayu yang berlubang.
Aku masih berdiri, berjibaku di dekat meja kayu. Di dekat pendar teplok.
“Duduklah,
Bing[4]!”
Aku
duduk di dekat meja. Berhadapan dengan lelaki tua itu. Aku melihat ke arah
Kakek, ia berdiri dan melangkah ke belakangku, ia membisikkan kalimat-kalimat di
telingaku “Serkeseran obi manis, jang lajangan daunna nangka, ker-pekkeran
sambi nangis, jang-bajangan ekasonggu tika”. Ia menyuruhku membaca
kalimat-kalimat itu terus-menerus. Tanpa henti. Dengan mata terpejam. Ke Sariye
kembali lagi ke tempat duduknya. Ia mengambil sebuah cebok tempurung. Ia mengambil
air dari dalam kendi, mengerat sebuah pinang, dicampuri daun sirih dan daun
mente yang telah dihaluskan. Kemudian ia mengambil kain. Memeras daun-daun dan
pinang itu dengan kain, ia menadahi saripatinya dengan sebuah gayung tempurung.
Ke
Sariye melangkah lagi ke belakangku, ia memegang kain di tangan kirinya. Aku terus
membaca mantra. Lelaki itu mengusapkan ampas daun-daun berair itu ke mukaku, leherku,
ia membuka bajuku, membuka kutangku, tangannya pelan-pelan menelusup, meremas
payudaraku, mengusap perutku, meraba kelaminku, pahaku hingga dua mata kakiku. Astaga!
Aku ingin berteriak, tapi tertahan. Ya, tertahan karena aku tiba-tiba ingat nasehat
Ibuku sebelum berangkat mengikuti Ronjhengan ini, kata Ibu “Pulanti, ikutilah
lelaku apapun yang dilakukan Ke Sariye”, bulu kudukku merinding. Lelaki itu
terus meraba tubuhku, payudaraku mengeras, kelaminku berair, terasa licin. Ia
mengambil cebok tempurung yang ditaruh di atas meja.
“Minumlah!”
Aku
melihat ke arah Kakek. Mataku menyorotnya dalam-dalam. Napasnya sedikit
tersengal, seolah degub jantungnya mengencang. Aku meminum air dalam cebok itu.
Lelaki tua itu berdiri di belakangku, terasa kelamin kakek menempel di punggungku,
mengeras. Bibirnya gemetar. Ia menyorot tubuhku dalam-dalam.
“Habiskan!”
pelan dan gemetar.
Aku
meminumnya sampai habis. Pelan-pelan mataku bergerimis. Aku menyesali semuanya.
Ya, tubuhku yang belum pernah disentuh oleh siapa pun, kini telah disentuh oleh
lelaki tua bangka tetua adat ini. Aku ingin pulang. Aku ingin segera
menyelesaikan semua ini. Sungguh malam ini adalah malam di mana tubuhku diraba
seorang lelaki, Mahdawi! Ya, lelaki yang dituakan di kampung kami. Jemputlah
aku, Mahdawi! Bawalah aku pergi dari tempat ini---angan-angan bergolak begitu
rupa. Debam di dada bagai bunyi lesung permulaan selamatan di halaman. Kemudian
Kakek menyuruhku membuka samper[5]ku,
aku diam seolah-olah tak mendengar, mataku terus bergerimis.
“Cepatlah
dibuka, Bing!” Kemudian aku membukanya, ia melihat tubuhku, ia menyuruh membuka
celana dalamku. Aku ragu. Aku tak bisa menolaknya, bila aku menolak, mungkin ia
akan mengatakan pada Ayah dan Ibuku. Aku takut pada mereka. Aku membuka celana
dalamku. Ya, kini tak selembar kainpun menempel di tubuhku. Aku menutup kelamin
dengan tanganku. Malu. “perempuan yang menginjak dewasa harus dikhitan” mulut Kakek
mengembek seperti kambing.
“Dikhitan?”
“Ya,
dikhitan. Ini masuk daftar Ronjhengan,”
Ke
Sariye menyuruhku telentang. Aku pun telentang. Tanganku masih menutupi
kelaminku. Ia mengangkat dan memindahkan tanganku, lalu mengambil sebuah gunting,
memindahkan teplok ke pinggir meja, ia mencukur bulu-bulu yang baru tumbuh. Sebelum
Ke Sariye menggosokkan pisau pada kacang kecil kelaminku, ia menaruh pisau dan
gunting itu lagi di lantai, ia menciumiku, jenggotnya yang merumbai terasa bau
busuk. Tangan kiri Ke Sariye meremas payudaraku, memainkan putingku. Payudaraku
mengeras. Kelaminku kembali berair. Kakek menjilat-jilat kelaminku, memainkan kacang
kecil kelaminku dengan lidahnya, napasnya semakin tersengal. Pelan-pelan ia
membuka temali celananya, aku khawatir, aku ingin menepis perbuatan Kakek. Tapi
lelaki bangka itu memintaku tetap tenang, seolah penuh ancaman. Tangan kanan Ke
Sariye mengelus kelaminnya, mengocok-ngocok kelaminnya sendiri, tangan kirinya
masih meremas payudaraku, kepalanya mendongak ke atas, matanya mendelik karena
menahan nyaman “Agghhhh!!!! Hhssssggghhhh!!!” suara desis semakin
nyaring. Tangan kanan Kakek pindah pada kelaminku, ia menggetarkan jemarinya di
atas kacang kecilku, aku menggeliat, sementara tangan kanannya semakin cepat
mengocok, kepalanya mendongak lagi, tangan kirinya semakin cepat menggetarkan
di atas kacang kecil kelaminku. Kakek seolah semakin hilang ingatan “ccrettttt!!!”
air putih kental muncrat di pahaku. Lunglai. Ya, lelaki itu terlihat lemas.
Ke
Sariye segera memasang lagi temali celananya, segera berdiri, senyum masih
terkulum, ia mengambil kain yang ditaruh di sebuah kotak dekat tombak, ia kembali
mendekatiku, mengelap air mani di pahaku dengan kain itu, terlihat gugup. Ia
kembali mengambil gunting di lantai, tepat di dekat lengan kiriku. Ia menggosok
kacang kecil kelaminku dengan pisau itu.
“Aghhhh!!!
Sakiiiitttt!!” Histeris.
“Diamlah!
Cuma sebentar,”
Ke
Sariye seolah tak mempedulikan pekikanku “Sakit Ke’! Aghhhh!!!” ia terus
melakukan khitan.
Berdarah.
Ya, kelaminku sedikit berdarah. Ke Sariye menyuruhku duduk dan mencelupkan
tanganku pada air kembang dalam kendi, lalu ia menyuruhku mengusapkan tanganku pada
kelaminku. Seusai mengusapkan air kembang di kelaminku, ia memegang tanganku
dan tanganku itu dicelupkan lagi pada kendi. Ia menarik tanganku untuk memegang
kelamin Kakek, aku menepis, aku menarik tanganku penuh curiga. Kemudian aku memakai
kembali celana dalamku, kutangku, samper dan bajuku yang ditumpuk di dekat
meja. Aku memakainya dengan penuh kebencian. Ya, aku benci Ke Sariye. Dan semestinya
tidak hanya Ke Sariye, apakah aku harus membenci Ayah dan Ibuku juga? Orang tua
yang melahirkanku, membesarkanku dan menyuruhku ikut selamatan ini? Entahlah!
Mungkin perempuan-perempuan yang lain di luar akan diperlakukan sepertiku. Di
sini, di kamar remang teplok yang rembang.
Aku
disuruhnya keluar. Melingkar di antara teman-teman yang lain.
4/
PAGI
bermendung. Embun bening terkatung di ujung rumput-rumput hijau, di daun-daun pisang,
di sulur-sulur janur. Terlihat tupai berkejaran dari satu pohon ke pohon yang
lain. Dan aku, perempuan pagi yang bermendung, dengan dada perih oleh rasa
sesal, kelamin yang dilukai malam. Aku duduk di luar, di dekat lesung-lesung
yang masih terdampar di halaman. Annisa’ keluar dari dalam rumah yang terbuat
dari bambu itu, ia mendekatiku. Ia berdiri di dekatku.
“Kenapa
murung?”
Aku
menarik lengannya dan berbisik “Aku menyesal atas semua ini. Aku malu. Hatiku
sakit,”
“Ya,
sama. Aku merasakan apa yang kamu rasakan,”
Kemudian
terlihat para orang tua kami berdatangan, membawa rerampatan jemputan. Kami
segera masuk ke dalam kamar. Kami seolah tak ingin melihat kakek, kami mual. Para
orang tua kami segera ke amben. Mereka meletakkan nampan-nampan yang berisi rerampatan.
Lalu mereka pada duduk di amben, bercerita tentang selamatan, tentang kami,
tentang macam-macam. Wajah mereka terlihat berkaca-kaca, mata mereka cerah
bahagia, karena anak mereka telah menjadi dewasa, telah disiapkan untuk disandingkan
di pelaminan.
Sementara
orang-orang kampung pada berdatangan, ingin menyaksikan pelepasan
perempuan-perempuan Ronjhengan. Mereka duduk di dekat-dekat pagar,
berkelompok-kelompok, sebagian berbisik-bisik, sebagian yang lain terdiam
menyaksikan para orang tua yang duduk di amben. Ke Sariye keluar. Ia menyalami
setiap orang tua kami. Ia memakai udeng, celana komprang hitam baju hitam
dengan kaos dalam berwarna merah putih loreng. Mungkin saja para orang tua kami
bangga kalau anak mereka ikut selamatan ini, mereka bangga kalau anaknya menjadi
dewasa, tapi nyatanya?.
Kami
keluar. Kami berjalan pelan. Beriringan. Para lelaki yang menyaksikan, lelaki
yang berbanjar di pagar menatap kami dalam-dalam. Mata mereka melotot pada
tubuh kami. Kedip mereka tertahan. Kami melangkah menuju Ronjhengan, kami
berjongkok di dekat lesung. Kemudian kami mengangkat alu dan menutu laro
bercampur daun sirih dan pinang muda. Para orang tua kami memperhatikan dari
amben. Terlihat senyum terkulum di bibir mereka. Kakek kembali ngelinting.
Asapnya menyeruak di udara. Plak! Pluk! Plak! Pluk! Keplak! Keplak! Kepluk!
Kepluk! Bergantian. Bebunyian pertanda kepulangan. Nyanyian dilantunkan. Kepala
kami lenggak-lenggok seolah menikmati lirik-lirik. Ke Sariye mendekat ke arah
kami, senyum terkulum.
Orang
tua kami menyaksikan, bagai menikmati tabuhan. Satu persatu mereka keluar dari
amben, tabuhan terus berdebam, aku menaruh alu di atas kayu yang mirip sampan.
Aku segera berdiri di hadapan lelaki tua itu, menatap matanya seolah ingin
muntah, aku membuka bajuku, aku membuka kutangku di hadapan lelaki tua itu, di
hadapan orang-orang yang hadir berbanjar, ya, aku membuka samper dan celana
dalamku di hadapan puluhan bahkan ratusan mata, para lelaki memandangku dengan
birahi. Bunyi lesung terhenti. Kakek tertegun, mukanya tampak pucat, matanya
tertahan di tubuhku. Aku segera mengambil alu yang bersandar pada Ronjhengan dan
membantingkan alu itu ke kepala Ke Sariye. Ia berupaya menangkis alu. Tak
tertangkap. Ia terpelanting terkapar di tanah.
“Pulanti!”
seorang perempuan dengan rambut digelung itu memekik dari amben. Ibuku terbirit
mendekatiku “Apa yang kau lakukan?” Mata Ibu merah menyala, melotot penuh
kebencian, ia mengambil pakaianku yang tercecer di tanah, ia menutup tubuhku
dengan samper.
“Apa
kamu sudah gila, Ha?” Ibu menarikku ke dekat pagar sebelah barat. Orang-orang
segera mendekati Kakek, perempuan-perempuan Ronjhengan berdiri. Hossina,
Sunabiye dan Salama bersanding. Sunabiye mengangkat kepala Kakek ditaruh di
pahanya. Berdarah. Sementara Annisa’ hanya diam bingung.
“Ibu
dan Ayah dan lelaki tua bangsat inilah yang membuatku begini!”
Orang-orang
yang hadir pada tercengang. Ratusan kata menggeliat dari mulut Ibu. Aku tak
menyahut. Dan aku tak akan menyahut. Aku keluar dari halaman, aku menyusuri
setapak, Ibu membuntuti, Ibu mengata-ngataiku anak kurang ajar, tak tahu
aturan. Aku tetap tak menyahut, dadaku bergolak. Sementara Ayah? Ya, Ayah
bersama para orang tua yang lain mengusung Kakek ke amben.
Satu-persatu
perempuan-perempuan peserta Ronjhengan dipulangkan. Orang-orang kampung yang
datang pada berkelompok-kelompok, sebagian berkerumun di dekat Kakek, sebagian
yang lain berbisik-bisik, sekelompok yang lain mengutukku. Aha! Suara
lesung dan nyanyian tak lagi terdengar, tak lagi berdebam, pertanda selamatan
telah usai.***
Yogyakarta/Tang Lebun, Desember 2008
Sumber Gambar: https://jawatimuran.files.wordpress.com/2012/10/dukka-ronjangan001.jpg
Cerpen ini pernah dimuat di Jurnal Cerpen Indonesia 2009 dan pernah diterjemahkan ke Bahasa Inggris Oleh Toni Pollard.
[1] Ronjhangan adalah
lesung yang mirip sampan (Madura)
[3] Menjumpai bayang-bayang, hidup matinya dalam tubuh, melewati
sungai kuning, airnya jernih dan bening, terang mata terang hati,
Ronjhengan-ronjanganku yang bernama Pulanti, Hossina, Subina, Sunabiye, Salama,
tolong peliharalah dalam hidupnya. Hoooooohhhhuuuuuuuuu!!!!
[4] Bing berasal dari kata Cebbing, panggilan untuk anak
perempuan (Madura)
[5] Samper adalah kain
panjang yang dibuat sarung (Madura)
0 comments :
Post a Comment