Oleh: Lukman Santoso Az*
Hadirnya fatwa hasil ijtima’ Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan tidak sesuai dengan syariat Islam kontan mengundang banyak reaksi. Reaksi pro-kontra tersebut wajar terjadi, mengingat BPJS sudah berjalan lebih dari setahun. Bahkan sudah dibuatkan produk hukumnya. Fatwa MUI itu juga sedikit banyak akan berimplikasi karena mayoritas masyarakat Indonesia tidak lain adalah umat muslim. Di satu sisi, baik UU maupun produk hukum turunannya mewajibkan seluruh masyarakat Indonesia menjadi peserta BPJS. Namun disisi lain ada hambatan psikologis terkait dengan fatwa MUI bahwa BPJS ‘haram’ dan tidak memenuhi kaidah agama (JP, 31/7/15).
Terkait dengan fatwa ini, reaksi bahkan muncul dari ormas terbesar Indonesia, yakni NU yang mengkritik keras fatwa tersebut. Wapres Jusuf Kalla bahkan juga tak sepakat. Sorotan makin tajam karena MUI tak sekali ini mengeluarkan fatwa kontroversial. Sebelumnya ada fatwa haram pemimpin non muslim. Belum lagi kabar miring seputar jual beli sertifikat halal yang sempat mendera lembaga tersebut. Menurut MUI, fatwa tersebut muncul dengan alasan bahwa sistem premi hingga pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai fikih. Khususnya aspek gharar (ketidakjelasan akad), yang memicu potensi maysir (perjudian), dan melahirkan riba.
Terlepas dari fatwa MUI tersebut, sebenarnya sejak di uji coba pada 2012 sudah menyimpan berbagai persoalan. Bahkan ketika secara formal di terapkan pada 1 Januari 2014 juga masih jauh dari kata sempurna. Beberapa problem BPJS yang muncul diantaranya; Pertama, sistem pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System), yang masih adanya penolakan pasien tidak mampu. Hal ini dikarenakan PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS (2011) orang miskin Indonesia + 96,7 juta jiwa.
Kedua, sistem pembayaran (Health Care Payment System). Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost, terkait dengan pembiayaan dengan skema INA CBGs dan Kapitasi yang dikebiri oleh Permenkes No. 69/2013. Dikeluarkannya SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di lapangan tersebut. Selain itu kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun eksternal.
Ketiga, sistem mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System). Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah dan kecil masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan belum terealisasi mengingat manfaat tambahan yang diterima pekerja BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum selesai dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No. 111/2013 (pasal 24 dan 27) mengenai keharusan pekerja BUMN dan swasta menjadi peserta BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015.
Dengan realita demikian tampaknya BPJS tengah mengalami problem ganda, yakni problem implementasi payung hukum dan problem hukum Syar’i. Terkait dengan problem Syar’i, agar pro kontra fatwa MUI tidak semakin meruncing, maka pihak terkait, yakni BPJS dan MUI dengan difasilitasi Kemenkes dan Kemenag harus segera melakukan koordinasi dan duduk bersama. Tujuannya tidak lain adalah untuk merumuskan alternatif solusi sekaligus kemungkinan dibentuknya BPJS Syari’ah.
Sementara terkait problem implementasi payung hukum, perlu dilakukan upaya sinergis dan harmonisasi antar pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang komprehensif. Sehingga diperlukan revisi regulasi turunan BPJS Kesehatan seperti dalam penetapan cost BPJS Kesehatan dan pengaturan penyaluran dana ke fasilitas kesehatan penyelenggara, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia (dokter, perawat, administrasi rumah sakit dan lain-lain) sehingga memudahkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta fasilitas kesehatan yang dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan efektif.
Kompleksitas problem BPJS Kesehatan tidak hanya soal administrasi yang rumit dan berbelit-belit, layanan rumah sakit yang kacau balau, banyaknya kasus penolakan terhadap pasien miskin, tetapi sebenarnya berpangkal pada fondasi hukum sistem ini, yakni UU No 40/2004 tentang SJSN dan UU No 24/2011 tentang BPJS. Dalam tata laksana kedua UU tersebut yang secara langsung diberlakukan dalam program JKN, sangat terlihat bahwa UU BPJS dan UU SJSN hanyalah diperuntukan bagi pesertanya saja, tentu ini menyalahi UUD 1945 yang mengharuskan kesejahteraan sosial dan pelayanan kesehatan adalah hak seluruh warga Indonesia.
Selain itu, SJSN dan BPJS yang sejatinya merupakan jaminan sosial bagi masyarakat, namun dalam pelaksanaan keduanya bukanlah jaminan sosial yang semestinya, melainkan asuransi sosial. Hal ini dapat dicermati pada pasal 1 ayat 8 UU No 40/2004 dimana peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran dan juga pada pasal 17 ayat 1 UU No 40 tahun 2004 dimana setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya telah ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
Padahal sesuai dengan amanat konstitusi, bahwa negara memiliki tanggung jawab perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu bagi seluruh rakyat. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Plato, yang mengungkapkan bahwa negara menyejahterakan rakyatnya adalah suatu keharusan. Demikian pula Aristoteles yang mengatakan bahwa, tujuan pembentukan negara adalah untuk kebaikan seluruh rakyat. Hal ini pun selaras dengan kaidah Fiqih dalam Islam maupun Pancasila yang digariskan Pendiri Bangsa (founding fathers), yakni tanggung jawab pemimpin (negara) terhadap rakyatnya adalah mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan (tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al maslahah).
Akhirnya, kendati masih terdapat banyak kelemahan dalam berbagai aspek, namun perubahan demi perubahan harus diwujudkan dengan baik dan terarah demi terciptanya program jaminan sosial BPJS kesehatan yang komprehensif dan menjamin hak seluruh rakyat Indonesia.
Lukman Santoso AZ, Pengajar Hukum STAIN Ponorogo; Peserta Program Doktor Ilmu Hukum UGM
Hadirnya fatwa hasil ijtima’ Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan tidak sesuai dengan syariat Islam kontan mengundang banyak reaksi. Reaksi pro-kontra tersebut wajar terjadi, mengingat BPJS sudah berjalan lebih dari setahun. Bahkan sudah dibuatkan produk hukumnya. Fatwa MUI itu juga sedikit banyak akan berimplikasi karena mayoritas masyarakat Indonesia tidak lain adalah umat muslim. Di satu sisi, baik UU maupun produk hukum turunannya mewajibkan seluruh masyarakat Indonesia menjadi peserta BPJS. Namun disisi lain ada hambatan psikologis terkait dengan fatwa MUI bahwa BPJS ‘haram’ dan tidak memenuhi kaidah agama (JP, 31/7/15).
Terkait dengan fatwa ini, reaksi bahkan muncul dari ormas terbesar Indonesia, yakni NU yang mengkritik keras fatwa tersebut. Wapres Jusuf Kalla bahkan juga tak sepakat. Sorotan makin tajam karena MUI tak sekali ini mengeluarkan fatwa kontroversial. Sebelumnya ada fatwa haram pemimpin non muslim. Belum lagi kabar miring seputar jual beli sertifikat halal yang sempat mendera lembaga tersebut. Menurut MUI, fatwa tersebut muncul dengan alasan bahwa sistem premi hingga pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai fikih. Khususnya aspek gharar (ketidakjelasan akad), yang memicu potensi maysir (perjudian), dan melahirkan riba.
Terlepas dari fatwa MUI tersebut, sebenarnya sejak di uji coba pada 2012 sudah menyimpan berbagai persoalan. Bahkan ketika secara formal di terapkan pada 1 Januari 2014 juga masih jauh dari kata sempurna. Beberapa problem BPJS yang muncul diantaranya; Pertama, sistem pelayanan kesehatan (Health Care Delivery System), yang masih adanya penolakan pasien tidak mampu. Hal ini dikarenakan PP No. 101/2012 tentang PBI jo. Perpres 111/2013 tentang Jaminan kesehatan hanya mengakomodasi 86,4 juta rakyat miskin sebagai PBI padahal menurut BPS (2011) orang miskin Indonesia + 96,7 juta jiwa.
Sumber Gambar: www.detik.com |
Kedua, sistem pembayaran (Health Care Payment System). Belum tercukupinya dana yang ditetapkan BPJS dengan real cost, terkait dengan pembiayaan dengan skema INA CBGs dan Kapitasi yang dikebiri oleh Permenkes No. 69/2013. Dikeluarkannya SE No. 31 dan 32 tahun 2014 oleh Menteri Kesehatan untuk memperkuat Permenkes No.69 ternyata belum bisa mengurangi masalah di lapangan tersebut. Selain itu kejelasan area pengawasan masih lemah baik dari segi internal maupun eksternal.
Ketiga, sistem mutu pelayanan kesehatan (Health Care Quality System). Keharusan perusahaan BUMN dan swasta nasional, menengah dan kecil masuk menjadi peserta BPJS Kesehatan belum terealisasi mengingat manfaat tambahan yang diterima pekerja BUMN atau swasta lainnya melalui regulasi turunan belum selesai dibuat. Hal ini belum sesuai dengan amanat Perpres No. 111/2013 (pasal 24 dan 27) mengenai keharusan pekerja BUMN dan swasta menjadi peserta BPJS Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015.
Dengan realita demikian tampaknya BPJS tengah mengalami problem ganda, yakni problem implementasi payung hukum dan problem hukum Syar’i. Terkait dengan problem Syar’i, agar pro kontra fatwa MUI tidak semakin meruncing, maka pihak terkait, yakni BPJS dan MUI dengan difasilitasi Kemenkes dan Kemenag harus segera melakukan koordinasi dan duduk bersama. Tujuannya tidak lain adalah untuk merumuskan alternatif solusi sekaligus kemungkinan dibentuknya BPJS Syari’ah.
Sementara terkait problem implementasi payung hukum, perlu dilakukan upaya sinergis dan harmonisasi antar pemangku kebijakan dalam merumuskan kebijakan yang komprehensif. Sehingga diperlukan revisi regulasi turunan BPJS Kesehatan seperti dalam penetapan cost BPJS Kesehatan dan pengaturan penyaluran dana ke fasilitas kesehatan penyelenggara, jumlah tenaga kesehatan yang tersedia (dokter, perawat, administrasi rumah sakit dan lain-lain) sehingga memudahkan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta fasilitas kesehatan yang dimiliki dapat menunjang pelaksanaan secara efisien dan efektif.
Kompleksitas problem BPJS Kesehatan tidak hanya soal administrasi yang rumit dan berbelit-belit, layanan rumah sakit yang kacau balau, banyaknya kasus penolakan terhadap pasien miskin, tetapi sebenarnya berpangkal pada fondasi hukum sistem ini, yakni UU No 40/2004 tentang SJSN dan UU No 24/2011 tentang BPJS. Dalam tata laksana kedua UU tersebut yang secara langsung diberlakukan dalam program JKN, sangat terlihat bahwa UU BPJS dan UU SJSN hanyalah diperuntukan bagi pesertanya saja, tentu ini menyalahi UUD 1945 yang mengharuskan kesejahteraan sosial dan pelayanan kesehatan adalah hak seluruh warga Indonesia.
Selain itu, SJSN dan BPJS yang sejatinya merupakan jaminan sosial bagi masyarakat, namun dalam pelaksanaan keduanya bukanlah jaminan sosial yang semestinya, melainkan asuransi sosial. Hal ini dapat dicermati pada pasal 1 ayat 8 UU No 40/2004 dimana peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran dan juga pada pasal 17 ayat 1 UU No 40 tahun 2004 dimana setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya telah ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
Padahal sesuai dengan amanat konstitusi, bahwa negara memiliki tanggung jawab perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu bagi seluruh rakyat. Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan Plato, yang mengungkapkan bahwa negara menyejahterakan rakyatnya adalah suatu keharusan. Demikian pula Aristoteles yang mengatakan bahwa, tujuan pembentukan negara adalah untuk kebaikan seluruh rakyat. Hal ini pun selaras dengan kaidah Fiqih dalam Islam maupun Pancasila yang digariskan Pendiri Bangsa (founding fathers), yakni tanggung jawab pemimpin (negara) terhadap rakyatnya adalah mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan (tasharruful imam ‘ala al ra’iyyah manutun bi al maslahah).
Akhirnya, kendati masih terdapat banyak kelemahan dalam berbagai aspek, namun perubahan demi perubahan harus diwujudkan dengan baik dan terarah demi terciptanya program jaminan sosial BPJS kesehatan yang komprehensif dan menjamin hak seluruh rakyat Indonesia.
Lukman Santoso AZ, Pengajar Hukum STAIN Ponorogo; Peserta Program Doktor Ilmu Hukum UGM
0 comments :
Post a Comment