Cerpen : Mawaidi D. Mas
KINI aku hanyalah seonggok daging busuk di dasar lubang bercampur dengan leburan batu. Mulanya tubuhku sudah direbahkan menghadap ke barat dan kepalaku berada di posisi utara, tak ada yang tahu sampai saat ini kalau semua itu telah berubah. Semua itu terjadi padaku sekitar tiga detik setelah papan beton menutup habis-habis tubuhku.
Tak ada malam ataupun siang; senja apalagi pagi. Tak ada yang tahu sudah berapa tahun aku mengalami penjara kesunyian tanpa melakukan apa-apa di sini, kecuali hanya memandangi tubuhku dengan nestapa. Tak pernah ada yang datang ke makamku untuk menjenguk atau sekadar membersihkan kotoran binatang-binatang ternak para petani di atas pusara. Atau, jangan-jangan selama ini banyak orang yang datang kepadaku mendoakan dan sebagainya tetapi aku tidak melihat mereka karena saking tidak diterimanya kematian ini oleh Tuhan.
Sebelum masuk ke lubang ini, telah banyak kebaikan yang kuperbuat kepada orang-orang terdekat maupun yang jauh dan yang tidak kukenal. Setidaknya aku dapat mengenang kebaikanku selama hidup. Aku bahagia. Jauh sebelum aku mati, sekitar dua tahun itu aku keluar rumah dan menampakkan diri sebagai sosok yang humanis, religius dan pluralis. Aku membuat jejak yang banyak dipuja dan dipuji orang-orang karena sikapku kepada mereka tidak dibatasi oleh kedudukan dan jabatan. Semisal, pada suatu hari aku pergi ke sebuah tempat yang jauh dari tempat yang aku tinggali. Tempat itu sepertinya berada di daerah perbatasan yang jauh dan tak pernah disentuh oleh kebudayaan modern. Ketika mereka mengetahui kunjunganku ke sana orang-orang menghambur semua kepadaku, berseru dan ada yang menangis meminta kesejahteraan hidup seperti yang aku nikmati saat ini. Kukatakan saat itu kepada mereka semua permintaannya akan kusanggupi. Dan kau harus tahu, tidak hanya penduduk di sana yang tahu keberadaanku saat itu. Sebuah televisi nasional telah kubayar untuk meliput semua gerak-gerikku, semua kebaikan yang kutebar.
Waktu itu aku masih berkumis, dengan cara itu di tempat lain aku akan tampak sahaja dan kharismatik. Kudatangi pengajian-pengajian yang diselenggarakan di desa-desa, kuberikan uang separuh dari anggaran mereka dengan catatan: kehadiranku di sana tidak hanya sekadar menjadi pendengar, melainkan menjadi bagian orang yang memberi sambutan kepada masyarakat di desa itu yang berisikan bujukan-bujukan halus bahwa aku sedang menyiapkan masa depan baru dan sebuah revolusi untuk bangsa. Di tempat lain, yang jauh dari desa yang sering mengadakan pengajian, kukunjungi tempat itu seperti aku mengunjungi sebuah medan perang karena saking angkuhnya setiap orang yang dapati. Mata ke mata manusianya yang sempat berpapasan mendelik dan tak seorang pun yang menaruh perhatian dan hormat. Belum tahu siapa yang datang ke tempat gersang itu. Mulanya dugaanku benar kalau tempat itu salah satu tempat paling tertinggal dari yang marginal. Tidak hanya televisi yang mereka tidak punya, sekolah pun tak ada. Banyak anak-anak bekerja membantu orang tua, bahkan ada yang dipaksa kawin muda sekalipun tangannya masih belum bisa memegang cangkul. Suatu hari setelah tiga hari berada di tempat itu, kuajak anak-anak kecil berpose denganku dan kukatakan kepada mereka, setiap anak yang ikut foto akan diberi hadiah berupa cokelat dan permen. Ada yang takut dikira aku seorang pemenggal kepala dan ada yang senang karena mereka telah kuimingi-imingi, gambar mereka akan dipajang di sepanjang jalan tiga bulan atau empat bulan ke depan nanti bersamaku.
Aku telah melakukan sebuah perubahan kecil-kecilan kepada semua orang yang kutemui. Itu belum seberapa, karena belum tiba pada waktunya aku melakukan sebuah hal untuk mereka. Dari hari ke hari aku terus melakukan pemerataan pencucian kesadaran hingga tak terbatas waktunya.
“Bagaimana waktumu terbagi bersama keluarga?” seorang wartawan bertanya suatu ketika secara dadakan, tanpa surat pengantar—yang sebenarnya aku tidak suka dengan cara demikian.
“Waktu? Apa itu waktu? Kau tahu di dunia tak ada waktu bagi orang baik. Orang baik hanya punya kesempatan.” Wartawan itu tidak bertanya lagi dan menjauh dari kepungan wartawan-wartawan yang lain.
Setahun kemudian, (pada saat itu kumis yang terbentang tebal di atas ketinggian 1 cm dari bibir bagian atas sudah kucukur) aku menggelar wayang kulit sebagai bagian dari program kampanye. Semalam suntuk aku menjamu orang-orang se kampung. Sementara yang kuharapkan pada saat itu juga datang: tokoh masyarakat dan seorang kiai yang berpengaruh kuat di masyarakatnya. Akhirnya mereka pulang dengan kenyang dan di sakunya telah mengantongi amplop-amplop. Setelah itu aku lega. Dan aku mati pada tengah malam sebelum tiba di rumahku, yaitu pada saat aku mendengar kabar kalau pada saatnya nanti di hari pemilihan umum aku tidak akan pernah menjadi seperti yang aku inginkan. Kucari gara-gara di tengah jalan yang pada saat itu kumpulan para pemuda menusuk perutku dengan pecahan botol Topi Miring untuk kemudian mengambil isi sakuku. Ya, aku mati dalam keadaan begitu.
Waktu itu aku menjadi sesosok mayat untuk pertama kalinya. Walaupun ususku terburai keluar dan kemasukan udara, aku tetap bisa bangkit dan tidak merasakan apa-apa. Aku hidup kembali dalam keadaan yang sempurna dan tidak luka di mana-mana. Karena aku tidak menginginkan aku mati, maka aku diberi kesempatan hidup lagi. Kucari pemuda-pemuda yang tadi telah membantaiku. Tetapi, aku kemudian lebih memilih untuk pulang.
Orang pertama kali yang kujumpai setelah aku menjadi mayat adalah istriku. Ia sendirian dan meratapi sesosok tubuh di depannya. Kupanggili ia sampai yang kurasakan di tenggorokanku adalah kepedihan, sampai tak ada suara, sampai kuguncang-guncang tubuhnya namun tak ada reaksi. Saat itu aku baru sadar bahwa aku telah gagal hidup. Aku mati. Aku benar-benar telah mati tetapi aku masih bisa melihat siapa pun yang ada di sekitarku. Tak ada yang menangis kecuali istriku, itu pun tidak pada umumnya seorang istri yang meraung-raung.
Aku pergi ke suatu tempat dengan jalan kaki. Datang ke sebuah daerah yang pernah kujumpai. Mereka tidak mengenaliku sebagai orang yang kharismatik dan bersahaja. Setiap orang yang berpapasan acuh tak acuh seolah tidak melihatku. Datanglah aku ke suatu daerah yang tertinggal dan tak ada sekolah itu. Penduduknya masih sama saja, ada yang cara berjalannya miring karena kakinya pendek sebelah, ada yang cara melihatnya sangat menakutkan karena di mulutnya tertusuk sebilah pisau melintang dari pipi kanan tembus di pipi bagian kiri. Anak-anak kecil yang pernah kujumpai tak kutemui. Sepertinya, orang-orang yang menghuni daerah ini pun juga berbeda dari sebelumnya. Tak kutemui di antara mereka yang saling bertutur sapa antar sesama. Mereka hanya berjalan seenaknya sendiri. Duduk sibuk sendiri. Di sini yang membuat aku kaget adalah ketika aku melihat sesosok tubuh yang mirip denganku. Cara berjalannya melompat-lompat, bibirnya tebal di bagian atas. Lalu, ia melirik ke arahku dan mendengus-dengus.
“Hei, kau aku ya?” ia berkata dengan nada yang sumbang. Ia mengaku dirinya sebagai aku. Aku menggeleng dan mencoba menjauh darinya. Ia mencegatku secara tiba-tiba muncul dari hadapanku dengan cara berjalan yang melompat-lompat.
“Kau adalah aku!” katanya lagi. Ia mendekat seolah-olah akan merengkuh tubuhku. Tetapi aku berlari lagi dan meminta tolong. Namun tak ada yang mendengar. Ia pun muncul di depan mukaku dan langsung melompat.
Saat ini aku benar-benar sesosok mayat yang telah hilang dan tak kemana-mana. Hampir tidak kukenal tahun ataupun abad. Sementara itu, tubuh yang habis diobrak-abrik bersama batu-batu itu telah mendarah gading dengan tanah liat. Suatu saat ketika gempa bawah tanah kembali mengguncang-guncang, tulang-tulang rangkaku yang telah berpisah dengan dagingnya itu mencuat ke atas. Aku melihatnya ketika sebuah cahaya yang melintas datang. Setelah itu, sebuah suara datang selalu tepat pada waktunya.
“Antrian selanjutnya silakan memasuki pintu sebelah kiri.” []
Mawaidi D. Mas pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk dan sedang menyelesaikan pendidikannya di Universitas Negeri Yogyakarta.
KINI aku hanyalah seonggok daging busuk di dasar lubang bercampur dengan leburan batu. Mulanya tubuhku sudah direbahkan menghadap ke barat dan kepalaku berada di posisi utara, tak ada yang tahu sampai saat ini kalau semua itu telah berubah. Semua itu terjadi padaku sekitar tiga detik setelah papan beton menutup habis-habis tubuhku.
Tak ada malam ataupun siang; senja apalagi pagi. Tak ada yang tahu sudah berapa tahun aku mengalami penjara kesunyian tanpa melakukan apa-apa di sini, kecuali hanya memandangi tubuhku dengan nestapa. Tak pernah ada yang datang ke makamku untuk menjenguk atau sekadar membersihkan kotoran binatang-binatang ternak para petani di atas pusara. Atau, jangan-jangan selama ini banyak orang yang datang kepadaku mendoakan dan sebagainya tetapi aku tidak melihat mereka karena saking tidak diterimanya kematian ini oleh Tuhan.
Sumber Gambar: behance.net |
Sebelum masuk ke lubang ini, telah banyak kebaikan yang kuperbuat kepada orang-orang terdekat maupun yang jauh dan yang tidak kukenal. Setidaknya aku dapat mengenang kebaikanku selama hidup. Aku bahagia. Jauh sebelum aku mati, sekitar dua tahun itu aku keluar rumah dan menampakkan diri sebagai sosok yang humanis, religius dan pluralis. Aku membuat jejak yang banyak dipuja dan dipuji orang-orang karena sikapku kepada mereka tidak dibatasi oleh kedudukan dan jabatan. Semisal, pada suatu hari aku pergi ke sebuah tempat yang jauh dari tempat yang aku tinggali. Tempat itu sepertinya berada di daerah perbatasan yang jauh dan tak pernah disentuh oleh kebudayaan modern. Ketika mereka mengetahui kunjunganku ke sana orang-orang menghambur semua kepadaku, berseru dan ada yang menangis meminta kesejahteraan hidup seperti yang aku nikmati saat ini. Kukatakan saat itu kepada mereka semua permintaannya akan kusanggupi. Dan kau harus tahu, tidak hanya penduduk di sana yang tahu keberadaanku saat itu. Sebuah televisi nasional telah kubayar untuk meliput semua gerak-gerikku, semua kebaikan yang kutebar.
Waktu itu aku masih berkumis, dengan cara itu di tempat lain aku akan tampak sahaja dan kharismatik. Kudatangi pengajian-pengajian yang diselenggarakan di desa-desa, kuberikan uang separuh dari anggaran mereka dengan catatan: kehadiranku di sana tidak hanya sekadar menjadi pendengar, melainkan menjadi bagian orang yang memberi sambutan kepada masyarakat di desa itu yang berisikan bujukan-bujukan halus bahwa aku sedang menyiapkan masa depan baru dan sebuah revolusi untuk bangsa. Di tempat lain, yang jauh dari desa yang sering mengadakan pengajian, kukunjungi tempat itu seperti aku mengunjungi sebuah medan perang karena saking angkuhnya setiap orang yang dapati. Mata ke mata manusianya yang sempat berpapasan mendelik dan tak seorang pun yang menaruh perhatian dan hormat. Belum tahu siapa yang datang ke tempat gersang itu. Mulanya dugaanku benar kalau tempat itu salah satu tempat paling tertinggal dari yang marginal. Tidak hanya televisi yang mereka tidak punya, sekolah pun tak ada. Banyak anak-anak bekerja membantu orang tua, bahkan ada yang dipaksa kawin muda sekalipun tangannya masih belum bisa memegang cangkul. Suatu hari setelah tiga hari berada di tempat itu, kuajak anak-anak kecil berpose denganku dan kukatakan kepada mereka, setiap anak yang ikut foto akan diberi hadiah berupa cokelat dan permen. Ada yang takut dikira aku seorang pemenggal kepala dan ada yang senang karena mereka telah kuimingi-imingi, gambar mereka akan dipajang di sepanjang jalan tiga bulan atau empat bulan ke depan nanti bersamaku.
Aku telah melakukan sebuah perubahan kecil-kecilan kepada semua orang yang kutemui. Itu belum seberapa, karena belum tiba pada waktunya aku melakukan sebuah hal untuk mereka. Dari hari ke hari aku terus melakukan pemerataan pencucian kesadaran hingga tak terbatas waktunya.
“Bagaimana waktumu terbagi bersama keluarga?” seorang wartawan bertanya suatu ketika secara dadakan, tanpa surat pengantar—yang sebenarnya aku tidak suka dengan cara demikian.
Sumber Gambar: lakonhidup.wordpress.com |
“Waktu? Apa itu waktu? Kau tahu di dunia tak ada waktu bagi orang baik. Orang baik hanya punya kesempatan.” Wartawan itu tidak bertanya lagi dan menjauh dari kepungan wartawan-wartawan yang lain.
Setahun kemudian, (pada saat itu kumis yang terbentang tebal di atas ketinggian 1 cm dari bibir bagian atas sudah kucukur) aku menggelar wayang kulit sebagai bagian dari program kampanye. Semalam suntuk aku menjamu orang-orang se kampung. Sementara yang kuharapkan pada saat itu juga datang: tokoh masyarakat dan seorang kiai yang berpengaruh kuat di masyarakatnya. Akhirnya mereka pulang dengan kenyang dan di sakunya telah mengantongi amplop-amplop. Setelah itu aku lega. Dan aku mati pada tengah malam sebelum tiba di rumahku, yaitu pada saat aku mendengar kabar kalau pada saatnya nanti di hari pemilihan umum aku tidak akan pernah menjadi seperti yang aku inginkan. Kucari gara-gara di tengah jalan yang pada saat itu kumpulan para pemuda menusuk perutku dengan pecahan botol Topi Miring untuk kemudian mengambil isi sakuku. Ya, aku mati dalam keadaan begitu.
Waktu itu aku menjadi sesosok mayat untuk pertama kalinya. Walaupun ususku terburai keluar dan kemasukan udara, aku tetap bisa bangkit dan tidak merasakan apa-apa. Aku hidup kembali dalam keadaan yang sempurna dan tidak luka di mana-mana. Karena aku tidak menginginkan aku mati, maka aku diberi kesempatan hidup lagi. Kucari pemuda-pemuda yang tadi telah membantaiku. Tetapi, aku kemudian lebih memilih untuk pulang.
Orang pertama kali yang kujumpai setelah aku menjadi mayat adalah istriku. Ia sendirian dan meratapi sesosok tubuh di depannya. Kupanggili ia sampai yang kurasakan di tenggorokanku adalah kepedihan, sampai tak ada suara, sampai kuguncang-guncang tubuhnya namun tak ada reaksi. Saat itu aku baru sadar bahwa aku telah gagal hidup. Aku mati. Aku benar-benar telah mati tetapi aku masih bisa melihat siapa pun yang ada di sekitarku. Tak ada yang menangis kecuali istriku, itu pun tidak pada umumnya seorang istri yang meraung-raung.
Aku pergi ke suatu tempat dengan jalan kaki. Datang ke sebuah daerah yang pernah kujumpai. Mereka tidak mengenaliku sebagai orang yang kharismatik dan bersahaja. Setiap orang yang berpapasan acuh tak acuh seolah tidak melihatku. Datanglah aku ke suatu daerah yang tertinggal dan tak ada sekolah itu. Penduduknya masih sama saja, ada yang cara berjalannya miring karena kakinya pendek sebelah, ada yang cara melihatnya sangat menakutkan karena di mulutnya tertusuk sebilah pisau melintang dari pipi kanan tembus di pipi bagian kiri. Anak-anak kecil yang pernah kujumpai tak kutemui. Sepertinya, orang-orang yang menghuni daerah ini pun juga berbeda dari sebelumnya. Tak kutemui di antara mereka yang saling bertutur sapa antar sesama. Mereka hanya berjalan seenaknya sendiri. Duduk sibuk sendiri. Di sini yang membuat aku kaget adalah ketika aku melihat sesosok tubuh yang mirip denganku. Cara berjalannya melompat-lompat, bibirnya tebal di bagian atas. Lalu, ia melirik ke arahku dan mendengus-dengus.
“Hei, kau aku ya?” ia berkata dengan nada yang sumbang. Ia mengaku dirinya sebagai aku. Aku menggeleng dan mencoba menjauh darinya. Ia mencegatku secara tiba-tiba muncul dari hadapanku dengan cara berjalan yang melompat-lompat.
“Kau adalah aku!” katanya lagi. Ia mendekat seolah-olah akan merengkuh tubuhku. Tetapi aku berlari lagi dan meminta tolong. Namun tak ada yang mendengar. Ia pun muncul di depan mukaku dan langsung melompat.
Saat ini aku benar-benar sesosok mayat yang telah hilang dan tak kemana-mana. Hampir tidak kukenal tahun ataupun abad. Sementara itu, tubuh yang habis diobrak-abrik bersama batu-batu itu telah mendarah gading dengan tanah liat. Suatu saat ketika gempa bawah tanah kembali mengguncang-guncang, tulang-tulang rangkaku yang telah berpisah dengan dagingnya itu mencuat ke atas. Aku melihatnya ketika sebuah cahaya yang melintas datang. Setelah itu, sebuah suara datang selalu tepat pada waktunya.
“Antrian selanjutnya silakan memasuki pintu sebelah kiri.” []
Mawaidi D. Mas pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk dan sedang menyelesaikan pendidikannya di Universitas Negeri Yogyakarta.
0 comments :
Post a Comment