Oleh: Sofyan RH. Zaid
maunya selalu memberantas kemiskinan
tapi ada yang selalu kuras uang rakyat
ada yang sok aksi buka mulut protas protes
tapi sayang mulutnya selalu beraroma alkohol
yang muda mabuk, yang tua korup
korup terus, mabuk terus
jayalah negeri ini, jayalah negeri ini
(merdeka!)
maunya selalu menegakkan keadilan
tapi masih saja ada sisa hukum rimba
ada yang coba-coba sadarkan penguasa
tapi sayang yang coba sadarkan
sadar aja nggak pernah
setiap hari mabuk
ngoceh soal politik
setiap hari korup
ngoceh soal krisis ekonomi
perut kekenyangan bahas soal kelaparan
kapitalis sejati malah ngomongin soal keadilan sosial
selalu monopoli
ngoceh soal pemerataan
setiap hari tucau
ngoceh soal kebobrokan
Lagu Distorsi - Ahmad Band ini mengusir sepi dari kamarku. Di kamar yang sama, seperti malam-malam sebelumnya. Entah malam apa ini, aku lupa. Mungkin benar: dalam rindu, semua hari adalah nama kekasih.
Alfreda, aku baru saja habis membaca (balasan) suratmu. itu sebabnya aku mengingatmu begitu kuat. Ingin rasanya kembali menulis namamu di buku pelajaran, tembok sekolah, surau, dan rumah, serta halaman sehabis hujan. Di luar gerimis terdengar ritmis, begitu manis. Aku meraih beberapa lembar kertas dan pen warna biru kesukaanmu. Aku kembali menulis surat untukmu, walau mungkin tak seperti surat Jibran kepada Mary, atau surat cinta tertua di dunia yang ditemukan di lembah Niffer (2200 SM). Suratku masih sama seperti sebelumnya, cerita-cerita untuk diabaikan.
Alfreda, apa kabar? Aku ucapkan salam kepada malaikat yang menjagamu. Semoga kamu baik-baik saja seperti diriku di kota ini, seperti dalam doa orang-orang tercinta. Akhir-akhir ini aku suka mengikuti berita kasus korupsi. Kamu tahu, Alfreda? Mengikuti berita tersebut sebenarnya tidak beda jauh dengan film-film Korea kesukaanmu, sama-sama drama. Bedanya hanya terletak di ending, kasus korupsi endingnya selalu tidak jelas, antara bahagia atau sedih. Seperti berakhir di laut, lalu lupa. Sengaja membayar agar dilupakan, namun jangan khawatir, tidak ada yang bisa membayarku agar melupakanmu.
Alfreda, Indonesia negara besar. Kekayaan alamnya melimpah dan tambangnya tidak akan habis sampai hari kiamat. Pakar akuntansi sekalipun tidak akan sanggup menghitungnya, namun rakyatnya masih saja jauh panggang dari ayam. Kemiskinan dan kebodohan di mana-mana. Lantas ke mana kekayaan alam Indonesia itu? Rakyat sebagai pemilik sah republik ini hanya memiliki cerita dan fantasi akan kemakmuran sebagai hutang kemerdekaan, tanpa pernah tahu kapan akan dibayar lunas atau kredit, seperti orang-orang kampungmu yang membayar hutang pada rentenir berkedok agama itu. Semua orang tahu -dari pedagang mie ayam sampai profesor-, ini semua terjadi sebab: korupsi.
Alfreda, aku ingat Anna Lind, -Menteri Luar Negeri Swedia yang ditusuk mati saat sedang berbelanja tahun 2003 itu- bahwa sejak dahulu, dalam masyarakat yang demokratis, korupsi dan penindasan tetap saja merupakan ancaman yang besar. Banyak orang bilang ingin mewakili rakyat di Senayan, nyatanya hanya memperkaya diri sendiri, kelompok dan keluarganya. Banyak orang bilang ingin jadi PNS agar bisa memperbaiki sistem dari dalam, nyatanya mereka juga merongrong kekayaan negara dan jarang ada di kantor. Banyak orang bilang mau jadi aktivis untuk mendampingi dan menyelamatkan rakyat, nyatanya mereka juga mata duitan.
Di negara ini, korupsi sudah menjadi budaya ‘salah kapra’. Mereka yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, harus mengeluarkan uang banyak, nama besar saja tidak cukup. Mereka yang mau jadi PNS, harus menyuap, pendidikan saja tidak cukup. Mereka yang mau aktivis, harus mencari proyek-proyek pragmatis untuk menghidupkan idealismenya. Sehingga korupsi kemudian tidak bisa lagi ditolak. Korupsi bukan hanya berdampak sistemik, tapi prosesnya juga sudah sangat sistematis. Kalau ada koruptor yang tertangkap itu pasti karena ada pihak yang tidak dapat bagian, lalu berkhianat. Lebih tepatnya tidak beruntung, atau Tuhan mulai bosan, kata Ebiet.
Alfreda, kamu boleh tidak percaya, bagaimana sekawanan wakil rakyat menjual undang-undang seperti nelayan menjual udang-udang. Bagaimana para PNS membuat program-program fiktif untuk menghabiskan anggaran. Bagaimana aktivis-aktivis itu menjadikan rakyat sebagai alat jualan dan batu loncatan, untuk kepentingan perutnya sendiri. Sementara hukum semakin sulit ditegakkan meski langit runtuh, karena para penegaknya juga mendapat bagian. Bagian itu adalah kebaikan, kebaikan itu lebih tajam dari pedang, menusuk sambil memeluk, membunuhnya perlahan. Rakyat tidak tahu lagi, kepada siapa akan percaya dan menemukan keadilan.
Negara ini sedang menjadi telur di ujung tanduk, jika Olusegun Obasanjo - Jenderal Nigeria- itu benar, korupsi merupakan sumber kehancuran terbesar masyarakat saat ini. Sebab Karl Kraus -Jurnalis Austria- itu yakin, korupsi lebih buruk dari prostitusi. Prostitusi membahayakan moral individu, tetapi korupsi akan membahayakan moral seluruh negeri. Bila koruptor melakukan korupsi secara berjamaah dan sangat sistematis, itu artinya penjajah negara ini bukan lagi dari bangsa lain, tapi bangsa sendiri. Lambat laun negara ini akan bangkrut dengan banyaknya masalah yang ditimbulkan korupsi. Dan ketika itu terjadi, maka hanya ada satu cara mengatasinya; gadaikan. Mengatasi masalah tanpa masalah.
Alfreda, bicara korupsi di negara ini hanya akan mempercepat tua. Jauh hari Plato sudah teriak, keadilan dalam kehidupan dan perilaku suatu negara hanya mungkin jika hal tersebut tertanam dalam hati dan jiwa warga negaranya. Bahkan Bertrand de Speville -tokoh anti korupsi itu- bilang, butuh 25 tahun paling tidak untuk memerangi korupsi dan mengubah sikap masyarakat agar tidak lagi menerima tindakan korupsi. Aku hanya bisa membayangkan, betapa makmur dan sejahtera bangsa ini tanpa korupsi. Atau barangkali seperti ilmu matematika; mereka tidak ahli dalam penambahan dan pengkalian, ahlinya hanya dalam pengurangan dan pembagian. Mereka hanya tahu jumlah akhir, tanpa perlu tahu rumus yang benar. Itu kenapa sesekali kita perlu meniru Anna Hazare, melawan korupsi dengan cara mogok makan sampai mati, sampai pemerintah dan parlemen India membuat UU Antikorupsi yang keras dalam pelaksanaannya. Dan Hazare percaya, untuk melawan korupsi kita harus melibatkan seluruh pihak, setidaknya dimulai dari diri sendiri. Sebab dunia memberi kecukupan untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak untuk keserakahan, kata Gandhi.
Di akhir surat ini, Alfreda. Aku ingin berdoa meski itu selemah-lemahnya iman: Semoga negara ini terus maju dan mampu membayar hutang-hutang kemerdekaan kepada seluruh rakyat dengan kesejahteraan dan kemakmuran. Namun jika korupsi itu niscaya, tidak bisa dilawan dengan kejujuran semata sebab koruptor semakin kuat dan sistematis, maka kirimkanlah kepada kami Raden Mas Syahid -Sunan Kalijaga- baru yang banyak, tanpa perlu ada Sunan Bonang.
Alfreda, ketika kau mengucap amin atas doaku, maka surat ini pun berakhir. Jaga dirimu baik-baik. Jangan pernah ada korupsi di antara kita.
Bekasi, 26 Agustus 2015
maunya selalu memberantas kemiskinan
tapi ada yang selalu kuras uang rakyat
ada yang sok aksi buka mulut protas protes
tapi sayang mulutnya selalu beraroma alkohol
yang muda mabuk, yang tua korup
korup terus, mabuk terus
jayalah negeri ini, jayalah negeri ini
(merdeka!)
maunya selalu menegakkan keadilan
tapi masih saja ada sisa hukum rimba
ada yang coba-coba sadarkan penguasa
tapi sayang yang coba sadarkan
sadar aja nggak pernah
setiap hari mabuk
ngoceh soal politik
setiap hari korup
ngoceh soal krisis ekonomi
perut kekenyangan bahas soal kelaparan
kapitalis sejati malah ngomongin soal keadilan sosial
selalu monopoli
ngoceh soal pemerataan
setiap hari tucau
ngoceh soal kebobrokan
Lagu Distorsi - Ahmad Band ini mengusir sepi dari kamarku. Di kamar yang sama, seperti malam-malam sebelumnya. Entah malam apa ini, aku lupa. Mungkin benar: dalam rindu, semua hari adalah nama kekasih.
Alfreda, aku baru saja habis membaca (balasan) suratmu. itu sebabnya aku mengingatmu begitu kuat. Ingin rasanya kembali menulis namamu di buku pelajaran, tembok sekolah, surau, dan rumah, serta halaman sehabis hujan. Di luar gerimis terdengar ritmis, begitu manis. Aku meraih beberapa lembar kertas dan pen warna biru kesukaanmu. Aku kembali menulis surat untukmu, walau mungkin tak seperti surat Jibran kepada Mary, atau surat cinta tertua di dunia yang ditemukan di lembah Niffer (2200 SM). Suratku masih sama seperti sebelumnya, cerita-cerita untuk diabaikan.
Sumber Gambar: parscloob.com |
Alfreda, Indonesia negara besar. Kekayaan alamnya melimpah dan tambangnya tidak akan habis sampai hari kiamat. Pakar akuntansi sekalipun tidak akan sanggup menghitungnya, namun rakyatnya masih saja jauh panggang dari ayam. Kemiskinan dan kebodohan di mana-mana. Lantas ke mana kekayaan alam Indonesia itu? Rakyat sebagai pemilik sah republik ini hanya memiliki cerita dan fantasi akan kemakmuran sebagai hutang kemerdekaan, tanpa pernah tahu kapan akan dibayar lunas atau kredit, seperti orang-orang kampungmu yang membayar hutang pada rentenir berkedok agama itu. Semua orang tahu -dari pedagang mie ayam sampai profesor-, ini semua terjadi sebab: korupsi.
Alfreda, aku ingat Anna Lind, -Menteri Luar Negeri Swedia yang ditusuk mati saat sedang berbelanja tahun 2003 itu- bahwa sejak dahulu, dalam masyarakat yang demokratis, korupsi dan penindasan tetap saja merupakan ancaman yang besar. Banyak orang bilang ingin mewakili rakyat di Senayan, nyatanya hanya memperkaya diri sendiri, kelompok dan keluarganya. Banyak orang bilang ingin jadi PNS agar bisa memperbaiki sistem dari dalam, nyatanya mereka juga merongrong kekayaan negara dan jarang ada di kantor. Banyak orang bilang mau jadi aktivis untuk mendampingi dan menyelamatkan rakyat, nyatanya mereka juga mata duitan.
Di negara ini, korupsi sudah menjadi budaya ‘salah kapra’. Mereka yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat, harus mengeluarkan uang banyak, nama besar saja tidak cukup. Mereka yang mau jadi PNS, harus menyuap, pendidikan saja tidak cukup. Mereka yang mau aktivis, harus mencari proyek-proyek pragmatis untuk menghidupkan idealismenya. Sehingga korupsi kemudian tidak bisa lagi ditolak. Korupsi bukan hanya berdampak sistemik, tapi prosesnya juga sudah sangat sistematis. Kalau ada koruptor yang tertangkap itu pasti karena ada pihak yang tidak dapat bagian, lalu berkhianat. Lebih tepatnya tidak beruntung, atau Tuhan mulai bosan, kata Ebiet.
Alfreda, kamu boleh tidak percaya, bagaimana sekawanan wakil rakyat menjual undang-undang seperti nelayan menjual udang-udang. Bagaimana para PNS membuat program-program fiktif untuk menghabiskan anggaran. Bagaimana aktivis-aktivis itu menjadikan rakyat sebagai alat jualan dan batu loncatan, untuk kepentingan perutnya sendiri. Sementara hukum semakin sulit ditegakkan meski langit runtuh, karena para penegaknya juga mendapat bagian. Bagian itu adalah kebaikan, kebaikan itu lebih tajam dari pedang, menusuk sambil memeluk, membunuhnya perlahan. Rakyat tidak tahu lagi, kepada siapa akan percaya dan menemukan keadilan.
Negara ini sedang menjadi telur di ujung tanduk, jika Olusegun Obasanjo - Jenderal Nigeria- itu benar, korupsi merupakan sumber kehancuran terbesar masyarakat saat ini. Sebab Karl Kraus -Jurnalis Austria- itu yakin, korupsi lebih buruk dari prostitusi. Prostitusi membahayakan moral individu, tetapi korupsi akan membahayakan moral seluruh negeri. Bila koruptor melakukan korupsi secara berjamaah dan sangat sistematis, itu artinya penjajah negara ini bukan lagi dari bangsa lain, tapi bangsa sendiri. Lambat laun negara ini akan bangkrut dengan banyaknya masalah yang ditimbulkan korupsi. Dan ketika itu terjadi, maka hanya ada satu cara mengatasinya; gadaikan. Mengatasi masalah tanpa masalah.
Alfreda, bicara korupsi di negara ini hanya akan mempercepat tua. Jauh hari Plato sudah teriak, keadilan dalam kehidupan dan perilaku suatu negara hanya mungkin jika hal tersebut tertanam dalam hati dan jiwa warga negaranya. Bahkan Bertrand de Speville -tokoh anti korupsi itu- bilang, butuh 25 tahun paling tidak untuk memerangi korupsi dan mengubah sikap masyarakat agar tidak lagi menerima tindakan korupsi. Aku hanya bisa membayangkan, betapa makmur dan sejahtera bangsa ini tanpa korupsi. Atau barangkali seperti ilmu matematika; mereka tidak ahli dalam penambahan dan pengkalian, ahlinya hanya dalam pengurangan dan pembagian. Mereka hanya tahu jumlah akhir, tanpa perlu tahu rumus yang benar. Itu kenapa sesekali kita perlu meniru Anna Hazare, melawan korupsi dengan cara mogok makan sampai mati, sampai pemerintah dan parlemen India membuat UU Antikorupsi yang keras dalam pelaksanaannya. Dan Hazare percaya, untuk melawan korupsi kita harus melibatkan seluruh pihak, setidaknya dimulai dari diri sendiri. Sebab dunia memberi kecukupan untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak untuk keserakahan, kata Gandhi.
Di akhir surat ini, Alfreda. Aku ingin berdoa meski itu selemah-lemahnya iman: Semoga negara ini terus maju dan mampu membayar hutang-hutang kemerdekaan kepada seluruh rakyat dengan kesejahteraan dan kemakmuran. Namun jika korupsi itu niscaya, tidak bisa dilawan dengan kejujuran semata sebab koruptor semakin kuat dan sistematis, maka kirimkanlah kepada kami Raden Mas Syahid -Sunan Kalijaga- baru yang banyak, tanpa perlu ada Sunan Bonang.
Alfreda, ketika kau mengucap amin atas doaku, maka surat ini pun berakhir. Jaga dirimu baik-baik. Jangan pernah ada korupsi di antara kita.
Bekasi, 26 Agustus 2015
0 comments :
Post a Comment